Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

35. The Real Danger

Ini panjang banget ternyata. Baru sadar pas copy ke sini dan lihat jumlah words-nya. Anyway, enjoy!

***

Adrian berjalan mondar-mandir di ruangannya. Dia gusar, sangat gusar. Rapat pemegang saham kemarin gagal. Sialnya Robert tiba-tiba datang dan menyapa santai kolega-kolega lamanya itu. Untung saja dia belum membuka suara apapun pada para pemegang saham. Jadi pamannya tidak curiga. Tapi ini membuat langkahnya tersendat. Dia harus bergerak cepat. Ponselnya berbunyi. Dahinya mengernyit sebelum menjawab.

"Ya."

"Bereskan Dwi Sardi."

"Kenapa dia?"

"Lakukan seolah itu perampokan biasa. Agar Pamanmu tidak melakukan pengalihan saham yang mungkin saja terjadi kan?" Suara disana berhenti sejenak. "Setelah itu, singkirkan yang lainnya. Termasuk Dokter wanita itu jika perlu."

"Kamu terlalu jauh. Pamanku tidak akan curiga, aku adalah kesayangannya selama ini. Jadi tidak perlu sejauh itu."

"Ini bukan saatnya untuk menjadi lemah Ad. Bukan."

Tangannya sudah memiijit pelipisnya saja. Dia menyudahi hubungan itu lalu membanting ponselnya keras ke lantai.

***

Dia berlari diantara gelapnya malam. Paham benar sekelompok orang mengejarnya di belakang. Kotak hitam kecil di dalam tasnya harus selamat. Harus. Sekalipun mungkin dia tidak. Matanya memincing melihat cahaya di depan. Lalu dia berhenti sejenak, mengatur nafasnya. Mereka bahkan menggunakan anjing pelacak dan dia tidak bisa berlari kembali ke tempat dia akan dijemput oleh timnya yang lain. Microphone kecil di telinganya juga mati. Sialan.

Di hadapannya ada jalan membentang. Bukan jalan utama, hanya satu-dua mobil saja yang melintas. Pilihannya dua, terus berlari melewati hutan dan jika dia beruntung di ujung pepohonan ini akan ada sungai yang bisa membuatnya lolos. Atau, dia bisa berlari ke jalan itu dan berharap ada keajaiban yang terjadi sehingga ada mobil yang melintas.

Nafasnya menderu, dia kehabisan waktu. Lalu dia membiarkan instingnya memimpin saja. Kakinya mulai berlari lagi. Kemudian tembakan dilepaskan ke arahnya. Sial, mereka sudah mengetahui posisinya saat ini. Ini akan semakin sulit. Tubuhnya mulai sedikit merunduk karena tembakan-tembakan itu masih dilepaskan. Dia berusaha melindungi tubuhnya di antara pohon-pohon yang tinggi. Tidak membiarkan musuhnya memiliki kepuasan untuk menembakinya begitu saja. Posisinya terdesak, tubuhnya makin mengarah ke pinggir jalan. Ini cari mati, karena dia belum melihat satu pun kendaraan yang lewat. Tapi musuhnya pintar, terus menembak hingga memaksa dia keluar dari pepohonan. Dia tahu dia akan menjadi sasaran empuk ketika dia keluar.

Lalu telinganya menangkap ada suara kendaraan. Motor hitam itu mulai mendekat. Laki-laki yang mengenakan jaket kulit hitam itu membuka setengah helmnya.

"Nik. Cepat!!" Suara Mareno disana.

Dia berlari berusaha menyusul motor yang bergerak lambat lalu naik saja ke kursi penumpang.

"Shit!!" teriak Mareno karena kakinya tertembak. Tapi mereka terus melaju, menembus gelap malam.

***

Radit masuk ke dalam ruang kerja ayahnya. Sosok itu sedang berbicara di telpon dengan seseorang jadi dia duduk saja. Beberapa menit kemudian Adinata selesai lalu menatap anak laki-laki satu-satunya itu.

"Bagaimana? Ada perkembangan?"

"Kantor kementrian sedang membuat undangan untuk proses penandatanganan proyek ini Pa. Pers akan diundang karena ini pilot project mereka. Juga untuk menakut-nakuti pelaku penyelundupan di luar sana." Radit menghela nafasnya. "Bayu setuju dengan proposal Adrian Pa. Penurunan harga itu tidak bisa dia tampik begitu saja, Papa benar."

"Kamu sudah bicara dengan Arya?"

"Sudah. Arya hanya membeberkan fakta tentang betapa liciknya Adrian. Tapi dia pun mundur saat ini karena ada sesuatu yang lebih besar di belakang ini semua." Radit berdehem perlahan karena dia tidak ingin membeberkan segala yang dia tahu bahkan pada ayahnya. "Hanya itu saja dari Arya."

Adinata menghela nafas lagi. Kepalanya mengangguk mengerti.

"Apa Papa punya jalan lain?"

"Ada, ada dua pilihan. Kemungkinannya kecil, dan itu akan membuat kita terikat pada Daud atau Wiratmaja. Papa tidak suka pilihan itu. Ini usaha yang dibangun oleh keringat keluarga kita sendiri." Dahi Adinata mengernyit, sedang berpikir.

"Aku akan cari informasi terbaru lagi Pa." Tubuhnya sudah berdiri ingin beranjak keluar.

"Radit, apa kamu benar-benar mencintai Dokter itu?"

Langkahnya berhenti, dia menoleh menatap ayahnya. Dia seperti tahu jalan keluar apa yang dipikirkan oleh ayahnya. Pernikahannya dengan Stephanie akan membuat semua masalah selesai. Gurauan Arya Dirga itu tepat pada sasaran. Arya Dirga sialan. Sementara berbicara pada Robert Straussman tanpa bukti pun akan sangat membahayakan posisinya. Karena dia masih tidak terlalu yakin kakek Hani itu berada di posisi mana. Apakah Robert juga membela Adrian? Atau tidak? Masih banyak hal yang abu-abu, dia harus mencari tahu.

"Sangat, saya sangat mencintai dia. Dan tolong...jangan tanyakan itu lagi." Kemudian dia berlalu dari ruangan.

Sorenya di rumah sakit.

Hani sedang berjalan menuju meja kerjanya, lalu teringat sesuatu. Dia mengangkat ponselnya untuk menghubungi laki-laki yang paling dia sayang.

"Halo, sedang apa?" tanyanya riang.

"Sedang merindukanmu." Radit tersenyum diseberang sana sambil masih menatap dokumen dihadapannya.

"Really?"

"Yes, always."

"Wow..." Hani terkekeh kemudian melanjutkan. "Thank you for the flower. It is really nice."

"What flower?"

"Radit," seru Hani memperingati.

Kemudian laki-lakinya itu tertawa. "Apa itu tandanya kamu sudah setuju?"

"Apa?"

"Kita menikah akhir minggu ini?"

"Ya Tuhan Dit, apa kamu nggak bosan tanyakan itu terus?"

"Tidak akan sampai kamu bilang iya." Tangannya sedang menandatangani beberapa berkas lalu memberikannya ke Lina.

Hani hanya tertawa saja sambil menggelengkan kepala. "Jangan lupa makan siang Dit. Aku nggak mau kamu sakit."

"Baik Nyonya. Apa kamu sudah pasang kunci ganda?"

"Belum, aku belum sempat."

"Aku akan kirim orang untuk pasang kunci ganda sore ini juga. Kita sudah bicara soal ini kan."

"Dit, nggak perlu berlebihan. Aku bukan cucu presiden Dit."

"Sayang, kamu boleh pilih. Menikah sama aku, tinggal bareng sama aku, atau seperti sekarang ini ditambah dengan kunci ganda karena kamu marah-marah waktu aku bilang mau kasih penjaga buat kamu."

Tawa Hani pecah lagi, dia tertawa sampai hampir menangis. "Radit Sayang, aku nggak paham kenapa kamu panik banget setelah aku bilang soal siapa Kakekku. Dia hanya pebisnis saja Dit. Bukan politisi penting atau presiden yang lagi dalam fase pemilihan ulang. Ya ampun Dit, kamu lucu banget deh."

Radit diam disana, dia tidak mengerti bagaimana caranya menjelaskan pada Reyhani. Bahwa hidupnya bisa saja terancam bahaya tiba-tiba. Ketika nanti Adrian mulai menggerakkan poin-pion utamanya. Wanitanya ini memang biasa hidup normal-normal saja, dirinya pun begitu selama ini. Tapi semenjak dia tahu apa yang terjadi dari Arya, dia cemas dan khawatir sekali. Ya Tuhan, bagaimana ini?

"Sayang, pokoknya kunci ganda itu penting. Aku kirim orang sore ini."

Langkah kaki Hani berhenti. Dahinya mengernyit, apa dia punya janji dengan laki-laki dihadapannya ini?

"Adrian?"

Tubuh Radit langsung tegak berdiri disana. "Han, ada Adrian disana?"

"Halo Han. Apa kabar?" Adrian tersenyum lebar.

"Nanti aku telpon lagi. Bye." Hani memutuskan hubungan itu sebelum Radit bisa menghentikannya.

***

Dokumen-dokumen itu sudah selesai dia revisi dan kirimkan melalui email. Saat ini, dia sedang berjalan ke mobilnya untuk menuju ke kediaman Robert. Kliennya itu benar-benar tidak ingin membuang waktu sepertinya. Jadi dia sudah membereskan file-filenya untuk diantarkan ke Robert. Dia sudah berada di mobil ketika anaknya Karin masuk saja melalui pintu sebelahnya.

"Rin?"

"Pa, aku bareng sampai depan ya. Aku janjian sama Aryan di depan. Mau beli kado untuk Andaru."

"Kenapa Aryan nggak jemput kesini aja?"

"Dia kelamaan deh Pa. Malah pakai beli rokok dulu di minimarket depan. Aku samperin aja deh."

"Oke. Tapi Papa langsung jalan ya."

"Ke tempat Tuan Rahasia?"

Sardi tertawa. "Ya ya, ke tempat Tuan Rahasia." Sedikitnya dia senang karena sebentar lagi urusan ini selesai.

Mobilnya melaju saja, tanpa mengerti jika mereka sedang diikuti.

Sementara itu, di salah satu minimarket.

Aryan menggelengkan kepalanya melihat pesan singkat Karin. Kenapa perempuan itu selalu tidak sabaran jika diminta menunggu sebentar saja. Padahal kata Danang dia bisa menunggu Karin bersiap-siap lebih dari satu jam lamanya. Kakaknya tersayang. Dia duduk di kursi depan minimarket sambil menyalakan rokoknya. Helmnya dia letakkan di meja sebelahnya. Hari ini dia memang meminta bantuan Karin untuk memilihkan kado ulang tahun istrinya Andaru. Seringnya dia lupa akan tanggal ulang tahun istrinya, dan selama ini Andaru tidak pernah marah dan menuntut. Tapi, setelah dia tahu istrinya itu sedang hamil minggu lalu, dia akan memberi kejutan istimewa ini padanya nanti.

Mobil ayahnya menepi dan dia sudah berdiri sambil mematikan rokoknya. Karin tersenyum sambil turun dari mobil, sementara ayahnya juga turun setelah memarkirkan mobilnya. Dia melangkah mendekati mereka sambil satu tangan menenteng helmnya, lalu sadar ada dua motor yang penumpangnya bersikap aneh. Firasat itu datang tiba-tiba, membuat bulu tengkuknya berdiri. Sudah terlalu lama dia tidak merasakan ini. Bahaya.

Benar saja, salah satu pengendara motor berhenti dan mengeluarkan senjata api yang diarahkan pada ayahnya. Refleks cepatnya adalah berlari menuju pengedara itu sambil melempar helm yang dia genggam, lalu berteriak memperingati ayahnya yang langsung menunduk saja. Tembakan sudah dilepaskan. Suara kaca mobil yang pecah dan Karin yang berteriak tidak menghentikannya. Dia murka.

Pengemudi itu jatuh dan langsung dia seret menjauh dari motornya. Sementara pengemudi lainnya juga mengacungkan senjata yang sama. Kali ini ada motor lain yang membantu, entah siapa. Pengendara lain itu berhasil memukul tangan yang mengacungkan senjata dengan tongkat kayu yang dia bawa. Sementara massa yang melihat sudah mulai membantu mereka. Si pengemudi kedua pergi karena dikejar oleh motor yang membantu mereka. Sementara tangannya sudah menyeret orang pertama yang berusaha menembak ayahnya untuk berdiri. Lalu dia menghajarnya.

***

"Sayang, dimana?"

"Di rumah sakit Dit. Kan tadi baru telponan. Sudah kangen lagi?"

Tangan Radit mengusap wajahnya perlahan. Dia seperti gila mengetahui Adrian datang untuk menemui Reyhani jadi segera bergegas ke rumah sakit. "Aku di depan."

"Loh? Seriusan?"

"Kamu siap-siap saja Han. Aku tunggu di sini." Tubuhnya melangkah ke arah smoking area. Ya Tuhan, dia benar-benar ketakutan. Dia pikir Adrian akan menyakiti Reyhani atau memaksanya. Rokoknya dia hirup dalam-dalam sambil mulai menimbang.

Bercerita pada Tanandra akan membuat sobatnya itu berada dalam bahaya yang sama. Mareno masih tidak bisa dihubungi, sementara jika dia nekat memberi Hani perlindungan Adrian bisa curiga. Kenapa ini rumit sekali. Apalagi langkah yang diambil Adrian? Perjanjian itu sebentar lagi akan di tanda tangani. Adrian akan mendapatkan segalanya. Kenapa itu tidak cukup untuknya? Brengsek.

Lalu Hani keluar dari lobby dengan wajah pucat. Radit sudah berlari mendekatinya.

"Han?"

"Dit, Aryan. Antar aku cepat."

"Kemana?"

"MG. Cepat Dit."

Dia masuk ke dalam mobil kemudian melajukan mobilnya cepat-cepat menuju MG Hospital. Ditengah perjalanan ponsel Hani berdering.

"Dimana kamu?" Robert tidak bisa mengkontrol intonasi suaranya yang panik.

"Aku menuju MG Kek."

"Tunggu saya disana. Jangan pergi kemanapun lagi."

Wajah Hani hanya menoleh bingung pada Radit. Sementara laki-laki itu menggenggam tangannya erat.

"Aku ada di sini. Kamu akan baik-baik saja Han."

***

Rumah sakit besar itu memiliki satu lantai paling atas yang khusus diperuntukkan sebagai ruang perawatan kelas istimewa, sangat-sangat istimewa. Top Priority Floor. Hanya orang-orang tertentu yang bisa masuk dan mengakses liftnya. Misal saja, keluarga Darusman, Wiratmaja, Daud dan Hadijaya atau orang-orang kementrian seperti keluarga Bayu Tielman. Hanya Dokter-Dokter ahli yang bisa bekerja disana, juga petugas medis pilihan.

Lantai itu istimewa dalam artian sebenarnya. Mewah, lengkap, dan benar-benar berbeda dari lantai-lantai di bawahnya. Aryan tidak bertugas disana sekalipun dia memiliki semua aksesnya. Pimpinan lantai itu adalah Dokter Reyn, suami dari Dokter Saras sendiri, sang pemilik MG.

Ketika Dwi Sardi tiba disana dengan luka tembaknya, Reyn sudah siap menerimanya di lantai itu. Permintaan Arsyad spesifik sekali. Sahabatnya Dwi Sardi adalah termasuk orang-orang yang dilindungi olehnya. Jadi, di sanalah mereka. Dwi Sardi, Karin, Aryan disusul oleh Hani dan Radit yang menyusul tiba setelah mereka.

"Ayah kamu nggak apa-apa?" suara Hani sarat dengan kecemasan. Aryan sedang duduk di salah satu tempat tidur di ruang darurat, tangannya sedang dibebat oleh salah satu petugas medis. Sementara Karin menunggu di luar ruangan itu. Ada beberapa bilik disana yang hanya terpisah tirai saja.

Aryan tersenyum konyol. "Orangnya malah kesenengan. Katanya seru, tuh disebelah."

"Hai Ibu Dokter." Suara Dwi Sardi dari bilik sebelah membuat Hani menyibak tirainya. Sementara Radit berdiri mengamati semua setelah berbasa-basi pada Aryan.

Kemeja Dwi Sardi sudah dilepas. Laki-laki yang sudah tidak muda tapi masih tampak gagah itu duduk di tempat tidur, sementara Dokter Reyn menjahit luka di bahunya. Bersyukur bahwa peluru itu meleset dan hanya menggores bahu. Tato besar dipunggungnya yang berbentuk elang yang melebarkan sayap terlihat begitu saja.

"Om Sardi nggak apa-apa?"

Dokter Reyn tersenyum saja. "Dia baik-baik aja. Katanya, dia jadi nostalgia."

"Ya Tuhan." Hani menghembuskan nafasnya. "Apa ada yang bisa jelaskan ini ada apa sebenarnya? Tadi saya ditelpon Karin yang menangis dan marah pada saya. Dia bilang soal Tuan Rahasia, siapa Tuan Rahasia?"

Dwi Sardi malah tertawa. "Maaf maaf. Anak perempuan saya itu super posesif seperti Mamanya. Nggak kayak Aryan pastinya."

"Ya wajar sih Pa, Karin panik begitu. Tadi darah Papa banyak lho. Lihat nanti waktu Mama sampai, aku minggir deh nggak ikutan."

"Cuma kegores kaca mobil yang pecah Yan, jangan berlebihan lah. Kamu sendiri nggak bisa berhenti pukulin orang itu kan, kalau nggak Papa berhentikan. Kamu tahu dia bisa mati?" timpal Sardi.

"Iya Yan, ingat sumpah doktermu," ujar Dokter Reyn.

"Ya itu dia Om. Emang kayak nostalgia. Jadi saya juga kelepasan." Aryan terkekeh juga.

"Ada yang bisa jelaskan ini ada apa?" Hani mendelik kesal. Dia sudah kembali berdiri di sebelah Radit saja.

Mata Radit melihat banyaknya bekas luka pada tangan Aryan. Goresan-goresan luka yang seperti sudah lama dia dapat. Juga pada tubuh Dwi Sardi. Ada bekas luka memanjang di punggungnya yang bertato itu. Anak-ayah itu sepertinya sama begundalnya dulu, itu tebakan Radit.

"Tunggu sampai Robert datang Han. Kami akan jelaskan ada apa. Bibi-mu juga baru tiba di Jakarta. Sedang dikawal ke tempat Robert." Ujar Sardi sambil tersenyum. Dia sudah berdiri saja setelah Dokter Reyn memplester belas luka yang dia jahit. Kemejanya sudah penuh dengan noda darah, jadi dia lepaskan begitu saja.

"Punya baju ganti nggak lo? Baju pasien lo jelek Reyn." tanya Sardi pada Reyn.

"Ada di ruangan." Dokter Reyn ganti menatap Hani. "Saya antar ke ruangan tempat kalian bisa bicara. Robert mungkin sebentar lagi sampai."

Hani mengangguk saja, sambil menggenggam tangan Radit erat.

Di ruangan itu.

"Kamu tahu ini ada apa ya Dit? Mangkanya kamu jadi paranoid begitu, iya? Betul nggak?" Hani tidak pernah merasa segelisah itu seumur hidupnya.

Tubuh Hani duduk di sofa, sementara Radit berjongkok dihadapanya. Kedua tangan Radit memegang bahu Hani lembut. "Tenang dulu Han. Tarik nafas."

"Jangan alihkan aku Dit. Ngomong dong ini ada apa? Papa Aryan ditembak Dit, ditembak dengan senjata api. Itu gila kan?"

"Tadinya aku khawatir sekali Han, tapi sekarang. Aku benar-benar percaya bahwa Arsyad berusaha melindungi semua orang. Apalagi ternyata Pak Sardi, Dokter Reyn dan Kakek kamu sendiri juga sudah sama siapnya." Radit tersenyum berusaha menenangkan Hani. Dia sudah mendengar apa yang ingin dia tahu dari Aryan tadi. Tentang bagaimana mereka dibantu oleh pengendara motor yang lain. Radit yakin itu orang suruhan Arsyad.

"Siapa Arsyad? Dan siap untuk apa? Aku benar-benar takut Dit."

Tangan Radit merengkuh Hani dalam pelukan. Lalu pintu terbuka, kemudian Robert, Dwi Sardi, Desy, Tanandra dan juga satu orang laki-laki bertubuh tinggi dengan bekas luka diwajahnya masuk. Radit sudah melepaskan pelukannya lalu berdiri. Sedikit heran mengetahui Tanandra ada disana, sama seperti wajah Tanan sendiri. Heran dan bingung.

Desy dan Hani berpelukan sesaat. Kemudian Robert mulai membuka suara.

"Semua sudah berkumpul. Ini tidak direncanakan dan tidak diinginkan. Tapi ini diperlukan." Robert menghirup nafasnya perlahan. "Arsyad Daud akan menjelaskan semuanya pada semua orang. Agar tidak ada lagi pertanyaan."

"Saya sepertinya harus keluar." Potong Radit sopan.

"Tidak anak muda. Kamu di sini. Karena ini juga berkaitan dengan Adikinarya."

Lalu, Arsyad mulai menjelaskan fakta-fakta yang ada. Tentang Adrian Straussman dan proyek chip pintar, juga selongsong buatan GT Techno yang Bayu Tielman sudah setuju, dan terakhir adalah rencana Adrian untuk memindahkan kepemilikan saham GT Techno atas nama Adrian sendiri.

Hani mendengarkan, sambil menggenggam tangan Radit erat, juga tangan Tanandra disebelahnya. Otaknya berusaha mencerna, setiap kata dari mulut Arsyad. Tentang kejahatan saudaranya yang bahkan dia sendiri tidak bisa percaya, tentang betapa besarnya harta yang dimiliki oleh kakeknya hingga membuat Adrian terobsesi, juga tentang bagaimana Adrian berusaha menjegal perusahaan keluarga Radit dengan cara-cara yang paling licik.

Ya Tuhan, keluarganya ini aneh sekali. Wajar saja jika dulu mamanya pergi dan berlari. Dia sendiri bahkan hampir tidak percaya dengan telinganya sendiri.

"Hari ini Dwi Sardi akan memberikan dokumen kepemilikan saham GT Techno untuk saya tanda tangani. Saya sudah rubah isi kepemilikan itu. Ahli waris utama saya, adalah Reyhani."

Refleks kakinya melangkah mundur. Tangannya yang dingin membuat Radit bereaksi dengan merangkulnya saja. Ini, semua ini, berlebihan untuknya. Benar-benar berlebihan.

"Setelah itu Desy dan Rachel...dan juga Mahesa."

Wajah Tanandra sama pucatnya karena tidak mengerti tentang alasan Robert memilihnya. "Kenapa saya?"

"Selama ini, kamu yang sudah menjaga Reyhani dengan baik. Saya yakin dan percaya, Reyhani tidak akan mau mengambil bagian apapun kecuali ada kamu di dalamnya. Dan saya, percaya bahwa kamu mampu. Saya percaya kamu Mahesa, kamu laki-laki yang pintar dan baik."

"Apa boleh saya keberatan?"

Robert diam sejenak. "Saya akan membiarkan kalian berdua bicara." Wajah Robert beralih menatap Dwi Sardi. "Pak Sardi, saya akan tanda tangan dokumennya setelah itu. Sebaiknya kita tinggalkan mereka untuk bicara terlebih dahulu."

Semua orang mulai beranjak keluar ruangan. Hani menggenggam tangan Radit erat, tidak ingin melepaskannya. Dia juga meminta Desy untuk tinggal di dalam ruangan. Jadi, saat ini sudah ada mereka berempat saja.

"Tenangkan dirimu dulu Sayang." Desy menyodorkan gelas minuman pada Hani yang pucat sekali.

Tubuh Tanan mondar-mandir di ruangan. Ini diluar dari khayalan yang paling gilanya sekalipun.

"Ndra, lo juga mesti duduk dan minum."

"Lo tahu dari kapan Dit?"

"Dua minggu lalu." Satu tangan Radit masih mengusap lembut punggung Reyhani. "Sekalipun gue juga baru tahu soal pemindahan kepemilikan saham GT Techno tadi, juga soal sample selongsong yang sudah berhasil diambil Reno."

"Gila. Seriusan gila. Ini...apa...gimana sih? Gue bahkan nggak kenal siapa itu Adrian, atau Arsyad Daud abangnya Mareno."

"Mahesa, Hani sama syoknya seperti kamu. Kalau kamu gelisah, Hani makin gelisah," ujar Desy sambil tersenyum menenangkan. Dia duduk di sisi kanan Hani yang masih berwajah pucat.

"Maaf Tante. Tapi saya..." Tanan bahkan tidak bisa mengungkapkan keterkejutannya dengan kata-kata.

"Ya, Tante paham. Karena itu juga dulu Tante pergi, Jenny pergi. Karena kami tahu ini semua berat. Tapi, Adrian harus dihentikan. Ayah saya, tidak mungkin menghentikan Adrian sendiri. Dia butuh bantuan dari kita semua."

"Kenapa bisa keluarga Daud terlibat?"

"Karena ada seseorang dari keluarganya yang jadi si pembuat rencana besar Esa. Dia bersembunyi di belakang Adrian selama ini," jawab Desy.

Desy menghela nafas lagi. "Menurut Tante, kita bereskan dan luruskan kesalahan Adrian. Kembalikan proyek itu pada orang yang berhak menang. Setelah itu, Arsyad akan mengurus Pamannya yang jahat itu. Kita sudah bisa tenang karena sudah tidak ada kaitannya lagi dengan keluarga kita."

"Maafin aku Dit, ini semua karena Adrian. Karena saudaraku yang gila itu." Hani sudah menangis saja. Dia kalut sekali. Ingatannya pada senyum Adrian yang hangat siang tadi datang begitu saja. Adrian seperti psikopat, dan itu membuat bulu tengkuknya berdiri.

"Sshhh...ya Tuhan Han. Sudah, aku nggak apa-apa Sayang. Seriusan."

Wajah Hani menatap Desy. "Bagaimana bisa Kakek menunjukku sebagai ahli warisnya Bi. Aku tidak tahu sama sekali cara memimpin usaha. Aku seorang dokter Bi, bukan pengusaha. Aku tidak ingin semua harta itu, aku hanya ingin hidupku kembali normal saja."

Desy tersenyum lagi. "Bibi paham Sayang. Bibi juga tidak punya pengalaman soal bisnis atau apapun. Tapi Bibi punya Paman Jeff yang akan membantu. Dan kamu, punya dua laki-laki hebat ini disebelahmu. Radit dan Mahesa pebisnis handal. Itu yang Bibi tahu dari Robert."

Radit diam sejenak, sungguh dia tidak berharap mendapatkan apapun bagian dari keluarga Straussman. Apa yang dia miliki saat ini sudah cukup. Tapi dia kemudian sadar, jika dia menikahi Hani, maka dia juga harus ikut andil mengurus semua bisnis keluarganya. Demi menjaga Reyhani.

"Kamu juga baru sadar apa tugasmu Radit?" Desy mengernyit heran.

"Apapun itu, untuk menjaga wanita ini, saya mampu."

Lalu Desy tersenyum saja. "Lalu, bagaimana menurutmu Mahesa? Kamu dan Radit bersahabat kan? Itu harusnya menjadi sesuatu yang baik. Lagipula, kalian akan jadi saudara ipar nantinya."

Tanandra memaki perlahan. Itu membuat Radit tertawa kecil karena dia tidak pernah melihat sahabatnya itu berekspresi seperti saat ini.

"Gila masih bisa ketawa lo," sungut Tanan kesal.

"Kalau bukan kita Ndra, siapa lagi yang jaga Hani? Atau kalau lo terlalu takut, silahkan mundur. Gue tetap di sini."

"Sial." Tangan Tanan memijit pelipisnya yang sedari tadi sakit.

Hani juga tertawa miris. "Esa bahkan masih belum terbiasa dengan jabatan barunya sebagai CFO di Sanofa Dit. Ini tiba-tiba dia jadi salah satu pemegang saham perusahaan teknologi terbesar kedua di negeri ini. Wajar kalau dia lepas kendali." Hani menghirup nafas panjang, kemudian menatap kakak laki-lakinya itu.

"Esa, kamu nggak harus terlibat. Kamu bisa menolak. Sepertinya...aku bisa mencoba." Hani sudah berdiri saja. Ya, buat apa terus menangisi situasi kan? Dia punya seluruh keluarganya di belakangnya. Juga Radit. Laki-laki hebat yang berdiri pada situasi yang tersulit pun, yang tetap menemaninya sampat saat ini.

Wajah Tanan menatap Hani dalam. Lalu dia berujar. "Terus saya biarkan kalian seru-seruan sendiri? Oh, tentu tidak."

Reyhani tersenyum lega. Dia menoleh sesaat ke wajah Radit dan mencium pipinya. "Ini adalah hadiah karena selalu berada di sisi saya."

Radit terkekeh lalu mencium bibir Hani sesaat.

"God, kalian ciuman lagi saya timpuk Radit pakai tabung oksigen di luar sana."

Kali ini Desy dan Radit yang tertawa.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro