9. The Accident
Interaksi real pertama mereka. Kecelakaan itu... Enjoy!
***
Beberapa bulan selanjutnya
Akhirnya tahun-tahun residensialnya selesai. Dia sudah berhasil mendapat gelar yang dia cita-citakan. Saat ini dia sudah mendapatkan tawaran dari beberapa rumah sakit besar termasuk MG Hospital tempat Dokter Aryan dan Pamannya, Dokter Pram bekerja, dan dia sudah memilih salah satunya. Memang bukan MG, tapi rumah sakit ini benar-benar banyak membutuhkan tenaga ahli. Tawaran MG dia akan pikirkan nanti. Malam ini dia memutuskan untuk bertandang ke apartemen Tanan. Sebenernya dia lumayan lelah juga. Tapi dia merasakan firasat aneh. Semoga tidak terjadi apa-apa.
Seperti biasa laki-laki itu belum pulang. Tapi Hani memang memegang kunci apartemen itu hingga dia bisa menunggu didalam saja. Tidak berapa lama Tanan pulang dengan wajah seperti kebingungan.
"Han?" Ujar Tanan heran.
"Sa. Aku khawatir sama kamu karena telpon kamu tadi. Apalagi besok kamu mau jalan ke Bali acara kantor kamu itu. Ada apa sih sebenarnya?" Dia sedang duduk di sofa panjang.
Tanan lalu menyusul duduk saja, masih terlihat seperti kaget.
"Aku tadi bertemu dengan teman lamaku. Dan dia bilang kenyataan tentang tunanganku dulu. Tentang alasan kenapa kami berpisah. Terus kamu telpon aku untuk cek obat Mama tadi kan? Dan kamu bilang kamu ketemu dengan dia di rumah sakit tempat kamu praktek karena salah satu pegawai kantorku celaka sore ini. Iya kan?"
"Esa, cerita dulu yang jelas kenapa. Apa yang terjadi dulu? Kamu selama ini diam saja, aku juga nggak pernah tahu siapa tunangan kamu atau bagaimana rupanya. Apa benar dia perempuan yang tadi ketemu aku? Asha namanya."
Tanan sudah berdiri dan menarik tangan Hani masuk ke dalam kamarnya. Dia membuka penutup foto besar yang ada di lantai itu. Lalu, wajah cantik itu disana. Tersenyum menatap mereka.
"Apa dia yang kamu lihat Han?"
"Ya benar. Dia Asha yang tadi sore mampir ke rumah sakitku dan juga...yang dulu datang ke tempatmu Sa." Hani menatap Tanan masih tidak mengerti. "Ada apa sebenarnya Sa? Aku nggak ngerti."
"Ya Tuhan...dia salah paham denganmu Han." Tubuh Tanan sudah duduk di pinggir kasur kamarnya. Kedua tangannya sudah mengusap wajahnya perlahan.
"Salah paham?"
"Dia pikir kita berhubungan. Tidur bersama."
"Hah? Bagaimana dia bisa berpikir seperti itu? Itu konyol sekali."
Lalu Tanan duduk dan menceritakan segalanya pada Hani. Setelah mendengar kenyataan yang lucu sekali itu, wajah Hani juga ikut pucat. Dia menggeleng beberapa kali ingin memastikan bahwa ini bukan lelucon yang kejam juga.
"Maafkan aku Sa. Aku tidak berniat begitu."
Tanan tersenyum lirih. "Bukan salahmu."
"Kejar dia Sa. Kejar."
"Dia memilki hubungan istimewa saat ini dengan sahabatku Han, namanya Radit." Tanan menghela nafasnya berat.
"Apa mereka sudah menikah?"
"Belum."
"Lalu apa yang kamu lakukan sekarang. Kamu buang waktu. Ayo kejar sana Sa."
"Aku juga berpikir begitu. Tapi bagaimana jika tidak berhasil. Dia membenciku Han, sangat membenciku."
"Esa, kamu yang sedari dulu punya segudang filosofi hidup untukku. Sekarang aku nggak akan biarkan kamu nyerah sebelum berperang."
Tanan terkekeh juga melihat wajah Hani yang bersemangat sekali. "Aku siap-siap dulu. Tolong bantu aku menjelaskan padanya nanti Han."
Hani tersenyum lebar. "Pasti."
***
Malam itu dia baru saja selesai dari prakteknya. Sebenarnya dia diundang oleh Tania untuk makan malam bersama. Tapi dia terlalu lelah untuk menyetir kesana. Jadi dia memutuskan untuk pulang saja ke rumah Mama Diah. Entah kenapa dia rindu Mama-nya itu.
"Sudah makan Han?" Ujar wanita paruh baya itu ketika dia masuk ke dalam rumah.
"Belum Ma. Nanti saja. Aku benar-benar lelah." Dia belum sempat meletakkan tas kerjanya ketika ponselnya berbunyi. Jena, salah satu teman barunya.
"Ya Je, rencanamu berhasil?"
Jena diam disana. Seperti sedang menangis. Suara ambulans meraung memekakkan telinga.
"Han, Mahesa Han..." Suara Jena bergetar saja.
"Apa? Kenapa Esa?" Jantungnya berdebar keras sekali.
"Mahesa kecelakaan. Kita menuju MG hospital, yang terdekat."
Tubuhnya sendiri ambruk di lantai. Satu-satunya laki-laki yang dia sayang celaka. Ya Tuhan, apa ini mimpi. Air matanya sudah mengalir begitu saja.
"Hani, ada apa?" Mama Diah menghampirinya.
Dia menatap wanita yang perhatiannya melebihi ibunya sendiri itu. Dia tidak boleh begini, dia harus lebih kuat lagi. Jadi dia bangkit dan mengusap air matanya habis. Menangis, tidak akan menyelesaikan apapun. Itu yang hidup ajarkan padanya selama ini. Dia harus segera kesana. Saat ini, dia bisa membantu.
"Mama, siap-siap Ma. Kita harus ke rumah sakit."
"Ada apa?"
"Apa Mama percaya padaku?"
Mama Diah mengangguk bingung. "Semua akan baik-baik saja. Aku akan memastikan semuanya baik-baik saja." Hani memeluk kuat Mama dari Mahesa, kakak tirinya.
***
Waktu berlalu dengan cepat untuknya. Aryan yang kebetulan berjaga dan langsung menangani Tanan, disana juga ada Dokter Pram. Harusnya Tanan berada di tangan orang-orang hebat, harusnya dia tidak gelisah begini. Tapi tetap saja, ini rasanya sesak sekali. Dia sendiri sudah masuk ke area operasi, tapi Dokter Saras si pemilik rumah sakit tidak mengijinkannya untuk melakukan tindakan apapun. Ya, ini bukan tempat kerjanya. Juga, hubungan personal dia dengan pasien terlalu dekat.
"Sudah ada Aryan dan Pram. Mereka dokter handal. Kamu tenang dulu."
Hani mengangguk saja. Dia melarang keras dirinya untuk menangis. Dia kuat, harus kuat."Terimakasih Dok."
"Saya tinggal dulu Han. Sebaiknya tenangkan orang-orang diluar." Dokter Saras berlalu.
Dia menghirup nafas dua kali, lalu melangkah keluar ruang operasi. Sudah ada dua orang laki-laki yang menunggu dihadapannya. Juga Jena dan Asha. Ya, sekarang dia sudah mengenali wanita istimewa itu yang saat ini terlihat sangat syok sekali. Jena bilang kecelakaan itu terjadi tepat di depan mata Asha.
"Halo, saya Hani. Saudara tiri Mahesa." Dia mengulurkan tangannya. Berbicara pada dua orang laki-laki ini sepertinya pilihan yang lebih baik.
"Saya Galih, kakak dari Asha."
"Radit." Laki-laki itu menjabat tangannya sesaat. Wajahnya pucat sekali. Menurut cerita Jena, Tanan berusaha menyelamatkan Radit. Tebakannya, Radit sama syoknya seperti Asha sendiri. Tapi, apa ini Radit yang Tanan bilang memiliki hubungan khusus dengan Asha?
"Bagaimana kondisinya?" Ujar Galih.
"Operasinya belum selesai."
"Kamu dokter?" Radit menatap jubah putih yang dia kenakan.
"Ya, sayangnya saya nggak praktek disini. Jadi saya hanya bisa mendapatkan informasi saja. Tapi tenang, didalam sudah ada Dokter Pram dan Dokter Aryan. Mahesa sudah berada di tangan yang handal."
"Apa kemungkinannya Han?"
Hani diam, dadanya terasa nyeri lagi. "Berdoa saja. Saya yakin mereka tidak akan membiarkan Esa celaka." Dia menatap Galih. "Kamu, kakaknya Asha?"
Galih mengangguk singkat.
"Sebaiknya Asha ditenangkan dulu. Dia sangat syok." Lalu kepalanya beralih ke Radit. "Kamu Radit, sahabat Esa." Dia memberi jeda. "Sebaiknya kamu ikut saya ke IGD, kamu tadi jatuh terbentur kan?" Dia melihat lengan kanan Radit yang terlihat keunguan.
"Ini hanya memar."
"Kamu tahu, patah tulang juga bisa terlihat seperti memar."
"Tapi ini tidak sakit."
"Karena kamu sedang syok."
"Saya tidak syok, oh come on. Lihat Asha, dia lebih syok dari saya. Apa kamu bisa bawa Asha saja ke IGD? Dia yang lebih butuh pertolongan." Radit memelankan suaranya.
"Asha butuh psikiater, sepertinya. Tapi kamu, butuh periksa tangan kamu untuk memastikan semua. Jadi ayo." Hani sudah berjalan didepannya.
Radit dengan terpaksa mengikuti Hani saja. Dia melihat perempuan berwajah blasteran dengan tinggi yang melebihi rata-rata wanita di negrinya itu berjalan didepannya sambil melepas jas dokternya.
"Bagaimana menurut kamu kondisi Andra?" Ujar Radit sambil berjalan disebelahnya.
"Esa mengalami pendarahan di otaknya." Hani diam sejenak sambil terus melangkah. Dia menghindari informasi terlalu detail pada siapapun, tidak mau membuat yang lain lebih cemas lagi. Juga, dia harus tetap positif. "Berdoa saja, itu yang bisa kita lakukan saat ini."
"Apa itu berbahaya?"
"Sangat berbahaya." Mereka sudah tiba di IGD. "Silahkan, periksakan dulu tangan kamu itu. Saya tunggu disini."
"Enak aja. Kamu yang minta saya periksa kan. Kamu harus ikut ke dalam." Tangan Radit sudah mengamit lengan Hani dan menariknya ke dalam ruang IGD.
Hani berbicara pada dokter disana tentang kondisi Radit. Lalu mereka diantar ke salah satu bilik terbuka dengan tempat tidur yang kosong. Hani menatap ke sekeliling ruang IGD ini. Bersih, besar dan dilengkapi alat-alat yang mumpuni. Sekarang dia paham kenapa MG menyandang gelar rumah sakit swasta terbaik.
"Berbaring Pak, silahkan." Dokter laki-laki itu meminta Radit berbaring. "Ibu boleh tunggu di luar."
"Jangan, dia dokter pribadi saya. Saya mau dia disini."
Hani menggeleng kesal melihat ulah Radit yang kekanakkan.
Setelah selesai periksa, Radit dirujuk untuk melakukan rontgen tangannya. Sebenarnya dokter itu meminta untuk pemeriksaan menyeluruh, tapi Radit menolak keras. Mereka diminta untuk melakukan proses administrasi terlebih dahulu sementara dokter akan memberikan surat rujukannya.
"Apa kamu selalu kekanakkan begini?" Hani menatap Radit yang sudah berdiri lagi.
"Apa kamu selalu bossy?"
Hani menatap Radit tidak percaya. "Saya? Bossy? Saya sarankan kamu semua ini karena saya khawatir dengan kamu. Karena kamu tadi terjatuh." Lalu dia menggeleng tidak percaya. "Sepertinya kamu memang sehat. Silahkan lanjutkan sendiri." Hani sudah membalik tubuhnya ingin pergi.
"Ayolah, kenapa jadi kamu yang marah?" Radit mengambil surat rujukan itu sambil melangkah mensejajari Hani.
"Saya? Marah? Saya bahkan nggak kenal kamu. Jadi saya tidak perduli."
"Bohong. Tadi kamu bilang kamu perduli."
"Saya perduli karena profesi saya menuntut saya untuk selalu perduli, bukan karena saya yang mau. Apalagi kasus kamu."
Tangan Radit sudah mencengkram lengan Hani, menghentikan wanita itu melangkah. Dia menghela nafasnya perlahan. "Saya beneran lagi nggak kepingin berdebat. Apa bisa kamu tanggung jawab?"
Reyhani kesal sekali dengan pemilihan kalimat Radit padanya sedari tadi. Jadi dia menghirup nafasnya dalam-dalam. Berusaha mengerti bahwa saat ini Radit sedang dalam kondisi yang sangat tidak baik.
"Tanggung jawab, berat ya." Nada Hani datar saja.
"Kamu yang minta saya periksa kan?"
"Radit, jangan kamu kira kalau sekarang kamu saja yang sedang sedih. Saya luar biasa sayang dengan Mahesa dan saya tahu persis bagaimana kondisinya sekarang. Lebih dari kalian. Saya berusaha tidak menangis walaupun saya ingin sekali. Jadi apa bisa kita saling menghargai perasaan masing-masing?"
Radit diam menatap Hani. Mereka berada di lorong rumah sakit. Mungkin Hani benar tentang dia yang sedang syok tadi. Karena entah kenapa, tangannya mulai berdenyut sangat nyeri saat ini. Juga campuran perasaan yang sedari tadi dia tahan seperti ingin meledak saja. Tentang penolakan Asha padanya, tentang pelukan Tanan dan Asha itu, tentang bagaimana dia terbakar cemburu. Belum cukup itu semua, dia harus menyaksikan sahabatnya celaka, berdarah-darah didepan matanya. Juga Asha yang seperti mayat hidup, mata gadis itu seperti mati. Banyak hal yang terjadi begitu cepat. Dan emosinya sedari tadi belum dia lampiaskan.
Lalu entah kenapa, matanya mulai berkaca-kaca. Campuran rasa sedih, marah, cemburu, terluka, kalah, dan yang paling hebat adalah rasa bersalah. Itu semua membuatnya ingin menangis saja. Tubuhnya segera berbalik dan berjalan pergi. Dia tidak pernah menangis, tidak akan.
Hani berjalan cepat di belakangnya, mengejar Radit. Entah kenapa, dia seperti mengerti apa yang laki-laki itu rasa. Setengahnya dia merasakannya juga. Tangannya menahan lengan Radit. Tubuh laki-laki itu berbalik dan mereka berdiri berhadapan. "Dit..."
Awalnya Radit diam saja, berusaha keras menahan yang dia rasa. Kemudian tangannya merengkuh Hani dalam pelukan saja. Berusaha mencari sedikit asa dari pelukan itu. Kemudian, mereka saling menguatkan, karena orang yang mereka sayang celaka.
"Diagnosa kamu tepat Dok. Saya memang syok tadi." Entah kenapa Radit merasa nyaman dengan keberadaan wanita ini. "Maafkan atas sikap buruk saya. Juga...maafkan karena saya yang membuat Mahesa celaka."
Tangan Radit memeluk lebih erat lagi. Ternyata dia sangat membutuhkan pelukan seperti ini.
"Saya tidak menyalahkan siapapun, hanya benar-benar kesal dengan tingkah kamu tadi." Hani melepaskan pelukan itu. "Jangan berasumsi yang tidak-tidak tentang pelukan ini."
Radit tersenyum saja. "Saya mencintai Asha, sekalipun dia tidak. Jadi saya mengerti dan berterimakasih untuk sikap kamu sekarang."
"Ayo, kita periksakan tangan kamu itu. Sebelum kamu berubah jadi menyebalkan lagi."
Radit tersenyum dan berjalan disebelah Hani.
***
Setelah menulis banyak soal mereka. Hmmm...mereka itu unik. Stay tune terus biar tahu bagaimana awalnya mereka dekat ya. See youuu Voters!!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro