Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Lembar 47

    Ketiga pemuda itu menginjakkan kaki mereka di Distrik 1 menjelang sore hari dikarenakan mereka yang harus menghindari para anggota Militer yang tengah berpatroli. Setelah perjalanan mereka terhambat di Distrik 8, mereka sempat melewati hutan dengan berjalan kaki untuk sampai ke Distrik selanjutnya. Dan tentunya itu memakan waktu yang cukup lama.

    Berjalan dengan hati-hati di antara rumah penduduk, Hyunjin yang berjalan paling depan kembali menghentikan langkahnya ketika melihat beberapa perwira tidak jauh di depan mereka.

    "Hyeong, mundur."

    Hyungwon dan Kihyun segera mundur dan mencari tempat persembunyian.

    "Hey, bocah! Apa yang sedang kau lakukan di sana?"

    Langkah Hyunjin terhenti ketika ia hendak berbelok menyusul kedua pemuda Distrik 9 itu. Pandangan ketiganya bertemu dan Hyunjin memberikan isyarat agar kedua pemuda Distrik 9 itu segera bersembunyi sebelum ia membalik tubuhnya dan menghampiri para perwira itu.

    Salah satu perwira memegang puncak kepala Hyunjin dan memaksa pemuda itu menoleh ke kanan dan ke kiri. "Bukankah kau anak nakal itu?"

    Hyunjin menepis tangan perwira itu dengan tatapan tak bersahabatnya.

    "Cih! Masih berani melawan rupanya ... di mana teman-temanmu itu?"

    "Tidak tahu," jawab Hyunjin, acuh.

    "Aish ... bocah ini!" Perwira itu hendak memukul kepala Hyunjin, namun rekan di sebelahnya segera menahan dadanya.

    "Sudah, biarkan saja. Lebih baik kita lanjutkan patroli."

    Perwira yang sebelumnya hendak memukul Hyunjin memandang pemuda itu dan memberikan peringatan, "lihat saja jika kau kembali membuat keributan. Kepalamu milikku, bocah."

    Para perwira itu lantas pergi dan Hyunjin melangkah mundur hingga sampai di tikungan dimana Hyungwon dan Kihyun bersembunyi.

    "Sudah pergi."

    Hyungwon dan Kihyun mendekat, dan teguran pertama Kihyun lontarkan, "kau baik-baik saja?"

    Hyunjin mengangguk. "Sebaiknya kita segera pergi dari sini."

    Ketiganya melanjutkan perjalanan yang lebih berbahaya ketika terdapat Kihyun di sana. Semakin sore, semakin banyak perwira yang berkeliaran di Distrik 1 dan hal itu cukup menyulitkan bagi ketiganya. Hingga setelah langit yang hampir menggelap seutuhnya menuntun mereka untuk menyusuri halaman rumah Jeongin.

    Hyungwon dan Kihyun memandang ke sekeliling ketika Hyunjin mengetuk pintu kayu di hadapannya. Beberapa detik menunggu, pintu terbuka dari dalam dan menunjukkan wajah heran dari ayah Jooheon.

    "Siapa kau?"

    Hyungwon menampakkan diri di belakang Hyunjin dan sontak membuat ayah Jooheon terkejut.

    "Hyungwon?"

    "Biarkan kami masuk dulu, Paman," ujar Hyunjin.

    "Ah ... ya, ya. Cepat, masuk." Ayah Jooheon menyingkir dari pintu dan kembali terkejut setelah melihat Kihyun berjalan paling belakang.

    "Kihyun? Kau masih hidup?"

    Hyungwon segera menutup pintu dari dalam, tak lupa menguncinya.

    "Bagaimana, apa yang sebenarnya terjadi?" ayah Jooheon kebingungan.

    "Kami tidak bisa menjelaskannya, di mana Sohye sekarang?" tanya Kihyun.

    "Dia ada di ruangan sebelah sana."

    Kihyun segera menuju ruangan yang di maksud, dan Yoona yang saat itu baru memasuki ruangan pun di buat terkejut oleh kehadiran Kihyun yang sempat membuat wanita itu berhenti. Namun perhatian wanita itu segera teralihkan oleh kehadiran putranya.

    "Hyungwon ..." Yoona segera menghampiri Hyungwon dan memeluk putranya itu.

    Di sisi lain, Kihyun membuka pintu kamar Sohye dengan cukup kasar. Pandangannya memandang ke penjuru kamar yang tak begitu besar dan menemukan Sohye duduk di sudut ruangan dengan kepala yang bersandar pada dinding dan mata yang tertutup.

    Berjalan masuk. Kihyun menutup pintu secara perlahan sebelum menghampiri Sohye dengan langkah tanpa suara. Ia lantas menjatuhkan satu lututnya di hadapan gadis yang saat itu memeluk lututnya sendiri.

    Kihyun tersenyum prihatin dan kemudian membimbing tangannya untuk menangkup wajah Sohye, membuat gadis itu mendapatkan kesadarannya kembali.

    Sohye kaget ketika mendapati tangan seseorang memegang wajahnya. Dia pun segera menurunkan tangan Kihyun sebelum pergerakannya terhenti ketika ia melihat sosok yang kini berada di hadapannya.

     "Oppa ..."Sohye berujar lirih.

    Kihyun melepas topi yang ia kenakan agar Sohye bisa melihat wajahnya. Dan saat itu pula Sohye memekik lalu memeluk Kihyun. Tangis gadis muda itu kembali pecah ketika yang terkasih kembali ke hadapannya.

    "Aku yakin kau tidak akan meninggalkanku, aku yakin kau hanya membohongi kami. Jangan lakukan ini lagi ..."

    "Maaf," satu kata yang mampu di ucapkan oleh Kihyun ketika kedua tangannya membalas rengkuhan dari Sohye. Mencoba memberikan sedikit ketenangan bagi gadis yang baru saja ia sakiti dengan berita kematiannya.

    Setelah cukup tenang. Kihyun membawa Sohye duduk berhadapan di tepi ranjang dengan kedua tangan yang menggenggam lembut telapak tangan gadis itu.

    "Jangan menangis lagi, aku minta maaf."

    "Kenapa kau melakukan semua ini?"

    "Mereka mengirim orang untuk membunuhku dan aku terpaksa melakukan hal itu agar mereka tidak menyakitimu. Sekarang semuanya akan baik-baik saja."

    "Kau ada di sini, bagaimana jika mereka menangkapmu?"

    "Kau tidak perlu khawatir. Malam ini, aku akan membawamu pergi dari sini."

    "Penjagaan diperketat saat malam, bagaimana kita bisa keluar dari sini?"

    "Percayakan semua padaku. Kau tunggulah di sini sebentar." Kihyun hendak beranjak, namun Sohye menahan tangannya.

    "Kau tidak berniat meninggalkanku lagi, kan?"

    Kihyun menggeleng. "Aku datang untuk menjemputmu. Aku akan bicara sebentar dengan paman dan bibi."

    Sohye tak kunjung melepas tangan Kihyun dan membuat Kihyun kembali berucap, "hanya sebentar."

    "Jangan menipuku."

    "Tidak akan."

    Genggaman pada tangan Kihyun terlepas, pemuda itu lantas meninggalkan kamar Sohye dan menghampiri Hyunjin yang duduk bersama ayah serta ibu Jooheon di ruang tamu.

    Ibu Jooheon segera berdiri dan menghampiri Kihyun dengan wajah yang menunjukkan kekhawatiran.

    "Ya Tuhan!" Ibu Jooheon menangkup wajah Kihyun. "Apa yang sudah kau lakukan, Nak ... kenapa kau mempersulit hidupmu sendiri seperti ini?"

    "Aku baik-baik, bibi tidak perlu cemas."

    "Sodam, kemarilah ... kau juga Kihyun," tegur ayah Jooheon.

    Ibu Jooheon kembali duduk, begitupun dengan Kihyun yang menempatkan diri duduk di samping Hyunjin dan berhadapan dengan kedua orangtua Jooheon.

    Ayah Jooheon memulai pembicaraan. "Paman mendengar sedikit cerita dari Hyunjin. Apa yang sebenarnya terjadi di Distrik saat ini?"

    "Tidak ada apapun yang terjadi di Distrik, semua masih seperti biasa."

    "Lalu anak-anak itu, bagaimana dengan mereka?"

    "Mereka akan selamat jika tidak meninggalkan Distrik 9."

    Ibu Jooheon menyahut, "lalu ... bagaimana dengan Jooheon kami? Apa dia baik-baik saja? Apa dia makan dengan baik? Katakan pada bibi."

    "Jooheon baik-baik saja, dia menitipkan pesan agar paman dan bibi tidak mengkhawatirkannya."

    "Anak kurang ajar! Bagaimana bisa aku tidak khawatir ..."

    Ayah Jooheon menyentuh bahu istrinya. "Tenangkan dirimu," lalu kembali memandang Kihyun. "Apa yang sebenarnya kalian rencanakan?"

    Kihyun terlihat ragu untuk memberikan jawaban, dan hal itu membuat ayah Jooheon kembali menegurnya. "Kihyun, paman dan ayahmu dulu berteman baik. Kau sudah kuanggap sebagai putraku sendiri, jadi jangan berusaha menyembunyikan sesuatu dari paman."

    Kihyun memandang ayah Jooheon dan berucap tanpa keraguan, "kami, akan mengambil alih Distrik 9."

    Ayah dan ibu Jooheon sontak terkejut dengan pernyataan Kihyun yang menurut mereka tak masuk akal.

    "Apa yang baru saja kau katakan?" ayah Jooheon dengan nada bicara yang sedikit menuntut.

    "Kami akan mengusir Militer dari Distrik 9 dan menguasai Distrik."

    "Itu mustahil," sanggah ibu Jooheon. "Jangan gila! Bagaimana bisa kalian berpikir sampai sejauh itu?"

    "Bibimu benar. Mereka bukanlah lawan yang sepadan dengan kalian ... jangan menyia-nyiakan hidup kalian hanya untuk hal yang bodoh."

    "Tapi Jooheon dan kami semua sudah memutuskan bahwa kami akan mengambil alih Distrik apapun yang terjadi."

    "Anak kurang ajar! Belum puas dia menyiksa ibunya seperti ini?" ibu Jooheon kesal, marah dan cemas dalam waktu bersamaan.

    "Pelankan suaramu, jangan sampai mereka datang kemari."

    "Suamiku ... kita harus kembali ke Distrik 9 dan menjemput putra kita. Anak itu sudah gelap mata, kita harus menyelamatkannya."

    Ayah Jooheon sekilas mengusap lengan sang istri sebelum kembali memandang Kihyun. "Pikirkanlah baik-baik, ayahmu saja tidak bisa menangani masalah ini. Mungkinkah kau sanggup untuk mencapai tujuanmu? Usiamu masih terlalu muda untuk obsesi sebesar itu."

    "Aku sadar dengan hal itu, tapi aku tidak diizinkan untuk memilih jalan lain."

    Ibu Jooheon kembali menyahut dengan lebih emosional, "lalu bagaimana dengan putra bibi? Bagaimana dengan Jooheon kami? Dia sama sekali tidak memiliki hubungan dengan rencanamu. Kihyun ... bibi mohon, tolong biarkan Jooheon pergi. Jangan membawanya ke dalam situasi yang berbahaya."

    "Sejak awal aku sudah memperingatkan semuanya, bukan hanya Jooheon tapi semua orang. Aku tidak memaksa siapapun untuk tetap tinggal, dan maaf ... aku tidak bisa ikut campur dengan pilihan yang sudah diambil Jooheon."

    "Kenapa kau begitu egois!" suara ibu Jooheon meninggi. "Putra kami anak baik, dia masih memiliki masa depan yang panjang. Jangan menyuruhnya untuk mengikuti jalan sesatmu!"

    "Sodam .... sudah. Kau tidak seharusnya bicara seperti itu," ayah Jooheon mencoba menenangkan sang istri dan merasa tidak enak pada Kihyun. "Kihyun, maafkan bibimu. Dia tidak bermaksud mengatakan hal seperti itu padamu, paman harap kau bisa mengerti."

    "Aku tidak akan mengambil hati perkataan Bibi. Tapi asal Bibi tahu, bahwa aku sudah memberikan peringatan pada Jooheon sejak awal. Aku tidak keberatan jika dia meninggalkan Distrik ... aku tidak pernah memaksa Jooheon untuk tinggal."

    "Kau masuk saja ke kamar, biar aku yang bicara pada Kihyun."

    Ibu Jooheon masih merasa berat, namun berkat bujukan dari suaminya, ia pun meninggalkan ruang tamu dan membiarkan para laki-laki kembali berhadapan dengan suasana yang serius.

    Ayah Jooheon kembali memulai pembicaraan. "Katakan pada paman, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa mereka bisa sampai mengabarkan berita kematianmu?"

    "Itu adalah rencanaku. Mereka mengirim para anak muda Distrik 1 untuk membunuhku."

     "Lalu? Bagaimana nasib anak-anak itu sekarang?"

    "Mereka baik-baik saja, kami sengaja menahan mereka di Distrik 9."

    "Apa yang akan kalian lakukan pada mereka?"

    "Mereka hanya dijadikan alat oleh pihak Militer Distrik 1. Mereka tidak akan selamat jika kembali ke Distrik 1. Lagi pula mereka sudah memutuskan untuk bergabung bersama kami."

    Ayah Jooheon terlihat resah. "Apa keadaan Distrik sudah seburuk itu?"

    "Aku belum merasakan perubahan yang besar terjadi pada Distrik 9. Tapi semakin hari, para Militer itu semakin bebas berkeliaran di Distrik."

    "Jika sudah seperti ini, harus bagaimana lagi?" Ayah Jooheon menjatuhkan pandangannya dengan helaan napas beratnya.

    "Sekali lagi aku meminta maaf pada Paman karena aku tidak bisa membujuk Jooheon."

    Ayah Jooheon kembali memandang. "Tidak apa-apa. Anak itu sudah besar, sudah bisa memikirkan mana yang benar dan salah."

    Ayah Jooheon lantas terdiam dengan raut wajah yang tampak mempertimbangkan sesuatu sebelum kembali memperhatikan Kihyun yang terlibat perbincangan kecil dengan Hyunjin.

    "Kenapa kau harus menanggung penderitaan dari nama besarmu, Nak?" batin ayah Jooheon, merasa prihatin dengan nasib yang di hadapi oleh Kihyun saat ini.

    Pria paruh baya itu lantas kembali menegur, "Kalian akan kembali ke Distrik 9?"

    Kihyun mengangguk. "Aku akan membawa Sohye pergi bersamaku."

    "Lakukan yang kau mampu dan tetap berhati-hati. Paman hanya bisa menitip doa untuk kalian semua."

    "Paman tidak perlu cemas, aku berjanji akan menjaga putra paman apapun yang terjadi nantinya."

    Ayah Jooheon tersenyum tipis. "Cukup lindungi dirimu sendiri, putra paman tidak dilahirkan sebagai pria lemah."

    "Aku permisi ke kamar kecil sebentar," Hyunjin menginterupsi keduanya, namun segera beranjak dari tempatnya dan menghilang dari pandangan kedua orang yang lebih dewasa di sana.

    Ayah Jooheon kembali memandang Kihyun dengan tatapan ragu. "Kihyun."

    "Ye?"

    "Paman tidak tahu apakah ini baik untukmu atau justru sebaliknya. Tapi paman hanya tidak ingin kau tertipu seperti ayahmu."

    "Apa maksud paman?"

    "Paman rasa paman tidak mampu untuk mengatakan hal itu."

     Dahi Kihyun mengernyit. "Apa yang Paman bicarakan?"

    "Kau ingin tahu siapa orang yang sudah membunuh ayahmu?"

    "Aku sudah membunuhnya."

    Netra ayah Jooheon membulat. "Kau, membunuhnya?"

    "Perwira itu sudah mati beberapa tahun yang lalu."

    Ayah Jooheon menatap heran. "Perwira? Kau berpikir bahwa yang membunuh ayahmu adalah seorang perwira?"

    Sebelah alis Kihyun terangkat. "Sohye melihat perwira itu membunuh kedua orangtuanya di malam itu."

    "Memang benar, tapi yang membunuh ayahmu adalah orang yang berbeda."

    Kihyun terkejut. "Apa, apa yang Paman katakan?"

    "Temuilah ayah Hyunwoo. Dia melihat semua kejadian malam itu."

    "Paman?" Kihyun menatap tak percaya. "Katakan padaku sekarang."

    "Dapatkan jawaban itu dari ayah Hyunwoo, paman tidak bisa memberikan jawaban itu padamu."

    "Tapi kenapa? Apa alasannya?"

    "Akan lebih baik jika kau tahu dari ayah Hyunwoo."

    "Katakan sekarang juga padaku," suara yang sedikit mengeras dengan netra yang menajam.

    "Kapan kau akan pergi?"

    "Paman—"

    Pembicaraan keduanya terinterupsi oleh kehadiran Hyungwon yang baru saja keluar dari salah satu kamar dan menghampiri keduanya. Memaksa Kihyun untuk menghentikan pembicaraannya dengan ayah Jooheon.

    "Kapan kita akan pergi?" tegur Hyungwon.

    Ayah Jooheon menyahut sebelum Kihyun, "jika kalian ingin pergi, sebaiknya tengah malam saja. Pada waktu itu, penjagaan sedikit melonggar ... ya sudah, paman ingin melihat bibi kalian dulu. Istirahatlah."

    Ayah Jooheon meninggalkan ruang tamu dan saat itu pandangan Kihyun mengarah pada Hyungwon. Satu pertanyaan lantas ia lontarkan, "bagaimana keadaan bibi?"

    "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."

    "Ini kesempatan terakhirmu. Bawalah bibi Yoona ke Gwangju dan aku akan membawa Sohye kembali ke Distrik 9."

    "Ini hidupku, aku yang berhak memutuskannya. Sebaiknya kau tidak tetap berdiri di tempatmu," dengan begitu, Hyungwon meninggalkan Kihyun.







Selesai di tulis : 01.06.2020
Di publikasikan : 02.06.2020

   

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro