5. The Birthday Girl
Robert sedang duduk didalam ruang kerjanya ketika salah satu pegawainya datang.
"Pak, ada kabar."
"Apa?" Dia meletakkan kertas-kertas yang dia baca sebelumnya di meja.
"Perempuan itu, sepertinya berencana untuk tinggal."
Dia diam sesaat, berpikir. "Kamu tahu alasannya?"
"Tidak."
"Oke." Robert mengangguk saja lalu pegawainya itu keluar ruangan. Dia segera mengangkat telpon di meja kerjanya.
"Selamat malam. Apa Ayah menganggu?"
Perempuan diseberang sana diam, benar-benar diam. "Jangan ganggu dia. Atau Ayah akan menyesal."
Robert mendesah perlahan. "Ada apa dengan kalian? Kenapa selalu berpikiran buruk?"
"Ayah membunuh Jeny." Suara Desy sudah bergetar. Anaknya menangis. "Ayah bunuh dia. Jangan pernah sentuh Reyhani."
"Kamu bereaksi berlebihan." Robert menghela nafasnya berat. "Tidak ada yang mau Jeny celaka Des. Apa menurutmu Ayah sudah gila?"
"Mungkin, karena Ayah benci laki-laki itu dan terlalu menyayangi Jeny. Jadi Ayah membunuh keduanya..."
"Itu tidak benar!!!" Robert berteriak, lalu adanya terasa sedikit sakit.
"Jangan hubungi kami lagi dan jangan hubungi dia. Jika Ayah nekat menghubungi dia, aku akan menceritakan semuanya dan dia akan membenci Ayah sama seperti aku membenci Ayah sekarang. Selamat tinggal." Desy memutus hubungan itu.
Robert duduk terpaku di kursi kerjanya. Matanya menatap ke sekeliling ruangan. Dia punya segalanya, sedari dulu. Istri yang setia, dua anak perempuan yang luar biasa. Sampai akhirnya laki-laki sialan itu datang. Mencuri salah satu anaknya. Membuat Jeny pergi darinya setelah berhasil menutupi hubungan mereka bertahun-tahun lamanya. Ya, dia tidak pernah curiga tentang kesendirian Jeny selama ini. Dia paham dan tahu benar anaknya itu sedari dulu adalah pribadi yang introvert dan menutup diri. Jadi, dia pikir kesendirian Jeny adalah suatu yang wajar. Tapi, ternyata Jeny memiliki kekasih. Laki-laki sialan yang berasal dari tong sampah. Oh bahkan laki-laki itu sudah memiliki istri. Dan dia murka ketika mengetahui Jeny berbohong bertahun-tahun lamanya. Istrinya bahkan jatuh sakit ketika tahu kenyataan pahit itu.
Kemudian, laki-laki itu datang. Membawa serta anak mereka. Anak kecil lucu yang selama ini dijaga oleh Desy. Lalu, dia mengamuk. Mengusir Jeny pergi. Selang bertahun lamanya dia mencoba melacak keberadaan Jeny. Lalu, dia menemukan mereka. Naasnya, mereka berusaha lari dan kecelakaan itu terjadi.
Sudah ada istrinya di pintu. Wanita paruh baya teman hidupnya itu berjalan ke arahnya dengan wajah sedih. "Sayang. Jangan menyiksa dirimu lagi."
Robert minum dari air yang diberikan oleh istrinya. Tangan lembut itu mengusap punggungnya perlahan.
"Mungkin aku memang bersalah. Aku membunuh anakku sendiri."
"Sssshhh...Sayang, sudah. Tenangkan dirimu." Istrinya memeluk Robert lembut.
"Aku ingin bertemu dengannya. Dia mirip sekali dengan Jeny. Aku rindu Jeny-ku." Ya, dia sudah memantau cucunya itu sejak lama. Dia bahkan memiliki semua foto-fotonya. Dulu, dia marah dan tidak bisa menerima. Tapi seiring berjalannya waktu, dia rindu sosok itu.
"Aku akan urus kepergian kita kesana," ujar istrinya.
***
Sudah lewat dari enam bulan mereka bersama. Ini rekor terbarunya. Enam bulan dan tanpa seorang saja yang tahu. Setidaknya itu yang dia pikir. Kesibukannya bertambah seiring dengan jabatan yang diberikan ayahnya beberapa bulan lalu. Dan kegiatan mereka yang mencuri-curi waktu sambil sembunyi dari keluarga mereka sendiri terkadang membuat adrenalinnya terpacu. Tapi mungkin, sudah saatnya dia mengakhiri ini. Dia tersenyum sendiri mengetahui betapa bahagia mamanya nanti.
Dia mengangkat ponselnya. "Hai Nik."
"Radita Tanubrata. Ada apa?"
"Apa perlu menyebut saya dengan nama lengkap begitu?" Radit terkekeh. "Saya tahu kamu kerja dengan siapa. Tapi saya butuh bantuan kamu kali ini."
Niko tertawa juga disana. "Saya sepertinya tahu apa permintaan kamu. Kenapa kalian laki-laki dari keluarga kaya selalu curiga?"
"Bos kamu bahkan lebih parah dari saya Nik. Tapi kali ini penting."
"Stephanie Dirga, betul?"
Radit menggelengkan kepalanya tidak percaya. "Gila, kamu sudah tahu?"
"Radit, itu pekerjaan saya. Keluarga Wiratmaja masuk dalam lingkaran Darusman. Lingkar kedua, tapi tetap sama pentingnya. Kamu tahu El Rafi selalu suka informasi kan. Sekalipun mungkin tidak berkaitan dengan dirinya sendiri."
"Dasar bedebah gila bos kamu itu." Radit terkekeh saja lalu dia menghirup nafasnya dalam. "Saya akan menikahi wanita cantik ini. Jadi saya ingin tahu segalanya."
"Kamu harus paham resikonya."
Radit diam sejenak. Paham benar apa maksud Niko diseberang sana. "Saya yakin, semua akan baik-baik saja. Saya percaya padanya."
Tawa Niko membahana. "Lalu apa yang kamu lakukan sekarang Dit? Saya bersyukur saya tidak sekaya kalian hingga punya penyakit akut tentang tingkat kepercayaan."
"Pebisnis yang baik, harus selalu tahu apa-apa yang dia punya dan yang akan dia punya. Tahu banyak itu baik."
"Oke. Saya tidak akan mendebat hal itu. Kalian yang lebih paham dunia kalian sendiri. Baik, saya akan membantu."
"Hubungi saya jika sudah ada kabar."
"Oke."
Hubungan disudahi. Matanya menatap ke sekeliling lobby hotel mewah itu. Dia datang untuk menjemput Stephanie. Gadisnya itu punya jadwal rutin berkumpul dengan teman-teman sosialitanya. Dia kembali mengangkat ponselnya.
"Sayang. Aku sudah di lobby. Kamu sudah selesai?"
Wanitanya itu menghela nafasnya perlahan. "Sebentar lagi aku akan kebawah. Tunggu sebentar."
Ponselnya berbunyi lagi. Ayah.
"Sudah terima jadwal dinasmu?"
"Ya. Lina berikan pagi ini."
"Siapkan semua, kita akan bepergian sedikit lebih lama."
"Oke."
"Radit..."
"Ya?"
"Berhentilah menjahili Mama-mu."
"Maksud Papa?"
"Ayolah, lamar Stephanie dan nikahi dia. Jadi kamu tidak perlu selalu mencari alasan jika bertemu seperti sekarang." Ayahnya tertawa. "Dasar anak konyol."
Radit juga terkekeh saja. "Sabar, sebentar lagi Pa."
Hubungan disudahi. Matanya menatap kesekeliling lagi, mungkin Stephanienya sudah turun. Matanya bersitatap dengan seorang laki-laki yang tersenyum padanya. Dia hanya menatap tanpa ekspresi.
Stefi sudah menghampirinya. "Maaf, lama ya?"
"Apa harus arisan setiap minggu? Aku bingung jenis arisannya apa aja?" Radit sudah menggandengan Stefi menuju mobilnya. "Teman-teman kamu mana?"
"Masih diatas. Belum selesai. Kita mau kemana?"
"Rahasia." Radit tersenyum saja.
Malamnya.
Stefi bangkit dari tidurnya. Dia mengambil jubah tidur satinnya yang tergeletak dilantai dan mengenakannya.
"Sayang, mau kemana?" Tangan itu menariknya kembali ke tempat tidur.
"Kamar mandi." Stefi menyahut pendek. Matanya menatap ke arah pinggangnya. Tangan kuat itu disana, membelit perutnya perlahan.
Semalam, Radit melamarnya. Laki-laki itu melamarnya. Sungguh dia tidak bisa mengatakan apapun. Bukan karena tidak tahu jawabannya, tapi rasa kaget bercampur nyeri didada yang membuat mulutnya bungkam. Dia sudah jatuh cinta. Akhirnya setelah satu permainan ke permainan lainnya, dia paham benar dia jatuh cinta. Sekalipun masih banyak ketakutan dan keraguan disana.
Radit adalah pasangan sempurna, tapi bagaimana jika Radit tahu tentang apa yang dia lakukan sekarang. Laki-laki ini adalah sosok yang baik, bertanggung jawab dan dia suka dengan lelucon konyolnya terkadang. Radit kerap membuatnya tertawa. Itu semua yang membuat Radit berbeda. Jadi bagaimana ini? Harusnya dia menolak saja permintaan kawan-kawannya dulu dan hari ini. 'Sial. Ini jadi rumit.'
Bibir Radit sudah mendarat di bahunya. Radit memeluknya dari belakang. "Ada apa?"
Stefi diam saja. Dadanya berdesir nyeri. Tiba-tiba dia didera oleh rasa bersalahnya sendiri. Lalu satu dua air mata itu jatuh saja. Dia takut, dia tidak mau kehilangan Radit lagi.
"Stef, ada apa?" Radit membalik tubuh gadisnya itu. Dia tidak paham kenapa Stephanie menangis.
"Maafkan aku." Tangan Stefi sudah memeluk Radit.
"Maaf untuk apa?"
Tangisnya tambah keras. Seperti ada bongkahan batu besar yang menindih dadanya saat ini. Mungkin ini hukumannya karena selalu bermain-main saja. Mungkin ini karena dia sudah banyak berdosa. Pada semua laki-laki yang sebelumnya mencintainya tapi dia tinggalkan begitu saja. Lalu sekarang, saat dia jatuh cinta, gundukan rasa bersalah tiba-tiba menghantamnya. Jadi apa yang harus dia katakan pada Radit? Jujurkah? Atau apa?
"Sayang, hey. Aku nggak bisa bantu apa-apa kalau kamu nggak cerita." Dada Radit mulai berdebar. Entah kenapa dia tiba-tiba memiliki firasat buruk jika Stephanie menutupi sesuatu darinya. "Stef..."
"Maafkan aku karena tadi tidak langsung menjawab lamaranmu. Maafkan aku karena aku sempat meragu." Oh sungguh dia benci dirinya sendiri yang tidak mengaku saja.
Radit menghela nafasnya lega. "Jadi, apa kamu sudah punya jawabannya sekarang?"
Stefi mengangguk. "Ya, aku akan menikahimu dan menjadi istri yang baik untukmu."
Radit tertawa lega. "Aku pikir sebaiknya begitu." Dia mencium puncak kepala Stefi sayang. Satu tangannya sudah menenggadahkan wajah Stefi yang masih penuh dengan air mata. "I love you Steph. I never said this before, but I love you."
Air matanya makin deras mengalir. Dia tidak akan melepaskan Radit lagi. Dia akan menyudahi semua permainan konyol ini. Laki-laki itu sudah mencium bibirnya lembut. Sambil tangannya berusaha mengusir air mata itu jauh-jauh.
Radit terkekeh saja. "Aku pikir kamu menangis karena kamu tidak suka dengan berliannya." Gurau Radit.
"Aku nggak perduli dengan berlian itu, aku hanya ingin kamu. Jangan tinggalin aku Dit, jangan pernah." Stefi menyatuhkan tubuh mereka lagi.
Radit tersenyum bahagia. Mungkin besok dia akan membatalkan saja permintaannya pada Niko sore tadi.
***
Satu minggu kemudian.
Cathy: Haai birthday girl. Jadi kita kumpul dimana malam ini?
Steph: Gue pass dulu ya. Makan malam bareng Radit.
Vero: Nggak asik. Lagian lo kelamaan deh udahan sama Radit. Kan kemarin udah kenalan sama Adrian. Lo udah menang Steph, dan kita udah bayar.
Steph: I will marry him and I will return back all of your money, okey.
Cathy: You what??
Vero: Gila dasar. Lo salah makan ya? Cath, gimana nih?
Steph: Gue mau berhenti, sudah stop. Yang ini gue serius.
Cathy: Tanubrata nggak lebih dari Wiratmaja Steph. Dia masih dibawah keluarga lo. Lo mau turun strata?
Vero: Adrian itu kakap Steph. Atau lo mau sama Daud? Susah sih, tapi bisa aja kalau niat kan?
Steph: Kenapa jadi gue terus sih? Kalian aja sana. I'm done okey. I'm soo done.
Cathy: Sumpah ga asik.
Vero: Kita lihat aja Cath, apa beneran dia bisa berhenti. Taruhan yuk, Steph bosen dalam waktu berapa minggu lagi?
Steph: Stop messing with me okey. Bye girls.
Dia membanting ponselnya ke atas kasur. Entah kenapa dia baru sadar bahwa selama ini dia salah memilih teman.
Di kantor Radit
"Tiket sudah saya kirim melalui email." Lina sekertarisnya berada di hadapannya. "Bunga sudah dikirim sejak pagi dan kadonya sudah datang." Lina meletakkan kotak beludru berukuran sedang itu di meja kerjanya.
"Wow thanks Lin." Radit tersenyum.
Dia memang belum bilang apapun pada Mamanya perihal kabar baik ini. Tapi dia akan segera memberi tahu sepulangnya dari dinas bersama ayah. Ponselnya berdering.
"Sayang, terimakasih bunganya. Aku bangun tidur dan kaget dengan kiriman bunga sebanyak ini. Aku suka banget."
Radit tertawa. "Really? Kayaknya aku salah alamat, itu harusnya untuk Nyonya Mey tetangga sebelah kamu."
Gadisnya juga tertawa disana. "Oiya iya...karena minggu lalu kamu tolongin burung nurinya yang entah kenapa bisa lolos dari sangkar ya?"
"Ya, sebagai permintaan maaf karena aku sudah pecahkan guci tuanya saat kejar burung itu di kamarnya."
"Untung yang lepas bukan burung yang lain."
"Sayang, ini masih sore. Tolong jangan mulai."
"Aku masak buat kamu. Kita makan malam kan?"
"Kamu masak? Wow, aku nggak sabar." Dia melihat jam di tangannya. "Sebentar lagi aku pulang. I love you."
Lina sudah keluar dari ruangan. Dia menyudahi panggilannya sambil tersenyum. Lalu telpon di mejanya berdering.
"Pak, ada Pak Niko datang."
Radit tertawa. "Oh ya ya, saya lupa. Minta dia masuk. Mundurkan satu meeting di sore ini ke besok pagi Lin. Saya ingin pulang cepat."
Dia memang lupa membatalkan permintannya ke Niko seminggu lalu. Salahkan pada semua jadwalnya yang padat sekali.
"Hai Nik." Radit menjabat tangannya erat sambil tersenyum. "Silahkan duduk."
Niko sudah duduk di sofa berukuran sedang.
"Sorry banget saya nggak sempat cancel permintaan saya minggu lalu. But I will transfer anyway." Radit duduk berhadapan dengan Niko.
Wajah Niko datar saja. Dia tidak suka dengan apa yang dia tahu. Atau bisakah dia diam saja? "Jadi, sebaiknya saya pamit saja oke. Dan kamu nggak perlu transfer Dit. Anggap saja saya menerima pembatalan dari permintaan kamu kemarin."
Radit menatap Niko. Ada sesuatu yang tidak beres. Dia bisa merasakan itu tiba-tiba. Niko tahu sesuatu dan dia berahasia. "No no. Silahkan beri tahu apa yang kamu tahu Nik."
"Sebaiknya tidak." Niko sudah berdiri. "Selamat sore Dit." Niko membalik tubuhnya saja menuju pintu.
"Niko, saya memaksa." Radit sudah berdiri juga. "Tolong, beri tahu saya apa yang kamu tahu."
Niko masih diam.
"Taruhannya adalah masa depan saya Nik. Tolong saya."
"Kamu tidak akan suka Dit."
Dia menelan salivanya juga. Lalu dia menanyakan pertanyaan pertama yang terlintas di kepalanya saja. "Stef tidur dengan laki-laki lain dibelakang saya?"
Niko sudah membalik tubuhnya sambil menatap Radit yang sedikit pucat. "Duduk Dit. Duduk dulu." Mereka sudah kembali duduk saja.
Lalu Niko mengeluarkan file dari tas yang dia bawa. Beserta dengan foto-fotonya. Ditambah dengan rekaman suara dari orang suruhannya yang berpura-pura dan membuat wanita dalam alat rekam mabuk dan membeberkan semuanya. Suara Catherine Dwijaya yang membeberkan semua fakta sambil tertawa. Fakta tentang Stephanie Dirga, tunangannya.
***
Dia menunggu. Terus menunggu laki-lakinya pulang. Dia bahkan sengaja membeli gaun baru, juga pergi ke salon langganan untuk memastikan penampilannya sempurna. Ya, mulai sekarang dia akan memberikan yang terbaik untuk Radit-nya. Apapun yang laki-laki itu minta dia akan turuti saja. Karena dia sedang jatuh cinta. Benar-benar jatuh cinta.
Matanya sudah berkali-kali melirik ke jam di atas dinding sana. Ini sudah semakin larut. Apa Radit masih meeting? Dia mengangkat ponselnya dan mencoba menghubungi Radit. Berulang kali, namun usahanya selalu gagal. Biasanya Radit akan selalu memberinya kabar, mengangkat telponnya sesibuk apapun dia. Kenapa malam ini ponselnya mati? Lalu dia mencoba nomor Lina, sekertaris Radit. Sebelum sempat terhubung, pintu apartemennya diketuk saja.
Senyumnya terkembang. Kenapa Radit tidak langsung masuk saja? Apa ini salah satu bentuk kejutan lainnya selain apartemennya yang dipenuhi bunga? Pintu dia buka, lalu sosok Lina ada disana.
"Selamat malam Ibu Stephani Dirga." Ekspresi Lina keras sekali. Tangannya menenteng koper berwarna hitam.
"Lina, kenapa wajahmu seperti itu? Mana Radit? Dia nggak apa-apa kan?"
"Saya kesini hanya untuk menyampaikan titipan dari Bapak Radita." Lina menyerahkan koper itu saja. "Terimakasih..."
"Lin, mana Radit?" Tangan Stephanie sudah menggenggam lengan Lina.
"Maaf Bu. Hanya itu pesan Bapak Radita. Selamat malam." Lina berlalu dari situ begitu saja.
Dia masuk sambil menenteng koper berat itu. Masih tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Tangannya sudah membuka koper itu setelah diletakkan di meja. Matanya membelalak ngeri melihat foto-foto itu terjatuh begitu saja. Foto-fotonya sendiri yang sedang bersama Adrian. Foto dia yang masuk ke dalam kamar hotel dengan laki-laki itu, atau makan siang bersama Adrian dan teman-temannya sendiri. Lalu ada tumpukan uang didalam koper dengan secarik kertas. Pesannya berbunyi...
Ini, saya gandakan uang kamu sebesar nilai taruhan atas saya dengan teman-teman kamu. Ditambah dengan bunganya. Sebagai bonus, kamu bisa simpan cincin berlian itu dan juga kado ulang tahun kamu yang sudah saya siapkan sebelumnya. Untuk berjaga-jaga, siapa tahu nanti kamu butuh untuk menggadaikan semua itu setelah kamu menggadaikan hatimu.
Selamat tinggal Stephanie Dirga Wiratmaja. Semoga kamu selalu berbahagia.
-Radita Tanubrata-
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Dadanya terasa perih sekali. Tubuhnya ambruk ke lantai, dia menangis.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro