Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

43. The real bad ass

Hani menatap bros itu nanar. Dia sudah nyalakan dan yakin sekali Niko sebentar lagi datang. Tangannya terasa sakit karena diikat ke belakang, Asha ada di sebelahnya. Mata wanita itu juga sama takutnya dan bingung sekali.

Mereka memang selesai lebih dulu daripada Desy dan Rachel. Jadi mereka berdua berpisah saja. Ya, belanja memang menyenangkan, tapi mereka masih benar-benar membutuhkan waktu untuk membiasakan diri dengan kegiatan itu. Jadi Hani dan Asha memutuskan untuk membeli kopi kemudian pulang menuju apartemen Hani dan memasak bersama sambil menunggu laki-laki mereka. Double date dinner sederhana, begitu rencana dadakan mereka. Karena besok adalah hari penandatanganan dan semuanya akan selesai. Kemudian ketika mereka di lobby dan sedang menunggu supir untuk menjemput mereka, kejadian naas itu terjadi.

Empat orang laki-laki keluar dari mobil dan mendekati mereka. Asha menjatuhkan satu, Hani kaget sendiri dengan kemampuan bela diri iparnya itu. Tapi empat orang laki-laki bertubuh besar tetap bukan lawan yang seimbang untuk mereka. Jadi mereka ditarik paksa dan dimasukkan ke dalam mobil saja. Meninggalkan Rachel dan Desy yang melihat dari dalam mall dan berusaha menolong mereka serta tatapan heran dari beberapa pengunjung mall yang juga tidak ingin terlibat dengan insiden itu.

Sekarang, mereka berada di gudang tua dan besar entah dimana. Duduk di lantai beton tanpa alas dengan tangan diikat ke belakang. Empat orang laki-laki tadi duduk tidak jauh dari mereka. Juga ditambah beberapa orang lainnya.

"Han, ini kita beneran diculik nih?" Asha berbisik padanya. "Ini ulah Adrian ya?"

"Manusia sialan itu." Geramannya tertahan karena Adrian muncul dari pintu besar yang ada di sana. Berjalan ke arah mereka sambil tersenyum.

Tubuh Hani dan Asha menempel dekat, seolah mereka berusaha saling menguatkan.

"Halo saudaraku yang cantik." Adrian menatap Hani sambil tersenyum, kemudian berpaling pada Asha. "Hai Sabila Asha. Kamu istri dari Mahesa Tanandra. Saudara tiri Reyhani, iya kan?"

Asha menahan emosinya dan hanya membalas tatapan Adrian marah.

"Wow, kalian seperti dua singa betina yang buas sekali. Apalagi kamu." Mata Adrian menatap Asha. "Ternyata kemampuan bela diri kamu lumayan juga. Anak buah saya kesal sekali dengan kamu tadi. Jadi hati-hati dengan dia."

"Pengecut brengsek!!" teriak Hani marah sambil menendangkan kakinya pada pada Adrian. Laki-laki itu menghindar dan tertawa.

Adrian berjongkok dan mendekatkan wajahnya pada Reyhani saja. "Aku sudah bilang kan? Aku tidak akan meminta dengan baik-baik lagi. Aku nggak habis pikir dengan alasan kamu menolak semuanya dan mau bekerja sama dengan Arsyad." Kepala Adrian menggeleng. "Arsyad bukan siapa-siapa Han. Dia bahkan bukan Radita, kenapa kamu lebih percaya padanya."

Hani mendorong Adrian dengan bahunya agar laki-laki itu menjauh. Dia jijik sekali.

"Dan kamu..." Adrian menoleh pada Asha. Kemudian dia juga mendekatkan wajahnya pada gadis itu. "Bilang pada Mahesa, silahkan bermimpi untuk menjadi pewaris tahta keluarga Straussman. Karena saya..."

'Buak!' Tanpa Adrian duga Asha membenturkan kepalanya pada wajahnya sendiri dengan keras. Tubuhnya duduk ke lantai sambil satu tangan memegangi hidungnya yang meneteskan darah.

"Auw...issshhh." Asha berteriak spontan saja karena kepalanya juga sakit. Tapi kemudian dia terkekeh kecil saja. "Mahesa will kill you, coward."

Empat orang tadi sudah berdiri menghampiri mereka. Karena melihat Adrian terluka. Tubuh Adrian sudah berdiri saja. Satu tangannya mengisyaratkan agar anak buahnya itu tidak ikut campur.

"Saya bahkan tidak mau mengotori tangan saya dengan kamu yang bukan siapa-siapa. Tapi sekarang saya tahu akan saya apakan kamu nanti."

***

Arsyad tiba lebih dulu. Memarkirkan motornya tidak jauh dari lokasi dan terlindung dari beberapa orang yang berjaga. Gudang tua itu berada di dekat pelabuhan. Adrian mungkin berencana untuk menghabisi siapapun itu lalu membuangnya di laut saja, manusia kejam. Dia tidak mengenakan apapun untuk melindungi tubuhnya. Karena tadi dia terburu-buru. Sementara dia yakin anak buah Adrian bersenjata. Ini akan jadi sedikit lebih menantang.

Dia melepas kacamata hitamnya, juga jaket yang dia kenakan. Ini bukan pertarungan pertamanya. Dia melakukan ini seperti sudah seumur hidupnya. Bermain dengan bahaya dan maut. Hanya satu senjata api yang dia bawa dan sudah dilengkapi dengan peredam. Dia hanya akan menggunakannya jika diperlukan saja. Karena pisau selalu menjadi favoritnya.

Kemudian dia mulai berjalan mengendap-endap. Empat orang di luar. Dua di sisi depan dan dua yang berputar. Manusia-manusia bodoh yang mau saja dibayar oleh Adrian. Mereka harus tahu jika mereka memilih tim yang salah. Tubuh tinggi besar Arsyad lincah sekali. Pakaiannya yang serba hitam membantu dia bersembunyi dengan baik. Dengan mudah dia melumpuhkan satu dengan tangan kosong. Kemudian satu lagi. Dua yang berputar sudah beres. Langkahnya terhenti ketika satu orang memergoki aksinya dan mulai menembakinya saja. Satu tembakan dari arah lain sudah terlepas lalu orang itu rubuh. Niko tersenyum dari ujung sana.

"Sorry telat." Niko menghindari satu orang yang mulai menembakinya juga dan melepaskan satu tembakan pada orang itu yang langsung rubuh saja.

"Gue nggak ngerti kenapa mereka suka buang-buang peluru." Niko sudah berjalan menuju Arsyad. "Bahu lo Bang." Mata Niko menatap bahu Arsyad yang berdarah.

"Gores sedikit. Masuk? Mereka sudah siap di dalam karena dengar suara tembakan tadi."

"Berapa orang menurut lo Bang?"

"I don't know, lima-sepuluh. Apa bedanya Nik. Kita pernah lebih parah dari ini kan?"

"Butuh tambahan orang?" Suara Radit di belakang mereka. Laki-laki itu berdiri bersisian dengan Tanandra. Mereka masih mengenakan kemeja yang digulung lengannya dan celana panjang khas setelan kantor.

Tanandra masih tidak percaya melihat mayat dua orang itu dihadapannya. Ya Tuhan, ini tidak main-main. Asha-nya benar-benar dalam bahaya. Seketika bulu tengkuknya berdiri.

"Pegang. Bisa pakenya kan?" Arsyad menyerahkan satu senjata pada Radit.

"Pendidikan wajib soal beginian Syad. Tapi gue dan Andra putar dari belakang aja. Kalian yang masuk dari depan yang pakai."

"Mau pakai?" Wajahnya menatap Tanan. Mereka mendengar suara Hani berteriak marah dari arah dalam.

"No thanks. Saya bukan pembunuh, tapi saya akan bunuh siapapun yang sakiti istri saya."

"Oke. Tebakan saya Adrian pegang senjata, sekalipun mungkin tidak semua anak buahnya pegang. Jadi jangan gegabah, kita nggak bulletproof sayangnya. Niko aja yang pakai pakaian khusus. Saya dan Niko masuk dari depan, kalian cari jalan lainnya. Ketika mereka mulai menembak, hindari dan usahakan ada dibelakang Niko dan saya. Kalian belum pengalaman dan ini sangat berbeda dengan perkelahian di atas ring. Paham?"

Radit dan Tanan mengangguk, mereka langsung berpisah dari Arsyad dan Niko. Arsyad yang pertama masuk yang langsung disambut dengan lima orang yang sudah mendekati mereka. Dua membawa senjata api, tiga tidak. Niko sudah berada di belakangnya, juga mengacungkan senjata. Arsyad berjalan santai sambil tersenyum saja. Tangannya terangkat sedikit ke atas.

"Selamat sore Adrian Straussman. Apa bisa kita bicara?"

Adrian tertawa melihat Arsyad. Dia sudah menarik Hani berdiri dalam cengkramannya. Tangannya menggenggam senjata. Sementara Asha sudah dipegangi oleh laki-laki lainnya yang menggunakan pisau. Adrian paham benar, Arsyad bukan orang sembarangan. Tapi laki-laki itu tidak kebal peluru kan?

"Saya nggak paham kenapa kamu ikut campur Arsyad. Kita tidak punya masalah pribadi kan?"

"Saya lebih nggak paham kenapa kamu mau diperalat Herman Ad. Dimana dia sekarang? Apa kamu tahu?" Tangan Arsyad tidak memegang apapun. Dia masih berdiri saja dengan bahu yang sudah terluka.

"Ini tidak ada urusannya dengan Herman. Ini urusan saya."

"Dia sedang duduk bersantai entah dimana. Cuci tangan untuk semua ini. Apa kamu pikir dia akan datang dan menolong kamu?"

"Saya tidak pelu ditolong."

"Oh ya?"

"Ya." Adrian tertawa. "Adikmu itu yang perlu diselamatkan. Bagaimana kabar Mareno Daud, Syad?"

Tangan Arsyad terkepal saja. Dia menahan emosinya.

"Kamu kalah jumlah. Turunkan senjatanya Nik, atau aku akan membunuh dua wanita cantik ini." Adrian menodongkan pistol itu pada pelipis Hani.

Adrian menembak dua kali ke langit-langit karena tahu Niko tidak bergeming. Lalu Arsyad memberi isyarat untuk menurunkan senjata pada Niko.

'Tiga di samping Nik.' Isyarat tangan Arsyad di belakang tubuhnya saja.

Niko menurunkan senjatanya perlahan sekali ke lantai. Kemudian melihat Tanandra yang sudah berhasil masuk dan menyerang laki-laki yang menahan Asha dari belakang tubuh laki-laki itu. Dalam sepersekian detik, keadaan menjadi kacau. Dia sudah berhasil mengambil senjata itu lagi dan menembak dua orang cepat. Arsyad sudah melempar pisaunya pada salah satu orang sambil menghindari tembakan. Perpaduan kemampuan Niko dan Arsyad bukan tandingan orang-orang bayaran Adrian yang bahkan butuh banyak peluru untuk ditembakkan. Arsyad sendiri sudah mendekati orang terakhir yang tidak bersenjata dan dalam beberapa saat sudah melumpuhkan orang itu. Mereka berhasil mengatasi orang-orang bayaran Adrian lalu segera beralih ke Adrian sendiri.

Tanan dan Radit menemukan jalan belakang dan satu orang lagi yang tidak sadarkan diri. Entah mungkin Niko atau Arsyad yang melumpuhkan laki-laki itu. Semua mata terfokus pada Niko dan Arsyad yang memang masuk dari arah depan. Jadi ini keuntungan mereka. Sekalipun Tanan memberi isyarat pada Radit untuk tidak menyerang Adrian, terlalu berbahaya karena laras pistol yang masih tepat berada di pelipis Hani.

Sementara Asha digenggam erat dari belakang oleh seorang laki-laki dengan pisau di tangannya. Dia tidak pernah ingin menyakiti orang selama ini, tapi melihat bagaimana laki-laki itu berbisik di dekat telinga Asha dan mengancam wanita yang paling dia sayang itu, membuat emosinya terbakar cepat. Jadi alih-alih menunggu aba-aba, dia sudah memulainya saja. Satu tangan memukul kuat leher belakang laki-laki itu hingga dia hampir tidak sadarkan diri. Pisaunya terlepas dari tangan kemudian dia menarik laki-laki itu kasar dan mulai menghajarnya. Asha sudah aman. Sementara Adrian yang panik masih menyandera Hani dalam dekapannya. Senjatanya dia acungkan pada Radit.

"Lihat Han, lihat tunanganmu terluka."

Radit tidak bergeming tetap berdiri disitu. Sebelum Adrian sempat menarik pelatuknya Hani menggigit tangan Adrian keras. Tembakan lepas ke atas namun Adrian masih bisa mengendalikan tangannya sendiri. Jadi laras pistol itu kembali pada Hani.

"Wow, kamu liar sekali Han. Saya suka."

"Ad, hentikan ini!" Kali ini Radit yang panik melihat wajah Adrian yang semakin bengis.

"Dan membiarkan kalian dapat semuanya? No." Senyum Adrian mengerikan sekali.

Arsyad sudah mengacungkan senjatanya. "Lepaskan dia Ad."

Adrian malah tertawa. Ujung senjatanya berpindah pada jantung Hani.

"Ini tepat ke jantungnya Syad. Coba saja kalau berani."

"Lepas Ad. Bawa saya sebagai gantinya." Radit berujar juga.

Suara mobil yang berderak-derak karena ban yang melindas kerikil di luar sana sudah terdengar. Polisi sudah tiba. Mungkin juga Robert pamannya.

"Sudah Ad. Tidak perlu lagi ada yang terluka." Arsyad menggelengkan kepalanya. Darah yang keluar terlalu banyak, dia mulai pusing. Niko di belakangnya sudah meminta bantuan medis melalui ponsel.

Mata Hani menatap Radit sedih. Sebelumnya dia takut dan panik sekali. Namun, dia sudah mengerti apa yang harus dia lakukan. Ini nekat, tapi dia dokter kan? Dia paham benar struktur organ tubuhnya sendiri. Dia hanya bisa berdoa semoga dia tidak meleset dan mulai menyiapkan dirinya untuk rasa sakit yang akan menghantamnya. Dia tahu, Adrian bisa menembakkan senjata itu kapan saja dan pada siapa saja. Laki-laki itu akan makin panik karena tahu dia sudah kalah. Dan semua orang yang ada dihadapannya ini, adalah orang-orang yang sangat berarti untuknya. Jadi, dia yang akan pilihkan waktu dan tempat dimana peluru itu akan berada. Dan itu...sekarang.

Kakinya menginjak Adrian keras. Tubuhnya dia geser sedikit ke kanan hingga laras senjata itu bergeser dari jantungnya. Kemudian tangannya menggigit Adrian keras. Refleks tangan laki-laki itu adalah menarik pelatuknya. Dan suara tembakan itu terdengar saja.

Telinganya bising sekali karena bunyi tembakan itu, kemudian sakit itu mulai menjalari. Bukan hanya tubuhnya yang akan ambruk, tubuh Adrian lebih dulu ambruk di belakangnya karena seseorang menembak Adrian, entah siapa. Tangan kuat Radit dan Tanandra sudah menggapainya. Menangkap tubuhnya yang akan jatuh ke lantai. Asha berteriak ngeri, sementara Robert berlari ke arahnya dari pintu besar gudang.

Sebelum matanya tertutup, dia tersenyum saja. "Bawa ke Aryan."

Tubuh Radit yang akan merangsek menuju Adrian yang sudah terkapar di lantai ditahan oleh Tanan dan Niko. "Sudah Dit, sudah. Stop. Kita harus segera bawa Hani." Ujar Tanan berusaha menenangkan.

"Juga Arsyad." Niko menoleh pada Arsyad yang bersender pada salah satu dinding dengan wajah yang pucat.

Tim kepolisian sudah datang, juga tim medis yang sudah berlari ke arah mereka.

***

Radit benci rumah sakit, selalu begitu. Dia tidak suka dengan segalanya di sini. Mirisnya, justru dia jatuh cinta setengah mati dengan seorang dokter. Tapi, bahkan saat menjemput Hani pun, dia tidak pernah mau menunggu di lobby. Karena aura tempat ini berbeda dan dia tidak suka. Lalu sekarang apa yang sedang terjadi di depan matanya benar-benar menghabiskan seluruh kewarasan yang dia punya. Sekarang, dia paham benar bagaimana menjadi Asha ketika melihat Tanandra terluka. Sakit ini, benar-benar membunuhnya perlahan.

'Ya Tuhan, kenapa kamu bertindak gila seperti itu Han. Bagaimana jika Aryan tidak bisa menolongmu. Ya Tuhan...' Radit terus merapalkan doa. Sambil berlari di sisi tempat tidur rumah sakit Hani.

Reyhani dan Arsyad dilarikan ke MG Hospital, lantai atas. Dokter Pram, Aryan dan juga Dokter Reyn turun tangan sendiri. Sudah menyambut mereka di pintu saat ambulance itu mendekat. Tangan Hani yang dia genggam dingin sekali, mungkin sedingin tangannya sendiri. Tubuh keduanya menghilang di ruang operasi. Radit hanya bisa termenung disana, berdiri dengan wajah pucat dan tangan yang masih bergetar saja. Mungkin jika dia wanita, dia sudah ambruk seperti Asha dulu. Tapi kakinya masih bisa menopang tubuhnya. Reyhani harus bangun, apapun caranya atau dia bisa gila.

"Dit. Duduk dulu. Lo pucat banget." Tanan menarik tubuhnya untuk duduk saja. Asha masih berada di IGD untuk diperiksa luka-lukanya didampingi oleh ayahnya.

"Ini persis, seperti waktu dulu lo celaka Ndra. Persis seperti itu kacaunya." Wajah Radit menoleh ke Tanan. "Asha nggak apa-apa?"

Tanan menghela nafasnya. "Dia baik Dit. Cuma kaget aja dengan semuanya. Dia masih belum bisa percaya soal penculikan aneh itu, belum lagi lihat Hani ditembak di depan matanya. Arsyad-Niko yang main bunuh-bunuhan dengan yang lainnya. Bukan cuma Asha yang kaget, gue juga masih nggak percaya." Tanan memberi jeda. "Semuanya...aneh, but it's real. Jadi gue dan Asha masih berusaha mencerna."

Radit juga menghirup nafasnya panjang. Sedikitnya dia mengerti perasaan Tanandra. Sahabatnya itu datang dari keluarga yang sederhana, jadi ini memang berlebihan. Bahkan untuk Hani atau dirinya sendiri. Ya, mungkin hanya keluarga-keluarga seperti Darusman, atau Daud, atau Wiratmaja saja yang biasa dengan konflik dan pertikaian yang bisa menyebabkan hilangnya nyawa orang. Tapi mereka mengalaminya juga sekarang kan?

"Gue ngerti Ndra. Gue ngerti ini semua membingungkan. Semoga setelah besok perjanjian ditandatangani, semua akan kembali normal."

"Adrian masih nggak sadar. Entah dia akan bangun atau nggak, Herman Daud entah dimana. Apa lo yakin ini semua sudah selesai?"

"Herman Daud bukan urusan kita Ndra. Dia urusan Arsyad dan keluarganya. Arsyad juga sudah berjanji nggak akan melibatkan kita lagi. Ini juga bukan mau Arsyad. Lihat Mareno Ndra. Dia masih belum bangun juga sampai sekarang. Lukanya lumayan parah ternyata." Radit memaki lagi.

"Kita harus tengok Mareno Dit." Tanan menundukkan kepalanya.

"Belum bisa, belum. Arsyad bilang mungkin saja Mareno adalah target pertama, atau juga Arsyad sendiri. Karena yang bisa memimpin ID Tech dan ADS itu mereka berdua."

"Ares Defense Services punya Arsyad?"

Radit mengangguk pendek. "Mangkanya mereka terbiasa dengan insiden seperti tadi Ndra. Mereka bahkan pernah kirim orang ke Afganistan atau Bahrain sana. Sinting lah pokoknya." Tangan Radit sudah mengusap wajahnya.

"Gue tahu ADS itu bergerak di bidang apa Dit? Sub divisi mereka juga kerjasama dengan BIN." Tanan memberi jeda. Dia masih setengah percaya setengah tidak karena ternyata keluarga Mareno Daud sahabat lamanya itu benar-benar bukan keluarga sembarangan. "Saudara Reno yang dua lagi gimana?"

Belum sempat Radit menjawab, Asha sudah berjalan menghampirinya.

"Sudah selesai periksanya?" Tatapan Tanandra berubah melembut. Dia sudah berdiri berhadapan dengan istrinya.

"Belum semua. Tapi aku nggak apa-apa kok."

Tanan merengkuh Asha dalam pelukan. "Kamu periksa semuanya, harus. Aku nggak mau kamu kenapa-kenapa. Ayah mana?"

"Udah aku paksa pulang." Asha melepaskan pelukan Tanan. "Aku nggak mau dia ngamuk-ngamuk ke semua orang. Mas Galih besok datang."

Tanan tertawa kecil. "Aku paham mereka khawatir. Aku pun begitu." Tubuh Tanan sudah duduk saja mengikuti Asha yang duduk disebelahnya.

"Dit, Hani gimana?" Asha menatap Radit dari samping.

Radit diam sejenak. Matanya menatap Asha. "Sekarang gue tahu Sha, apa rasanya jadi lo waktu Tanan kecelakaan."

"Dit, Hani itu sama kuatnya kayak Tanan. Jadi dia pasti bangun Dit. Entah kenapa kok gue merasa Hani tahu apa yang dia perbuat tadi. Jadi harusnya dia juga tahu apa akibatnya. Aryan bilang, tembakan itu di bahu kan? Bukan di jantungnya." Tangan Asha menyentuh lengan Radit saja.

"Pelurunya tembus kebelakang dan juga kena Adrian. Reyhani itu luar biasa. Dia bisa berpikir jernih di kondisi sulit seperti itu." Lagi-lagi Radit menghela nafasnya.

"Hani itu dokter Dit, dia sudah tahu hitungannya. Jangan khawatir." Matanya gantian menatap Tanan. "Arsyad gimana?"

"Kata Niko dia udah biasa kena tembak. Mahendra sudah jalan kesini. Papanya Arsyad tidak diberi tahu karena nggak mau semua orang panik." Tanan menjawab apa yang dia dengar tadi dari Niko Pratama, sebelum laki-laki itu sendiri pergi untuk mengurus laporan dan hal lainnya.

"Robert?"

"Ditahan sama Winda dan Desy di salah satu kamar rumah sakit ini. Kakek itu punya jantung dan Winda khawatir jantungnya kumat," jawab Radit singkat.

"Kamu sendiri nggak apa-apa Sha?"

"Aku baik Dit." Asha menjawab singkat. "Cuma sedikit kaget."

Radit tersenyum tipis. "Kata Niko, kamu jatuhin satu?"

"Maunya jatuhin semuanya, tapi mereka keroyokan Dit."

"Sayang, aku nggak mau kamu begitu lagi. Itu nekat namanya." Tangan Tanan menggenggam jemari Asha kuat. Lalu mencium jari-jari itu.

"Sumpah ngeliat kalian mesra begini bikin gue tambah merana karena khawatir sama Hani. Sialan." Radit merutuk saja.

Aryan keluar dari area operasi. Mereka bertiga berdiri. "Gimana?"

"Belum selesai. Saya keluar mau kasih kabar sebentar. Kita kurang darah. Satu kantong lagi. Golongan darah Hani A. Tolong carikan cepat." Suster yang berada di samping tubuh Aryan sudah mengangguk mengerti.

"Tapi gimana kondisinya? Dia nggak apa-apa kan?" Tangan Radit menahan tubuh Aryan yang sudah ingin berbalik masuk ke area operasi. Wajah Radit pucat sekali.

"Your fiancée is a real bad ass." Aryan terkekeh saja. Lalu tubuhnya menghilang di balik pintu.

***

Tarik nafas jangan lupa yah. Ini sudah menjelang detik-detik terakhir cerita. Jadi siap-siap merelakan mereka.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro