37. Burn
Sesuai dengan informasi yang dia dapat, Adrian mulai menambah frekuensi telponnya pada Reyhani. Juga kunjungan-kunjungan nya ke rumah sakit atau ke apartemen Reyhani sendiri. Dia mendapatkan semua laporannya dari Niko dengan sedikit memaksa. Karena Niko tahu dia adalah seseorang yang sangat pencemburu. Tapi ternyata dia lebih gila lagi ketika dia tidak tahu apa kabar wanita tercintanya itu. Jadi dia duduk di dalam kantornya, menatap nanar foto-foto pada tabletnya yang dikirim oleh Nik dari jalur komunikasi yang aman.
Ya Tuhan, pada foto-foto itu terlihat wajah Adrian yang tersenyum bahagia sambil selalu berusaha menyentuh tangan atau bahu Reyhani. Sementara wajah wanitanya itu tersenyum namun matanya sedih sekali. Ini seperti dipaksa melihat sesuatu yang dia paling benci namun dia tidak kuasa menghindari hal itu. Ini membunuhnya perlahan. Ditambah lagi frekuensinya sendiri yang sangat dibatasi untuk menghubungi Hani. Sungguh seluruh kata makian sudah ada di kepalanya saat ini. Dia memijit telpon mejanya.
"Siang Pak Fatur, apa sudah ada kabar baik?" tanyanya pada Fatur yang sedang memimpin proses pengecekan sample selongsong. Semakin cepat perbedaannya ditemukan maka akan semakin cepat Adrian bisa dihentikan dan semua kegilaan ini berhenti.
"Pengetesan pertama selesai dan selongsong itu lewat Pak. Sekarang kami sedang melakukan pengetesan kondisi basah dan panas."
"Butuh berapa lama Pak?"
"Tiga sampai empat hari lagi."
"Apa nggak bisa lebih cepat?"
"Maaf Pak, saya harus mengikuti prosedurnya."
Dia mendesah perlahan. "Oke, lakukan saja. Saya tunggu kabarnya."
"Baik." Hubungan disudahi.
Tangannya sudah memijit dahi lalu bergerak lagi.
"Nik."
"Kamu mau merengek?" Niko tertawa diseberang sana. "Dokter cantikmu itu juga sedang galak-galaknya, dia sama uring-uringannya seperti kamu."
"Shit," makinya kesal.
"Bagaimana soal sample, sudah ada kabar bagus?" tanya Niko.
"Masih diusahakan. Sedang dalam proses tes." Radit berdiri untuk mengusir keresahannya sendiri. "Bagaimana kabar Mareno?"
"Dia bertahan, sekalipun kondisinya buruk. Kalau kamu tahu apa yang kami lalui untuk dapatkan sample itu..." kalimat Niko terputus. Dia menghela nafasnya mengingat setelah Mareno tertembak di kakinya, mereka bahkan dihadang lagi ketika sedang menuju bandara dan membuat Mareno terluka parah. Itu yang membuat saat ini Mareno masih dalam perawatan intensif. Sementara dirinya sendiri beruntung karena mengenakan baju anti peluru khusus. Hhhh, Mareno memang sedari dulu tidak pernah mau mengikuti aturan.
"Apa ada kemungkinan Arsyad menyingkirkan Adrian saja selama-lamanya?" Geram Radit gemas.
"Mungkin, jika Mareno tidak selamat. Adrian atau Herman akan berharap mereka masuk penjara saja, daripada berurusan dengan Arsyad."
"Ya Tuhan. Saya harap Mareno baik-baik saja. Dia memang sedikit gila, tapi dia sahabat saya."
"Kamu beruntung Dit, setelah ini selesai maka semuanya selesai. Sedangkan kami, jalan kami masih panjang."
Radit terkekeh kering. "Saya pikir ini juga tidak akan sesederhana itu nantinya Nik. Saya akan menikahi Hani dan masuk pada lingkaran besar itu mau atau tidak mau. Saat Arsyad memanggil, saya wajib membantu. Karena kami hutang budi."
"Arsyad tidak suka melibatkan banyak orang, jangan terlalu khawatir. Jaga GT Techno saja baik-baik, sisanya serahkan pada kami."
"Sampai salam saya pada Mareno. Saya belum bisa ke tempatnya."
"Ya."
"Nik, tolong jaga Reyhani baik-baik. Jangan biarkan Adrian menyakiti atau memaksanya."
"Itu memang tugas saya."
"Terimakasih."
Dia memutus hubungannya lalu pintunya diketuk. Lina masuk.
"Pak, besok ada janji makan siang dengan Ibu Stephanie."
Kepalanya mengangguk saja.
***
Stephanie Dirga sedang duduk di kursi ruang kerjanya. Sudah tiga tahun ini dia memutuskan untuk mulai benar-benar terjun pada dunia bisnis keluarganya. Kakaknya tersenyum sumringah dan sikapnya berlebihan sekali ketika tahu keinginannya itu. Menyebalkan.
Matanya menatap jadwalnya besok, makan siang dengan Radit. Akhirnya laki-lakinya itu sendiri yang memintanya untuk bertemu. Kakaknya sudah menceritakan kondisi terbaru di luar. Konflik keluarga Daud yang menyeret Straussman ke dalamnya. Arya juga sudah bercerita tentang pertemuannya dengan Radit beberapa minggu lalu. Arya bilang, Radit sangat terkejut ketika tahu apa yang terjadi sebenarnya. Wajah laki-laki itu pasti lucu.
Tubuhnya dia senderkan lalu matanya terpenjam. Ingatannya terbang pada saat-saat mereka dulu. Bagaimana konyolnya Radit terkadang, atau perhatian-perhatian kecil Radit yang membuatnya nyaman dan merasa istimewa, atau bagaimana mereka di tempat tidur. Dia mencintai Radit, dulu dan sekarang. Sangat mencintai laki-laki itu, sekalipun dia tidak kuasa mempertahankan hubungan mereka dulu. Hingga saat ini, belum ada lagi laki-laki yang bisa menggantikan Radit di hatinya. Ya, dia masih berhubungan dengan beberapa laki-laki. Tapi itu hanya untuk mengisi waktunya yang kosong, bukan hatinya. Karena hatinya itu tidak bisa diisi dengan siapapun kecuali Radit.
Telpon di mejanya berdering. Dia melirik sejenak untuk memeriksa siapa yang menghubunginya. Arya.
"Wow, kamu punya janji kencan besok?"
Dia tertawa. "Jangan menggodaku, dasar brengsek dan ini bukan kencan. Hanya makan siang biasa."
"Ya apalah. Kamu pasti sudah membeli gaun baru," kekeh Arya disana.
"Sekali lagi menggodaku, aku akan beritahu pada Gladys soal Grace dulu."
"God, dasar tukang ngadu." Arya memberi jeda. "Stef, kalau kamu tidak mau bertemu, tolak saja undangan itu. Jangan lakukan sesuatu yang membuatmu sedih."
Stefi diam sejenak. "Kamu bilang dulu kamu akan memberikan apapun untukku Kak?" Dia menggunakan panggilannya pada Arya waktu kecil.
"Ya, apa saja."
"Buatkan aku mesin waktu, agar aku bisa kembali bersama dia."
Arya menghela nafasnya perlahan. "Jika aku bisa, aku juga ingin kembali ke masa yang lalu Sis. Aku ingin menebus semua waktuku yang hilang bersama Gladys, mengembalikan semua rasa percayanya padaku."
"Gladys hanya mencintaimu Kak. Beda halnya dengan kasusku."
"Kamu tidak tahu apa yang terjadi dalam rumah tangga kami." Arya diam sejenak. "Sudahlah, untuk masalah hati, semua memang tidak pernah sempurna untuk orang-orang seperti kita kan?"
Stephanie terkekeh kering. "Ya ya. Itu resikonya."
"Stef..."
"Ya?"
"Jangan lupa untuk melupakan Radit Stef. Lupakan dia, carilah yang lebih baik darinya."
Stephanie hanya mengangguk saja, paham benar kakaknya itu tidak akan melihat.
***
Dia menatap ponselnya sedih. Radit tidak menghubunginya dan tidak membalas telponnya. Dia tahu dia harus menjaga jarak, tapi ini menyiksa. Apalagi dia harus berpura-pura bersikap biasa-biasa saja pada Adrian, si mahluk pembuat onar itu. Setiap kali mereka bertemu yang dimana saat ini itu sering terjadi, rasanya dia ingin sekali memukul wajahnya yang bermuka dua itu. Adrian brengsek!!
Lalu ponsel itu berbunyi. Dengan semangat dia melihat siapa yang menghubungi.
"Ya." Dia menghela nafas kesal.
"Hey, ada apa? Kenapa kesal begitu?" Suara Adrian disana.
"Entahlah Ad, aku hanya capek," ujarnya sambil memukul bantal di kasurnya sendiri. Berharap bantal itu adalah wajah Adrian.
"Besok aku jemput makan siang, oke?"
"Aku ada jadwal operasi penting paginya. Jadi mungkin..."
"Aku nggak terima penolakan kali ini."
"Oke, kita makan sup buntut di warung langgananku," timpalnya kesal. Paham benar Adrian pasti akan menolak.
"No no Dok. Besok aku sudah booking di tempat istimewa."
"Aku ingin makan siang sup buntut itu, kalau kamu tidak mau, ya sudah."
"Reyhani Sayang, ayolah."
'Apa? Sayang? Dasar mahluk gila!! Hrrgghhh...' Semua kata makian dan rutukan sudah muncul di kepalanya dan hampir saja terlontar namun tertahan karena Niko yang tiba-tiba masuk. Dia langsung berdiri dari kasurnya dengan mata melotot pada Niko.
'What the...'
Gerakan bibir Niko berkata padanya 'bilang iya Han.'
Kepalanya menggeleng keras. 'No, I will not.' Dia menggerakkan bibirnya juga tanpa suara pada Niko.
"Haaan..." ujar Adrian lagi di seberang sana.
Niko berkacak pinggang dengan wajah mengancam.
"Oke."
"Thanks. See you tomorrow. I will miss you for sure," Adrian berujar singkat lalu memutuskan hubungan ponselnya.
Setelah ponsel itu terputus. Hani melangkah cepat lalu memukul tubuh Niko. "Dasar gila kalian, gila!! Ini pelanggaran HAM, saya bisa adukan ini ke polisi atau ke Pak Sardi. Kalian sakit jiwa minta saya berpura-pura begini."
Niko diam saja tidak membalas.
***
Siang itu, Stephanie berdandan tidak berlebihan dengan gaun makan siang selutut yang membuat penampilannya sempurna. Stephanie Dirga memang dilahirkan dengan fisik yang sempurna juga pembawaan yang anggun sekali karena didikan keluarganya sejak kecil. Senyumnya yang menawan dari wajah lonjong dan arisktokratnya itu membuat beberapa laki-laki menoleh saja ketika dia melangkah masuk ke restoran.
Radit berdiri dari kursinya untuk mempersilahkan dia duduk. Dia tersenyum dan mengangguk sopan. Dia sengaja membiarkan Radit sedikit menunggunya, itu membuat dia senang.
"Hai Dit."
"Selamat siang Stef." Radit menatapnya saja dari seberang meja.
"Kenapa kamu formil banget?"
"Saya selalu begini Stef."
"Tidak dulu."
Radit diam saja tidak menjawab. "Aku ke sini untuk..."
"Dit, aku belum mulai pesan makanannya. Sabar dulu." Tangannya melambai pada seorang waiter.
Radit memperhatikan wanita dihadapannya ini. Wanita yang pernah dia cinta, cinta pertamanya. Dulu, dia sanggup melakukan apa saja untuk Stephanie. Tapi saat ini, semua kenangan itu terhapus begitu saja. Saat ini, dia hanya ingin mengucapkan terimakasih atas apa yang dilakukan oleh Arya Dirga karena Stephanie yang meminta, tentang informasi penting itu. Juga ingin meminta maaf atas prasangka buruknya dulu.
"Bagaimana kabarmu Dit?" Stefi memulai setelah menyebutkan pesanan makan siangnya. "Kamu sudah pesan?"
"Sudah. Kopi saja."
"Wow, kamu benar-benar tidak mau berlama-lama denganku rupanya."
"Aku hanya tidak lapar."
"Kalau begitu, temani aku makan. Jangan berani-berani pergi sebelum aku selesai."
Lagi-lagi, Radit hanya diam saja tanpa ekspresi. Stephanie menghela nafasnya perlahan.
"Maafkan aku Dit. Atas semua sikapku dulu. Aku bersalah."
"Aku sudah memaafkanmu Stef. Jangan khawatir. Aku pun salah sangka sekarang. Aku pikir kedatanganmu saat ini adalah untuk mengacaukan apa yang aku punya. Maafkan aku untuk itu."
Kali ini wajah Stephanie yang datar saja. "Apa yang kamu punya," ulangnya. "Kamu akan punya banyak Dit. Selamat. Straussman bisa disejajarkan dengan Daud dan Darusman, atau keluargaku."
"Itu adalah masalah kaum kalian." Radit berdecak kesal.
"Maksudnya?"
"Saat aku bilang aku akan punya segalanya, orang-orang seperti kalian akan berpikir bahwa korelasinya adalah harta. Sedangkan maksudku bukan itu." Kepala Radit menoleh lalu tersenyum pada waiter yang mengantarkan pesanan mereka.
Mata Stephanie menatapnya dalam. "Aku selalu suka senyummu."
Radit menghela nafasnya sambil menggeleng saja. Dia menyeruput kopinya sementara Stephanie mulai makan salad yang dia pesan.
***
Beberapa saat sebelumnya di restoran yang sama.
Restoran itu terdiri dari dua lantai. Adrian memesan meja di lantai atas dan menjemputnya lebih awal dari waktu makan siang, entah kenapa. Dia membenci dirinya sendiri karena tidak bisa menolak semua ini.
"Saya sudah minta chef di sini untuk menyediakan sup buntut."
"Ad, ini western restaurant. Kamu bercanda apa gimana?"
"Anything for you."
Hani hanya menatapnya datar sambil menggeram dalam hati.
"Jadi, gimana kabar kamu dan Radit?"
Dia diam sejenak, berusaha mengucapkan apa yang dia harus ucapkan. "Kami jarang bertemu. Dia sibuk sekali." Matanya beralih menatap ke jendela luar restoran.
"Apa kalian sudah bertunangan?"
Refleks ibu jarinya adalah merasakan cincin di jari manisnya yang saat ini kosong. Dia melepas cincin itu semalam karena Niko memaksa. Dadanya terasa sedikit sesak.
"Apa kita bisa bicara hal yang lain?"
Adrian menatap wajah sedih Reyhani dihadapannya. Ini persis seperti yang dia inginkan. Hubungan mereka merenggang. Dia lalu menghela nafasnya perlahan.
"Maaf Han, aku tidak bermaksud membuatmu sedih. Tidak. Tapi, terkadang kejujuran itu memang sedikit menyakitkan."
Wajahnya sudah kembali menatap Adrian. "Maksudmu?"
"Maafkan aku sebelumnya. Aku hanya tidak mau kamu membuang waktu dengan seseorang yang tidak sungguh-sungguh denganmu."
"Jelaskan apa maksudmu Ad. Jangan berputar-putar."
"Laki-lakimu sudah datang."
Mata Hani melihat pada pintu masuk di lantai bawah. Radit masuk ke dalam restoran dengan setelan jasnya. Duduk dan menunggu. Hatinya mulai berdebar-debar. Siapa yang Radit tunggu? Apa ini juga bagian dari sandiwara Arsyad? Kenapa dia tidak diberi tahu? Harusnya Radit mencintainya kan? Iya kan?
Lima belas menit kemudian, wanita yang anggun itu masuk. Stephanie Dirga yang siang ini tampak sangat sempurna. Tersenyum manis melihat Radit berdiri menyambutnya. Mereka duduk dan mulai memesan makanan sambil mengobrol saja. Harusnya tidak ada yang istimewa, ini hanya pertemuan biasa kan?
Dadanya mulai berdentum lebih cepat. Dulu, dia selalu tidak paham kenapa Radit cemburu. Ya, jenis emosi yang satu itu hanya untuk orang-orang yang kekanakkan. Dia selalu percaya pada Radit dan marah untuk hal-hal yang penting saja. Tapi saat ini, bayangan foto-foto Radit dan Stephanie kembali terulang dalam rekaman ingatannya tanpa dia bisa cegah. Tentang betapa mesranya mereka dulu, ciuman mereka di atas kapal, pengakuan Radit bahwa dulu dia pernah melamar Stephanie dan serius ingin menikahinya. Sekarang dia paham, apa rasanya dikuasai oleh perasaan cemburu.
"Jadi, kamu sengaja mengundang saya kesini untuk ini?" ujarnya marah pada Adrian.
"Han, aku tidak ingin kamu bersedih terus untuk laki-laki yang bahkan tidak bisa setia Han."
Ya Tuhan, dia tahu apa maksud dibalik sikap Adrian itu. Tapi ini rasanya benar-benar sakit dan menyesakkan.
"Lihat sendiri Han. Aku tidak mau berbohong padamu."
Matanya beralih lagi pada laki-lakinya itu. Tatapan mata Stephanie sungguh masih penuh cinta dan senyumnya lebar sekali. Sementara ekspresi Radit biasa saja. Tapi lalu wanita itu berdiri dan tersandung taplak meja yang terlalu panjang. Tangan Radit dengan sigap menangkapnya. Kemudian, wanita itu berdiri tegak berhadapan dengan Radit dan mencium pipi Radit saja sambil tertawa ringan. Kemudian dia berlalu menghilang menuju toilet wanita di ujung ruangan.
Titik-titik air matanya jatuh. Ini hanya sandiwara kan? Tapi dadanya sesak sekali.
"Hubungi dia Han. Tanya dimana dia saat ini," bisik Adrian.
"I hate you." Dia tidak berbohong, dia membenci Adrian karena semua yang laki-laki itu lakukan dan juga karena apa yang akan dia lakukan. Tangannya terangkat, dia menghubungi Radit.
"Halo."
"Hai Han. Ada apa Sayang?"
Dia menelan salivanya, susah payah mengontrol intonasi suaranya itu.
"Apa kamu sudah makan siang?"
"Sudah."
"Dimana kamu sekarang?"
"Ingin kembali ke kantor."
Matanya melihat Radit sedang menatap jam di tangannya.
"Kamu makan di luar?"
"Ya, dengan salah satu teman. Ada apa?"
"Okey. Sudah dulu ya."
Hubungan disudahi. Stephanie Dirga sudah kembali dan duduk dihadapan Radit. Lalu laki-lakinya itu berdiri, seperti ingin berpamitan. Kemudian, wanita itu memeluk Radit saja. Erat sekali, sambil membisikkan sesuatu di telinga Radit.
Satu tangan memegang dadanya sendiri. Dia berusaha menahan diri agar tidak terisak. Dia cemburu, sangat-sangat cemburu. Dan ini sakit rasanya.
"Han."
Wajah Adrian sarat dengan kepura-puraan. Dan itu juga memuakkan. Dia muak sekali.
Dia berdiri lalu mengambil tasnya. "Selamat siang Ad. Terimakasih untuk jamuannya yang luar biasa."
"Han..." Adrian ingin menyusulnya, tapi langkahnya berhenti.
Adrian tersenyum puas melihat Hani keluar dari pintu bawah restoran sambil menahan tangisnya. 'Maafkan aku Han, tapi ini perlu dilakukan.'
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro