Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

45. Mad

"Jadi, konsepnya mau seperti apa?" Sabiya menatap Reyhani yang duduk dihadapannya. Mereka sedang berada di ruang tamu butik miliknya. Winda adalah langganan tetap, hari ini wanita itu membawa serta cucunya, Reyhani.

"Harusnya ini jadi pesta sederhana, hanya dihadiri keluarga saja."

Winda tersenyum dan menatap Hani lembut. "Sayang, kita sudah bicara soal itu."

"Oma, ya Tuhan. Aku benar-benar tidak nyaman."

"Biya, ukur dulu. Kita bicarakan konsep nanti."

"Oke. Amy akan membantu."

Asistennya sudah menghampiri Reyhani dan memintanya berdiri mengikuti dia yang sudah melangkah ke ruang ganti terpisah. Sabiya masih duduk menatap Winda Straussman.

"Cucu anda terlihat tidak nyaman."

Winda tersenyum. "Memang. Kami baru berkumpul lagi dari perpisahan panjang. Bagaimana kabarnya Damar?"

Sabiya balas tersenyum. "Baik, dia baik. Dia semakin tinggi saja."

"Kamu harus segera mencari pengganti, Biya. Sudah terlalu lama kan?"

"Saya belum tertarik. Damar benar-benar membuat saya sibuk dan wanita seusia saya, apa masih pantas untuk..."

"Sabiya, kamu masih muda, cantik dan menarik. Satu kegagalan rumah tangga tidak menjadikan tolak ukur kualitasmu sebagai wanita. Karena permasalahan rumah tangga itu bisa sangat pelik."

Sabiya tersenyum saja sambil sedikit menundukkan kepalanya. Dia selalu tidak suka topik pembicaraan ini.

"Aku akan mendoakan semoga kamu mendapatkan yang terbaik," ujar Winda lagi.

Tawa kecil Sabiya sudah di sana. "Terimakasih Oma. Saya akan membuatkan gaun yang terbaik untuk cucu anda."

"Aku tahu, karena itu aku selalu ke sini." Tangan Winda menyentuh lengan Sabiya lembut.

Sementara itu di ruang ganti.

Hani berdiri gelisah sambil menggigit ujung bibirnya. Dia paham status barunya sebagai cucu keluarga Straussman, tapi dia tidak paham kenapa semua jadi berlebihan. Dan ini pesta pernikahannya, harusnya dia yang menentukan. Lalu tangannya memijit ponsel itu kesal.

"Ya Sayang. Gimana fittingnya?"

"Radit, kita nikah di KUA aja deh." Oh dia merasa seperti anak kecil yang sedang merajuk. Apalagi reaksi Radit malah tertawa di seberang sana.

"Dan melewatkan melihat kamu pakai kebaya rancangannya Sabiya atau gaunnya Elie Saab? No Sayang."

"Oh God I hate you. Bisa-bisanya kamu ketawa." Dia mendesah kesal. "Dan satu lagi Dit. Kenapa ada orang dari Harry Winston telpon aku? Bilang aku harus kirimkan ukuran jariku."

"Kamu sendiri yang bilang mau berlian yang kayak punya J-Lo kan?"

"Radit, itu bercanda deh, dasar kebangetan. Aku nggak mau kamu pesan yang aneh-aneh ya."

"Han, kamu itu calon istriku. Seseorang yang akan aku nikahi. Wajar kan aku mau semua yang terbaik?"

"Oh God, you really sounds like my Grandpa now." Tubuh Hani sudah berjalan mondar-mandir saja. "FYI, aku nggak akan pakai gaun Elie Saab atau terima cincin yang harganya selangit itu.Titik."

"Terus, enaknya aku kasih siapa ya?"

"Terserah."

Lagi-lagi Radit tertawa di seberang sana. "Sebenarnya aku sedikit senang karena kamu merajuk begini Han. Kamu seperti anak-anak. Aku jemput kamu jam berapa?"

"Nggak perlu. Aku nggak mau ketemu kamu."

"Yakin?"

"Kamu ngomong terus dengan nada begitu aku bener-bener nggak mau ketemu seminggu. Aku bukan anak kecil ya."

Tawa Radit membahana lagi. Karena kesal Hani menutup telponnya saja. Dalam sepersekian detik telpon itu berbunyi lagi.

"Apa lagi?"

"Duh galak banget. Salah aku apa nih?" Suara Tania di sana.

"Eh Tan. Maafin ya, ampun deh. Aku lagi kesel sama Radit."

Tania tertawa saja. "Aku mau telpon dan tanya, apa kamu udah putusin soal gabung bareng kita di MG?"

Tubuh Hani duduk di sofa terdekat. Amy memang sudah keluar ruang ganti sedari tadi karena kegiatan ukur-mengukur sudah selesai. Jadi dia hanya sendiri di ruangan itu.

"Entah Tan, aku masih nggak yakin. Kayaknya aku pingin teruskan ke sub spesialis."

"Setelah kamu tahu siapa keluarga kamu, kamu masih mau nerusin sub spesialis? Beneran Han? Kalau aku jadi kamu, aku langsung pergi keliling dunia. Jalan-jalan menikmati hidup. Bukan malah mau nerusin sekolah." Tania terkekeh lagi.

"Hey, look who's talking Antania Tielman. Anak kesayangan Bayu Tielman si Bapak Mentri menjabat." Hani tertawa kecil juga, balas meledek Tania.

"Aku tidak sekaya kamu Han."

"Oh God, please. Jangan ungkit harta yang bukan benar-benar aku hasilkan sendiri deh Tan. Apa bangganya dapat warisan begini."

Mereka tertawa saja. "Ya ya. Anyway, ayolah Han. Kita bertiga di MG Top Priority Floor. Kamu yakin nggak mau ikutan? Sambil lihatin Adrian Straussman terbaring koma dan bisa kamu coret-coret wajahnya kalau kamu lagi kesal."

Hani tersenyum mendengar ide konyol yang sepertinya mengasyikkan itu.

"Kamu tahu nggak, kemarin aku ketemu Iwan Prayogo."

"Siapa dia?"

"Duh, dasar outdated. Iwan Prayogo itu Si Bapak Besar. Pengusaha tambang yang bisnisnya menaungi bisnis-bisnis di bawah yang lebih berbahaya. Kata Aryan, dulu Iwan Prayogo itu bapaknya preman-preman. Bahunya terluka karena habis pukul-pukulan. Laki-laki itu masih prima dan fit banget diumurnya yang segitu. Katanya lawannya meninggal Han. Drug dealer yang melewati batas, info dari Aryan begitu. Kasus-kasus aneh dan unik makin banyak belakangan ini. Dan pasien-pasien itu pasien yang dirahasiakan dari pemberitaan di luar. Aryan berspekulasi ini karena Herman marah dan dia mulai mendanai jaringan preman-preman di bawah. Bersiap-siap dengan cara Herman sendiri."

Hani diam, mencerna. "Tan, apa Mareno ada di MG?"

"Kalau kamu mau tahu, gabunglah dengan kita Han. Ini seru."

"Radit nggak akan setuju. Dia beneran marah soal kejadian kemarin Tan. Apalagi kalau Kakekku tahu."

Lagi-lagi Tania tertawa, kali ini lebih keras daripada sebelumnya. "Halo? Apa aku bicara dengan Reyhani? Yang selama ini mandiri sekali. Oh aku rindu dengannya."

Mau tidak mau Hani tersenyum juga, mengerti bahwa Tania sedang menyindirnya.

"Jadi gimana Dok?"

"I don't know."

"Ayolaaah."

Ponsel Hani bergetar, tanda panggilan masuk lainnya. "Tan, aku hubungi lagi nanti ya. Radit telpon."

"Ih aku sebel sama pacar kamu yang posesif itu. Bisa nggak dia nggak bawel sekali-kali. Hubungi lagi aku nanti yah. See you Han."

Hani tersenyum lalu menjawab telpon Radit. "Ya?"

"Masih ngambek? Kok aku nggak ditelpon balik?"

"Kamu nggak meeting apa?"

"Nggak. Ini udah di luar. Kok kamu nggak keluar-keluar dari ruang ganti? Aku masuk ya."

"Radit..." Hani berdecak kesal lalu dalam beberapa saat sosok laki-laki usil kesayangannya itu sudah muncul dari balik pintu.

"Loh, kok masih pakai baju?" Senyum konyol Radit sudah terkembang saja.

"Jewer lagi mau? Kok Oma biarin kamu masuk?"

"Aku udah minta ijin buat masuk sama Oma kamu dan beliau ngijinin." Ujar Radit sambil berjalan mendekati Hani. Dua tangannya sudah merengkuh Hani dalam pelukan. "Katanya udah boleh, sekalipun belum sah."

"Bohong, menyebalkan dasar." Hani menatap Radit kesal namun tersenyum juga.

"Kamu ngapain sih nyusul-nyusul? Ini kan urusan perempuan?"

"Kangen, sama kamu." Satu ciuman sudah mendarat di pipi Hani.

"Radit, ada Amy dan Sabiya di luar. Belum lagi ada Oma juga. Kamu tuh ampun deh. Permisi-permisi." Hani berusaha melepaskan tangan Radit yang masih memeluknya.

"Gaunnya jangan seksi-seksi. Aku nggak rela cowok-cowok lain liatin kamu nanti."

"Nggak seksi, Cuma transparan aja, biar kamu tahu rasa." Tubuh Hani sudah berhasil lepas dari Radit. Wanita itu segera keluar dari kamar ganti.

"Mba Biya, Oma saya mana?"

"Sedang di kamar mandi. Apa kamu sudah putuskan konsepnya?" Sabiya yang sedang berdiri berjalan menghampiri Hani. Dia tersenyum melihat sepasang kekasih itu. "Kalian berdua cocok banget. Perfect match buat jadi model iklan butik saya. Nanti saya minta ijin pasang foto kalian di sini ya."

"Tuh kan Sayang, kita itu cocok, semua bilang begitu. Dia suka kelamaan Biya. Padahal mah udah jatuh cinta dari waktu awal lihat saya dulu." Ujar Radit lagi sambil merangkul bahu Hani.

"I'm what?" Hani menoleh tidak percaya pada Radit yang sedang mengulum senyumnya.

"Udah jangan ngambek mulu. Kamu jadi tambah cantik nanti." Radit mencium cepat pipi kanan Hani yang segera memukul pundak Radit saja.

Semua itu membuat Sabiya tertawa.

***

Di dalam mobil.

"Kamu kenal Sabiya?" tanya Hani sambil menatap Radit dari samping.

Radit mengangguk kecil.

"Maksud aku beneran kenal Dit. Ya kan siapa yang nggak tahu Sabiya si designer top langganan artis-artis."

"Nama panjangnya Aluna Sabiya."

"Masa? Bagus ya namanya. Wajahnya menarik, nggak ngebosenin. Terus kelihatan orangnya cekatan banget. Cermat dan juga smart."

Radit tersenyum lagi.

"Dit? Kok kamu senyum-senyum kecil doang sih." Dahi Hani mengernyit penasaran dengan reaksi laki-lakinya itu. "Jangan bilang kalau Sabiya itu salah satu mantan pacar kamu."

Laki-lakinya itu malah tertawa. "Mana ada cowok yang berani deketin Sabiya."

"Kenapa memangnya?"

"Dia itu sahabat kecil si empat saudara. Teman mainnya Mareno dan saudara-saudaranya."

"Sempet pacaran sama Mareno mangkanya nggak ada yang berani deketin?"

"Mareno berharapnya begitu. Aku juga." Ujar Radit dengan senyum konyolnya.

"Tuh kaaan bercanda lagi."

"Ya abis Sabiya emang menarik banget. Dia smart, kalau diajak ngomong itu nyambung banget. People person. Tapi sayang urusan cinta dia kurang beruntung."

"Maksudnya?"

"Dia single parent Han. Dan kasus gagalnya rumah tangga dia dulu bikin Hanif dan Mareno ngamuk berat. Jadi mereka over protective sama Sabiya."

"Over protective maksudnya?" Hani merutuki rasa ingin tahunya yang besar sekali yang akhirnya membuat dia tidak bisa berhenti bertanya.

"Sayang, aku cintanya cuma sama kamu. Nggak usah cemburu gitu sama Biya."

"Radit, Sabiya nya juga nggak mungkin gitu suka sama kamu. Sekarang malah sangkain aku cemburu."

"Kalau sama Stephanie? Kamu cemburu nggak?"

"Okey, mau mulai bahas mantan? Boleh. Udah berapa kali kamu sama Stephanie? Kamu masih cinta sama dia? Mau balik aja? Lebih baik aku batalin semua..."

"Han, aku bercanda."

"Aku bisa lho telpon dia dan buatin kamu janji makan siang lagi." Dia kesal sekali karena tiba-tiba ingatan akan makan siang Radit dan Stephanie muncul lagi di kepala. Akhirnya membuat tangannya sudah mengambil ponsel saja.

"Sayang, aku beneran berca..."

"Mau di hotel mana? Oh atau mau di apartemen kamu aja? Oke, aku telpon ya."

"Han, aku bercanda." Tangan Radit mencoba menggapai ponsel Hani yang langsung menghindar saja. "Emang kamu tahu nomor telponnya?"

"Kenapa malah nanya begitu? Ck..." Kepala Hani menggeleng keras sambil tangannya masih menampik tangan Radit yang berusaha menggapai ponselnya. "Kamu nyetir yang bener aja Dit. Aku aturin semua buat kamu." Entah kenapa dia marah sekali tiba-tiba. Seperti emosi yang dulu belum dia luapkan datang menghantam tanpa aba-aba. Tangannya sudah memijit tombol loudspeaker ponselnya dan nada sambung itu terdengar saja.

"Reyhani, jangan kayak anak kecil." Radit meminggirkan mobilnya. "Matikan ponselnya Han."

Hani tersenyum sinis saja. "Tenang aja, dia masih sangat cinta kamu."

Sedan hitam itu sudah berhenti dan Radit segera berusaha mengambil ponsel Hani dari tangan wanitanya itu. Dia tidak mengerti kenapa Reyhani bersikap begini tiba-tiba. Dia benar-benar bercanda tanpa ada maksud apapun.

"Sayang, matikan." Nada sambung masih terdengar. Radit hanya duduk saja menghadap Hani yang terlihat murka.

"Kenapa? Kamu takut apa?"

"Aku nggak takut apa-apa, aku cuma nggak mau kamu marah."

"Aku? Marah?"

Radit tertawa kecil. "Ya, kamu sedang cemburu dan marah sekarang. Padahal tadi aku hanya bercanda." Dia menatap Hani saja. "Matikan Sayang."

"Oh jadi itu lucu?"

Lalu suara di seberang sana menyahut. "Halo...Halo?"

Kepala Radit menggeleng saja, heran sendiri darimana Hani mengetahui nomor Stephanie. Dia menghela nafasnya. Reyhani memberikan ponsel itu padanya, kemudian tanpa dia duga, wanitanya itu turun dari mobil saja.

'God, perempuan itu kenapa sih nggak ketebak banget. BIasanya dia nggak cemburu, kenapa bisa sekarang begini coba.' Sungut Radit dalam hati. Dia langsung mematikan ponsel Hani dan bergegas keluar dari mobil mengejar wanitanya itu.

Reyhani berjalan cepat di depannya. Satu tangannya sudah berhasil menggapai lengan Hani dan membuat tubuh wanita itu berbalik saja.

"Han, ini nggak lucu. Kita di pinggir jalan Sayang."

"Oh ya? Kamu yang tertawa tadi lho." Tubuh Hani berbalik lagi tapi tangan Radit mencengkramnya kuat.

"Maafin aku."

"Untuk apa? Untuk makan siang sama dia? Atau untuk biarin dia cium kamu?" Reyhani berusaha keras menjaga intonasi suaranya. Tapi dia gagal. Bahkan sudah ada satu air mata meluncur saja. Kenapa dia sensitif sekali sih. Ada apa dengan dia hari ini?

"Ya Tuhan, aku nggak sangka kamu pilih pinggir jalan untuk tempat pertama kita berantem."

"Lepasin nggak?"

"Aku nggak paham dengan alasan kamu tiba-tiba marah. Seriusan aku cuma bercanda."

"Aku juga, aku cuma bercanda sama kamu."

Radit menarik nafasnya panjang. Paham benar satu-dua orang mulai memperhatikan mereka. "Sayang, kita bicarakan baik-baik di dalam mobil okey?" Salivanya dia loloskan saja. Mata Hani masih menatapnya marah.

"Sayang, please."

Hani menyentak tangannya yang dia genggam kuat, lalu wanitanya itu kembali berjalan menuju mobil.

***

Di apartemen Hani

Sepanjang jalan wanitanya itu bungkam, benar-benar diam. Itu membuat Radit merasa serba salah dan juga bingung. Ini kemarahan Hani pertama padanya. Maksudnya, benar-benar marah karena cemburu. 'Ya Tuhan, bagaimana ini?'

"Han." Tubuhnya berbalik ketika sepenuhnya sudah masuk ke dalam ruang tengah apartemen. Matanya mengikuti Reyhani yang masih saja diam. Hani sudah ingin menutup pintu kamar ketika dengan cepat dia menahan dengan tangannya hingga pintu itu setengah terbuka.

"Dit, lebih baik kamu pulang sekarang." Wajah Hani masih tertutup oleh pintu.

"Say..."

"Jangan panggil aku begitu."

"Reyhani, aku benar-benar minta maaf." Radit sudah berhasil membuka pintu itu lebar, dan segera melihat wanitanya itu menangis diam-diam. "Ya Tuhan Han. Aku nggak paham harus senang karena akhirnya kamu cemburu atau harus sedih karena lihat kamu begini. Maafin aku..." Radit melangkah cepat menyusul Hani yang sudah duduk di pinggir kasurnya.

Dia menempatkan tubuhnya sendiri berjongkok dihadapan Hani. Wanitanya itu masih sibuk menyeka air matanya yang jatuh saja. "I'm sorry."

"Kamu menyebalkan." Lalu tangis Hani pecah saja.

Oke, ini sedikit lucu karena wanitanya itu benar-benar kekanakkan sekali tiba-tiba saja. Tapi dia menahan dirinya sendiri agar tidak tersenyum geli. Dua tangannya langsung merengkuh tubuh Hani, menenggelamkannya dalam pelukan.

"Maafin aku. Kamu lagi PMS ya?"

"Kamu menyebalkan karena sudah buat aku cemburu. Aku nggak mau cemburu, itu kekanakkan." Hani memukul bahu Radit kesal sambil masih menangis. "Kamu itu bad influence tahu nggak?" ujarnya lagi sambil terisak. "Sudah bikin aku nggak logis begini, kekanakkan, bikin aku nggak mau jauh-jauh dari kamu. Aku nggak suka begini, ini bukan aku."

Radit tidak bergeming, dia bungkam sambil terus memeluk Reyhani. Dia bisa merasakan jantungnya bernyanyi karena kalimat barusan.

"Aku bahkan nggak bisa lama-lama marah sama kamu." Isak Hani makin keras.

"Masa? Ini lama lho? Sudah beberapa jam karena macet tadi di jalan. Coba kalau kita jalan ke luar kota, lebih lama lagi jadinya." Senyum sudah menghiasi wajah Radit sekalipun dia masih bersikukuh memeluk Hani.

Karena marah dan kesal, Hani menggigit bahu Radit saja.

"Ya Tuhan Sayang, sakit."

"Kamu itu bisa nggak sih serius sedikit?" Hani berusaha melepaskan dirinya, namun Radit tambah erat memeluknya.

Setelah beberapa saat, tangisnya mereda. Lalu tangannya merengkuh laki-lakinya itu saja. "Aku nggak mau kamu dekat-dekat Stephanie lagi. Selamanya."

"Done."

***

Part depan sudah part terakhir. Gimana nih?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro