Lembar 30.
Distrik 1.
Hyunjin berjalan menyusuri jalanan di antara rumah penduduk, masih dengan seragam lengkap yang terlihat sedikit berantakan. Dengan kedua tangan yang berada di masukkan ke dalam saku celana, pemuda itu tampak seperti seorang preman dengan sikap arogan yang tercetak di garis wajahnya.
Menepi dari kesibukan para penduduk Distrik 1 sore itu. Pemuda itu berjalan memasuki halaman rumah lama Jongin yang masih kerap di tempati oleh mereka. Tak ingin repot-repot menggunakan tangannya untuk membuka pintu. Pemuda itu menggunakan kakinya untuk menendang pintu di hadapannya hingga terbuka dengan suara yang cukup keras.
"Yang Jongin! Keluar kau!" sebuah gertakan yang seketika memenuhi ruang tamu rumah itu.
Hyunjin lantas berjalan masuk dan saat itu Jongin keluar dari salah satu ruangan. "Hyeong," seru pemuda itu.
Hyunjin berdiri di tengah ruangan. Tangan kirinya keluar dari tempat persembunyian dan melambai untuk memanggil pemuda yang juga masih mengenakan seragam sekolah itu.
"Kemari kau!"
Tanpa perasaan khawatir, Jongin lantas berjalan mendekati Hyunjin. Namun tepat setelah ia berdiri di hadapan pemuda yang sudah seperti kakaknya sendiri itu, satu pukulan ia dapatkan di kepalanya. Tak terlalu keras namun cukup membuat wajahnya mengernyit.
"Siapa yang menyuruhmu membolos sekolah!" Hyunjin kembali memukul kepala Jongin dan memarahi pemuda itu. "Kau sudah merasa hebat sekarang ... kenapa kau tidak pergi ke sekolah? Kau ingin menjadi berandalan, eoh?"
"Berhenti memukulku ... aku bisa menjelaskannya ..." protes Jongin dan Hyunjin benar-benar berhenti untuk memukul kepalanya.
"Apa yang ingin kau jelaskan?"
"Tadi aku pergi ke sekolah."
"Lalu?"
"Tapi gerbangnya sudah di tutup. Kalau begitu bagaimana aku bisa masuk?"
Hyunjin kembali mengangkat tangannya, namun tangannya hanya terhenti di udara dan membatalkan niatnya untuk kembali memukul pemuda di hadapannya itu. "Kau ini ... kau meninggalkan rumah Kepala Distrik sejak pagi, bagaimana bisa kau terlambat? Memangnya kau kemana saja?"
"Hyeong tahu tidak, tadi pagi aku bertemu dengan siapa?"
"Siapa?" ucap Hyunjin masih dengan nada bicara yang ketus.
Jongin mendekat dan berbisik, "tunangan dari Kihyun Hyeong."
Hyunjin menatap tak percaya sekaligus terkejut. "Jangan membual."
"Tidak ... sungguh! Noona itu sendiri yang mengatakannya padaku."
"Di mana kau bertemu dengannya?"
"Di Camp Militer."
Netra Hyunjin sejenak mengerjap, merasa bingung atas perkataan Jongin. "Apa yang dia lakukan di Camp Militer? Kau ingin membohongiku?"
Jongin dengan cepat menggeleng. "Tidak ... mana berani aku berbohong. Aku sungguh bertemu dengan Sohye Noona di sana..."
"Sohye ... Noona?"
Jongin mengangguk. "Namanya Sohye, Kim Sohye."
"Jika dia tunangan Kihyun Hyeong, lalu kenapa dia bisa ada di Camp Militer?" gumam Hyunjin, mengutarakan pertanyaan yang lebih ia tujukan pada diri sendiri.
"Hyeong tidak tahu? Kemarin pagi, anggota Militer yang sedang berpatroli di perbatasan telah menangkap rombongan dari Distrik 9 yang ingin pergi ke Jeolla," jelas Jongin dengan suara yang sengaja di pelankan, dan saat itu juga kerutan terlihat di dahi Hyunjin.
"Militer Distrik 1 adalah musuh Kihyun Hyeong. Apa tidak masalah jika tunangan Kihyun Hyeong ada di sini?"
Hyunjin menggaruk keningnya. Memperlihatkan kebingungan dalam garis wajahnya.
"Hyeong ... tidak ingin membantu Kihyun Hyeong?" tanya Jongin dengan hati-hati.
"Aku masih anak-anak, memangnya apa yang bisa ku lakukan?"
"Tapi ... jika Sohye Noona ada di sini, bukankah pihak Militer bisa saja menjadikannya sandera untuk menangkap Kihyun Hyeong?" Netra Jongin membulat, terkejut akan pernyataannya sendiri. "Bukankah itu berarti mereka akan membunuh Kihyun Hyeong?"
Hyunjin segera membekap mulut Jongin ketika pemuda itu berkata dengan suara yang cukup lantang. "Kau sudah tidak waras! Sudah ku peringatkan untuk tidak menyebut namanya sekeras itu," gumam Hyunjin penuh penekanan.
"Apa yang sedang kalian lakukan di sini?"
Kedua netra pemuda itu segera membulat ketika sebuah teguran datang dari arah pintu. Keduanya serempak menoleh ke arah pintu dan tertegun ketika melihat dua anggota Militer berdiri di ambang pintu.
"Sembunyi di belakangku," gumam Hyunjin yang segera melepaskan bekapannya pada mulut Jongin.
Distrik 9.
Langit gelap dengan cahaya kuning yang masih tersisa di ujung barat membimbing langkah Minhyuk untuk pulang dengan pikiran yang berkecamuk setelah sebelumnya mendengar pernyataan dari Kihyun tentang Changkyun yang berasal dari Distrik 7.
Pikiran Minhyuk tak bisa tenang, mengingat Distrik 7 menjadi Distrik yang terlarang bagi mereka meski peraturan itu di buat oleh Kihyun sendiri. Namun desas-desus mengerikan tentang tempat itu yang selama ini di dengar oleh Minhyuk, cukup untuk membuatnya berpikir beberapa kali hingga memutuskan apakah Changkyun berbahaya untuk mereka atau tidak.
"Kau sudah kehilangan kewarasanmu!"
Batin Minhyuk tersentak dan sempat membuat langkah kakinya terhenti ketika terdengar suara berat dan lantang seorang pria dari dalam rumah yang ia tinggali. Mengingat bahwa Hyungwon telah kembali lebih dulu, Minhyuk lantas berlari masuk ke dalam rumah dan menemukan Hyunjae yang tengah berdiri berhadapan dengan Hyungwon. Pemuda yang tertunduk seakan tengah menyembunyikan sesuatu di wajahnya.
"Bisa-bisanya kau melakukan hal ini? Kau tidak tahu jika kau sudah membahayakan keselamatan Ibumu!" hardik Hyunjae kembali setelah mengetahui bahwa istrinya juga ikut dalam rombongan.
Minhyuk berjalan mendekati keduanya. Memberanikan diri, ia pun mencoba menengahi pertikaian antara anak dan ayah itu. "Paman, apa yang terjadi?"
Tatapan penuh kemarahan Hyunjae jatuh pada Minhyuk. "Pergilah, ini bukan urusanmu." Terkesan mengabaikan, Hyunjae dengan cepat kembali memandang putranya yang sama sekali tak memberikan perlawanan.
"Berhenti membuat Ayahmu kecewa. Kau kira dengan cara seperti ini, kau bisa memperbaiki keadaan? Berhenti bermain-main dengan para berandal itu!"
Minhyuk tentu saja terkejut akan perkataan Hyunjae, karena yang di maksud berandal oleh Kepala Distrik itu tidak lain adalah dirinya dan juga teman-temannya.
"Berhenti membuat Ayah marah sebelum kau benar-benar akan menyesali semua perbuatanmu."
Hyungwon mengangkat wajahnya. Menatap nyalang sang ayah dan berucap, "aku benci Ayah, aku malu menjadi anak Ayah. Aku malu!" Hyungwon membentak di kalimat terakhirnya.
"Kau!"
Dengan ringannya tangan Hyunjae kembali terangkat ke udara. Minhyuk yang terkejut lantas refleks berpindah ke depan Hyungwon dan membuat dirinyalah yang mendapatkan pukulan keras dari Hyunjae, menggantikan Hyungwon yang tampak terkejut dengan hal itu.
Tangan Minhyuk terkepal ketika pipinya terasa panas dan mati rasa di waktu yang bersamaan.
"Apa yang sedang kau lakukan, Lee Minhyuk? Minggir dari sana ... kau tidak perlu membela anak ini."
"Ini salahku," gumam Minhyuk yang kemudian mengangkat wajahnya. Memperlihatkan darah yang keluar dari luka yang baru saja ia dapatkan di sudut bibirnya. "Aku ... yang menyuruh Bibi untuk pergi dari rumah."
"Bohong!" sahut Hyungwon dengan cepat, menyadari bahwa Minhyuk tengah mencoba untuk melindunginya. "Aku, aku yang menyuruh Ibu untuk pergi. Aku tidak ingin Ibu tinggal bersama orang seperti Ayah ... itulah sebabnya aku menyuruh Ibu untuk pergi."
Minhyuk memberikan tatapan peringatan pada Hyungwon, namun sepertinya Hyungwon tak mengharapkan pertolongan dari siapapun. Dan hal itulah yang membuat Hyunjae semakin geram. Merasa di permainkan oleh para pemuda Distrik itu.
"Kau memang harus di pukul agar bisa berpikir dengan baik." Hyunjae berjalan menuju kamarnya.
Saat itu Minhyuk segera berbalik menghadap Hyungwon dan memegang kedua bahu pemuda itu. "Pergilah dari sini dan sembunyi. Biar aku yang berbicara dengan Paman."
"Ini bukan urusan Hyeong. Pergilah ... Hyeong tidak perlu terlibat."
"Hyungwon ... aku mohon jangan seperti ini. Pergilah sekarang sebelum Paman kembali, pergilah ke rumah Hyunwoo Hyeong atau Jooheon. Pergilah sekarang juga."
"Kemari kau, pembakang!" Suara Hyunjae terdengar menggema di dalam ruangan. Pria itu keluar dengan membawa sebuah rotan di tangannya dan kembali menghampiri kedua pemuda itu.
Hyungwon hendak berjalan menghampiri ayahnya, namun langkahnya sempat terhenti saat Minhyuk menahan lengannya sembari menggeleng. Tak mempedulikan hal itu, Hyungwon menepis tangan Minhyuk dan berjalan menghampiri ayahnya sembari melepaskan kaos hitam yang ia kenakan.
Anak dan ayah itu kemudian berdiri berhadapan. Hyunjae lantas berucap dengan suara yang masih sama seperti sebelumnya, "berhenti melawan Ayahmu sendiri."
"Ibu tidak ada ... Ayah bisa membunuhku sekarang," pernyataan menantang yang berhasil mengejutkan Minhyuk.
Hyungwon menjatuhkan kaosnya di lantai, di susul oleh kedua lututnya yang bertemu dengan lantai dan juga wajah yang menunduk dalam.
Hyunjae merasa semakin geram. Pria itu lantas beralih ke balik punggung Hyungwon dan segera mendaratkan satu pukulan keras menggunakan rotan pada punggung putranya yang sempat tersentak.
"Bocah kurang ajar! Tidak tahu berbalas budi! Inikah caramu membalas budi pada Ayahmu!"
Di pukulan kedua Hyunjae. Minhyuk segera berlari dan menahan rotan di tangan pria itu. "Paman ... aku mohon jangan seperti ini. Hyungwon tidak bersalah, Paman tidak perlu melakukan hal ini."
"Menyingkirlah dari sini, kau harusnya tahu di mana tempatmu berada!" sarkas Hyunjae yang berhasil melukai hati Minhyuk.
Tangan Minhyuk di tepis oleh pria itu yang kembali memberikan pukulan pada punggung Hyungwon dan kemudian meninggalkan bekas kemerahan. Minhyuk lantas berlutut dan memegang kaki Hyunjae untuk memohon pengampunan pada pamannya itu.
"Hukum aku saja. Paman bisa menghukum ku ... hukum aku saja, aku yang bersalah. Aku yang sudah menyuruh Bibi untuk pergi..."
Hyunjae tak mempedulikan Minhyuk dan terus memukul punggung Hyungwon tanpa ada rasa khawatir akan keadaan putranya setelah ini ketika akal sehatnya sudah di kuasai oleh kemarahan. Sedangkan Hyungwon menggenggam tangannya sendiri guna menahan rasa sakit yang terus di berikan oleh ayahnya pada punggungnya. Matanya terpejam, merasa enggan untuk melihat apapun meski yang berada di hadapannya hanyalah lantai dingin yang bahkan tak mampu mengurangi rasa sakitnya.
Merasa semua yang ia lakukan tak berhasil, Minhyuk lantas memeluk Hyungwon dari belakang. Berusaha melindungi pemuda itu dengan mengorbankan punggungnya yang menggantikan punggung Hyunwon untuk menerima kemarahan dari Hyunjae.
Minhyuk memeluk Hyungwon dengan erat ketika rotan itu terus menghantam punggungnya yang berlapis kaos serta jaket yang bahkan tak memberi efek pada pukulan yang ia terima. Sedangkan pemuda yang berusaha ia lindungi tengah menangis dalam diam dengan kepala yang semakin menunduk. Tubuhnya sakit, namun itu tak sesakit hatinya saat ini. Dan hingga rotan itu terjatuh ke lantai, tak ada yang mampu menyembuhkan rasa sakit yang terlanjur menggerogoti hati pemuda yang bahkan tak pernah berani mengungkapkan apa yang benar-benar ia inginkan.
Selesai di tulis : 27.03.2020
Di publikasikan : 31.03.2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro