46. One
Kedua laki-laki itu duduk dalam satu ruangan. Salah satunya berpakaian jas formil tanpa dasi dan terlihat tenang sambil menerangkan, satu lainnya hanya mengenakan setelan kemeja yang sudah digulung setengah lengan dan celana kerja, tapi dahinya sudah mengernyit serius sekali.
Robert melangkah masuk sambil tersenyum saja. Puas dengan apa-apa yang dia tahu tentang perkembangan Mahesa Tanandra selama beberapa bulan ini dari Thomas Ainsley orang kepercayaannya. Ini langkah yang benar dan tepat, Tanandra bahkan lebih cerdas dari Adrian dulu. Laki-laki itu tidak banyak bicara, fokus sekali dengan apa yang dilakukannya, juga memiliki integritas yang tinggi. Tegas untuk hal-hal yang melenceng dan tidak benar, namun bisa fleksible ketika sedang bernegosiasi. Intuisi bisnisnya tajam ditambah dengan kemampuan financialnya yang hebat membuat Thomas terkagum-kagum juga. Jadi, dia sudah tahu kemana arah bisnis keluarganya nanti.
"Selamat sore, apa saya mengganggu?" Robert sudah tersenyum saja.
"Hai Rob, kamu datang disaat yang tepat. Kita sedang berdiskusi dan membuat strategi untuk proyek pemerintah selanjutnya." Senyum Thomas terkembang saja.
"Saya suka dengan semangat kalian. Tapi saya pikir tidak akan mudah untuk bernegosiasi lagi dengan Bayu Tielman nanti. Dia sudah tahu soal kasus Adrian dan sedikitnya itu membuat rasa percaya Bayu pada GT Techno berkurang. Saya tidak yakin Bayu ingin memulai sesuatu dengan kita lagi setelah chip pintar itu selesai." Robert duduk di salah satu kursi.
"Saya pikir Presiden kita yang menjabat saat ini adalah orang yang sangat berpikiran terbuka dan pemerintah di sini tidak selalu perihal departemen perdagangan kan? Jadi mungkin ini bisa membantu juga nantinya," ujar Tanan. "Dan ide baru itu harus selalu ada, perihal eksekusinya kita bisa alihkan ke sesuatu yang lebih komersil jika memang pemerintah menolak ide ini."
Robert tertawa. "Kamu bahkan selalu menolak jabatan itu anak muda, tapi diam-diam kamu mempelajari semuanya. Kemudian sekarang kamu mulai berbicara persis seperti Thomas, bernegosiasi dengan saya." Tawa Robert makin lebar. "Jadi apa saya bisa berasumsi bahwa kamu setuju dengan penawaran kepemilikan saham dari saya?"
Tanan tersenyum sejenak. "Salahkan rasa ingin tahu saya yang besar sekali dan teknologi adalah sesuatu yang sangat menarik. Ini juga karena Thomas yang tidak habisnya mencekoki saya dengan segala informasi. Laboratorium yang GT Techno punya pun tidak main-main. Itu luar biasa untuk saya."
"Mahesa, jadi apa yang kamu inginkan?" tanya Robert sambil menatap laki-laki muda dihadapannya ini.
"Apa saya bisa mencoba Rob?"
Tawa Robert membahana lagi. "Kenapa kamu bertanya? Jika saya bisa, saya akan memaksa."
"Dan Rob, strategi pengembangan ini bukan hanya ide saya. Ini ide Radit juga. Dia sungguh-sungguh tertarik, tapi dia paham benar posisinya."
"Ya ya, sayang sekali Radita tidak bisa bergabung dengan kita. Dia punya Adikinarya yang harus dia jaga, dan juga pastinya cucu saya. Tapi keputusannya bijaksana. Saya juga menghargai ide-idenya dan saya yakin kalian bisa saling membantu nanti."
"Jadi, saya pikir tugas saya sudah selesai?" Thomas menoleh pada Tanan dan Robert.
"No no no, jangan kemana-mana dulu Thom. Saya masih sangat membutuhkan bimbinganmu." Tanan tertawa sambil menggelengkan kepalanya.
"Kamu yakin kamu masih membutuhkan saya Mahesa? I don't think so." Thomas tertawa sambil meledek Tanan. "Lagian kamu punya Robert di sini. Dia masternya."
"Oh tidak, aku sudah terlalu tua." Keluh Robert dengan nada bercanda.
Lalu mereka tertawa lagi.
***
Pantai itu indah sekali. Pasirnya putih dengan air biru yang jernih. Reyhani benar-benar terpana dengan hamparan pemandangan di depan matanya.
"Jadi, masih mau marah sama aku?" tanya Radit yang berjalan di belakangnya.
Tubuh Hani berbalik dan menatap laki-lakinya itu. Penampilan Radit hari ini kasual sekali. Dengan kemeja putih lengan pendek yang santai dan celana selutut berwarna khaki. Tubuh atletisnya itu tegak menghadapnya. Hani paham benar Radit sedang menatapnya sekalipun matanya yang hitam dan sedikit abu-abu itu tertutup oleh kacamata.
"Iya, aku masih marah. Kamu konyol banget."
Lalu Radit tersenyum saja, memperlihatkan jajaran giginya yang berderet rapih. Saat seperti ini, Reyhani menahan nafasnya sejenak. Laki-lakinya itu, seksi sekali.
"Han, ini hanya foto pre-wedding. Sesuatu yang sangat wajar dilakukan kalau kita ingin menikah."
'God, jangan senyum-senyum begitu Dit. Kamu tampan tapi benar-benar menyebalkan,' sungut Hani dalam hati sambil menutupi debar jantungnya sendiri.
"Ya wajar untuk kamu, nggak wajar untuk aku. Kamu culik aku ke sini dengan segala rayuan gombal kamu. Bilang mau berlibur lah, mau berduaan sama aku lah. Nggak tahunya ada fotografer yang ikuti kita kemana-mana dan foto semua kegiatan kita." Dia sudah mulai berjalan menyusuri pantai yang saat itu tidak terlalu ramai. "Dan kamu baru aja bilang sama aku setelah tiga hari kita di sini? God, kamu menyebalkan."
"Foto candid itu jenis foto yang terbaik. Bukan foto norak yang di atur-atur suruh menghadap ke sini, senyum ditahan. I don't like. Aku mau semua natural aja. Kita tertawa, tersenyum karena kita ingin, bukan karena kita diminta seperti itu." Laki-lakinya itu masih menjelaskan sambil tersenyum saja. "Sayang, lagian hasilnya bagus banget. Kenapa kamu masih marah?" Radit berjalan mengikuti tubuh Hani yang berada di depannya. Wanitanya itu masih kesal karena akhirnya dia menunjukkan hasil foto-foto pre-wedding mereka yang diambil tanpa sepengetahuan Hani.
"Ya itu pelanggaran hak asasi namanya. Dan aku nggak suka dikuntit orang begitu. Gimana kalau misalkan dia foto waktu kita..." Hani tidak melanjutkan kalimatnya. Sikap Radit sopan sekali padanya beberapa hari ini. Radit bahkan benar-benar tidak bertandang ke kamarnya yang memang terpisah dengan kamar Radit sendiri.
"Kita apa?" Senyum Radit makin lebar. "Apa kamu berharap kita melakukan 'apa-apa'?"
"Bukan begitu maksudku. Kamu juga sopan banget karena tahu kan kita diikutin, coba kalau nggak." Hani menggelengkan kepalanya mengingat tubuh Radit yang bertelanjang dada pagi tadi saat dia berenang di hotel.
'Shit, kenapa jadi gue yang konslet sekarang?' rutuk Hani dalam hati.
"Dugaan kamu benar, karena kalau timnya mereka nggak ada mungkin kita..." Radit menghentikan langkahnya sambil tersenyum usil.
Kemudian tubuh Hani yang berada di depannya juga berhenti lalu berbalik saja hingga mereka berhadapan. "Kita apa?"
"Kita enak-enakkan pastinya." Senyum konyol Radit mengembang sempurna.
"Tuh kan, mulai kan." Hani seperti punya firasat sendiri bahwa Radit akan usil lagi.
"Mereka sudah nggak ada sekarang, jadi aku mau mulai usil ya." Tubuh Radit mulai berjalan perlahan ke arah Hani sementara wanitanya itu mulai melangkah mundur bersiap-siap berlari.
"Radit, jangan bercanda kamu." Hani berlari menjauh dari Radit tapi juga sambil tertawa melihat wajah konyol itu.
Dia tidak perduli pada protes wanitanya itu. Sungguh dari beberapa hari yang lalu hanya keberadaan tim fotografer yang dia sewa saja yang membuat dia menahan dirinya. Tapi sore ini, Hani benar-benar terlihat sempurna. Dengan gaun putih yang chic sekali juga rambut kecoklatan yang tergerai begitu saja. Tangannya sudah berhasil menangkap Hani dalam pelukan, sekalipun yang ditangkap masih berusaha lari darinya.
"Radit, lepasin nggak?" Kepala Hani menggeleng sambil tertawa.
"Nggak akan, siap-siap nanti malam ya."
"Ini bukan honeymoon kita Dit, dasar usil. Radit!!"
Setelah puas tertawa dan saling menggoda, mereka diam sambil masih berpelukan. Radit sudah meletakkan dahinya pada dahi wanitanya itu.
"Kita dinner hari ini ya?" matanya masih menatap Hani saja.
"Setiap hari juga kita makan bareng."
"Kali ini istimewa. Sesuatu yang dari dulu pingin aku lakukan dengan kamu."
Hani tersenyum kecil. "Kamu nggak perlu melakukan apa-apa lagi buat aku Dit. I'm yours already."
"Wow, belakangan ini aku selalu suka dengan kalimat kamu."
"Hey, aku juga bisa ngerayu dan rayuan aku, nggak murahan kayak kamu."
Tawa kecil Radit sudah di sana. "Andai kamu tahu, kalau sekarang aku lagi tersiksa banget nahan-nahan begini Han. Nanti kalau sudah resmi, kita bulan madu sebulan penuh, nggak kurang dari itu." Bibir Radit mencium Hani sesaat, lalu dia melepaskan pelukan mereka dan menggandeng tangannya sambil mulai berjalan lagi.
"What? Sebulan?" Mau tidak mau Hani mengikuti langkah Radit yang kembali menuju hotel.
"Yes sebulan, nggak kurang dan boleh lebih."
"Hey Bapak CEO, kamu pikir kerjaan kita berdua bisa menunggu sebulan apa?"
"Bisa. Semua bisa menunggu karena aku sudah tidak bisa."
"Dit."
"Aku nggak mau didebat lagi Nyonya. Silahkan bersiap-siap, aku jemput kamu di kamar jam 6.30."
Tangan Radit menariknya dalam pelukan lalu menciumnya kuat sesaat. Lalu dia melepaskan tubuh Hani perlahan.
"Tapi..." Hani sudah mau membantahnya saja.
"Jangan mulai. I'll pick you up later. I love you."
Radit sudah berlalu saja meninggalkan Hani yang menggelengkan kepala.
***
Tepat pukul lima Hani tiba di kamarnya. Dia sudah menemukan kotak besar berpita merah dan berwarna hitam dengan signature Elie Saab pada bagian luarnya berada di atas kasur. Senyum kecilnya terbit. Tangannya mulai membuka kotak itu. Gaun malam dengan kartu di atasnya.
It is not a wedding dress but it is still Elie Saab, your favorite designer. You are perfect, no matter what you wear. Jadi, kamu bisa pilih untuk tidak memakai gaun itu karena kamu nggak mau nurut aku begitu saja. Atau...kamu pakai gaunnya dan sadar kalau sesuatu yang sempurna itu layak untuk kesempurnaan lainnya. No matter what you choose, my love stay the same. –RD.T-
Kepalanya sudah menggeleng saja. Radit selalu bisa mengejutkannya. Tapi ternyata, itu semua tidak berhenti di situ saja. Radit benar-benar serius soal makan malam ini. Karena ketika dia berjalan ke kamar mandi ingin bersiap-siap, sudah ada kotak hitam lainnya di sana.
'Okey, yang ini aku akan beneran marah kalau kamu beli Dit.' Gumamnya dalam hati melihat ukiran nama Harry Winston di sana.
Tangannya membuka kotak hitam itu. Satu set perhiasan berlian yang mewah sekali berkilau. Lagi-lagi dengan kartu ucapan.
Aku paham sekali kamu akan sangat marah jika aku belikan ini. Tenang Sayang, ini hanya pinjaman. Jangan berpikir aku tidak bisa memberikan ini untuk kamu, tapi aku hanya tidak mau kamu marah dan melewatkan malam tanpa melihat senyummu. Pakai. Jika kamu berubah pikiran dan ingin memilikinya, kamu hanya tinggal bilang iya. -RD.T-
Sungguh pipinya sudah bersemu merah, senyumnya merekah sempurna. Selama ini perilaku Radit biasa saja, tidak berlebihan. Atau mungkin Radit hanya banyak mengalah untuknya. Laki-laki itu bahkan tidak pernah mengeluh jika dia mengajak Radit makan di tempat-tempat yang tidak terduga, jajan di pinggir jalan atau di warung sederhana, atau tentang kenyataan bahwa Radit tidak pernah meminta supir untuk menjemputnya di rumah sakit atau mengantarnya kemana-mana. Radit selalu berusaha ada, selalu berusaha membuatnya nyaman bahkan dengan standar hidupnya yang tinggi karena Radit memang datang dari keluarga berada. Ya, itu Raditnya.
Hani juga paham benar dengan kenyataan yang ada saat ini. Dia sendiri berasal dari keluarga yang kaya raya. Jadi dia melihat sendiri bagaimana Robert dan Winda berperilaku setiap hari yang terkadang untuknya sedikit berlebihan. Tapi Radit, laki-laki itu menahan seluruh egonya dan mengalah saja padanya. Sekalipun saat ini, Radit sepertinya tidak ingin dibantah lagi. Sedikitnya dia merasa Radit lebih mendominasi. Entah kenapa, itu membuat jantungnya berantakan karena dia makin tergila-gila. Dia makin jatuh pada pesona laki-laki yang sebentar lagi resmi menjadi suaminya itu.
'Oh ini gila, tapi ini menyenangkan sekali,' senyumnya dalam hati.
Kemudian dia tidak mau membuang waktu lagi. Segera bersiap-siap agar penampilannya sempurna.
Malam itu di restoran
Mereka berdua terlihat sempurna. Bukan hanya penampilan mereka saja, tapi juga aura khas pasangan yang sedang jatuh cinta benar-benar bisa terlihat dari bagaimana cara mereka saling berpandangan atau saat mereka bicara. Sentuhan-sentuhan Radit yang sopan namun senyumnya yang hangat, atau bagaimana matanya tidak bisa lepas dari Reyhani yang sama bahagianya. Sungguh membuat siapa saja yang berpapasan dengan mereka dibuat iri.
"Kita makan dimana?" tanya Hani ketika mereka sudah di lobby.
"Tempat istimewa." Radit hanya tersenyum saja.
"Aku nggak mau kamu bawa ke kapal dan makan malam di sana, kalau itu rencanamu." Dia masih ingat benar hal itu adalah hal yang dilakukan Radit untuk Stephanie dulu.
Kepala Radit menggeleng perlahan. "Ya Tuhan, kenapa kamu bisa tebak apa rencanaku?"
"Radit, aku serius."
Radit tertawa kecil kemudian mencium lembut jemari Reyhani yang dia genggam. "Rahasia." Kemudian sedan hitam mewah itu sudah datang, Radit mempersilahkan Hani masuk sebelum dirinya sendiri menyusul ke kursi belakang.
Mereka berkendara empat puluh menit lamanya. Sambil keduanya menikmati suasa hening yang ada diantara mereka. Hening karena Hani sibuk melihat keluar jendela dan menebak-nebak sendiri kejutan apa yang Radit siapkan untuknya, juga hening karena Radit yang memuaskan matanya memandang Hani dari samping, melihat betapa mata wanitanya itu bersinar bahagia. Itu membuat Reyhani menjadi berkali lipat cantiknya. Tangan Radit juga tidak lepas menggenggam Hani. Sungguh dia bahagia karena akhirnya dia memiliki kisahnya sendiri. Setelah perjalanan panjang dan melelahkan.
"Ini, villanya siapa?" tanya Hani ketika mereka sudah tiba di pelataran masuk villa.
"Ini villa keluarga kami." Radit membiarkan Hani berjalan lebih dulu melewati selasar utama.
"Wow, cantik banget. Kenapa kita menginap di hotel kemarin-kemarin?" Hani tersenyum pada seorang pelayan yang membukakan pintu. Matanya menatap ke sekeliling villa yang arsitekturnya unik sekali. Villa itu letaknya di pinggir tebing yang menjorok ke lautan.
"Karena beberapa alasan. Pertama, kalau kita di sini aku nggak yakin bisa kontrol diriku sendiri. Juga karena, aku nggak mau kamu merasa tidak nyaman."
Reyhani menghentikan langkahnya lalu berbalik ke arah Radit. "Kamu yang terbaik karena selalu memikirkan perasaanku di atas yang lain."
"God, saya pingin ajak kamu ke kamar utama aja jadinya. Nggak kepingin makan malam lagi." Kepala Radit menggeleng kecil sambil bibirnya tersenyum saja. Reyhani malam ini terlihat luar biasa dengan gaun malam hitam berlengan panjang namun punggungnya terbuka. Wanitanya itu memiliki auranya sendiri.
Radit sudah melangkah di sebelah Hani dan menggenggam tangannya lagi. "I'll show you the best view."
Reyhani tersenyum tapi mengikuti saja kemana Radit membawanya. Mereka melewati ruang tengah yang memiliki perapian pada dinding utama. Juga sofa-sofa besar berwarna putih yang cantik. Interior villa itu didominasi warna putih dan kayu. Hani suka sekali. Kemudian mereka sampai di bagian belakang villa yang dipisahkan dengan pintu jendela besar. Kolam renang dengan desain infinity pool berukuran sedang menghampar di sana. Ujung kolam itu langsung berbatasan dengan pinggiran tebing. Di sebelah kolam, teras yang berukuran lebar dengan dua kursi makan yang memang sengaja sudah dipersiapkan ada di sana. Lilin-lilin kecil menghiasi sebagian besar area. Hani harus setuju, bahwa pemandangan ini, sempurna.
"Wow..." Tubuh Hani melangkah menuju pinggir balkon, menatap hamparan laut di hadapannya. Langit di atas mereka cerah sekali, Hani bahkan bisa melihat bintang-bintang di sana. Belum lagi suara deburan ombak yang seperti persis berada di bawah kakinya. Dia terpana.
"Radit, ini sempurna." Wajah Hani menatap lurus ke depan, memuaskan matanya dengan apa yang dia lihat sekarang.
Radit menatap Hani dari belakang. Dia mencintai wanita ini hingga terkadang rasanya gila. Jadi dia bahagia melihat senyum Hani yang tidak meninggalkan wajahnya. "Ini memang sempurna, karena kamu ada di sini bersama aku."
Wajah Hani menunduk sejenak, dia masih tersenyum. Apalagi merasakan tangan Radit yang merengkuhnya dari belakang. "Kamu itu, cinta pertama buat aku Dit. Awalnya, aku takut kalau kita tidak akan berhasil. Jadi, aku berusaha keras menolak apa yang aku rasa karena aku takut terluka. Tapi, kamu sangat keras kepala. Kamu tetap berdiri dan berusaha meyakinkan aku berkali-kali. Kamu benar-benar ada untuk aku Dit, seburuk apapun kondisi..." Satu air mata Hani meluncur saja. "...dan kita bertahan diantara semua kegilaan itu. Apa kamu tahu bagaimana rasanya?"
Kepala Radit menggeleng perlahan, tangannya masih mendekap Hani erat. "Rasanya nyaman, benar, dan aku tidak ingin minta apapun lagi. Kita saja, itu sudah cukup."
Dia bisa merasakan tangan Radit yang makin mengeratkan pelukannya dari belakang, juga bibir laki-laki itu yang mencium belakang kepalanya sayang.
"Kamu juga yang pertama untuk aku."
Hani terkekeh kecil. "Bohong."
"Karena yang lainnya sudah aku hapus, hilang, bersih. Aku sudah pernah bilang kan?" Radit memberi jeda. "I love you, Doc." Dia berbisik di belakang telinga Hani. "...dan itu bertambah setiap harinya."
Tubuh Hani berbalik sempurna. Dia mengalungkan lengannya pada leher Radit saja. Kali ini, dia yang memulai. Bibirnya mencium Radit sesaat. "So much. I love you so much, Radita Tanubrata." Untuk kesekian kalinya malam ini, dia tersenyum bahagia sambil menikmati ciuman mereka.
Setelah semua yang mereka lalui mereka berada di sini. Siap memulai sesuatu yang baru. Hidup tidak pernah menjanjikan sesuatu yang sempurna. Tapi, apa yang mereka miliki ini sempurna. Semua bahagia, setelah semua usaha. Semua rasa, setelah semua dera. Dan itu semua, membuat mereka kuat. Karena akhirnya mereka adalah dua, yang menjadi satu.
***
Waaah....akhirnya selesai versi wattpadnya. Cerita ini memang unik, rom-com yang di twist di akhir cerita dengan aksi laga. Nggak sangka antusiasme kalian tetap luar biasa. Anyway, terimakasih buat semua keseruannya ya. Buat readers dan voters yang baca pas lagi on going, kalian seru dan keren banget. Buat semua calon-calon pembaca Distance yang lainnya juga.
Extra part sudah disiapkan dan nggak kalah seru dan konyolnya. Akan ada dalam versi ebook dan buku fisik. Biar bisa peluk barengan sama LHSIB. Doakan proses edit lancar dan antrian penerbit nggak banyak ya. Saran aja, semasa belum di un-pub baca deh sepuas-puasnya. Karena Distance sudah setengah jalan edit sekarang.
Nextnya apa? Kayaknya kalian udah tahu deeeh...beneran masih mau dikasih tahu. Jangan lupa ramaikan last part ini ya dan siap-siap buat keseruan selanjutnya di next SAGA. Are you ready???
Love you Genks. Itu mah setiap hari deh.
-Ndi-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro