Lembar 26.
Menjelang sore hari, ketujuh pemuda itu tengah duduk bersantai di belakang bangunan kosong Distrik 9 dengan candaan ringan yang sempat terlontar dari mulut mereka. Namun suasana menjadi tidak bersahabat karena kedatangan ayah Hyungwon bersama beberapa tetua Distrik 9.
"Chae Hyungwon," panggil Hyunjae dengan suara yang tenang namun tak menghilangkan ketegasannya.
Bukan hanya Hyungwon yang berdiri, melainkan juga Minhyuk. Namun hanya Hyungwon lah yang datang menghampiri ayahnya dengan kepala yang sedikit menunduk.
"Lancang sekali kau!" ucap Hyunjae penuh penekanan dengan amarah yang tertahan.
Namun, suara Hyungwon tiba-tiba meninggi. "Kenapa?"
Satu pukulan keras mendarat di wajah Hyungwon, membuat semua orang terkejut dan serempak berdiri. Hyungwon mengerjap tak percaya ketika seumur hidupnya baru kali ini ayahnya itu memukulnya, dan rasanya benar-benar sakit.
"Kau tahu di mana letak kesalahanmu? Jangan pernah menemui Ayah sebelum kau mengakui kesalahanmu!"
Hyunjae beserta tetua Distrik yang datang bersamanya pun pergi, meninggalkan para pemuda itu dalam suasana yang canggung. Tak berniat untuk memperlihatkan wajahnya yang kacau kepada rekan-rekannya, Hyungwon lantas pergi begitu saja tanpa ada seorang pun yang berani menegur.
Minhyuk yang merasa khawatir pun sejenak mengarahkan pandangannya kepada rekan-rekannya. "Sampai jumpa besok," ucapnya singkat yang kemudian bergegas menyusul kepergian Hyungwon yang berjalan dengan terburu-buru.
"Apa tidak apa-apa membiarkan dia pergi seperti ini?" ucap Jooheon dengan sedikit canggung.
Hyunwoo menyahut, "ada Minhyuk bersamanya."
"Sepertinya ini akan menjadi awal yang buruk," gumam Hoseok yang lantas sekilas menjatuhkan pandangannya.
Tak banyak yang bisa mereka lakukan, karena Hyungwon sudah memutuskan meski orang-orang di sekitarnya telah memperingatkannya akan kemarahan sang ayah jika ia sampai terlibat.
Setelah insiden tak menyenangkan sore itu, mereka memutuskan untuk kembali ke rumah masing-masing. Namun saat mereka kembali memasuki pemukiman, mereka di buat heran oleh para penduduk yang tampak mengerumuni sesuatu.
"Ada apa di sana?"
Mereka pun bergegas menghampiri kerumunan penduduk. Berusaha membelah kerumunan untuk melihat apa yang terjadi ketika pendengaran mereka menangkap tangisan seorang wanita.
"Putraku... Kenapa jadi begini?"
Hyunwoo berhasil memecah kerumunan di susul oleh Hoseok di belakangnya. Keduanya terkejut ketika melihat seorang wanita memeluk tubuh pemuda yang terbaring lemas di halaman rumah.
"Ada apa?"
Keduanya menyingkir, memberikan ruang bagi yang termuda. Reaksi yang sama juga di tunjukkan oleh ketiga saudara termuda sebelum Hyunwoo menegur salah satu pria di dekatnya.
"Paman, apa yang sebenarnya terjadi?" Pandangan adik-adiknya langsung mengarah pada pria yang baru saja ia tanyai.
"Anak Bibi itu sudah menghilang selama satu bulan, dan tadi ada orang yang menemukannya di pinggir hutan dalam keadaan tidak bernyawa," jelas paman tersebut yang mengundang rasa heran dari kelima pemuda yang sejenak saling bertukar pandang itu.
"Kasian sekali," gumam Jooheon menatap iba.
Kihyun menghela napas dengan pelan ketika melihat tangan pucat yang terkulai lemas milik pemuda malang itu, namun sesuatu berhasil menyentak batinnya. Tepat saat wanita itu menarik tubuh jasad putranya, bagian punggung baju yang di kenakan pemuda itu robek dan sedikit tersingkap, membuat tatapan Kihyun menajam ketika ia yang sekilas menangkap sesuatu yang janggal di punggung pemuda itu.
Meninggalkan teman-temannya, Kihyun berjalan mendekati wanita yang masih mendekap tubuh putranya tersebut sembari menangis.
"Hyeong, kau ingin kemana?"
Tak mendengarkan teguran dari Jooheon, perlahan Kihyun menjatuhkan satu lututnya di depan wanita itu. Dengan ragu tangannya terangkat untuk menyentuh bahu dari jasad pemuda itu.
"Bibi, izinkan aku melihatnya sebentar," ucap Kihyun yang dengan hati-hati menyingkap pakaian yang di kenakan oleh pemuda itu.
"Apa yang ingin dia lakukan?" tanya Hoseok, namun saat itu netra Changkyun sedikit melebar ketika ia melihat apa yang tengah di lakukan oleh Kihyun.
Perlahan namun pasti, pakaian yang menutupi punggung jasad pemuda itu terangkat oleh tangan Kihyun. Di detik setelahnya, netra Kihyun membulat ketika ia mendapati luka bakar yang sama pada punggung pemuda itu dengan luka bakar yang berada di punggung Changkyun.
Kihyun menyingkap lebih tinggi dan di sanalah tercetak angka 175 yang seketika membuat semua orang yang melihatnya tampak terkejut.
"Apa itu yang ada di punggungnya?"
"Benar, apa itu?"
"Si-siapa yang membuat punggungnya seperti itu?"
Tangan Kihyun yang sebelumnya menyingkap pakaian pemuda itu sedikit gemetar. Dengan gerakan yang lambat ia kembali menurunkan pakaian pemuda itu dan segera mengarahkan pandangannya pada Changkyun. Namun saat itu pula Changkyun justru berpaling dengan raut wajah yang bingung sebelum berbalik dan berjalan meninggalkan kerumunan. Terlihat seperti orang yang ingin melarikan diri ketika ketiga rekan yang berada di sampingnya tidak menyadari bahwa dia telah meninggalkan tempat itu.
Kihyun segera beranjak dan kembali menghampiri rekan-rekannya. "Apa yang terjadi?" tegur Hyunwoo.
Tak bermaksud untuk menjawab teguran tersebut. Kihyun justru melewati mereka begitu saja dan membuat ketiga rekannya menatap aneh punggungnya yang menghilang di antara kerumunan orang-orang.
"Ada apa dengannya?" gumam Jooheon.
"Di mana Changkyun?" Mereka saling bertukar pandang setelah baru menyadari bahwa Changkyun juga tidak ada.
Dahi Jooheon mengernyit, merasa ada hal yang aneh kala itu. "Kihyun Hyeong terlihat sangat marah, apa ada hubungannya dengan anak itu?" Jooheon menjatuhkan pandangannya pada pemuda malang yang menarik perhatian semua orang di sana.
Di sisi lain, Kihyun dengan langkah lebarnya mencoba menyusul Changkyun yang masih bisa di jangkau oleh pandangannya. Rahangnya mengeras, menunjukkan bahwa dia tengah marah. Seperti dugaan Jooheon sebelumnya.
"Im Changkyun, berhenti di tempatmu sekarang juga!" Satu peringatan datang dengan cukup lantang, namun tak ada tanda-tanda bahwa Changkyun akan menghentikan langkahnya.
Kihyun lantas membentak, "Im Changkyun! Kau tidak mendengarku?"
Changkyun sekilas menolehkan kepalanya dan justru semakin mempercepat langkahnya. Tepat setelah melewati tikungan, pemuda itu lantas berlari dengan cepat. Membuat langkah Kihyun terhenti ketika pandangannya tak mampu lagi menemukan keberadaan adik angkatnya itu.
"Kau berhutang penjelasan padaku," gumam Kihyun dengan suara yang tegas sebelum mengambil jalan lain, memutuskan untuk menunggu Changkyun di rumah.
Kegelapan yang kembali menyelimuti Distrik, pertanda bahwa malam kembali menaungi seluruh kehidupan. Minhyuk duduk di depan pintu rumah, menunggu kedatangan Hyungwon yang tak kunjung pulang sejak insiden sore tadi.
Setelah mendapatkan penolak dari Hyungwon sore tadi, Minhyuk memutuskan untuk menunggu di rumah. Namun hingga detik ini tak ada kabar dari Hyungwon dan tentu saja itu memicu kekhawatirannya.
Dari kegelapan sebuah siluet datang, Minhyuk segera berdiri ketika menyadari bahwa itu adalah Hyungwon. Tak sabar jika harus menunggu sampai Hyungwon tiba di tempatnya, Minhyuk segera menghampiri Hyungwon.
"Kau dari mana saja?"
Sekilas memandang tanpa minat, Hyungwon tetap melanjutkan langkahnya menuju rumah dengan Minhyuk yang mengekor di belakangnya.
"Hyungwon, kau baik-baik saja?"
Hyungwon tetap berdiam diri bahkan sampai ia terduduk di tepi ranjangnya, di susul oleh Minhyuk yang duduk di sampingnya dengan wajah yang terlampau khawatir.
"Kau dari mana saja?"
Hyungwon mengangkat pandangannya dan memandang kakak sepupunya itu. "Di mana Ayah?"
"Paman belum pulang, kau membuatku khawatir."
Hyungwon menjatuhkan pandangannya, tatapan yang semakin sayu itu membuat wajah pucatnya semakin terlihat menyedihkan. Tangan pemuda sejenak memainkan bunga yang hampir setiap waktu berada di tangannya dan hal itulah yang kemudian menarik perhatian Minhyuk.
"Aku sudah sering memperingatkan, bunga itu tidak baik untuk kesehatanmu. Berhenti membawanya."
Minhyuk hendak mengambil bunga itu, namun Hyungwon menolak memberikannya dan menahan bunga itu di tangannya. Membuat pandangan Minhyuk mengarah pada wajahnya yang tak menunjukkan perubahan apapun.
"Kau terlihat seperti orang sakit, dan itu karena bunga ini. Buang saja! Kau bisa melihatnya setiap hari tanpa harus membawanya kemanapun kau pergi."
"Aku baik-baik saja," gumam Hyungwon.
Minhyuk menarik tangannya dan kembali berujar masih dengan suara yang lembut, "kau membuatku takut. Aku akan mencarikan bunga yang lebih bagus dari pada ini ... mulai sekarang jangan pernah menyentuh bunga ini lagi."
Hyungwon tak menjawab dan itu berarti sebuah penolakan ketika ia masih menahan bunga itu di tangannya. Minhyuk lantas memeluk bahu Hyungwon dan menaruh dagunya pada bahu pemuda itu.
Minhyuk lantas bergumam, "jangan pernah berpikir untuk meninggalkanku, jangan pernah melakukannya."
Malam yang begitu sunyi ketika yang terkasih telah terlepas dari jangkauan. Ketika semua mulai terlelap, kala itu satu jiwa tengah di landa pilu. Bersembunyi dalam kegelapan, Im Changkyun, terduduk di atas tanah yang dingin dengan ketakutan yang tiba-tiba kembali datang dan membelenggunya. Kepalanya yang menunduk dalam, mencoba menyembunyikan wajahnya, berharap bahwa seekor binatang kecil pun tak mampu mengenali wajahnya. Setidaknya hanya untuk malam itu.
Selesai di tulis : 20.03.2020
Di publikasikan : 23.03.2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro