Lembar 23.
Hari berganti. Pagi itu, sebelum matahari menepati janjinya yang akan kembali dari ujung timur. Para penduduk yang setuju untuk pergi, meninggalkan rumah mereka masing-masing dan menuju pintu masuk Distrik. Di mana di sana telah menanti Bus yang akan membawa mereka.
Hyungwon datang bersama ibunya dan langsung masuk ke dalam Bus yang sudah di sediakan, begitu pula dengan Jooheon yang masuk bersama kedua orangtuanya.
"Mereka juga pergi?" tanya Hyunwoo yang berdiri di samping Changkyun sedikit merasa bingung ketika dua rekannya ikut masuk ke dalam Bus.
"Mereka sudah menentukan," sahut Changkyun.
"Kau juga harus pergi." Kihyun meraih lengan Sohye di saat tangan kanannya membawa ransel milik Sohye. Keduanya berjalan masuk ke dalam Bus.
"Kihyun juga pergi?" Sedikit terkejut, Hyunwoo menjatuhkan tatapan menuntutnya pada Changkyun.
"Hanya mengantar."
Para penumpang menempati tempat duduk masing-masing. Kihyun sempat bertemu pandang dengan Hyungwon dan juga Jooheon yang duduk di bagian belakang bersama dengan keluarga masing-masing sebelum menempati tempat duduknya bersama dengan Sohye.
Hoseok yang saat itu baru saja selesai berbicara dengan ibunya, sejenak memandang ketiga rekannya sebelum turun dari Bus. Sejenak kebisingan mulai melanda dan di dominan oleh pembicaraan para tetua. Namun waktu yang terus berjalan semakin menimbulkan kegelisahan di hati Sohye.
Gadis itu meraih telapak tangan Kihyun dan menggenggamnya menggunakan kedua tangannya, menyampaikan kekhawatiran yang tak mungkin ia ucapkan dengan lisan lagi. Menyadari kekhawatiran gadis itu, Kihyun lantas membalas genggaman tangan tersebut.
"Tunggu aku di sana sampai aku datang menjemputmu," gumam Kihyun, memulai kembali pembicaraan di antara keduanya.
Sohye menyandarkan kepalanya pada pundak Kihyun dan lantas bergumam, "aku membencimu."
Kihyun menggeleng. "Tidak, jangan lakukan itu."
Sohye menegakkan kembali kepalanya dan menatap wajah Kihyun. "Pergilah bersamaku."
Kihyun bungkam, seakan perdebatan semalam belum cukup, Sohye menginginkan kembali sebuah perdebatan di hadapan banyak orang. Dan tanpa mereka sadari bahwa sedari tadi Hyungwon tengah memperhatikan mereka.
"Kita sudah membahasnya semalam. Pegang kata-kataku, akan ku pastikan aku datang untuk menjemputmu."
"Kita akan berangkat sekarang!" lantang ayah Hoseok yang langsung menuju ke bagian kemudi.
Kihyun menghadap Sohye dan mengangkat telapak tangan gadis itu, memberikan kecupan singkat pada telapak tangan serta kening secara terburu-buru.
"Tunggulah aku di sana."
"Kau harus menepati janjimu."
Kihyun mengangguk dan memberikan seulas senyum perpisahan. "Selamat tinggal."
Langkah pertama yang ia ambil membuat tautan tangan keduanya terlepas dengan tak relanya. Sohye menolak, gadis itu menolak perpisahan namun kakinya tak lagi sanggup untuk mengejar Kihyun dan hanya berdiam diri dengan rasa sesak yang kembali menghujam dadanya ketika pandangannya menangkap sosok pemuda yang ia cintai keluar dari Bus.
Di bangku bagian belakang. Hyungwon yang sedari tadi berdiam diri lantas memegang tangan sang ibu yang sedari tadi menahan lengannya. Pandangan keduanya di pertemukan.
"Aku akan menjaga Ayah di sini, jaga kesehatan Ibu." Hyungwon lantas menurunkan tangan sang ibu dan segera beranjak dari duduknya.
"Hyungwon..."
Hyungwon sejenak berhenti ketika sampai di bangku Sohye. Pemuda itu sedikit menunduk dan mengejutkan Sohye yang saat itu hampir menangis ketika ia meletakkan satu tangkai bunga ke pangkuan gadis itu.
"Tolong jaga Ibuku." Hanya perkataan singkat sebelum ia berlalu. Sejenak berhenti ketika berada di ambang pintu untuk sejenak memandang sang ibu yang tengah menangis tanpa suara sebelum benar-benar menghilang dari pandangan sang ibu tanpa memberikan sedikitpun kenangan sebelum berpisah.
Tersisa Jooheon yang sedari tadi tak berkutik ketika ayah dan ibunya duduk mengapitnya. Namun kepanikan tiba-tiba melanda pemuda itu.
"Ayah, Ibu. Aku tidak bisa menikahi gadis Jeolla."
"Kenapa? Kenapa kau berkata seperti itu?"
"Aku tidak ingin menjadi pecundang, hiduplah dengan damai di sana."
Jooheon beranjak dari duduknya dan segera berlari ke depan, melarikan diri dari sang ibu yang meneriakinya.
"Ya! Lee Jooheon! Kembali, kau!"
"Paman, jalankan Busnya!" teriak Jooheon sebelum melompat dari Bus dan membiarkan orang di dalam Bus yang menutup pintu bersamaan dengan Bus yang berjalan.
Sohye merapat ke jendela, membalas lambaian tangan Kihyun yang mengantarkannya dengan seulas senyum. Begitupun dengan Jooheon yang melambai dengan semangat dan juga senyum yang lebar meski ia melihat bahwa ibunya tengah mengamuk di dalam Bus.
"Jaga diri kalian baik-baik. Jika kita bertemu lagi, berikan aku makanan yang enak..." lantang pemuda bermata sipit itu hingga helaan napas keluar dari mulutnya.
"Kau melakukan hal yang benar Lee Jooheon, tidak ada yang perlu di sesali. Maafkan aku, Ibu. Hari ini untuk pertama kalinya aku membohongimu," monolog si sipit yang kemudian berbalik menghampiri rekan-rekannya.
"Aku pikir kalian juga akan pergi," tegur Hoseok yang lebih di tujukan pada Jooheon dan juga Hyungwon. "Tapi di mana Minhyuk? Aku tidak melihatnya sejak tadi."
Jooheon kembali menatap ke arah Bus pergi sebelumnya. "Tidak mungkin, kan, jika orang itu ikut dengan rombongan?"
Semua orang lantas memandang Hyungwon, namun yang di pandang justru berpaling. Berjalan kembali ke Distrik tanpa mengatakan apapun.
"Pergilah ke Bukit terlarang," tegur Kihyun dan sempat menghentikan langkah Hyungwon. "Setelah kau bertemu dengan Minhyuk," lanjutnya.
Hyungwon kembali melangkahkan kakinya tanpa menoleh sedikitpun dan mengundang keprihatinan dari Hoseok.
"Dia pasti sudah membohongi Bibi Yoona sebelumnya."
Jooheon menyahut, "aku lihat, Bibi Yoona menangis di dalam Bus."
"Anak itu," gumam Kihyun dan perhatian mereka teralihkan oleh cahaya kekuningan yang mulai mengusir kegelapan di saat sang Surya telah kembali memenuhi janjinya.
"Kita tunggu mereka di Bukit terlarang."
Kembali ke rumahnya, Hyungwon segera masuk ke dalam rumah dan berjalan menuju kamarnya. Namun sejenak langkahnya terhenti di depan pintu kamarnya sebelum tangannya yang membuka pintu secara perlahan.
Langkah pelan itu lantas memasuki ruangan di mana ia menemukan Minhyuk yang terduduk di lantai dengan kedua lutut yang sedikit terangkat ke atas dan juga kepala yang menunduk. Hyungwon berjalan mendekat dan semakin jelas tertangkap oleh pandangan pemuda itu, bahu Minhyuk yang sedikit berguncang.
Pemuda itu menangis, menangis tanpa suara. Itulah yang tertangkap oleh akal Hyungwon saat ini hingga langkahnya terhenti tepat di hadapan Minhyuk yang masih belum menyadari kehadirannya. Ia kemudian duduk bersila di hadapan Minhyuk. Perlahan tangan kirinya terangkat dan menyentuh punggung tangan Minhyuk yang menopang pada lutut.
Seketika itu guncangan pelan pada bahu Minhyuk berhenti. Pemuda itu perlahan mengangkat wajahnya dan terlihat terkejut ketika mendapati Hyungwon berada di hadapannya.
Hyungwon lantas berucap, "aku belum mati, kenapa Hyeongnim menangisiku?"
Minhyuk kembali menunduk dan menaruh kedua telapak tangannya di kening agar lengannya mampu menutupi wajahnya yang kembali menangis. Dia pikir Hyungwon benar-benar meninggalkannya setelah pembicaraan terakhir mereka semalam, itulah alasan kenapa ia menangis pagi itu. Karena meskipun ia merupakan si ahli strategi yang selalu bersikap dewasa, nyatanya ia tidak siap jika harus kehilangan Hyungwon. Karena di dunia ini, dia menganggap bahwa dia hanya memiliki Chae Hyungwon seorang.
Isakan itu perlahan mulai terdengar. Namun berbanding terbalik dengan keadaan Minhyuk, saat itu seulas senyum lebar terlihat menghiasi wajah pucat Hyungwon.
"Maaf."
Selesai di tulis : 16.03.2020
Di publikasikan : 19.03.2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro