Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

40. The wolf in the bed

Sudah siaaap? Enjoy Geenks.

***

Malam sebelumnya.

"Saya membutuhkan bantuan kamu untuk dua hal. Pertama, alihkan perhatian Adrian dari Herman besok malam. Radit akan menemui Bayu Tielman dan bernegosiasi. Pastikan Adrian teralihkan. Kedua, Robert dan saya butuh laporan laba rugi GT Techno yang disembunyikan oleh Adrian. Laporan itu juga akan berisi daftar penggelapan yang dilakukan oleh Adrian. Data itu disimpan di flashdisk merah, kemungkinan besar di dalam ruang kerja apartemen Adrian." Ujar Arsyad di ujung telpon.

"Kenapa saya?"

"Kamu pengalihan yang sempurna. Saya juga tidak suka melibatkan seseorang yang tidak berpengalaman untuk menjalankan sesuatu seperti ini. Saya punya banyak agen lapangan perempuan yang sama cantiknya. Tapi, Adrian akan curiga dan kita diburu waktu." Arsyad menghela nafasnya. "Niko akan selalu berada di dekat kamu. Tanpa kamu atau Adrian tahu. Itu salah satu keahliannya. Gunakan alat-alat yang Niko akan berikan. Itu untuk melindungimu. Apa kamu bersedia?"

Dadanya berdebar keras. Dia takut, cemas, tapi juga merasa tertantang dengan permintaan Arsyad. Dia juga paham benar, Arsyad tidak main-main untuk melindunginya dari awal, bahkan sebelum dia sendiri tahu. Jadi, dia mempercayai laki-laki ini dan tentang kenyataan bahwa situasinya ini gila sekali.

"Ya, saya bersedia."

"Terimakasih. Kamu akan baik-baik saja Dok. Kami di belakangmu."

Hubungan disudahi. Lalu Hani tersenyum juga. Mungkin, dia bisa sedikit berimprovisasi dengan pengetahuan yang dia punya.

***

Di restoran malam itu.

Reyhani datang tepat waktu. Berbalutkan gaun mewah rancangan desainer ternama. Wajahnya dipulas make up tipis-tipis dan tidak berlebihan. Ditambah perhiasan simple yang cantik dan menambah anggun penampilannya. Dia terpana, sungguh-sungguh terpana. Reyhani bahkan lebih cantik daripada Stephanie dulu. Wanita itu selama ini hanya tidak perduli pada penampilannya saja. Terlalu sibuk menyelamatkan pasien-pasiennya. Lalu, dia mulai membayangkan bagaimana Reyhani di tempat tidur. Oh, dia sungguh tidak sabar.

Malam ini, dia memesan ruangan khusus hanya untuk mereka berdua saja. Kecuali pastinya pelayan yang akan masuk menghidangkan makanan. Karena dia tidak ingin diganggu.

"Malam." Adrian menggeser kursi dan mempersilahkan Reyhani duduk. "Kamu luar biasa. Seluruh laki-laki yang melihat kamu malam ini pasti sedang cemburu pada saya sekarang." Adrian mencium pipi Hani sesaat. Wanita itu tersenyum saja.

"Kamu berlebihan. Laki-laki setampan kamu pasti kenal banyak wanita yang lebih cantik dari saya Ad. Aku nggak percaya kalau kamu nggak punya pacar."

Adrian sudah duduk di kursinya lalu tersenyum juga. "Ya, aku kenal beberapa. Tapi mereka semua...hmmm, bagaimana bilangnya. Ya mereka cantik, tapi tidak ada yang istimewa seperti kamu."

"Ad, simpan rayuanmu karena aku sungguh lapar. Aku sibuk sekali tadi," ujar Hani sambil tersenyum kecil.

"Aku sudah pesankan makanannya. Aku harap kamu suka."

"Aku pemakan segala. Tenang saja."

Adrian terkekeh lagi. "Satu lagi yang aku suka dari kamu. Kamu apa adanya Han."

"Bukankah kita semua harus begitu? Apa adanya." Mata Hani menatap Adrian saja.

"Ya ya. Benar sekali."

Lalu seorang waiter mulai menghidangkan makanan pembuka.

"Aku selalu suka sup. Terimakasih Ad." Hani tersenyum saja. Dia mulai makan supnya.

"Aku tahu. Sayangnya chef di sini tidak bisa aku paksa untuk buatkan sup buntut."

Hani tertawa dan Adrian tersenyum lebar menatapnya. "Aku suka melihatmu tertawa."

"Jangan bilang begitu, aku bisa salah sangka Ad."

"Han, aku serius ingin menikah denganmu." Adrian menatap Hani dan belum menyentuh supnya.

Mata Hani menatap Adrian dalam. "Apa kamu mencintaiku Ad? Jangan berbohong."

"Aku tidak mau membohongimu, sungguh. Jadi jawabannya, saat ini aku suka padamu. Mungkin belum cinta. Tapi, kamu menarik hatiku." Adrian memberi jeda. "Apa kamu suka tantangan Han?"

Senyum Hani tipis sekali, diam sejenak. "Ya, aku suka tantangan."

"Kalau begitu terima tantanganku untuk menikah dan jatuh cinta nanti. Bukankah lebih menyenangkan kita mengenal ketika sudah menjadi suami istri. Jadi perasaan ingin tahu dan malu-malu bisa kita lewati saat kita berdekatan dan bertemu setiap hari. Tidak ada ibu mertua yang galak, atau proses pengenalan dan mencocokkan dua keluarga, karena kita punya keluarga yang sama. Aku membebaskanmu bekerja atau tidak bekerja, aku akan jadi suami yang pengertian dan gentlemen sejati. Simple, praktis dan everybody win."

"Sebelumnya, aku berpikir itu gila." Hani menghela nafasnya. "Tapi saat ini, itu sangat masuk akal. Apalagi Kakek sudah bilang soal semua perihal GT Techno."

"Saham terbesar adalah milik Robert, kemudian aku, dan setelahnya aku yakin itu dibagi untuk kamu, Desy dan Rachel. Dan juga beberapa pemegang saham lain. Jadi bayangkan, jika saham milikmu dan aku jadi satu. Mungkin akan lebih besar dari milik Robert sendiri. Mungkin itu jadi yang terbesar."

"Oh Ad, aku tidak jago berhitung. Itu urusanmu lah."

Adrian tertawa. "Ya ya. Jadi apa kamu setuju?"

Sebelum Hani menjawab, ponsel Adrian berbunyi.

'Herman Daud.' Batin Hani. Dia harus mencegah Adrian menerima panggilan itu.

Tangan Hani menyentuh tangan Adrian di meja.

"Ad, apa kamu tidak bisa istirahat sejenak?"

"Maksudnya?" Tangan Adrian masih berusaha mengambil ponsel di saku celananya.

"Aku ingin tahu seberapa seriusnya pertanyaan kamu tadi. Jangan bekerja malam ini, apa bisa?"

Kepala Adrian menggeleng saja, dia tersenyum. "Aku takut ini penting dan aku serius ingin menikahimu." Telponnya masih bergetar dan berbunyi.

"Ad, ayolah. Kapan lagi kita bisa makan malam begini, aku benar-benar ingin ditemani."

"Wow, apa kamu merengek?" Ponsel itu sudah dalam genggaman Adrian.

"Temani aku Ad..." Hani menatap Adrian dalam. Berharap laki-laki itu percaya padanya. "...aku tidak ingin malam ini berakhir begitu saja."

Lalu senyum Adrian mengembang sempurna. Tadi dia pikir akan butuh waktu untuk mengajak Hani naik ke tempat tidur. Tapi dewi fortuna ada di pihaknya. Reyhani memang dibesarkan di luar negeri, jadi mungkin gaya hidup wanita itu sama seperti banyak orang disana atau dirinya sendiri. Kemudian tangan Adrian meremas tangan Hani perlahan. "Aku benar-benar ingin langsung mengajakmu pulang Han."

"Aku ingin makan dulu, aku lapar. Tapi jangan bekerja malam ini. Besok pagi kamu bisa membalas panggilan itu kan?" Hani membiarkan tangannya digenggam Adrian erat. "Ayolah."

"Oke oke. Baiklah. Kamu benar-benar menggemaskan jika sedang merengek begitu." Adrian meletakkan ponselnya di meja dan membaliknya hingga screen utama menghadap ke meja.

'Bagus.' Desis Hani dalam hati.

"Tapi apa aku boleh ke toilet sebentar?"

"Panggilan alam harus dituntaskan Ad." Hani tertawa saja sambil mengawasi Adrian yang berdiri dan berjalan menjauh menuju toilet.

Dia tidak membuang kesempatan itu. Tangannya meraih ponsel Adrian di meja, lalu sibuk mengutak-atiknya. 'Shit, dikunci dengan password.' Ponsel itu bergetar lagi di tangannya. Inisial nama H terpampang jelas. Hani langsung mengecilkan volume ponsel Adrian. 'Oke, paling tidak malam ini aman. Selanjutnya dia pikirkan nanti.'

Lalu dia mengembalikan posisi ponsel seperti sedia kala. Satu lagi yang dia harus lakukan sekarang. Dia mengeluarkan botol kecil berisi serbuk.

'Don't mess with me Adrian. Rasakan ini nanti.' Dia menaburkan serbuk obat pencahar ke sup Adrian yang masih belum disentuh laki-laki itu. Lalu mengaduknya perlahan.

Setelah itu dia kembali bersikap seperti semula dan memperlambat makannya. Dia harus memastikan Adrian makan supnya kan? Ketika Adrian kembali, obrolan mereka berlanjut saja. Adrian menghabiskan supnya. Wajah Adrian tersenyum dan dia tidak curiga. Sampai saat ini, semua baik. Ya Tuhan, dadanya berdebar liar sedari tadi karena apa yang dia lakukan barusan.

Seperti yang dia duga, setelah selesai makan Adrian mengundangnya ke apartemen laki-laki itu. Untuk apa? Hani sudah tahu untuk apa. Dia hanya berdoa obat itu akan bekerja tepat pada waktunya nanti. Semoga saja.

Mirisnya, apartemen Adrian tidak jauh letaknya dari apartemen Radit. Daerah apartemen itu memang strategis dan berada di tengah kota. Jadi wajar saja beberapa apartemen mewah berdiri di sana.

Adrian membawanya naik sambil tidak melepaskan genggaman tangannya. 'Dasar manusia brengsek.' Hani merutuk ketika mengingat bahwa Adrian sendiri yang mengakui kalau dia tidak cinta tapi semangat sekali mengajaknya ke tempat tidur.

Apartemen Adrian sama mewahnya dengan milik Radit. Bedanya adalah apartemen Adrian lebih terlihat dingin, karena perabotannya yang terlampau futuristik. Ketika pintu menutup tangan Adrian sudah merengkuhnya dari belakang. 'Ya Tuhan, kenapa obat itu belum bekerja juga.'

Bibir Adrian sudah mencium lehernya perlahan. Dadanya berdentum liar, bukan karena hal yang baik. Sekuat tenaga dia tidak membiarkan hatinya memimpin, tapi logika dan kesadaran tentang apa yang sekarang menjadi tugasnya terus dia ulang di kepala. Lebih sulitnya lagi karena dia harus berperilaku seolah-olah dia juga menikmati semua ini. Ya Tuhan, dia mulai merapalkan segala macam doa yang dia tahu. Kemudian dia berbisik perlahan.

"Apa aku bisa ke kamar mandi dulu?"

Adrian terkekeh geli. "Bisa, take your time okey? I'm waiting."

Tubuhnya melangkah perlahan ke arah kamar mandi. Dia tidak ingin terkesan terburu-buru dan menghindari Adrian, paham benar laki-laki itu masih mengawasi. Di dalam kamar mandi, sekuat tenaga dia menahan dirinya agar tidak menangis karena takut. Dia tidak boleh panik. Ada Niko di luar sana yang selalu berjaga. Sekalipun Niko menyebalkan, dia yakin Niko tidak akan membiarkan dia celaka. Setelah sedikit tenang, dia membuka pintu kamar mandi dan menemukan Adrian disana. Wajah laki-laki itu sedikit pucat.

"Ad, kenapa?"

"Maaf, aku tiba-tiba kurang enak badan."

Hani keluar saja dari kamar mandi kemudian Adrian masuk ke sana. Dia tersenyum lega. Obatnya sudah bekerja.

"Ad, kamu nggak apa-apa kan?" Tangan Hani mengetuk pintu kamar mandi perlahan.

"Han, tolong tunggu dulu. Perutku sedikit masalah," jawab Adrian dari dalam.

"Aku buatkan teh hangat ya."

"Oh ya, terimakasih Han. Semua ada di dapur."

Senyum Hani mengembang sempurna. Dia melangkah menuju dapur untuk membuatkan Adrian teh hangat. Karena perhatian? No way. Karena dia ingin mencampurkan teh itu dengan obat tidur yang dosisnya sudah disesuaikan. 'Kamu main-main dengan Dokter Reyhani Ad, ini akibatnya.'

Selama beberapa menit Adrian ada di dalam kamar mandi. Teh hangat sudah siap saat laki-laki itu keluar dari sana.

"Ad? Are you okey?"

"Ya Tuhan ini memalukan. Maafkan aku Han."

"Ad, itu hanya panggilan alam. Kenapa ribut soal itu."

Adrian tersenyum lalu wajahnya kembali datar. "Maaf, aku harus masuk lagi."

"Take your time Ad. Aku disini."

Hal itu berlangsung tiga puluh menit lamanya. Hani bolak-balik mengetuk pintu kamar mandi dan memeriksa kondisi Adrian.

"Shit," seru Adrian dari dalam kamar mandi.

"Ad, ada apa?"

Adrian keluar dengan wajah kesal yang tidak ditutupi. "Ponselku jatuh ke dalam wastafel yang menyala."

Tangan Hani sudah mengambil ponsel yang basah itu dan meletakkannya di salah satu buffet dekat dengan posisi mereka. "Aku sudah bilang jangan bekerja dulu. Kenapa kamu masih tidak menurut. Lihat, ponselmu jadi rusak."

"Han, aku kurang enak badan. Tapi senang melihat kamu marah-marah begitu karena itu berarti kamu perhatian."

"Duduk, aku periksa. Apa kamu lupa aku seorang Dokter?"

Adrian tersenyum lagi. Dia menurut saja dan duduk di sofa, membiarkan Hani memeriksanya sejenak.

"Kamu pucat Ad. Makan dimana kamu siang ini?"

"Aku nggak sempat makan siang Han."

"Apa kamu mual sekarang?"

"Ya, sedikit."

"Mungkin lambung kamu terganggu dan kamu terlalu capek Ad. Aku tidak membawa obat sekarang, jadi minum teh tanpa gula dulu. Oke?" Hani beranjak ingin mengambil teh itu.

Satu tangan Adrian menahan lengan Hani. "Kamu baik sekali Dok. Aku menyesal pernah bersikap buruk padamu. Maafkan aku." Adrian mencium tangannya lalu memeluknya lagi. "Menikahlah denganku Han. Sepertinya akan mudah untukku jatuh cinta padamu."

Hani membalas pelukan Adrian canggung. "Satu per satu Tuan Adrian. Kamu harus minum teh hangat dulu dan beristirahat."

"Okey Dok."

Kemudian Adrian mengikutinya ke dapur. Hani memberikan teh hangat itu dan mengawasi Adrian menghabiskannya.

"Good, selanjutnya. Istirahat."

"No no. Aku sudah merasa lebih baik." Dia mulai merengkuh Hani lagi, ingin meneruskan apa yang tadi terhenti. Jika tadi dia hanya bernafsu, saat ini, entah kenapa perhatian Hani tadi membuat dia ingin sekali menyenangkan wanita itu.

Oke, obat tidur itu akan bekerja beberapa menit lagi. Dia menyesal tidak memberi dosis lebih banyak sehingga obatnya langsung bekerja. Tapi itu akan aneh kan? Jika Adrian tiba-tiba pingsan begitu saja. Jadi dia sudah menguatkan hatinya, memejamkan matanya karena sungguh dia benci apa yang dia lihat saat ini, sambil membayangkan Radit yang mencium dan memeluknya.

'Jangan menangis Han. Ini untuk Radit, bukan Adrian. Kamu lakukan ini semua untuk mereka yang kamu sayang. Dan ini hanya sebuah ciuman Han, bukan yang lain. Jangan merengek seperti anak kecil,' bisiknya dalam hati.

Bibir Adrian sudah sampai di lehernya. Tubuh tinggi laki-laki itu mengarahkan tubuhnya sendiri ke kamar tidurnya. Lagi-lagi Hani merapal doa, sungguh hanya Tuhan saja yang bisa membantunya. Karena jika dia memijit alarm tanda bahaya, Niko akan merangsek masuk dan semuanya akan sia-sia. Jadi, dia menabahkan dirinya sendiri.

"Apa kamu benar-benar sudah nggak apa-apa?"

"Aku baik-baik saja Han." Bibir Adrian berada di telinganya. "Aku masih sanggup memuaskanmu Sayang."

Kata-kata itu membuat tubuhnya menegang. Mereka sudah berada di tempat tidur. Adrian mulai membuka kancing gaunnya yang ada di belakang.

"Tadinya aku berpikir kancing-kancing ini unik sekali dan membuat gaunmu terlihat sempurna. Sekarang kancing-kancing ini benar-benar merepotkan."

Hani terkekeh saja, ini untuk menutupi rasa paniknya sendiri. Dia bisa merasakan tangan Adrian bergerak-gerak di belakang tubuhnya, sementara laki-laki itu masih mencium lehernya. Bagian tersulit adalah mengontrol reaksi tubuhnya sendiri agar tetap rileks dan tidak kaku juga dingin. Karena sebenarnya dia benar-benar mual. Persis seperti ketika Adrian melamarnya waktu itu.

Lalu, ketika kancing-kancing gaunnya terbuka, dia merasa seluruh berat tubuh Adrian bertumpu pada tubuhnya sendiri. Kepala Adrian terkulai lemas di lehernya. Laki-laki itu, tertidur.

Kedua tangan Hani menggeser tubuh Adrian. Dia menepuk pipi laki-laki itu perlahan dan memanggil namanya. Memastikan bahwa laki-laki itu benar-benar tidur. Setelah yakin, dia berdiri dan membetulkan gaun dan rambutnya. Sebenarnya dia ingin muntah tapi menahan keras dirinya sendiri. Dia harus cepat.

Satu tangannya memasangkan head set kecil di telinga yang dia ambil dari dalam tasnya. Kemudian dia berujar.

"Nik, aku sudah di dalam."

"Ya Tuhan Han, kamu menakutiku. Kamu baik-baik saja kan?"

"Cepat Nik. Sebelum aku berubah pikiran."

"Hitung sampai sepuluh maka semua kamera di tempatnya sudah dalam kendaliku."

"Ya Tuhan, aku bisa gila jika aku terus harus begini," bisik Hani kesal.

"Fokus Han. Selesaikan cepat dan keluar dari sana." Niko seperti sedang mengetikkan sesuatu. "...atau jika kamu masih ingin dengan Adrian, kenapa tidak, ya kan? Aku nggak akan bilang Radit." Niko meledeknya.

"Aku akan memberimu racun yang melumpuhkan jika kamu bercanda lagi soal itu."

Niko tertawa. "Done. Sekarang, pergi ke ruang kerjanya Han. Temukan USB yang Arsyad minta."

Hani terkekeh sambil berjalan ke ruangan yang dituju. "Untuk ukuran orang yang canggih seperti Adrian, aku sungguh tidak menyangka dia masih menggunakan USB untuk menyimpan data."

"Old fashion way sometime is the best way Han. Jangan lupa pindahkan ke tablet yang kamu bawa, letakkan lagi benda itu di tempatnya."

"Kamu bawel Nik. Kamu pikir aku lulus kedokteran karena ingatanku payah apa?" Hani sudah mulai mencari di ruangan kerja Adrian.

"Kamu lucu sekali terkadang. Bisa-bisanya mengobrol denganku sambil menjalankan misi menegangkan. Mungkin kamu berbakat Han. Hanya butuh sedikit dorongan saja di awal, setelah itu kamu luar biasa. Selain itu, kamu pengalih perhatian yang sempurna."

"Sialan kamu Nik." Hani menggeram kesal sambil masih mencari, lalu heran sendiri karena USB itu ternyata tidak disimpan di tempat khusus atau laci yang banyak kunci dan sidik jari untuk membukanya seperti yang dia lihat di TV. "Okey, ini terlalu mudah Nik. Atau mungkin aku yang terlalu banyak nonton serial detektif di TV."

"Anggap saja itu keberuntungan pemula. Cepat pindahkan datanya." Niko diam sejenak. "Atau mungkin Adrian merasa dia sudah memiliki semua kamera dan alarm di apartemennya, jadi tidak perlu lagi menempatkan benda itu di tempat yang aman. Siapa juga yang akan membobol apartemennya kan?"

Hani masih sibuk menyalin data di USB itu ke dalam tablet yang dia bawa. "Kalian beruntung bahwa system keamanan apartemen Adrian adalah buatan GT Techno dan semua cara masuknya Kakekku sudah memberi tahu kan? Kamu juga sangat beruntung malam ini Nik."

Lalu Niko tertawa. "Oh, aku akan bilang ke Arsyad untuk memberimu misi lainnya lagi setelah ini. Misi merayu laki-laki tampan yang bajingan."

"Jangan menggodaku, dasar sialan." Hani bersungut kesal. "Done." Dia mencabut dan meletakkan USB di tempat semula kemudian memastikan ruangan itu kondisinya tidak berubah dan keluar dari sana. "Aku keluar Nik."

"Kamu yakin Adrian masih tidur?"

"Sampai besok menjelang siang, ya aku yakin." Matanya menatap tubuh Adrian yang masih tidur saja sambil tersenyum. Dia beranjak membereskan tasnya dan ingin keluar. Lalu berbalik lagi ke dapur.

"Apa yang kamu lakukan Han? Cepat keluar."

"Nik, apa kamu ingin Adrian tidak masuk kerja besok? Atau besoknya lagi?"

"Dok, what will you do? Tell me."

Hani terkekeh sambil menahan volume suaranya. "Lihat saja di kamera." Tangannya memasukkan sedikit serbuk obat pencahar yang dia bawa ke masing-masing tempat gula, tempat krim, tempat kopi, tempat daun teh, dan juga pada botol susu di dalam kulkas.

"Kamu bawa berapa banyak obat itu?"

"Cukup untuk membuat Adrian berada di rumah seminggu ke depan Nik."

Niko tertawa. "Kamu lebih gila. Aku akan peringatkan Radit agar tidak macam-macam denganmu."

"Bagaimana dengan pertemuannya?" Tangan Hani sudah membuka pintu apartemen Adrian, menatap sekilas ke arah dalam, lalu menutup pintunya.

"Tunanganmu itu pebisnis handal. Serahkan saja padanya Han."

Senyum Hani mengembang sempurna, dia melangkah menuju lift. "Jemput aku di lobby Nik."

"Oke. Good job Han, good job."

***

Yang nulis juga ikutan deg-degan. Hahahaha. Tapii...ini belum selesai saudara-saudara. Stay tune teruss.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro