Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

42. Is this for real?

Pagi itu, Robert duduk sambil membaca laporan-laporan yang diberikan oleh Arsyad dan Thomas, orang kepercayaannya. Kepalanya menggeleng, melihat apa-apa yang Adrian salah gunakan selama ini. Apalagi dia juga tahu, ambisi kemenakannya itu telah membuat dia menjadi seorang pembunuh. Adrian tega menyingkirkan siapapun yang menghalangi. Dia mendesah perlahan. Mata Thomas masih memperhatikannya saja.

"Maaf sudah memanggilmu jauh-jauh Thom. Tapi aku sangat butuh seseorang yang bisa dipercaya dan bisa menggantikan Adrian untuk sementara nanti." Dia sudah menatap Thomas saja.

"Apa kamu benar-benar ingin memenjarakan kemenakanmu sendiri?"

Tangannya meletakkan kertas-kertas juga foto-foto itu di atas meja. "Adrian harus dihentikan Thom. Apa kamu tidak setuju?"

"Rob, aku sangat setuju. Aku hanya khawatir tindakanmu tidak akan setegas itu. Aku pikir, ini semua sudah keterlaluan. Aku harap Arya Dirga tidak menuntut apapun soal cara Adrian merebut prototype chip pintar itu, karena aku yakin sekali Adikinarya juga akan diam saja. Ya karena Reyhani dan Radit bersama kan."

"Aku sudah bicara pada Rudi Wiratmaja, ayah Arya. Dia hanya tertawa. Karena mata sudah dibalas mata. Itu katanya. Tapi tetap saja, aku tidak mengira bisnis di negara ini keras sekali. Tapi ya, untuk proyek selanjutnya Wiratmaja akan minta dilibatkan dan aku pikir itu wajar. Jadi urusan itu sudah beres." Robert menghela nafasnya perlahan.

"Bagus jika begitu. Jadi selanjutnya apa?"

"Semua bukti ini akan diurus oleh Arsyad. Aku tidak suka berurusan dengan polisi. Arsyad berjanji dia yang akan membereskan semuanya." Dia memberi jeda. "Lalu, aku minta kau untuk tinggal sementara di sini. Satu tahun mungkin. Aku sendiri akan kembali ke London dan menunjuk penggantimu di sana."

"Apa yang kamu minta aku lakukan di sini Rob?"

"Jika semua lancar, cucuku akan menikahi Tanubrata. Tapi Radit memiliki usaha keluarganya untuk dia urus juga. Saya yakin pemuda itu tidak bisa sepenuhnya menangani GT Techno Indonesia. Sementara Mahesa, laki-laki pintar yang jujur dan bersih. Tapi dia butuh waktu untuk mempersiapkan diri. Aku mau, kamu siapkan mereka berdua. Jadi kamu bisa kembali ke London dan kita bisa memancing bersama lagi di sana tahun depan. Bagaimana?"

Thomas tersenyum kecil. "Jadi Reyhani tidak akan terjun ke GT Techno?"

"Thom, aku sudah tidak ingin memaksa mereka. Aku tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Reyhani juga dokter yang handal. Dokter muda andalan rumah sakit tempatnya bekerja. Atau mungkin nanti dia akan aku hadiahkan rumah sakit yang bisa dia kelola sendiri."

"Bagaimana dengan Rachel?"

Robert tersenyum kecil. "Mungkin, mungkin saja Rachel. Nanti aku akan bicara padanya. Kita punya cabang di Boston kan?" Lalu dia menatap Thomas lekat. "Bagaimana kabar anakmu, George? Apa dia sudah menikah?"

Thomas tertawa lebar. Sedikitnya paham apa arti tatapan mata sahabatnya itu. "Ya Tuhan Rob. Apa kamu mulai seperti perempuan yang suka menjodoh-jodohkan?"

Lalu Robert ikut tertawa saja.

***

"Sampai kapan aku nggak bisa ketemu kamu? Ahhhrrghhh..." geram Radit marah. Setelah makan malam itu, mereka memang belum bisa bertemu lagi. Saat ini, mereka sedang video call dari apartemen mereka masing-masing.

Hani tertawa sesaat sambil masih menggenggam ponselnya. "Dit, dua hari lagi semuanya selesai. Kakekku sudah mengirimkan semua bukti ke Arsyad malam ini, juga melakukan pembatalan pada kantor kementrian kan. Besok Arsyad dan polisi bergerak dan lusa kalian tanda tangan."

"Aku mau kamu sekarang." Wajah Radit terlihat gusar sekali.

"Serius kangennya sama aku? Bukan sama yang lain?" Hani meledek. Tubuhnya sudah dia baringkan ke atas kasur.

Radit berdecak kesal. "Aku kangen sama yang lain. Mau apa?"

"Sama Asha? Oh, aku besok jalan bareng Asha kok. Mau belanja bareng Rachel dan Bibi Desy juga. Mau aku salamin?"

"Kamu menyebalkan dan menggemaskan Sayang. Aku ke sana ya?"

"Sabar Dit, cuma dua hari kok. Mama kamu apa kabar?"

"Aku minta Vena untuk bantu urus persiapan pernikahan kita, bukan Mama. Aku mau kita menikah secepat-cepatnya."

"Jangan marah dengan Mama kamu sendiri lama-lama. Nggak punya Mama itu lebih nggak enak lho Dit. Sikap beliau juga sudah sedikit lebih baik denganku kan?"

"Sayang, kamu paham benar apa alasannya kenapa Mamaku begitu kan? Maafkan aku soal itu. Aku sedikitnya malu." Tubuh Radit sedang bersender di sofa ruang tengah apartemennya. Dia masih mengenakan kemeja biru yang kancingnya sudah terbuka.

"Dit, kamu adalah kamu. Tidak perduli siapapun orangtuamu, aku tetap cinta kamu."

Senyum tipis Radit sudah terkembang disana. "Coba ulangin lagi yang kalimat terakhir tadi."

"Yang mana?" Senyum konyol Hani sudah terkembang saja.

"Yang tadi Han." Radit menggelengkan kepalanya juga sambil tersenyum gemas.

"Aku mandi dulu. Mau ikutan?" Tubuh Hani sudah bangkit dari tempat tidur.

Radit terkekeh kesal. "Mau, jangan berani-berani putus video call nya. Aku beneran marah."

Lalu dia memperhatikan wanitanya itu berjalan mengambil pakaiannya di lemari. Reyhani bahkan menunjukkan pakaian dalam yang akan dia pakai nanti. Juga baju tidur satin bewarna pink lembut. Dia meletakkan semua itu di atas tempat tidurnya. Kemudian wanitanya itu mengambil handuk dan berjalan ke kamar mandi.

"Seriusan aku jalan ke sana sekarang." Radit menggigit bibirnya gemas.

"Hey, kalau kamu berani beranjak, aku putus video call nya. Mau?"

"Asal aku jangan diputusin juga aja."

Hani meletakkan ponselnya di salah satu laci kaca di dalam kamar mandi.

"Han, are you serious?" tubuh Radit mulai duduk tegak.

Hani tertawa. Dia mulai membuka kemeja kerjanya. Ketika sudah setengah kancingnya terbuka, Hani masuk ke dalam bathtub dan menutup tirai mandi. Dia bisa mendengar Radit tertawa ketika dia mulai melemparkan satu persatu pakaiannya keluar dari bathtub.

"Sayang, buka tirainya."

"Kamu bilang kamu mau ikut mandi kan? Ini aku lagi mandi Dit."

"Ya tapi nggak kelihatan." Suara shower memang sudah terdengar tapi Radit tidak bisa melihat apapun kecuali tirai mandi berwarna tosca.

"Ya aku emang nggak bilang akan kasih lihat kan? Aku bilang, aku akan membiarkan kamu menemani aku mandi aja." Hani terkekeh geli.

"Aku udah di mobil. Aku ke sana."

"Radit!!" Hani langsung menyibak tirai mandi sambil tidak lupa menutupi tubuhnya. Dia menatap pada layar ponsel dan menemukan Radit sedang tertawa juga. Laki-lakinya itu masih berada di kamarnya sendiri.

"Got you. Coba diturunin lagi tirainya. Kenapa harus ditutupin sih, kamu itu sempurna." Senyum usil Radit sudah terkembang.

"Dasar mesum menyebalkan. Udah dulu ya."

"Eh eh, berani tutup ponsel aku ke sana beneran nih."

"Hiiihhhh...Radit."

***

Mereka berada di salah satu pusat perbelanjaan siang itu. Ini kali pertama Hani akhirnya menyetujui ide Rachel untuk berbelanja, sementara ini sudah kesekian kalinya untuk Rachel sendiri. Kenapa akhirnya Hani setuju? Karena dia sedang off hari ini, karena Asha yang kebetulan ambil cuti setuju menemani, dan karena kapan lagi kan? Rachel dan Bibi Desy akan segera kembali ke San Fransisco setelah semua selesai. Jadi Hani ingin meluangkan waktu seperti orang normal lainnya. Ya, berbelanja.

Biasanya Hani melakukan kegiatan ini hanya...oh entahlah. Mungkin setahun sekali atau dua kali. Berbelanja bukan kegiatan favoritnya jika dia masih memiliki baju-baju yang bisa dia padu padankan saja. Profesinya memang tidak menuntutnya untuk selalu berpenampilan up to date. Bersih dan rapih akan terlihat lebih professional sekalipun membosankan kata Rachel tadi.

Mall di bilangan Jakarta pusat itu adalah yang terbesar dan terlengkap. Seluruh butik mewah berjejer di lantai utama. Kakeknya tidak main-main memanjakan mereka. Robert benar-benar menutup beberapa butik ternama karena kedatangan mereka itu.

"Akhirnya, butik ini milik kita saja." Rachel tertawa senang sambil berputar di dalam butik.

"Loh, bukannya kamu sudah belanja terus?"

"Ya karena hanya aku yang berbelanja, Kakek tidak mau tutup butiknya. Ini karena kalian semua ikut. Jadi Kakek setuju. Oh, kalian benar-benar terlalu lambat diajak bersenang-senang."

"Rachel, bahasamu." Tatap Desy tegas pada anaknya.

Hani dan Asha tertawa sambil menggeleng saja. Asha hanya duduk saja disitu. Kelihatan sekali saudara iparnya itu sama tidak nyamannya seperti dia sendiri.

"Sha, kok kamu diem aja?" Bisik Hani.

"Kamu aja deh yang belanja Han. Aku nggak mau diomelin Tanan. Harga satu pakaian disini aku..."

"Sha ayolaah. Ini semua hadiah dari Robert karena kita semua sudah direpotkan."

"Robert itu kakekmu Han. Bukan aku."

"Kamu sendiri yang bilang kita saudara kan? Dan Tanan itu kakakku, yang paling aku sayang. Itu menjadikan kamu favoritku." Hani menatap Asha sungguh-sungguh.

Lalu Desy angkat bicara juga. "Asha, jangan sungkan. Robert tidak akan bangkrut bahkan jika seluruh isi toko di bawa pulang. Apa kalian mau biarkan Rachel membeli satu lemari lagi?"

Asha tersenyum canggung. "Tapi..."

"Mahesa juga bagian dari keluarga Straussman. Kamu sudah dengar kan soal keputusan Robert. Calon istri Presiden Direktur harus mulai belajar berpenampilan lebih baik lagi. Kalian berdua cantik, bahkan dengan pakaian biasa. Tapi, terkadang kalian harus menghadiri acara-acara penting. Sesekali bertemu pejabat negara, atau mungkin presiden nanti. Jamuan-jamuan malam atau pesta kebun di siang hari. Jadi kamu butuh sesuatu untuk itu semua."

"Ya, saya hanya tidak mau kehilangan diri saya di tengah itu Bibi. Saya tetap Asha yang sama."

Desy tersenyum lagi. "Tidak ada yang ingin merubah seseorang seperti kalian berdua. Wanita-wanita pintar, mandiri, hebat di bidang kalian masing-masing. Jadilah diri kalian sendiri, dengan versi yang jauh lebih baik lagi. Lagian, suami-suami kalian butuh seluruh dukungan. Dimana ada laki-laki sukses, maka ada wanita hebat di belakangnya."

Kemudian Asha dan Hani tersenyum saja, mengangguk mengerti.

"Kami hanya belum terbiasa Bi. Dengan semuanya," sahut Hani.

"Kalian itu lama banget membiasakan dirinya. Ayolah, kalian cuma akan berbelanja. Bukan pergi berperang kan?" ujar Rachel dengan tidak sabar.

Mereka tertawa saja, sambil menyusul Rachel berdiri dan mulai memilih bersama.

***

Wahyu dan Toto serta beberapa tim mereka yang lain sudah berjalan di depan. Niko Pratama ada di belakang mereka. Arsyad, Mahendra dan Robert menunggu di tempat aman dan dia akan melaporkan segalanya ketika selesai. Mereka sudah tiba di depan pintu apartemen Adrian. Harusnya laki-laki itu masih berada di apartemennya. Kondisi kesehatannya belum terlalu baik.

Pintu diketuk beberapa kali. Entah kenapa Niko mulai merasa was-was. Seperti akan ada sesuatu yang terjadi. Tapi orang-orangnya bilang Adrian belum keluar dari apartemennya sendiri. Jadi harusnya aman. Daun pintu itu terbuka setelah bunyi bip. Lalu wajah mereka sedikit terkejut, karena yang membukakan pintu adalah seorang wanita.

'Anna. Adrian sialan.'

Sementara Wahyu dan Toto merangsek masuk ke dalam apartemen Adrian saja, dia sudah berusaha menghubungi orang-orangnya.

"Dimana Reyhani?" Dia sudah berlari turun dari apartemen mewah itu setelah meninggalkan pesan pada Wahyu dan timnya. Tangannya memegang ponsel pada telinga. Niko mendengarkan sambil terus bergerak.

"Info pada orang terdekat. Lindungi dia." Niko sudah berada di kendaraannya. Dia menyalakan tablet yang dia tinggal di mobilnya.

'Reyhani, nyalakan brosmu Han. Nyalakan ya Tuhan.'

Mobil itu dia jalankan sambil menghubungi Arsyad.

"Syad, Adrian tidak ada disana. Reyhani Syad."

"Dimana posisinya?"

"Semua masih cari tahu."

Arsyad berbicara pada Angel si system pintar itu diseberang sana. "Reyhani Abigail Straussman, cari." Hening sejenak kemudian Niko bisa mendengar suara Angel lamat-lamat. Kemudian Arsyad berujar lagi padanya. "Saya sudah dapat." Arsyad lalu menyebutkan nama salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta. "Kita bertemu di sana."

"Kalau kamu muncul Herman akan tahu."

"Herman sudah tahu Nik. Saya sudah tidak perduli soal itu. Lindungi Reyhani, apapun caranya. Dia sedang bersama Rachel dan Desy, Nik. Kamu tahu murka Robert ketika anak cucunya sampai celaka. Dan itu bukan hanya karena Adrian, ini semua juga karena Herman. Jadi selamatkan dia Nik. Apapun taruhannya."

***

Mereka sedang menunggu supir yang akan menjemput mereka di teras lobby. Pusat perbelanjaan ini memang sedang tidak terlalu ramai, karena mungkin bukan akhir minggu. Baik Asha dan Hani sedang sibuk mengobrolkan menu makan malam mereka. Kemudian obrolan mereka terputus ketika SUV besar hitam itu berhenti dengan empat orang laki-laki berperawakan tinggi besar turun dari mobil dan menghampiri mereka saja.

Sudah lama Asha tidak benar-benar bertarung. Terakhir dia naik ring dua bulan lalu karena taruhan konyol dengan kakaknya. Tanan marah sekali ketika tahu. Tapi, seluruh sensor tanda bahaya di tubuhnya sudah menyala. Entah kenapa dia tahu ada yang tidak beres dan refleksnya adalah menjatuhkan kantung-kantung belanjanya ke lantai begitu saja lalu menyiapkan kuda-kudanya.

'Sial, empat orang,'  maki Asha dalam hati.

Benar saja, satu orang sudah menarik Hani paksa sementara dia sendiri sudah bergerak menyerang lawannya. Sudut matanya mellihat satu petugas security yang berusaha membantu mereka. Laki-laki itu lebih besar, tapi dia paham sekali dimana dia harus mendaratkan pukulan. Saat yang satu kewalahan, satu lagi mencengkram kemejanya dari depan. Lalu dia tahu benar apa yang harus dia lakukan untuk menjatuhkan lawannya. Tangannya mencengkram kuat kemudian tubuhnya mendekat saja. Kaki kanannya bergerak ke belakang kaki kanan lawan. Lutut belakang lawan sudah dia kunci dia menarik nafasnya sebelum mengeluarkan tenaga untuk membanting lawannya saja.

'O soto gari. Berhasil.'

Sebelum dia bisa tersenyum menang sudah ada yang memukulnya dari belakang.

***

Sementara itu, di tempat lainnya.

Radit dan Tanan berkendara bersama. Kecurigaan berawal dari Tanan yang tidak bisa menghubungi Asha, kemudian Rachel yang berteriak histeris sambil menelpon Radit saja. Jadi, Radit langsung menjemput Tanandra yang juga sudah menunggu di lobby kantornya dengan tidak sabar.

"Sudah dapat lokasinya dari Niko?" Tanya Tanan menatap Radit yang masih memacu mobilnya.

"Sudah." Awalnya Niko tidak mau bicara. Namun Radit berjanji akan membunuh Niko jika mereka bertemu nanti, kemudian akhirnya dia bicara juga.

Ponsel Tanan berbunyi. Mata laki-laki itu melihat dan segera memaki. "Shit! Bokap mertua gue. Kesatuannya Pak Wahyu pasti lapor ke atas."

"Ya Yah." Salivanya sudah dia loloskan saja.

Suara Arifin di seberang sana terdengar bahkan oleh Radit. Ayah Asha itu murka. Tanan mendengarkan dengan sabar. Berusaha menenangkan bapak mertuanya itu. Prediksinya sebentar lagi Galih, kakak Asha akan menghubungi.

"Gimana?"

"Bapak Jendral ngamuk besar. Kesatuannya turun tangan. Ini anak perempuan satu-satunya dan kesayangannya." Kepala Tanan menggeleng saja. "Kenapa bisa jadi ruwet begini ya Tuhan. Nggak usah bokapnya Asha, gue juga bakalan bunuh Adrian kalau dia sampai buat Asha atau Hani celaka."

Radit berdecak sinis. "Antri Bro. Menurut lo dari kemarin gue nggak gemes apa?"

Kali ini ponsel Radit berbunyi. Tangannya memijit sambungan ponsel itu melalui monitor di mobilnya. Suara Niko terdengar jelas. Kabar dari Niko dan Arsyad yang sudah hampir tiba. Wahyu dan timnya berada di belakang mereka. Sepuluh menit, itu kata Niko. Radit dan Tanandra hanya berharap mereka semua tidak terlambat. 

***

Siap-siap buat part selanjutnya yaa.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro