38. It drives me crazy
"Nik, kenapa Hani tidak mengangkat telpon saya? Saya menggunakan jalur aman."
Niko menghela nafasnya. Dia benci berurusan dengan kehidupan percintaan orang lain. Ini menyebalkan. Lebih baik dia berurusan dengan bahaya daripada berada di tengah-tengah seperti ini.
"Sementara ini dia tidak mau berhubungan dengan siapapun Dit. Dia sedang sedih."
"Ada apa? Apa Adrian..."
"Ya Adrian memang rubah licik. Dia sengaja mengajak Reyhani pergi ke tempat makan siang yang sama denganmu dan Stephanie kemarin."
"What?" Radit terkejut sekali. "Kenapa kamu nggak bilang Nik? Kamu tahu itu hanya makan siang biasa. Kenapa kamu membiarkan Hani datang?"
"Saya nggak bisa bilang alasannya Dit. Maaf." Niko menutupi kenyataan bahwa sesungguhnya itu dilakukan agar Adrian percaya bahwa dia sudah berhasil merusak hubungan Radit dan Hani.
Radit sudah memaki panjang.
"Saya kesana."
"Dia tidak ada di apartemennya."
"Jadi dimana dia?"
"Di rumah Robert, mengurung diri. Dan kamu, tidak boleh kesana Radit. Berbahaya untuk Reyhani."
"Tapi Nik..."
"Temukan saja cacat sample selongsong itu secepatnya Dit, agar ini semua bisa berakhir cepat. Arsyad dan Robert sudah selesai mengumpulkan bukti-bukti kecurangan Adrian. Jika kamu bertindak gegabah sekarang, semua usaha termasuk usaha Reyhani dan Mareno, juga kita semua akan sia-sia. Sabarlah dulu. Setelah itu kamu bisa kejar Reyhani lagi."
Suara meja yang dihantam di seberang sana terdengar. Niko hanya menggelengkan kepala.
"Saya akan membunuh Adrian setelah ini. Saya akan membunuhnya."
"Tenangkan dirimu Dit. Jangan terbawa emosi."
Hubungan disudahi.
***
Makan malam di kediaman keluarga Straussman malam itu dihadiri keluarga terdekat saja. Desy dan Jeff, Rachel, Reyhani, Robert dan Winda, juga Adrian. Undangan pada keluarga Tanandra dibatalkan oleh Robert. Karena dia tahu benar apa rencana Adrian hari ini. Juga dia tidak mau Adrian mencium gelagatnya yang sudah menunjuk Tanandra sebagai salah satu ahli warisnya. Undangan pada Radita juga dibatalkan, yang ini atas permintaan Reyhani. Cucunya itu terlihat sedih dan gusar sekali. Tapi saat ini dia tidak bisa melakukan apapun. Hanya bisa mengikuti rencana dan berharap semua cepat selesai.
Adrian datang tepat pukul tujuh, dengan setelan jas formil. Dia tampak gagah sekali. Kemenakkannya itu memiliki fisik yang sempurna, juga intuisi bisnis yang baik. Robert selama ini selalu berharap, bahwa Adrian benar-benar bisa menjadi penerus usaha keluarga mereka. Tapi ambisi Adrian terlalu tinggi. Mungkin Adrian tidak akan berhenti bahkan setelah memiliki segalanya dalam genggaman. Dan kenyataan pahit itu harus Robert telan. Karena itu akhirnya dia harus menarik Reyhani, Desy dan Rachel dari kehidupan normal mereka, seperti saat ini.
Robert menatap ke sekeliling ruangan. Desy, Jeff, Rachel bahkan Reyhani juga berkumpul di ruang tengah. Bercanda dan tertawa. Sekalipun tidak begitu untuk kasus Reyhani yang sedang murung sekali. Inilah yang dia dambakan sejak dulu. Andai saja Adrian tidak melakukan apa-apa yang dia lakukan, maka kebahagiaannya akan sempurna.
Makan malam dimulai pukul setengah delapan. Mereka duduk pada meja makan panjang dengan dia sendiri berada pada ujung meja dan Winda di sisi sebelahnya.
"Ini yang selama ini saya harapkan. Berkumpul dengan kalian semua. Maaf, kalau saya sedikit memaksakan jadwal berkumpul ini. Karena akhirnya kesalah pahaman keluarga kita berakhir." Dia menatap Desy dan Reyhani sambil tersenyum. "Terutama untuk Rachel yang harus cuti dari pekerjaannya yang padat. Saya sangat menghargai kesediaanmu Sayang." Senyumnya beralih pada Rachel.
"Ya ya Kakek, aku maafkan asal Kakek memenuhi janji Kakek untuk menutup beberapa butik yang aku incar di pusat perbelanjaan besok karena aku ingin berbelanja."
Robert dan yang lainnya terkekeh. "Berbelanjalah yang banyak dengan Mama-mu dan Reyhani."
Adrian kali ini tersenyum. "Aku setuju untuk hal itu. Siapa tahu Reyhani tidak murung lagi." Matanya menatap Reyhani yang duduk di sebelahnya.
"Oh diamlah Adrian, kau bahkan bukan keluarga inti," ujar Rachel sinis.
"Rachel." Desy memperingati.
"Baiklah, tata krama ini sungguh membosankan." Rachel memutar matanya kesal.
"Sudah-sudah, makanannya nanti dingin." Winda menengahi saja.
Kemudian mereka mulai makan.
Reyhani sibuk dengan pikirannya sendiri. Belakangan ini dia sulit sekali mengkontrol emosinya. Semua hal yang terjadi benar-benar membuatnya muak. Apalagi laki-laki yang duduk di sebelahnya ini.
"Han, sayang. Apa kamu nggak enak badan?" Winda menatapnya. Beberapa dari mereka sudah selesai makan dan sedang menikmati hidangan penutup.
"Aku hanya sedikit lelah." Hani memaksakan senyumnya.
"Habiskan makananmu Sayang. Aku tidak mau kamu sakit," ujar Winda lembut sambil tersenyum padanya.
Kepalanya mengangguk saja. Dia benci pada dirinya sendiri karena sudah mau menjadi boneka. Ini adalah arti terjajah sebenarnya.
Adrian berdehem ringan, sambil menatap ke sekeliling ruangan. "Apa boleh aku minta waktu kalian?"
"Ya, ada apa? Kalau tidak penting aku harus segera kembali ke kamarku. Ada email yang harus aku baca," sahut Rachel.
"Ini penting sekali." Wajahnya menatap Robert sejenak lalu tersenyum. "Rachel, kamu benar jika aku memang bukan anak dari Robert langsung. Tapi aku masih bagian yang sah dari keluarga Straussman. Tapi, bukan itu itu beritanya." Adrian memberi jeda. "Malam ini, saya dengan resmi ingin melamar Reyhani."
Semua wajah terkejut kecuali Robert. Ekspresi Robert tidak terbaca sekalipun Hani berusaha membacanya. Genggaman tangan Adrian padanya dan senyuman manis laki-laki itu sungguh mengaduk perutnya. Dia mual sekali. Telapak tangannya dingin, sementara wajahnya memerah menahan keinginannya untuk muntah di tempat.
"Wow, kamu luar biasa trickie Adrian. Apa menikahi saudara itu legal di sini? Atau memang karena kamu bukan saudara kami?" Rachel tersenyum sinis padanya.
"Sah, tidak ada larangan. Menjadi pebisnis handal membuatku memeriksa hal-hal yang penting sebelum mengajukan lamaran ini. Dengan begitu juga kelangsungan GT Techno akan makin kuat dan tidak tergoyahkan." Adrian menghela nafasnya. "Jadi..." dia mengeluarkan benda itu dari dalam saku jasnya. "...Reyhani Abigail Straussman, menikahlah dengan saya."
Tubuh Adrian masih duduk namun sudah berhadapan dengannya. Senyumnya terkembang sempurna, sesempurna sandiwaranya. Satu tangan Adrian membuka penutup kotak beludru cincin itu. Hani menelan salivanya perlahan, dia menatap seluruh anggota keluarga dan mereka diam saja. Dia tahu ini hanya sandiwara, pura-pura. Satu-satunya orang yang tidak bisa berpura-pura adalah sepupunya Rachel. Mengejutkan bukan? Anak itu berekspresi jijik dan menatap Adrian dengan pandangan membenci yang tidak ditutupi.
Lalu, apa dia masih sanggup berpura-pura juga?
"Han?"
Suaranya bergetar saja. Dia tidak boleh mengacaukan segalanya. Apa iya?
"Robert, bagaimana menurutmu? Apa yang sebaiknya aku lakukan?" Dia menatap kakeknya di ujung meja. Melempar bola itu padanya. Agar semua orang tahu, dia membenci kepura-puraan ini dengan segenap jiwanya.
"Apa...yang akan Jennifer lakukan Rob? Bilang padaku." Suara Hani sarat dengan kemarahan yang ditahan.
Dahi Robert mengernyit nyeri. Lalu Winda memotong saja. "Sayang, kamu tidak..."
Tubuhnya sudah berdiri, emosinya bisa dia tahan, tapi reaksi tubuhnya yang mual sekali tidak bisa dia kendalikan. Dia sudah berlari ke kamar mandi terdekat, dan mengeluarkan seluruh isi perutnya disana.
Desy berlari menyusulnya. Kemudian Rachel juga berdiri.
"Wow, kamu ditolak habis-habisan Ad. Lihat, Reyhani bahkan muak sekali padamu sampai dia muntah-muntah begitu."
"Rachel!" hardik Jeff pada anak gadisnya itu yang berlalu saja.
***
Di dalam ruang kerja.
Mereka berdua saja setelah Hani sedikit tenang. Wajah wanita itu pucat sekali. Tubuhnya dingin dan dia menolak Adrian ketika laki-laki itu ingin menyentuhnya.
"Aku tahu ini mendadak sekali Han. Aku paham. Tapi ini adalah cara terbaik untuk mempertahankan semua yang kita miliki. Ini masuk akal." Tubuh Adrian berjongkok dihadapan Hani yang duduk di sofa.
Hani diam saja, matanya yang kosong menatap lurus ke depan. "Aku tidak mencintaimu."
"Aku tahu, tapi beri aku kesempatan. Aku berjanji aku akan selalu menjagamu, aku tidak akan membuatmu terluka."
Lalu titik air mata itu jatuh juga. Bukan karena dia sedih, tapi karena dia sangat marah dan murka namun mati-matian menahan keinginannya untuk menampar laki-laki dihadapannya ini.
"Ya Tuhan Han, jangan menangis. Aku bukan Radit yang memiliki banyak wanita..."
'Plak!' Hani tidak bisa menahan tangannya. Dia menampar wajah Adrian.
Adrian terkekeh kering. "Jangan buat aku memaksamu Han. Aku memintamu baik-baik, aku menawarkan dunia untukmu."
Hani mendorong tubuh Adrian menjauh. Dia muak dan marah sekali.
"Wow, kamu makin cantik jika sedang marah. Kamu masih mencintai laki-laki bodoh itu kan? Dia tidak setia Han. Dia menyakitimu dan dia akan membayar itu."
"Pergi!!" hardik Hani keras.
"Tidak akan Sayang. Aku tidak akan pergi dari hidupmu sampai kamu setuju untuk menikahiku." Adrian menatapnya saja. Mereka sudah berdiri berhadapan. "Kamu tahu? Aku akan menghancurkan Adikinarya dengan tanganku, membuat laki-lakimu itu bangkrut hingga dia mengemis di jalanan. Itu akibatnya karena dia menyakitimu Han. Aku paham kamu terluka, dan aku akan membalaskan lukamu."
"Aku bilang pergi!!" jerit Hani.
Adrian menghela nafasnya. "Aku akan berikan kamu waktu untuk berpikir atas tawaranku. Kalau kamu memang sangat mencintai laki-lakimu itu...okey, baiklah. Proposal GT Techno akan aku batalkan ke kantor kementrian. Jadi Adikinarya selamat. Atau, jika kamu ingin Radit membayar, bilang saja Han. Balas dendam itu melegakan." Adrian mulai melangkah. "Pilihan satu atau dua, ujungnya akan sama. Ke pelaminan bersamaku. Selamat malam, istirahatlah Han."
Adrian sudah pergi dan dia berlari ke kamarnya di lantai atas. Tidak memperdulikan tatapan sedih Robert dan Winda. Di dalam kamar dia menemukan Rachel yang menunggunya.
"Ya ampun sepupu, kamu pucat sekali." Wajah Rachel khawatir sekali.
Kemudian tubuh Hani ambruk di lantai. Dia menangis untuk meluapkan segala emosi yang dia tahan.
***
Tanandra masuk ke dalam klub malam itu. Ini bukan tempat favoritnya, tidak pernah. Ruangan yang hingar bingar dengan musik yang berdentum keras, bau rokok dan alkohol yang menyengat, lalu wanita-wanita yang berpakaian minim dengan make up yang terlalu tebal membuat dia merasa kesal. Beberapa wanita yang berpapasan menyapanya manja, sambil mengedipkan mata.
Satu orang yang dia cari, Radit kawannya. Dia dihubungi Niko sore tadi, dan Niko menjelaskan apa-apa yang dia boleh tahu. Ya, dia sendiri harus meredam rasa penasarannya tentang apa yang sedang terjadi karena tidak ingin membahayakan Asha. Arsyad berkata, makin sedikit dia tahu maka makin aman pasangan hidupnya itu. Jadi di sini dia, berusaha menarik Radit dari rasa frustasi.
"Dit, balik." Dia menepuk pundak Radit. Sahabatnya itu sedang menelungkupkan wajahnya di meja dengan berbantalkan tangannya. Beberapa botol minuman dihadapannya sudah kosong dan setengah kosong.
"Sudah Dit. Bukan begini caranya. Ayo balik, gue antar."
Wajah Radit menenggadah, matanya menatap Tanan kosong.
"Ya ampun, ayolah Dit." Tanan mulai bergerak merangkul tubuh Radit. Yang dia tahu Radit tidak pernah mabuk. Bahkan setelah minum bergelas-gelas dulu. Jadi tatapan mata kosong itu bisa jadi karena dia sedang frustasi.
Mereka sudah berada di mobil setelah dengan susah payah Tanan memapah tubuh Radit kesana. Dia melajukan mobil sambil mendesah perlahan.
"Oke oke. Gue percaya lo cinta banget sama Hani sekarang."
Radit terkekeh saja. "Gue nggak melakukan ini semua untuk dapat restu lo. Dengan atau tanpa restu lo atau bahkan keluarga gue, gue tetap bakalan nikahin Hani. Jadi nggak ngaruh."
"Terus kenapa lo begini?"
Radit mulai cegukan. Tanan menyodorkannya sebotol air mineral dan dia menenggaknya. Bayangan Hani bersama Adrian menari-nari di matanya, lalu Reyhani yang tidak mau dia hubungi lagi, kemudian tentang segala kemungkinan tentang rusaknya hubungan mereka, atau ketiadaan Hani nanti. Itu sungguh membuatnya hilang akal. Dia jadi gila.
"Perumpamaannya kayak lo lihat Asha sama orang lain, tapi Asha nggak bahagia. Laki-laki itu, sentuh Asha. Asha nggak bisa nolak karena terpaksa. Dia nangis terus sementara lo nggak bisa apa-apa buat selamatkan dia."
Tanan mengernyit nyeri. Langsung bisa mengkorelasikan perumpamaan itu.
"Kita beresin Adrian aja apa? Nggak sabar juga gue lama-lama sama rencananya Arsyad." Tanan memukul setirnya. Dia teringat Asha bilang padanya Hani seperti depresi ketika dia menghubungi.
"Kalau kita kacaukan semuanya sekarang, itu bisa buat usaha Mareno dan juga Reyhani sia-sia Ndra. Asal lo tahu, gue rasanya mau bunuh Adrian sekarang juga." Lalu Radit mulai memaki keras.
"Gue mau meledak rasanya Ndra. Ya Tuhan. Gue kangen banget sama dia. Adrian bajingan! Shit!"
"Daripada mabok terus dosa, kita ke dojo aja. Gimana?"
"Terserah deh."
Radit sudah tidak bisa berpikir jernih. Tapi mungkin saja ketika mereka selesai menghantam nanti, beban di dadanya sedikit berkurang.
***
Sabar ya Diit.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro