Prolog
Dia sedang berjalan di koridor rumah sakit setelah mendapatkan kenikmatan satu jam tidur di ruang istirahat dokter. Ini sudah lebih dari 24 jam dia berada di rumah sakit. Berlarian dari satu pasien ke pasien lain. Dia pikir menjadi residen bedah tidak akan separah ini. Tapi dia salah, lebih dari 50% kasus yang dia temui di rumah sakit ini membutuhkan tindakan bedah. Padahal tadinya dia berpikir residen penyakit dalamlah yang paling sibuk, karena mereka bahkan harus melakukan diagnosa menyeluruh sebelum diteruskan menjadi pasien dokter bedah.
Apa dia menyesal? Tidak. Dia yang meminta ini dari awal. Karena semua yang dia alami dalam hidupnya. Dia butuh tenggelam dalam sesuatu yang besar sehingga dia bisa melupakan traumanya sendiri.
"Bengong aja. Kopi?" Sudah ada Aryan yang tersenyum konyol disebelahnya.
"Yuk, butuh banget nih." Mereka berjalan beriringan menuju kafetaria di dalam rumah sakit.
Reyhani mengenal Aryan karena laki-laki itu adalah senior residen di rumah sakit ini. Semacam pembimbingnya dalam menjalani masa residensial. Bukan hanya Hani, tapi juga ada Tania. Mereka berdua memiliki Aryan sebagai mentor mereka dan juga Dokter Zainal sebagai Dokter Senior mereka yang mengawasi.
"Apa bisa kita minum kopi di luar? Saya benar-benar ingin hirup udara malam."
Aryan tertawa. "Capek banget kayaknya. Bukannya kamu sudah sempat tidur?" Mereka berjalan ke arah smoking area di dekat pintu IGD luar rumah sakit. Area itu kosong.
"Sudah tahun ketiga. Ya Tuhan, sebentar lagi." Hani menyeruput kopinya sambil duduk di bangku besi panjang disitu."Oh iya, ini tahun terakhir kamu Yan."
"Ya, dan sepertinya saya sudah terlalu terbiasa dengan semua jadwal gila ini."
"Kamu super beruntung karena Andaru sangat-sangat pengertian." Andaru adalah istri Aryan. Belahan jiwa, begitu kata Aryan padanya dulu.
"Terkadang saya juga pingin dia ngambek seperti anak kecil. Tapi Andaru adalah Andaru. Dia lebih kuat dari saya sedari dulu."
"Bersyukurlah yang banyak Yan." Hani tersenyum saja.
"Kamu sendiri, masa nggak ada siapapun?"
"Ada, saya punya hubungan khusus sama Aaron Bovie..mmm atau Littman."
Aryan tertawa. "Itu merek alat kesehatan, dasar sableng."
Mereka melihat satu sedan silver masuk ke area parkir IGD tergesa. Hani dan Aryan segera menghabiskan kopinya. Jaga-jaga, biasanya mereka akan dibutuhkan. Semoga saja tidak.
Seorang ibu keluar dari dalam mobil dengan panik sementara beberapa suster dan petugas security membantu ibu muda itu mengangkat pasien seorang anak kecil laki-laki berumur 10 tahun. Aryan dan Hani yang penasaran segera membuang sisa kopi mereka dan berjalan mendekat. Dokter Dina salah satu residen penyakit dalam dan Dokter Ari si dokter umum sudah menyambut pasien itu.
Reyhani mengernyit melihat wajah anak itu. Ya Tuhan, ini adalah salah satu pasien yang kemarin dia periksa dan diputuskan untuk dipulangkan dengan keluhan sakit perut biasa oleh Dokter Drajat sang dokter internist senior dan Dokter Dina. Hani dan Dina memang diajak Dokter Drajat visit rutin sebagai bagian dari salah satu proses pengajaran.
"Ada apa?" Hani bertanya.
"Muntah dan tidak sadarkan diri Dok." Ujar Dokter Dina yang masih memeriksa anak itu.
"Apa kamu sudah lab kemarin Din?" Aryan bertanya padanya.
"Dokter Drajat melarang, tapi saya tetap periksa untuk memastikan. Hasil lab keluar setelah anak ini pulang. Hanya peningkatan laktat dan amilase kecil. Saya pikir itu normal."
"Dia masih kecil, normal harusnya lebih rendah. Berapa banyak dia muntah?" Dahi Hani mengernyit karena detak jantung anak ini terlalu rendah. Stetoskopnya sudah ada di dada anak itu
"Banyak Dok, banyak sekali. Kasurnya basah semua itu kata Ibunya tadi."
"Apa warna muntahannya?"
"Ibunya bilang kehijauan." Dokter Dina mulai gugup.
Aryan juga sudah selesai memeriksa pasien kecil itu. "Bradikardia dan syok hipovolemik. Ke ruang trauma sekarang. Siapkan USG."
Dua perawat mendorong kasur itu menuju ruang trauma. Aryan sudah naik ke atas tempat tidur memberikan CPR pada anak laki-laki itu. Sementara Hani dan Dina berjalan di kanan kiri tempat tidur sambil setengah berlari.
"Dia membutuhkan oksigen, adrenalin IV dan satu liter garam. USG harus siap segera. Saya juga butuh hasil lab anak ini kemarin. Panggil Dokter Senior yang sedang berjaga ke ruang trauma segera." Hani berujar pada Dokter Ari.
Mereka bergerak cepat. Aryan sudah berhasil menstabilkan aliran nafas dan detak jantung pasien itu ketika mereka tiba di ruang trauma. Oksigen dan infus sudah terpasang. USG segera dilakukan pada pasien kecil itu.
Mata Hani tidak lepas dari layar monitor, dia sudah membaca cepat hasil lab pasien dan curiga atas sesuatu. "Stop-stop. Disitu." Jarinya menunjuk layar. "Arteri mesenterika superior."
Dokter Zainal si kepala bagian bedah baru tiba. "Ada apa?"
Aryan dan Dina menjelaskan riwayat pasien itu secara singkat. Lalu Hani menjabarkan kenapa dia mengambil kesimpulan itu di awal serta fakta pada gambaran yang ada di layar USG.
Dokter Zainal mengangguk. Dalam hatinya dia puas tapi dia tidak mau dokter-dokter residen ini besar kepala jadi dia menjaga ekspresi kagumnya.
"Ini kasus unik. Selamat, diagnosa kalian tepat. Sekarang siapkan ruang operasi dan hubungi orangtuanya. Aryan dan Hani boleh ikut." Dokter Senior itu berlalu.
***
Notes:
Dokter residen adalah dokter yang sedang menyelesaikan tahap pasca-sarjana setelah menjadi dokter umum untuk mengambil gelar dokter spesialis.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro