Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

44. The kiss

"Berita utama hari ini. Pemerintah dengan resmi memulai proyek chip pintar yang awalnya akan diaplikasikan pada bidang ekspor-impor. Peresmian ini ditandai dengan proses penandatanganan kerja sama antara kantor kementrian perdagangan juga tiga perusahaan yang terlibat. Innovation Digital Technology sebagai pemenang utama tender proyek ini, disusul dengan Global Trias Technology dan juga PT Adikinarya Citratana."

"Bayu Tielman sebagai Menteri Perdagangan menjabat dan juga sebagai pimpinan proyek, memberikan keterangan bahwa ini adalah awal bentuk kemajuan teknologi yang langsung diaplikasikan pada fasilitas pemerintahan dan akan..."

Matanya menatap layar televisi. Berita tentang proses penandatanganan pilot project chip pintar itu disiarkan malam hari. Wajah Ibrahim Daud perwakilan dari ID Tech, Robert Straussman dan Thomas Ainsley yang mewakili GT Techno dan juga ayah dan mamanya ada di sana.

Akhirnya dia bisa bernafas lega. Sekalipun hatinya masih cemas menunggu Hani bangun setelah operasi. Saat ini, dia berada di ruang rawat Hani. Duduk di sebelah tempat tidur rumah sakit sambil menatap wajah tidur cantik itu. Setengah wajah wanita kesayangannya tertutup dengan masker oksigen. Aryan bilang operasi berjalan lancar, sekalipun Hani kehilangan banyak darah. Prediksi Aryan, Hani akan bangun hari ini.

Tangannya membelai satu per satu rambut coklat Hani. Dia baru menyadari rambut itu indah sekali. Coklat terang alami hampir kemerahan dan bergelombang panjang. Reyhani Abigail Straussman. Wanita terakhir yang penuh misteri awalnya. Tapi wanita ini juga yang membuat dia sembuh dari lukanya, lalu tergila-gila, berusaha keras bersabar, cemburu buta, membuatnya nyaman dan ingin menghabiskan sisa umurnya bersama dia saja. Hanya dia.

Satu tangannya menggenggam jemari Hani erat. Dia mencium jari-jari itu perlahan.

"Bangun Sayang. Aku ada di sini. Kita sudah bisa nonton Netflix seharian sambil pesan Gofood lagi," bisik Radit pada wanitanya itu. "Atau kamu mau aku belikan pizza lagi?" Radit terkekeh sendiri, mengingat bagaimana dulu dia menyematkan cincin di jemari Hani.

Lalu entah bagaimana, jari-jari itu bergerak perlahan. Wajah Radit terkejut sendiri. Dia menatap Hani sambil tidak melepaskan genggaman tangannya. Mata wanitanya itu bergerak sekalipun masih tertutup, kemudian kelopaknya terbuka saja sambil mengerjap menyesuaikan dengan cahaya.

"Diit..."

Radit tertawa, satu titik bening jatuh saja. Semua campuran rasa itu keluar dari sudut matanya. Lega, bahagia, sangat bahagia.

"Aku di sini Han." Satu tangan Radit membelai kening Hani lembut sementara tangan lainnya masih menggenggam jemari Hani. Kemudian dia mencium kening itu perlahan.

Wajah Hani menoleh menatapnya, lalu wanitanya itu tersenyum saja.

"Welcome back Han. Why it takes you so long? I miss you so much." Radit juga tersenyum kecil.

Hani tertawa dengan suara yang parau. Satu tangannya membuka masker oksigen. "Berapa lama aku di sini?" Suara Hani masih lemah sekali.

"Dari mulai ide gila kamu itu berjalan, which was yesterday." Radit mencium jemari Hani, dia masih duduk di sebelah tempat tidur rumah sakit.

Helaan nafas Radit sudah berhembus saja. Dia kembali teringat betapa dia hampir gila melihat Hani berdarah-darah seperti itu. "Don't do that again to me."

"What?"

"Kamu tembak dirimu sendiri Sayang. Kamu tahu, kalau Aryan nggak berusaha tenangkan dan jelaskan ke aku tentang kondisi kamu, aku bisa jadi gila beneran."

"Situasi dan kondisi yang buat aku pilih itu Dit. Kamu pikir aku mau?" Hani diam sesaat. Matanya menatap tangannya sendiri yang berada pada genggaman tangan Radit. Rasanya hangat. "Adrian bisa tembak siapapun dan kapanpun Dit. Kemungkinan melesetnya kecil dari jarak sedekat itu. Aku nggak mau dia melukai kalian, terutama kamu."

"Ya tapi tetap aja Han. Kamu pikir menukar satu nyawa dengan nyawa lain itu benar? Kamu tahu nggak Tanandra sama stressnya, atau Asha yang..."

Jari Hani menyentuh lembut bibir Radit. "I can not loose you. I just can't."

Tatapan Radit langsung melembut saja, menggantikan kesal yang sebelumnya ada disana. "I can not loose you too." Dia menarik nafas perlahan sambil mencium lagi jari tangan Hani. "Aku harus hubungi Aryan atau Dokter Reyn."

Tangan Hani menahan lengan Radit. "Aku mau sesuatu dulu, sebelum semua orang datang."

"Apa?"

"A kiss."

Radit tersenyum kecil. "I thought you never ask." Tubuh Radit sudah mendekat saja. Lalu wajahnya menyusul.

"Bahuku masih sakit. Pelan-pelan." Hani berujar sambil tersenyum.

"I love you so much," ujar Radit ketika bibirnya sudah hampir tiba.

Sudah tidak ada kata-kata lagi. Bibir mereka bertemu. Bukan ciuman penuh nafsu, tapi ciuman lembut yang terasa membuai. Seolah mereka sedang berkata cinta pada satu sama lainnya.

***

Keesokkan harinya.

Hani masih berada di tempat tidur yang sandarannya sudah ditinggikan. Bahunya masih dibebat karena luka setelah operasi. Tubuhnya terasa seperti habis dipukuli. Efek anastesinya sudah mulai hilang, sekalipun Aryan masih memberinya obat penghilang nyeri. Radit berada di dalam kamar mandi. Laki-laki itu bersikukuh tidak ingin meninggalkannya di rumah sakit, padahal Asha sudah bersedia menemani dia semalam.

Pintunya diketuk dan itu membuat wajahnya menengok saja. Tubuh Arsyad sudah masuk dan berjalan ke arahnya. Disusul Niko yang ada di belakangnya.

"Selamat pagi Han."

"Halo Syad. Bagaimana kabarmu?" Matanya menatap tangan Arsyad yang masih menggunakan penyangga karena lukanya saat insiden itu.

"Hanya tergores sedikit." Ekspresi Arsyad datar. "Bagaimana kondisimu sendiri?"

"Saya baik Syad. Kenapa wajahmu kaku begitu? Kemarin kamu bisa tersenyum waktu menghadapi Adrian, Syad."

"Ini wajah aslinya Arsyad Han. Kemarin hanya untuk keperluan negosiasi," jawab Niko saja.

Arsyad mendelik memperingati Niko dan Niko langsung diam saja.

Hani tertawa. "Okey okey. Apa ada berita lanjutannya?"

Radit keluar dari kamar mandi dan berjalan ke sisi tubuh Hani lainnya.

"Adrian belum siuman. Tapi ketika dia bangun, penjara adalah rumah barunya."

"Apa boleh kita nggak usah bangunin dia Syad?" tanya Radit kesal.

"Boleh. Apa kamu mau begitu Han?" Pandangannya beralih pada Hani.

Reyhani bergidik sendiri. Paham benar Arsyad mampu melakukan itu semua. "Saya disumpah tidak boleh menyakiti orang. Jadi tidak jawabannya. Jika memang Adrian tidak bangun, maka yang memutuskan adalah yang Mahakuasa."

"Oke. Herman cuci tangan. Tapi itu urusan saya. Kalian sudah tidak perlu khawatir lagi. Kontrak kerjasama chip pintar sudah dimulai. Sisanya kita hanya tinggal bekerja saja. Sementara saya masih harus berburu Herman."

"Bagaimana dengan Mareno Syad? Apa kabarnya? Apa boleh kami ke sana?" tanya Radit kali ini.

"Belum. Nanti kami kabari perihal kondisi terbaru Mareno." Matanya menatap Radit sungguh-sungguh. "Kalian berdua dan juga Mahesa, harus bisa menjaga GT Techno baik-baik."

Hani hanya mengangguk mengerti. "Arsyad, kita memang tidak kenal dekat. Tapi, kamu sudah berbaik hati menolong dan berusaha melindungi kita semua. Terimakasih Syad."

"Saya hanya melakukan apa yang paling ahli saya lakukan. Terimakasih juga untuk kalian." Tubuh Arsyad sudah berbalik berjalan ke arah pintu.

"Nanti kita akan hubungi untuk misi selanjutnya Dok." Niko mengedipkan matanya konyol.

"No no no no, jangan pernah ada misi lagi." Radit sudah menggelengkan kepalanya keras yang disambut dengan tawa Niko dan Hani. Arsyad sudah menghilang dari ruangan.

Pintu sudah tertutup ketika Radit duduk saja di sebelah tubuhnya.

"Makan ya, aku suapin."

Hani terkekeh geli. "Aku bisa makan sendiri Dit. Tangan kananku masih berfungsi dengan baik."

"Pokoknya aku suapin." Radit mencium puncak kepalanya sayang lalu berdiri untuk mengambil nampan makanan. "Itu maksudnya aku pingin kamu bermanja-manja sekali-kali Han. Kamu sadar nggak sih, kamu itu terlalu mandiri." Radit sudah kembali dengan nampan makanannya.

"Dit, daripada kamu maksa-maksa dan marah-marah. Mendingan kamu kerja sana. Kamu nggak dipanggil Papa?"

"Tuh kan, aku malah diusir."

Hani tertawa lagi melihat Radit yang merajuk.

"Sebentar lagi semua orang datang dan nanti aku nggak kebagian waktu kamu."

"You have the rest of my life Dit." Mata Hani menatap Radit sambil masih tersenyum.

Senyum Radit terkembang sempurna. Dia sudah duduk di pinggir kasur Hani berhadapan dengan wanita itu. Nampan makanan sudah ada di pangkuannya. "Sejak kapan kamu pintar merayu Dok?"

"Aku belajar dari ahlinya." Hani tersenyum jenaka.

"Siapa ahlinya?"

"Calon suamiku, namanya Radita Tanubrata."

Lalu Radit tertawa. "I really want to kiss you right now."

Suara deheman keras dari Tanandra memecah suasana. Radit berdecak kesal.

"Lo kenapa selalu ganggu sih Ndra?"

Wajah Asha menyembul dari belakang tubuh Tanandra, wanita itu tertawa juga.

"Selamat pagi." Asha sudah berjalan masuk saja kemudian menghampiri Hani dan mencium pipinya.

"Nggak ada ya, kalian macem-macem sebelum married. Han, jaga sampai married. Jangan sampai keduluan Radit." Tanan langsung duduk di sofa saja.

"Lo pulang aja deh Ndra."

"Mereka itu kayak Tom and Jery ya. Kalau berdua ketemu berantem mulu. Tapi tetep aja sahabatan, heran." Ujar Hani sambil menengok pada Asha yang hanya tertawa saja.

"Aku bukan sahabatnya Radit. Aku sahabatnya Mareno." Ujar Tanan singkat.

"Heh, nggak ada juga yang mau punya sahabat model kayak lo."

"Udah deh, aku lempar keluar dua-duanya nih." Asha melotot galak.

Kemudian Robert dan keluarga datang. Kakek Hani itu bahkan menyewa kamar lainnya buat siapa saja yang ingin bermalam. Sebenarnya dia sendiri ingin, tapi Winda melarang dan mengancamnya. Hani pun setuju. Rumah sakit bukan tempat aman bagi lansia. Setelah itu mama Diah dan mama Asha juga datang. Belum lagi Galih yang meramaikan. Jena and the genk pun menyusul ketika sore menjelang.

Suasana ini sedikit mirip seperti dulu, saat Tanandra bangun dari komanya. Bedanya, tidak ada Mareno dan Arga yang datang menengok mereka. Mareno karena masih terluka dan belum sadar, dan Arga karena kebetulan teman Radit yang konyol itu sedang dinas ke luar negeri beberapa bulan ini. Tamu-tamu itu pulang ketika hari sudah mulai malam. Meninggalkan Hani bersama Radit saja.

Mata Hani menatap pada bunga-bunga yang sudah ditata cantik di dalam vas oleh Asha dan Jena tadi. Kiriman dari Farhan, Thomas, Pak Sardi, dan juga Galih yang usil itu. Aryan mengetuk pintu dan masuk saja saat Radit sedang berusaha memindahkan channel TV.

"Halo Dok. Apa sudah enakan?"

Hani tersenyum saja. "Aku nggak tahu gimana caranya berterimakasih sama kamu Yan."

"Ada caranya, kerja di sini bareng saya. Gimana? Kita akan punya kasus-kasus unik dan pasien-pasien rahasia. Tania sudah setuju untuk gabung. Malah ada satu pasien istimewa dalam perawatannya sekarang. Good idea, right?" Ya, Aryan akhirnya diminta juga bekerja di lantai super VVIP itu. Yang aksesnya hanya orang-orang tertentu saja yang punya. Aryan masih praktek di rumah sakit daerah lainnya. Tapi ini berbeda. Dia suka tantangannya dan adrenalinnya yang juga seolah terpacu ketika tahu apa-apa yang terjadi di luar sana.

"No Aryan. Maaf. Istri saya tidak boleh bekerja lagi. Sudah cukup."

"Wow, kalian sudah menikah dalam kurun waktu 2x24 jam? Saya nggak sangka Radit cepat juga." Aryan tertawa sambil meledek Radit.

"Kamu paham maksud Radit, Yan."

"Hey kamu, Jangan goda Radit terus." Sudah ada Andaru di pintu. Membawa parcel buah di tangannya.

"Bumiilll, apa kabarnya?" Senyum Hani terkembang saja.

"Aksi kamu keren banget Han. Asha juga. Aku sudah dengar ceritanya. Sayang, aku nggak bisa ikutan." Tubuh Andaru sudah berada di sebelah tempat tidur Hani.

"Ruu..." Aryan memperingati istrinya yang sudah tersenyum jenaka.

Lalu setelah itu mereka berbincang ringan. Dua puluh menit kemudian Aryan dan Andaru pamit saja.

"Semoga nggak ada tamu lagi ya Tuhan. Kamu harus istirahat Sayang. Aku akan minta suster di depan berhentikan semua kunjungan malam ini. Sudah cukup. Kamu capek nggak?" Satu tangan Radit membelai lembut bingkai wajah Hani.

Wanita itu terkikik geli. "Kamu lucu banget kalau lagi tiba-tiba serius begitu Dit." Dia melihat Radit sudah duduk di pinggiran kasurnya.

"Kamu juga makan dong Dit. Aku disuapin terus, pake diomelin lagi kalau nggak habis. Kayak anak kecil aja. Sementara kamu makan cuma tadi siang doang."

"Kebanyakan tamu, jadi lupa makan. Lagian aku nggak terlalu lapar. Aku nafsu yang lain." Senyum usil Radit sudah terkembang.

"Radit, bahuku masih sakit, jangan macem-macem."

"Justru itu, jadi kamu nggak bisa nolak kan?" Wajah Radit mulai mendekati Hani. "Karena kamu nggak bisa kemana-mana Sayang."

"Raddiiit, aku panggil suster nih."

"Tombolnya tidak dalam jangkauan kamu." Bibir Radit sudah tiba di pipi Hani yang tiba-tiba merah itu.

"Dit, aku nggak suka dipaksa. Kamu kayak Adrian deh."

Radit langsung berhenti. Duduknya langsung tegak.

"Adrian paksa kamu? Di tempat tidur? Kapan?"

'Yah salah ngomong deh.' Rutuk Hani dalam hati.

"Diit, maksud aku..."

"Han, jangan bilang Adrian paksa kamu waktu kalian pergi makan malam." Dahi Radit sudah berkerut saja, seperti berusaha mengkorelasikan sesuatu. "Atau tebakanku benar?"

"Aku ngantuk, mau tidur." Tangan Hani memijit tombol hingga bagian atas kasur rebah ke belakang.

"Han, aku nanya serius ini...ck." Ekspresi kesal Radit sudah disana. "Sayang..."

Kali ini ekspresi wajah Hani juga berganti menjadi lebih galak. "Radita, I know you love me. Tapi nggak perlu cemburu berlebihan begitu. Kamu nggak masuk akal tahu nggak?"

"Maksud aku..."

"Kamu yang punya mantan pacar banyak dan udah pernah tunangan deh Dit."

"Tuh kan, kamu putar balik keadaan."

"Kamu mau pilih berantem semalaman or now you can give me a long goodnight kiss, after that we go to sleep?"

Radit mendengus lalu menghembuskan nafas saja. Tubuhnya sudah duduk di sebelah tubuh Hani pada tempat tidur yang sama.

"Menolak mencium kamu itu mubazir, sekalipun aku akan tetap tanya nanti soal makan malam kamu dan Adrian ke Niko." Wajahnya sudah dekat sekali dengan Hani.

"Kalau kamu ungkit-ungkit kejadian dulu lagi, aku nggak mau kalau gitu." Hani menolehkan kepalanya ke samping.

Siapa yang tahan melihat Hani merajuk begini. Wajah cantiknya itu bersemu merah karena kesal, dengan rahang ramping yang dibingkai oleh rambut kecoklatannya, dan juga bibir yang bisa pas sekali dengan kontur wajahnya. Dilihat dari samping begini, Hani malah tambah mempesona. Bibir Radit sudah tersenyum saja setelah mendaratkan ciuman singkat di pipi.

"Coba kita lihat, kamu tahan berapa lama ngambeknya." Kemudian Radit mulai bergerilya. Bibirnya turun ke rahang wajah Hani yang masih menengok saja, kemudian ke lehernya. Saat dia makin ke bawah, satu tangan Hani yang tidak terluka menjewer kupingnya keras.

"Aduh Sayang, sakit beneran."

"Bukannya minta maaf, malah diterusin."

"Iya iya iya...maafin aku."

***

Partnya udah adem yaa. Mau dikasih surprise lagi emangnya? 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro