Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7. Hand me that scalpel

Tahun keempat

Pada tahun keempat masa residensi-nya Hani sudah mengikuti puluhan operasi sebagai asisten. Operasi sudah menjadi bagian hidupnya. Dia hafal dengan prosedur bedah untuk kantung empedu, limpa kecil, hati, usus buntu dan yang paling menegangkan, untuk jantung. Hani mulai gemas dan tidak sabar karena belum diijinkan melakukan operasi

Suatu sore dia dipanggil oleh kepala bagian bedah, Dokter Zainal.

"Reyhani, kamu dijadwalkan untuk berada di ruang operasi dua besok jam tujuh pagi."

"Oke. Siapa Dokter Senior yang akan mengerjakannya Dok?"

"Kamu."

"What?"

"Ada masalah?" Dokter Zainal menatapnya sambil tersenyum. Paham benar berita ini adalah berita istimewa. Tapi dia sangat yakin dokter wanita dihadapannya ini bisa, setelah mendengar laporan tentang kemampuannya selama ini.

Senyum Hani mengembang lebar. Lebar sekali. "Tidak Dok. Terimakasih banyak."

"Pasien itu ada di ruangan 225. Namanya Bapak Ari Fauzan."

"Oke." Wajah Hani masih tersenyum lebar sekeluarnya dari ruangan.

Bapak Ari Fauzan adalah pria berusia enam puluhan, kurus, tinggi dan kepalanya sedikit botak dengan ekspresi yang gelisah sekali. Beberapa kali Hani melihat Bapak Ari memegangi selangkangannya sendiri. Kasus pasien ini adalah kasus hernia. Kasus umum yang bisa terjadi pada usia senja. Reyhani sudah melakukan semua pengecekan standar dan juga meminta pada salah satu residen juniornya dan seorang juru rawat untuk menyiapkan semua yang dibutuhkan.

Seharusnya dia siap, tapi kenapa rasanya dia gugup sekali. Tania sampai-sampai mentertawakannya juga.

"You got this Han. Kenapa jadi nggak pede begitu? Kamu tahu, kemarin Andika grogi banget di operasi pertama. Dan hampir saja salah angkat ginjal karena foto rontgen-nya yang terbalik. Untung saja ada Dokter Zainal yang mengawasi."

"Kamu cerita begitu aku tambah deg-degan. Dasar menyebalkan."

"Maksud aku, resiko kesalahan ada kalau kamu grogi Han." Tania menatapnya saja. Paham benar betapa cemas Hani saat ini. Persis seperti dirinya sendiri ketika dia menerima pisau bedah pertamanya juga bulan lalu.

"Telpon Aryan sana. Biasanya dia yang bisa semangatin kamu kan?," ujar Tania lagi.

"Dia pasti sibuk Tan. Tapi aku benar-benar butuh dukungan."

"Call him. Dia juga pasti kangen dengan kita."

Hani tertawa juga. Tania sudah berlalu sementara dia beranjak menepi di lorong rumah sakit. Tangannya mengangkat ponsel.

"Aryan."

"Yes Dok. I heard the news already. Congratulation." Aryan sudah bersorak disana.

"Gila cepet banget gosipnya. Kamu lagi praktek? Aku ganggu nggak?" Hani menggigit bibirnya cemas.

Aryan tertawa saja. "Saya punya waktu Han. Ada apa? Jangan bilang kamu cold feet sekarang?"

Hani diam saja, kemudian dia berujar. "Apa aku bisa Yan?"

"Siapapun yang bilang kamu tidak bisa, dia adalah orang paling bodoh di dunia."

"God..." Hani menghembuskan nafasnya perlahan.

"Kamu harus tenang Han. Fokus dan tenang. Ini akan sama seperti puluhan operasi ketika kamu jadi asisten sebelumnya. Semua akan baik-baik saja okey?"

Hani tersenyum hangat. "Oh God, I love you so much."

"Sorry, saya cinta istri saya." Aryan terkekeh geli saja dan membuat Hani tertawa juga.

"Bagaimana setelah selesai operasi kita bertemu bertiga dengan Tania dan makan malam? Saya yang traktir."

"Ajak istri kamu sekalian Yan."

"Hei dia bukan pencemburu. Nanti malah kalian risih sendiri dengan kami kalau saya bawa dia. Jadi kita saja. Bagaimana?"

"Oke."

"You will be okey, trust yourself."

"Thank you Yan. I need this."

"Telpon aku kapanpun kamu butuh dukungan moril, kopi dan makan." Aryan terkekeh lagi.

"Siap Dok. See you. Bye."

***

Dia terjaga semalaman. Semua urutan operasi itu terbayang dikepalanya, berulang-ulang. Hernia dibagi tiga jenis: hernia reponibilis, di mana buah zakar dapat didorong kembali ke rongga perut; hernia ireponibilis, di mana tindakan tersebut tak dapat dilakukan akibat adhesi, dan yang paling berbahaya hernia strangulata, di mana aliran darah melalui hernia terpotong, sehingga menimbulkan kerusakan pada usus. Kasus Ari Fauzan adalah kasus hernia reponibilis.

Pukul enam pagi, Hani membantu Ari untuk mengganti baju tidur dengan baju rumah sakit berwarna biru. Seorang juru rawat sudah memberikan obat penenang pada pasien itu agar tidak gelisah, sementara menunggu tempat tidur beroda yang akan membawanya ke ruang operasi.

"Ini operasi saya yang pertama dan saya senang saya akan di operasi oleh dokter cantik seperti dokter sendiri." Ujar Ari tersenyum gugup.

Tebakan Hani pasiennya itu berusaha bergurau karena rasa gugup. Padahal dia sendiri berusaha keras menutupi detak jantungnya yang keras sekali hingga dia khawatir pasiennya itu bisa mendengarnya juga.

'Ya Tuhan, aku akan bertanggung jawab atas nyawa seseorang kali ini. Dia benar-benar akan berada dibawah tanggung jawabku.'

RO Dua termasuk ruang operasi yang lebih besar, sanggup menampung alat monitor jantung, mesin pacu jantung dan beberapa peralatan medis lainnya. Ketika dia masuk ke dalam ruangan itu, stafnya sudah mulai menyiapkan perlengkapan. Ada dokter pendamping, ahli anestesi, dua residen, perawat instrumentalis, serta dua circulating nurse.

Para anggota staf menatap Reyhani dengan rasa ingin tahu. Mereka penasaran dengan bagaimana Hani akan menangani operasinya yang pertama ini. 'Fokus dan tenang. Ini sama dengan operasi lainnya'. Kata-kata Aryan terngiang lagi.

Hani menghampiri meja operasi. Daerah di sekitar area operasi sudah dibersihkan dengan larutan antiseptik. Kain penutup steril telah diletakkan di sekeliling daerah pembedahan. Dia menatap ahli anestesi yang akan memberikan anestesi epidural kepada pasien. Reyhani menarik nafasnya. Mengulang kalimat Aryan dalam hatinya. Fokus dan tenang.

Operasi dimulai.

"Pisau bedah."

Hani melakukan sayatan pertama melalui kulit. Dan ajaibnya begitu Hani melakukan sayatan itu, semua kegelisahannya pergi. Seperti dia sedang mengerjakan sesuatu yang sudah seumur hidup dikerjakannya. Dengan terampil dia menyayat lapisan-lapisan lemak dan otot, sampai mencapai lokasi hernia. Dan sambil bekerja, dia mendengar kata-kata yang sudah begitu akrab di telinganya menggema di ruang operasi.

"Spons..."

"Tolong bovie..."

"Itu dia...kita sudah sampai."

"Penjepit..."

"Tolong suction..."

Pikiran Hani fokus sekali. Cari kantong hernia, bebaskan, kembalikan isinya ke rongga perut, ikat bagian bawah kantong, potong sisanya, cincin inguinalis, jahit lukanya.

Satu jam tiga puluh menit setelah sayatan pertama, operasi itu selesai. Dia harusnya merasa lelah, tapi sungguh semua ini malah membangkar semangatnya. Setelah pasiennya selesai dijahit, semua staff tersenyum gembira dan beberapa juga bertepuk tangan saja.

Dokter Zainal tersenyum dari balik kaca. Dia tidak pernah meragukan Reyhani sejak gadis itu datang kesini. Masa depan gadis itu akan cerah.

***

"Cheersss..." Mereka bertiga tertawa gembira. Aryan menepati janjinya untuk makan malam singkat di salah satu restoran dekat dengan rumah sakit tempat Hani dan Tania berada.

"Akhirnyaa...kalian berdua resmi sudah melakukan operasi sendiri. Saya ikutan senang." Aryan tersenyum lebar. Mereka mulai makan.

"Kamu sendiri bagaimana? Baik-baik di MG?"

"Entah, saya masih terbiasa dengan jam kerja yang lama. Jadi saya mengajukan diri untuk menjadi kepala residen disana."

"MG juga menerima program residensial?"

"Ya, sejak tahun lalu." Aryan berbisik konyol, "Alasannya, tenaga kerja murah dan sangat antusias. Cari dimana lagi?"

Hani dan Tania tertawa. "Kamu nggak diprotes Andaru?"

"Dia sedang terlibat proyek pemerintah, jadi sama sibuknya. Lagian, justru itu kan. Jarak dan waktu yang ada bikin kita masih sama kayak pacaran dulu aja."

"Emang kamu pernah pacaran sama Ndaru? Bukannya kalian teman lama?"

"Kalian pada jatuh cinta dulu deh. Saya bingung jelasinnya gimana."

"Yeee dasaaarrr." Mereka tertawa lagi.

Robert dan Winda juga berada di restoran yang sama. Memperhatikan tiga sahabat itu. Fokus mereka tentu saja pada Reyhani, cucu mereka. Betapa gadis kecil itu sudah tumbuh menjadi wanita dewasa yang sangat matang, dan juga calon dokter hebat. Itu yang dia tahu dari informannya.

"Dia semakin mirip dengan Jenny Sayang."

"Sampai kapan kita hanya mengamati Rob? Apa kamu tidak ingin segera memeluknya?"

Robert tersenyum nyeri. "Aku belum siap. Aku takut dia akan membenciku lalu lari seperti Jenny jika tahu kenyataannya."

"Kamu tahu cepat atau lambat kalian akan bertemu juga kan?"

"Ya."

"Dan Adrian disini melakukan pekerjaan yang sangat baik."

"Apa kamu sudah ingin kembali kesana Sayang? Kita baru tiba disini lagi bulan lalu."

"Rob, ini kampung halamanku. Aku malah khawatir kamu rindu London."

"Satu-satunya yang aku rindukan sekarang adalah anak-anak perempuanku. Jennifer dan Desy. Juga...cucu-cucuku." Robert memandang Reyhani lagi.

Winda tersenyum lalu berujar juga. "Dia begitu lelah sepertinya. Ini tahun residensi terakhirnya."

"Ya, dia lelah dan bahagia." Robert tersenyum. Matanya tidak lepas menatap Hani dari kejauhan. 

***

Salut untuk semua dokter dan tenaga medis di luar sana. Semakin gue riset tentang proses panjang pendidikan mereka atau apa saja yang mereka harus tempuh saat masa residensial dan baca-baca artikel dan berita-beritanya, makin tambah salut dan respect banget.

Bukan berarti profesi lain tidak penting. Hanya karena kebetulan cerita ini memang bergulat pada dunia kedokteran. Jadiii...salute to the frontliner!!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro