Lembar 31.
Sebagian besar jalanan Distrik tertutup oleh kegelapan, ketika malam telah kembali membawa kesunyian yang mengendap dan menidurkan kesembilan Distrik yang ada. Hyunjin berjalan menyusuri jalanan yang cukup sepi bersama Jongin yang berjalan di belakangnya.
Sesekali Jongin sempat mencuri pandang pada Hyunjin. Merasa sangat bersalah karena ia menganggap bahwa dirinyalah yang menyebabkan Hyunjin di pukuli oleh para perwira yang memergoki mereka sore tadi. Bukan hal yang asing lagi, hal itu memang sering terjadi. Dan wajah Hyunjin pun saat ini mengalami lecet di beberapa bagian dan juga lebam yang terlihat cukup parah di pipi sebelah kanannya.
Ekor mata Hyunjin bergerak ke samping. Memastikan bahwa Jongin tetap berjalan di belakangnya, dan niatan awalnya yang ingin menemui Sohye pun gagal karena ia yang lebih dulu menjadi bulan-bulanan dari para perwira itu.
"Jangan jauh-jauh!" ketus Hyunjin. Jongin pun mempercepat langkahnya.
"Ada apa ini? Jelaskan dulu apa yang terjadi?"
Langkah kedua pemuda itu terhenti beberapa langkah dari rumah Kepala Distrik ketika mereka melihat keributan di depan rumah. Di mana terlihat beberapa anggota Militer yang keluar dari dalam rumah dengan membawa paksa Kepala Distrik.
"Apa yang mereka lakukan pada Paman Yongguk?" gumam Jongin.
"Kau diam saja."
"Ayah ..." Dari dalam rumah, Bang Chan putra dari Kepala Distrik berlari untuk menghalangi para perwira yang membawa pergi ayahnya. Namun salah seorang perwira justru memukul wajah pemuda itu hingga tersungkur dan kemudian meninggalkan tempat tersebut. Menjadikan malam yang mencekam bagi penduduk Distrik 1, ketika semua pengurus Distrik 1 di bawa ke Camp Militer dan di tahan di penjara bawah tanah.
Setelah semua perwira itu pergi, Hyunjin dan Jongin segera menghampiri Bang Chan dan membantu pemuda itu untuk berdiri.
"Hyeong..."
"Apa yang terjadi? Kenapa mereka membawa Paman?"
"Aku tidak tahu. Mereka tiba-tiba datang dan membawa Ayah."
Di depan rumah yang berdampingan dengan rumah mereka, seorang pemuda berdiri di tengah halaman dan memandang mereka. Lee Minho, putra dari Wakil Kepala Distrik yang ternyata ayahnya telah lebih dulu di bawa pergi oleh para perwira itu sebelum Kepala Distrik sendiri.
Perhatian Minho teralihkan oleh suara ribut-ribut yang datang dari kejauhan. Menyadari akan sesuatu yang buruk, pemuda itu segera menghampiri ketiga rekannya yang saat itu belum menyadari situasi yang terjadi.
"Cepat masuk ke dalam rumah!" teguran tiba-tiba yang langsung menarik perhatian ketiganya.
"Ada apa?" Bang Chan menyahut.
"Tidak ada waktu untuk menjelaskan, kita sembunyi sekarang."
Minho bergegas masuk ke rumah Kepala Distrik di susul oleh ketiga pemuda lainnya. Setelah semua masuk, Minho menutup pintu dari dalam dan menguncinya.
"Ada apa ini sebenarnya?" Hyunjin menegur, merasa ada hal yang janggal.
Minho lantas memberi penjelasan, "bukan hanya Ayahku dan Kepala Distrik, tapi sepertinya mereka membawa para pengurus Distrik lainnya."
Ketiga pemuda di hadapan Minho itu menunjukkan keterkejutan yang sama. "Dari mana kau tahu?" ucap Bang Chan. Namun sebelum jawaban itu datang, keributan yang sebelumnya di dengar oleh Minho sudah berada di depan rumah.
Minho beralih ke jendela, di susul oleh Bang Chan dan juga Hyunjin. Dari balik kaca, mereka mengintip apa yang tengah terjadi dan bisa di lihat oleh mereka bahwa para perwira itu membawa beberapa pengurus Distrik lainnya dengan paksa.
"Apa yang sebenarnya akan mereka lakukan?" gumam Bang Chan.
"Menghancurkan Distrik 1, mereka akan benar-benar melakukannya kali ini."
Kegelapan terbelah oleh cahaya yang berpusat dari ujung timur. Pagi itu Kihyun keluar dari rumah Pak Han setelah mendapatkan obat untuk Changkyun. Berjalan seorang diri. Kehadirannya itu berhasil menarik perhatian dari beberapa anggota Militer yang kala itu berkumpul di depan halaman Kantor Kepala Distrik.
Salah satu dari mereka tak begitu asing, namun sepertinya Kihyun sudah melupakan orang itu. Lee Hoetaek, sebelah alisnya sempat terangkat ketika ia mendapati Kihyun di sana. Tanpa berucap, perwira itu memberikan isyarat pada rekan-rekannya untuk segera menyusul Kihyun.
Sekitar enam perwira berjalan mengikuti Kihyun, dan hal itu membuat semua orang di hadapan Kihyun menyingkir. Kihyun sempat berhenti, merasa aneh dengan kelakukan para penduduk yang seperti takut padanya tanpa memiliki pemikiran bahwa bahaya itu ingin menyergapnya dari arah belakang.
Kembali melanjutkan langkahnya, berjalan di jalanan yang sedikit menanjak tanpa ada seorangpun yang ia lihat di sepanjang jalan sebelum angin berhembus dan mengirimkan kabar buruk padanya.
"Sepertinya penglihatanku sudah memburuk."
Langkah Kihyun seketika terhenti dengan rahang yang mengeras ketika suara asing itu menyapa pendengarannya dari arah belakang. Pemuda itu lantas berbalik dan sedikit terkejut ketika mendapati beberapa perwira berjalan menghampirinya. Itukah alasan semua orang bersembunyi ketika ia datang sebelumnya?
Tak berniat melarikan diri. Kihyun sama sekali tak berpindah dari tempatnya meski keenam perwira itu berdiri mengelilinginya dengan sikap yang tak bersahabat.
Hoetaek tersenyum miring, memberikan salam pertemuan dengan tatapan sinisnya. "Yoo Kihyun, ya? Aku pikir aku tidak akan melihat wajahmu lagi."
Otot di wajah Kihyun menegang. Berusaha untuk mengingat orang di hadapannya itu.
"Kau tidak lupa, kan denganku?"
"Jika tidak ada hal yang penting, sebaiknya jangan menggangguku." Dengan sikap angkuhnya, Kihyun berbalik dan hendak berjalan pergi. Namun perwira di hadapannya segera mendorong bahunya ke belakang, sedangkan di belakang sendiri sudah ada Hoetaek yang bersiap menyambutnya.
Satu lutut Kihyun menyentuh jalanan dengan cukup keras setelah sempat mendapatkan satu tendangan dari Hoetaek. Wajahnya sempat menunjukkan reaksi kesakitan akibat luka yang kemungkinan akan ia dapat hari itu karena dia yang hanya mengenakan celana sepanjang lutut yang tak mampu melindungi lututnya dari benturan sebelumnya. Namun sesaat kemudian, raut kesakitan itu justru berubah menjadi sebuah kemarahan.
Hoetaek berjalan memutari Kihyun dan berhenti di depan pemuda itu yang langsung menatap nyalang ke arahnya.
"Harusnya empat tahun yang lalu aku sudah menghabisimu."
Kihyun hendak bangkit, namun saat itu ujung senapan di tangan Hoetaek berada di samping dadanya. Membuat pergerakannya seketika terhenti.
"Kau bukan siapa-siapa lagi. Bukankah lebih baik jika kau menghilangkan sifat aroganmu itu dan mencium kakiku sekarang juga? Aku mungkin akan mempertimbangkan untuk tidak membunuhmu di sini jika kau mau melakukan hal itu."
Kihyun menyahuti dengan sikap dinginnya yang sama sekali tak memiliki perubahan, "bawalah mimpimu itu hingga ajal menjemputmu!"
Tak begitu terkejut, Hoetaek malah terkekeh dengan begitu sinisnya. "Kau ingin mencobanya?"
Hoetaek menjauhkan senapannya dari Kihyun. Namun dia segera mengangkat senapannya dan bersiap untuk meledakkan kepala Kihyun dalam jarak sedekat itu.
"Jika pun kau mati, tidak akan ada lagi yang peduli denganmu ... semua sudah berakhir, Yoo Kihyun."
"Tidak, aku tidak akan mati dengan cara seperti ini," batin Kihyun ketika pandangannya hanya tertuju pada ujung senapan yang telah bersiap untuk melepaskan timah panas yang kemungkinan besar akan benar-benar menghancurkan kepalanya ketika bahkan tak ada satu pun penduduk yang berani keluar dari tempat persembunyian mereka.
"Jangan menangis, mengadulah pada Kakek dan Ayahmu ..." Jari telunjuk Hoetaek tergerak untuk menarik pelatuk dan menghentikan napas Kihyun untuk sesaat.
"Bocah!"
Selesai di tulis : 31.03.2020
Di publikasikan : 31.03.2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro