6. If it's not work, then what else?
Tahun ketiga
Tahun-tahun pertama residensi terlewati begitu saja. Dia memulai terlambat satu tahun karena harus berurusan dengan segala jenis administrasi kepindahannya kesini. Juga penyesuaian beberapa program pendidikannya dengan apa yang dia sudah tempuh di luar negeri. Ini agak lucu, karena sebelumnya dia merasa tidak memiliki keterikatan apapun. Tapi setelah kecelakaan itu atau fakta-fakta lain yang dia temukan selama tinggal disini, Tanan benar. Jika semua orang pintar tidak perduli dan melimpahkan pada orang-orang yang tidak kompeten, maka akan lebih banyak korban yang sia-sia seperti anak itu. Jadi dia memutuskan untuk melakukan sesuatu.
Ditambah lagi, dia terinspirasi oleh Dokter Pram. Dokter bedah senior yang kemampuannya benar-benar diakui oleh ikatan dokter di negri ini. Dokter Pram adalah kakak tertua dari ayahnya dan Tanan. Satu-satunya anak yang sukses besar dan bisa keluar dari kesulitan hidupnya dulu. Dokter paruh baya itu praktek di satu rumah sakit bergengsi dan dibanyak rumah sakit umum daerah. Karena dia ingin membantu lebih banyak orang. Jadi, disinilah dia. Residen tahun ketiga.
Pada dua tahun pertama, residen harus memperhatikan tanpa banyak tanya. Ya boleh sesekali bertanya, namun biasanya residen senior yang akan mengambil keputusan. Dia sendiri melakukan banyak kunjungan, terlalu banyak sampai dia merasa menjadi robot ketika melakukan diagnosa. Pada tahun akhir seperti dirinya saat ini, dia sudah diperbolehkan menangani pasien-pasien rumah sakit dibawah pengawasan dokter-dokter senior. Dia sudah mengemban tanggung jawab atas pasiennya sendiri. Ini yang sangat berat untuk Hani.
Jam kerja? Jangan ditanya. Hani sendiri jarang sekali merasakan matahari diluar sana. Kesibukannya seperti tidak pernah ada ujung akhirnya. Dia berlari dari satu pasien ke pasien yang lain, dari satu operasi ke operasi yang lain sebagai asisten. Tanpa henti. Beberapa residen bahkan ada yang depresi karena semua kesibukan ini. Ya, terkadang mereka harus rela bermalam di rumah sakit satu-dua hari. Meninggalkan keluarga mereka sendiri di rumah. Kasusnya sendiri, dia beruntung bahwa dia hanya memiliki Tanan dan Mama Diah saja. Tidak memiliki pasangan yang harus disenangkan atau anak yang harus ditemani. Dia sudah memilih jalan ini dan tidak akan mundur lagi.
"Hai Dok. Kopi?" Laki-laki berpostur tinggi itu berjalan disebelahnya.
"Kamu sempat?"
"Nih. Minum dulu. Lingkar hitam dimata kamu makin lebar. Hati-hati salah diagnosa." Aryan sudah memberikan gelas kopi itu padanya.
Hani tersenyum gembira. Dia berkenalan dengan Aryan saat pertama mereka tiba di rumah sakit ini. Aryan adalah residen yang berada satu tahun diatasnya. Dia sudah menyeruput kopi Aryan lalu menyodorkan gelas itu kembali padanya.
"Dasar jorok. Itu buat kamu aja." Aryan tersenyum saja.
'Dr. Aryan IGD 1...Dokter Aryan IGD 1.' Suara dari pengeras itu berbunyi.
"Selamat bertugas Dok. Terimakasih untuk kopinya."
Aryan berjalan mundur sambil tersenyum konyol. "Jangan keburu senang. Sebentar lagi nama kamu yang dipanggil." Aryan sudah berbalik dan berlari.
Lalu benar saja. Namanya yang gantian berkumandang. IGD 3.
"Patah kaki Dok. Jatuh dari tangga."
"Segera rontgen," ujar Hani. "Dan beri dia Demerol lima puluh milligram." Belum selesai disitu namanya sudah dipanggil lagi.
'Dr. Hani bangsal tiga. Dr.Hani bangsal 3 segera.'
"Saya akan kembali." Dia berlari ke tempat yang dituju.
Ada pasien yang muntah, lalu tersedak saat menarik nafas.
"Dia tidak bisa bernafas," ujar seorang juru rawat panik.
"Tolong di-suction," perintah Hani. Dia masih memperhatikan pasien itu mengatur nafas, ketika namanya dipanggil lagi. Ponselnya yang berbunyi tidak dia hiraukan.
Seorang pasien berteriak-teriak karena mengalami kejang perut. Hani memeriksanya cepat. "Sepertinya gangguan usus. Lakukan USG segera." Begitu dia selesai panggilan berikutnya sudah terdengar. IGD dua. Dan terus saja begitu.
Pukul enam pagi dia sudah tidak punya tenaga lagi.
***
"Kamu nggak pulang lagi?" Suara Tanan diseberang sana.
Hani tertawa. "Kenapa? Kangen sama aku?" Dia sedang duduk menikmati makan siangnya di kantin rumah sakit bersama Aryan dan Tania.
"Apa sehat hidup begitu? Mama khawatir dan bolak-balik telpon kamu tapi kamu nggak angkat. Dasar anak bandel, angkat telpon Mama."
"Dasar cerewet. Lagian hidup kamu yang lebih nggak sehat Sa. Kamu bahkan sama gila kerjanya. Saya disini menyelamatkan nyawa, kamu selametin diri kamu sendiri kan?" Lalu dia menatap temannya Tania.
"Hey anak kecil, jangan sok tahu." Tanan terkekeh saja.
"Esa, aku mau kenalkan kamu dengan salah satu teman dokterku disini. Besok kita makan siang ke kantor kamu ya?"
"Reyhani, jangan suka bercanda. Urus hidup kamu sendiri sana. Kamu sendiri udah punya pacar memangnya?"
Hani ganti tertawa. "Ayolaaah kakak tersayang. Okey? Just say yes. Hanya satu makan siang. Pleaseee."
"Aku telpon kamu lagi nanti kalau kamu sudah nggak usil lagi. Telpon Mama. Bye."
Senyum masih ada diwajahnya. Tania sudah menimpuk Hani dengan tisu yang dia gulung saja. "Sejak kapan kamu usil dan jadi mak comblang?"
"Kakak tiriku itu ganteng Tan. Gentlemen sejati. Kamu nggak akan menyesal."
"Iya, terusnya aku nanti jadi kakak ipar kamu? Oh nooo..."
Aryan sudah tertawa sambil menyuap makanannya. "Saya setuju sama Tania. Itu bakalan jadi bencana sih."
"Bawel. Emang kamu belum diputusin sama tunangan kamu?"
"Heitss...saya dan tunangan saya itu pasangan abadi. Teman hidup, udah mentok nggak bisa kemana-mana lagi."
"Dasar norak pakai pamer segala." Ujar Tania sambil menatap Aryan kesal. "Jadi tahun ini kamu nikah atau gimana?"
Aryan tersenyum lagi. "Rencananya begitu. Ini tahun terakhir residensial saya. Doakan saja."
"Aku nggak sabar ketemu sama calon istri kamu minggu depan. Kita akan hasut dia biar dia putusin kamu." Ledek Tania lagi yang segera disambut dengan anggukan setuju Hani. Aryan memang berjanji untuk makan malam bersama dengan tim residennya di rumah sakit jika dia bisa bertahan sampai akhir tahun.
"Hey, adik-adik junior...jangan macam-macam ya. Ingat gue ini senior kalian disini." Aryan langsung mendapatkan timpukan gulungan tisu dari Hani dan Tania.
"Setelah lulus dan menikah, apa rencana kamu? Buka praktek sendiri?" Tanya Hani. Jus didalam gelasnya sudah habis.
"Ada rumah sakit yang saya tuju disini. Medika Global Hospital." Aryan menutupi kenyataan bahwa rumah sakit besar itu adalah milik keluarga sahabatnya Gesang.
"MG Hospital, siapa yang nggak kenal." Sahut Tania.
Hani mengangguk mengerti, rumah sakit itu adalah rumah sakit swasta terbaik di kota ini. Tempat pamannya sendiri praktek selain rumah sakit umum daerah. Hani juga tahu dengan kenyataan bahwa rumah sakit tempat insiden anak kecil dulu itu sudah di akuisisi oleh Medika Global Hospital tahun lalu.
"Apa MG sudah merombak management RS IG yang dia beli tahun lalu?" Tanya Hani penasaran.
"Saya belum cek. Harusnya ketika di akuisisi RS IG akan aplikasi semua peraturan standar MG. Kenapa memang?"
"Hanya bertanya." Sedikitnya dia merasa lega, karena yang dia dengar dari pamannya, Om Pram, management MG dikelola dengan sangat baik dan lebih berkeprimanusiaan dibandingkan dengan RS IG. Itu juga salah satu alasan Dokter Pram bersedia praktek disana.
"Kalau maksud kamu adalah soal uang, saya bisa yakinkan bahwa management MG masih pakai hati. Jangan samakan dengan management RS IG yang bobrok."
"Sok tahu, emang kamu yang punya?"
"Bukan. Tapi saya kenal dengan yang punya." Aryan sudah berdiri sambil membawa nampannya yang sudah kosong. "Ladies, mari kita mulai bekerja lagi. Semangaaattt!!!"
"Dasar gila." Hani dan Tania tertawa juga sambil berdiri.
***
CONGRATULATION. Begitu tulisan besar-besar yang ada di ruang Dokter Andre yang Hani dan Tania pinjam. Ini acara kelulusan tidak resmi dari istri Aryan, beberapa staff, residen junior dan juga Hani dan Tania sendiri.
Wajah Aryan ketika masuk ke ruangan itu sudah tersenyum lebar. Dia terkejut karena tidak menyangka juga jelas sekali terlihat sangat bahagia. Bagaimana tidak, Aryan akan keluar dari kejamnya jam kerja ini.
"Wow...saya kaget beneran."
Dokter Andre sudah menjabat tangannya erat. "Selamat Yan. Be a great doctor out there."
"Terimakasih banyak Dok."
"Saya pamit dulu. Silahkan teruskan. Jangan lupa bereskan setelah itu."
"Siap Dok."
Ketika Dokter Andre sudah keluar ruangan, suara riuh sudah terdengar saja. Aryan memeluk Andaru sesaat. Tidak bisa terlalu lama karena staff-staff lain yang sudah menggodanya. Hani dan Tania juga bergantian mengucapkan selamat padanya. Mereka sungguh bahagia. Lalu mereka sudah sibuk makan cemilan yang memang disiapkan oleh Hani dan Tania sebelumnya.
"Ini ide siapa?" Aryan menatap tiga wanita dihadapannya.
"Bukan aku pasti. Karena aku punya kejutan lainnya." Istrinya itu mengedipkan mata konyol, itu membuat mereka tertawa.
"Kalian pasti." Tebak Aryan sambil menatap Hani dan Tania.
"Mana sempat Yan. Kita sibuk dengan kegilaan di tempat ini kan?" Mereka pura-pura tidak tahu.
"Terus siapa?"
Hani dan Tania terkikik geli. "Kamu yakin kamu mau dengar? Andaru ada disini."
"Oke, saya nggak mau dengar kalau begitu."
"Wow, kamu punya penganggum rahasia Dok?" Andaru mengerlingkan matanya.
"Banyak Ru. Nanti aku bisa kasih daftarnya. Mana ada yang nggak kenal Dokter Aryan Diputra. Anak kesayangan Dokter Andre." Ujar Tania.
"Sial, jangan dengarkan mereka Ru. Mereka luar biasa usil karena masih pada jomblo. Sana kalian cari pasangan sendiri." Aryan tertawa sambil merangkul Andaru.
"Tapi saya kaget juga sih, kalian bertahan dengan semua kegilaan ini. Saya lihatnya aja sudah mau pingsan rasanya. Kok bisa kalian tahan? Lagian apa kalian nggak salah profesi?"
"Maksudnya?" Hani sedang mengunyah risolesnya.
"Ndaru bilang ke saya kalau kalian itu terlalu cantik untuk jadi dokter. Kalian nggak cocok kalau harus kecipratan darah atau kena muntahan pasien." Aryan terkekeh.
"Oooh...kalau kamu tahu semua bisa lebih parah dari itu Ru." Tania menyahut sambil minum dari gelas kertas.
"Kayaknya seru juga." Ujar Andaru. Tubuhnya masih dirangkul Aryan.
"Serius Sayang, kamu jauh lebih bahagia jadi arsitek seperti sekarang daripada jadi dokter."
Lalu Hani dan Tania tertawa. "Ya Tuhan Aryan, kita lebih suka dengar kamu kasih instruksi ke perawat daripada dengar kamu bilang sayang begitu. Bikin merinding."
"Sial. Awas kalian."
Mereka lalu tertawa saja.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro