Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Lembar 15

    Setelah langit benar-benar menggelap. Minhyuk dan juga Kihyun turun bukit dan kembali ke rumah masing-masing. Sekilas melihat rumah Sohye ketika berjalan menyusuri halaman, Kihyun memutuskan untuk pulang ke rumahnya terlebih dulu. Berjalan ke dapur, ia yang menemukan Changkyun duduk di dekat meja makan pun lantas menghampiri pemuda itu.

    "Kau sudah makan?"

    Changkyun mengangguk. "Sohye menyisihkan makanan untuk Hyeongnim, sebaiknya Hyeongnim makan dulu."

    Kihyun sempat melihat tudung makanan yang terdapat di atas meja sebelum ia duduk berhadapan dengan Changkyun.

    "Di mana dia sekarang?"

    "Dia sudah pulang ke rumahnya."

    Kihyun membuka tudung di hadapannya dan mengambil jatah makan malamnya. Dan lagi-lagi perasaan sunyi itu kembali menghampirinya setiap kali ia makan di meja makan. Dulu, ruangan itu selalu ramai meski ayah mereka jarang ikut makan bersama mereka. Namun setidaknya tidak akan sesepi sekarang.

    "Hyeongnim dari mana?"

    Kihyun sedikit tersentak ketika suara Changkyun berhasil mengacaukan lamunannya. Dengan sendok yang tertahan di piringnya, dia memandang adik angkatnya tersebut. "Bukit terlarang."

    "Distrik 8 sudah jatuh."

    "Aku sudah mendengarnya dari Minhyuk." Kihyun kembali menyuapkan makanan ke dalam mulutnya.

    "Mereka semakin dekat, apa tidak sebaiknya kita pergi saja dari sini?"

    Pergerakan Kihyun terhenti, dia menaruh sendok di tangannya dan menaruh perhatiannya pada Changkyun. "Kau takut?"

    Changkyun terdiam, tak mengingkari bahwa dia takut. Namun ketakutan yang ia rasakan sangat berbeda dengan ketakutan yang mungkin saat ini tengah di pikirkan oleh Kihyun.

    Kihyun lantas berucap, "kakekku adalah seorang Kepala Distrik, begitupun dengan ayahku. Mereka adalah orang yang paling di segani di Distrik dan sampai akhir hidup mereka, mereka pun tetap melindungi Distrik. Aku... Meski aku bukan siapa-siapa, aku ingin melakukan tugas ini dengan baik. Distrik 9 adalah rumahku dan semua yang ada di sini adalah keluargaku. Aku tidak bisa pergi begitu saja."

    "Maaf."

    "Katakan kesalahanmu,"

    Changkyun memandang Kihyun.

    "setidaknya sebutkan satu kesalahanmu sehingga aku memiliki alasan untuk memaafkanmu."

    Changkyun bungkam, namun Kihyun justru mengulas senyumnya. "Aku akan melihat Sohye." Dia bangkit dari duduknya.

    "Makanan Hyeongnim belum habis."

    "Jika kau mau habiskan saja, aku sudah kenyang." Kihyun beranjak pergi dan Changkyun pun meraih piring di atas meja. Menghabiskan makanan milik Kihyun karena mereka tidak boleh menyia-nyiakan makanan, namun tetap saja kakaknya itu sering tidak menghabiskan makanannya.

    Kihyun beralih ke rumah Sohye untuk melihat keadaan gadis itu. Tanpa permisi terlebih dulu, Kihyun segera masuk ke dalam rumah dan membuka pintu kamar Sohye dengan pelan.

    "Sudah kembali?" tegur Sohye.

    "Kau sedang apa?"

    "Merapikan pakaian."

    Kihyun lantas duduk di tepi ranjang, berhadapan dengan Sohye, memperhatikan wajah Sohye yang saat itu tengah sibuk merapikan pakaian di hadapannya. Tangan kiri Kihyun kemudian terangkat, menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah Sohye dan sempat membuat gadis itu tersentak sebelum telapak tangannya yang beralih menangkup wajah cantik itu.

    "Ada apa?"

    Kihyun menggeleng dan beralih menggenggam tangan Sohye. "Jika aku menjadi pecundang, masih bisakah kau menerimaku?"

    "Apa yang sedang Oppa bicarakan?"

    "Aku hanya bertanya, jawab saja."

    "Tergantung bagaimana caramu menjadi seorang pecundang."

    Senyum Kihyun melebar sebelum tawa ringan itu keluar dan membuat beberapa kerutan tercetak di wajahnya.

    "Apanya yang lucu?"

    "Kau sangat lucu."

    Sohye mengerucutkan bibirnya, sedikit merasa kesal dengan jawaban Kihyun.

    "Malam ini, bolehkan jika aku tidur di sini?"

    "Apa?"

    Malam yang semakin larut, Kihyun dan Sohye sama-sama berbaring di kedua sisi ranjang yang berbeda dalam posisi berhadapan, memberi jarak di antara keduanya. Namun sudah lebih dari tiga puluh menit mereka berdiam diri dan tetap terjaga tanpa ada tanda-tanda bahwa salah satu dari mereka akan tidur.

    "Kenapa belum tidur?" suara Kihyun menyusup dalam kesunyian yang sempat menyergap keduanya.

    "Oppa sendiri, kenapa belum tidur?"

    "Aku sedang melihatmu."

    "Kita bertemu setiap hari."

    Kihyun menggeleng. "Aku sedang mencoba mengingat wajahmu, sangat sulit mengingat wajahmu dengan mata tertutup."

    Hening. Tak ada kata yang terucap setelahnya dan hanya memperlihatkan tatapan teduh yang bahkan tak bisa di mengerti oleh gadis muda di hadapannya itu. Kihyun lantas bergerak mendekat, memutus jarak di antara keduanya. Ia menyusupkan lengannya di bawah kepala Sohye dan menarik lembut gadis itu agar mendekat padanya.

    Sohye mendongak dan bertatap muka dengan Kihyun. "Sudah bisa mengingatku sekarang?"

    Kihyun tersenyum, membimbing tangannya menyusuri wajah Sohye yang memejamkan matanya ketika jemari Kihyun menyentuh kelopak mata gadis itu dan berhenti pada rahangnya.

    "Aku..."

    Mata Sohye terbuka untuk kembali memandang tatapan teduh penuh luka itu.

    "aku ingin menjadi seperti kakek dan ayahku."

    Sempat terdiam, Sohye kemudian memeluk Kihyun. Memutus kontak mata di antara keduanya.

    "Jika seandainya aku melakukan hal yang salah nantinya, bersediakah kau memberi maaf padaku?"

    Tak ada jawaban ataupun respon lain yang di berikan oleh Sohye.

    "Sohye."

    Sohye segera mendongak. "Ayo kita menikah."

    Wajah Kihyun tampak datar, tak menunjukkan perasaan apapun meski ia sedikit terkejut akan ajakan Sohye. Gadis itu kemudian mencengkram pakaian yang ia kenakan dengan lembut.

    "Kenapa kau mengatakan hal itu?"

    "Jika aku tidak mengatakannya, selamanya Oppa juga tidak akan mengatakannya terlebih dulu. Jadi, ayo kita menikah."

    Kihyun memutus kontak mata, mengarahkan pandangannya ke tempat lain di saat ia yang belum bisa menerima ajakan dari sang kekasih.

    "Kau tidak akan menikahiku?" sebuah perkataan yang lebih menuntut dan memaksa Kihyun untuk kembali menjatuhkan pandangannya.

    "Aku akan menikahimu, tapi tidak dengan cara seperti ini... Aku akan menikahimu ketika aku yang mengatakannya sendiri padamu."

    "Tapi kapan?"

    "Tidak sekarang atau dalam waktu dekat. Aku akan mengatakannya jika memang sudah saatnya."

    "Kau tidak pernah memiliki niatan untuk serius denganku." Sohye berbalik memunggungi Kihyun dan segera memejamkan matanya.

    Kihyun menghela nafas beratnya dengan pelan hingga kerutan itu kembali di wajahnya ketika ia melihat punggung Sohye yang saat ini mungkin sedang marah padanya. Namun dia memiliki alasan kuat untuk menolak pernikahan saat ini. Keadaan benar-benar tidak memungkinkan.

    Tak berani lagi mengusik Sohye. Kihyun sejenak menjatuhkan telapak tangannya pada punggung gadis itu. "Selamat malam." kata pengantar tidur yang kemudian membawa tangannya kembali menjauh.

    Pemuda itu lantas memejamkan matanya, membawa kekhawatirannya akan apa yang di hadapkan padanya esok hari ke dalam mimpinya. Akankah Distrik 9 jatuh ke tangan Militer ketika ia membuka mata pada esok hari. Sebuah kekhawatiran yang terus membayanginya di setiap malam selama lebih dari tiga tahun lamanya.

    Bisakah ia mengambil peran yang pernah di mainkan oleh sang kakek dan juga ayahnya di masa lalu ketika bahkan saat ini ia yang tidak memiliki apapun selain hanya tekad dan keberanian. Apapun itu, melindungi Distrik telah menjadi sumpahnya sejak ia terlahir sebagai Yoo Kihyun.
























Selesai di tulis : 07.03.2020
Di publikasikan : 11.03.2020

   

   

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro