Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4. The reason to stay

Tanan pernah bertanya padanya, apa motivasinya saat dulu dia ingin menjadi dokter. Saat itu dia hanya menjawab, bahwa motivasinya adalah untuk menyelamatkan dirinya sendiri dari rasa sepi yang menyiksa. Jurusan yang dia ambil membutuhkan banyak waktu untuk belajar dan membaca, untuk menyendiri dan tenggelam. Jadi, dia memilih jurusan ini.

Ketika dalam masa co-assistantnya disana. Dia mulai mempertanyakan lagi motivasinya. Melihat banyak orang berjuang antara hidup dan mati, sungguh sedikitnya merubah persepsinya sendiri. Tapi itu tidak cukup. Yang dia tidak tahu bahwa malam ini, dia akan diguncang oleh kejadian didepan matanya sendiri. Kejadian yang akhirnya merubah keputusannya.

***

Sudah beberapa minggu berlalu dan dia sudah memutuskan untuk kembali ke San Fransisco saja. Dia akan meneruskan program residensialnya disana dan meraih gelar spesialis bedah. Ya, buat apa menunggu lagi. Dia tidak memiliki keterikatan di negeri ini. Kecuali pada Tanan kakak tirinya pastinya. Entah kenapa hubungan mereka berkembang jauh lebih pesat dari sebelumnya.

Tanan, adalah sosok kakak laki-laki yang tidak pernah dia punya. Mereka benar-benar satu darah, terkadang kenyataan itu masih aneh sekali. Sikap Tanan yang juga sangat perhatian padanya sungguh sangat menyentuhnya. Juga sikap Mama Diah, ibu dari Tanan dan istri pertama ayahnya. Ah, dia benci dengan kenyataan lainnya itu. Bukan membenci bahwa ibu kandungnya adalah istri kedua, tapi lebih pada kenyataan bahwa ayahnya sudah membohongi wanita sebaik Mama Diah sendiri.

"Apa kamu sudah urus semuanya?" Tanya Tanan ditelpon. Dia masih berada di apartemen Tanan sementara laki-laki itu sudah berada di kantor.

"Masih ada beberapa hal. Tenang saja, aku bisa urus sendiri."

"Telpon aku kalau kamu butuh bantuan oke?"

Hani terkekeh. "Kalau gitu aku minta tolong sesuatu."

"Apa?"

"Go get yourself a new girlfriend. Kamu masih berduka kan soal tunangan kamu itu?" Dahi Hani mengernyit mengingat bahwa dia sering melihat Tanan merenung. Duduk diam dengan mata yang kosong.

"Anak kecil, nggak usah ikut campur."

"Kamu seriusan harus move on Esa. Kamu laki-laki yang sangat menarik. Banyak yang akan mau sama kamu."

Tanan tertawa saja.

"Jika aku bisa, tahun depan aku kembali kesini untuk mengunjungi Mama dan kamu. Mungkin juga dengan Tante Desi dan Jeff. Jangan sampai saat itu kamu masih sendiri ya."

"Hey, kamu itu adikku. Kenapa jadi cerewet begini?"

Hani selalu suka jika Tanan bilang begitu. Seketika dia merasa dia tidak sendiri. Ada Tanan selama ini. Sekalipun sebenarnya mereka belum lama bertemu.

"Aku ada meeting lain. Kita bicara lagi malam nanti ya. Bye." Hubungan disudahi.

Karena bosan dia memutuskan untuk kembali berjalan-jalan dan juga membeli beberapa bahan makanan untuk nanti malam. Ketika sampai di lobby, dia melihat taksi biru itu dan dia masuk saja. Tiba-tiba dia punya ide untuk menghabiskan harinya.

"Tujuannya kemana Mba?" Bapak Taksi menyalakan argonya.

"Muter-muter aja Pak."

"Ini hanya dalam kota kan Mba?"

"Iya Pak. Saya mau ke Jakarta pusat mungkin? Ada apa disana?"

"Mba mau kulineran atau mau jalan-jalan ke mall?"

"Museum, apa Jakarta punya museum?"

Bapak itu tersenyum saja sambil mengangguk lalu menjalankan mobilnya.

***

Meetingnya diadakan di pusat kota. Dia datang untuk menggantikan ayahnya. Setelah selesai dia ingin segera kembali ke apartemennya karena Stephanie sudah menunggu. Jalanan di Jakarta memang terkenal sangat tidak bersahabat jika jam sibuk seperti ini. Jadi sudah lebih dari lima belas menit mobilnya tidak bergerak kemana-mana. Dia mulai gusar. Ponsel yang sedari tadi dia tatap menjadi tidak menarik lagi. Lalu alat itu berbunyi.

"Kamu masih lama?" Stefi disana.

"Macet banget. Maaf. Kamu makan duluan saja."

"Aku tunggu kamu."

"I love you."

Gadis itu diam saja tidak menjawab. Mungkin kesal karena dia sudah menunggu lama. Hubungan disudahi.

"Pak, coba dicek Pak. Ada apa ya sampai nggak gerak begini?"

Pak Dono turun dan melihat apa yang terjadi. Beberapa saat kemudian Pak Dono kembali masuk ke dalam mobil terburu-buru. Dia berusaha menepikan mobilnya karena entah bagaimana bisa ada wanita cantik dengan baju penuh dengan noda darah dan beberapa orang lainnya yang meminta mereka menepi, karena sebuah taksi biru ingin berbalik arah dan sepertinya membawa korban kecelakaan.

"Kecelakaan lalu lintas Pak. Motor tabrakan dengan bus. Ada anak kecilnya. Kesian Pak." Taksi itu sudah berlalu bersama wanita tadi.

"Loh itu mereka pake taksi?"

"Itu kayaknya ditolongin Mba yang tadi Pak. Kebetulan lagi ada di tempat saja."

"Ya Tuhan. Semoga semua baik-baik saja."

"Saya nggak yakin Pak. Karena kondisi korbannya parah."

Radit mendesah prihatin. Mobilnya sudah mulai melaju lagi.

***

"Esa, tolong aku. Cepat kesini."

"Han, ada apa?"

"Cepat kesini." Hani menyebutkan nama salah satu rumah sakit swasta di Jakarta. "Tolong aku." Suara Hani panik dan gadis itu menangis.

Tanan langsung berdiri dan bergegas pergi menuju tempat yang disebut Hani tadi.

Sementara itu, di rumah sakit tempat Hani berada. Hani sudah mengeluarkan semua jenis kartu yang dia punya. Dia marah, murka. Kenapa seolah orang-orang tutup telinga.

"Maaf Ibu. Entah kenapa kartu-kartu ibu tidak bisa digesek. Sepertinya kartu Ibu hanya berlaku di luar negri, tidak disini."

"Saya punya uang, kakak saya akan kesini. Tolong anak itu. Tolong dia. Ya Tuhan dia punya trauma berat di kepalanya. Atau biarkan saya menolong dia, saya dokter."

"Maaf Ibu, ini sudah prosedurnya. Deposit harus dibayarkan sebelum tindakan apapun. Saat ini kami hanya bisa melakukan pertolongan pertama saja."

"Tidak cukup!! Apa kalian gila? Itu nyawa orang."

"Tapi bahkan Ibu bukan orangtuanya kan?"

"Ayahnya meninggal di tempat. Ya Tuhan, apa kalian tidak punya hati?" Hani sudah menjerit histeris disana.

Staff rumah sakit itu gugup juga. Dia berdiri dan masuk untuk berbicara pada managernya.

"Seharusnya korban kecelakaan lalu lintas tidak dibawa ke rumah sakit ini. Ini rumah sakit swasta dan kami punya prosedur kami sendiri." Laki-laki itu berdiri dihadapannya.

"F**k with your procedure. Dia sekarat!! Saya bisa bayar. Saya punya uang. Saya tidak tahu nomor jaminan kesehatan anak itu. Tapi negara harusnya menjamin kan?"

"Ini bukan negara tempat anda tinggal Nona." Wajah Hani memang blasteran. Ditambah dialek Indonesia-nya yang terdengar aneh.

"Ini rumah sakit terdekat. Kalian harus menolong dia. Atau biarkan saya melakukan tindakan, saya dokter."

"Maaf Nona..."

"Jangan panggil saya Nona dasar sialan!!"

Hani sudah melangkah panjang ke arah ruang IGD. Beberapa security sudah berusaha menghalanginya. Lalu Tanan datang dari arah lobby rumah sakit.

"Ada apa Han?" Wajahnya panik sekali.

"Bayar. Berapapun yang mereka minta, cepat bayar."

Tanan yang tidak mengerti langsung mengeluarkan dompetnya dan menghampiri meja administrasi.

"Saya bilang saya punya uang. Sekarang, lakukan tindakan."

Salah satu juru rawat keluar dari IGD. Juga seorang dokter jaga. "Ibu maaf. Sudah tidak ada yang bisa kami lakukan lagi."

Hani paham benar apa arti tatapan itu. Tatapan seorang dokter ketika harus menyampaikan bahwa pasien sudah tiada. Nafasnya seperti berhenti juga. Sesak rasanya. Tubuhnya yang sedari tadi bergetar sudah jatuh ke lantai. Dia terlambat. Karena orang-orang di rumah sakit sialan ini dia tidak bisa menyelamatkan anak itu. Ya Tuhan, apa salah anak itu hingga nasibnya harus begini. Ini gila, tempat ini gila.

Tanan sudah memeluknya. Mengangkat tubuhnya hingga dia duduk di salah satu bangku rumah sakit. Beberapa pengunjung di rumah sakit yang melihat drama itu sudah dibubarkan oleh security. Supir taksi tadi sudah menyodorkan sebotol air minum.

"Tenang Han, tenang dulu." Satu tangan Tanan mengelus punggungnya.

"Mereka adalah pembunuh sesungguhnya. Mereka membunuh anak itu. Hanya karena uang? Apa uang adalah segalanya disini? Bahkan nyawa tidak ada harganya?" Suara Hani masih bergetar dan menyerupai lirihan. "Bagaimana bisa kamu hidup di tempat ini Sa? Bilang aku, bagaimana bisa?"

"Minum dulu Han. Tenang dulu."

Hani menatap Tanan. "Bilang aku bagaimana caranya?"

Tanan mendesah perlahan. Sedikit banyak dia bisa menebak apa yang terjadi. "Kamu mau tahu bagaimana caranya?"

"Ya. Bilang aku bagaimana caranya untuk membalas apa yang sudah mereka lakukan ke anak itu?"

"Jangan pergi Han. Jadilah dokter yang sangat hebat disini sehingga tidak ada rumah sakit yang bisa menolak karena kemampuan kamu. Setelah kamu berada di atas nanti, buatlah perubahan. Rombak semua peraturan yang memberatkan, atau yang tidak manusiawi." Mata Tanan menatap Hani. Berusaha menguatkan sambil juga berusaha menenangkan gadis disebelahnya ini.

Puncak kepala Hani sudah dia letakkan di dada bidang Tanan. Tangisnya sudah berhenti, diganti dengan keinginan kuat untuk melakukan apa yang Tanan sarankan tadi. Kepalanya mengangguk perlahan.

"Aku akan tinggal. Bantu aku urus semuanya disini." Akhirnya dia menemukan arti atas profesinya ini. Dia tidak pernah merasa terpacu atau murka seperti sekarang. Jadi ya, dia akan tinggal dan membalas apa yang mereka lakukan pada anak itu.

Lalu Tanan merengkuhnya dalam pelukan dan mencium puncak kepalanya sayang.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro