Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

34. Dance with me

Matanya memandang kantornya yang megah. Dengan segala teknologi canggih yang mereka kembangkan sejak bertahun-tahun lamanya. Kerajaan bisnis milik keluarganya yang sudah berusia lebih dari tiga puluh tahun. Bisnis mereka sudah melewati berbagai macam jenis resesi dan krisis ekonomi dan bisa bertahan. Jadi dia paham benar, bahwa dia sanggup melewati krisis keluarganya kali ini.

Apa-apa yang dia tahu tidak terlalu mengejutkannya. Adrian memang serigala kecil, sedari dulu. Tiffany si adik kecilnya yang rapuh itu didekati oleh laki-laki yang jauh lebih muda dari usianya. Ya, adiknya memang masih melajang hingga usianya menginjak kepala empat. Robert tidak perduli, dia tetap menyayangi Tiffany. Tapi, laki-laki licik ayah kandung Adrian itu hanya memperalat adiknya saja. Tiffany terlanjur jatuh cinta, apalagi melihat lucunya Adrian kecil yang dibawa oleh laki-laki itu. Karena kecelakaan naas saat mabuk-mabukan, ayah Adrian meninggal. Tiffany pun makin melemah dan memohon padanya agar dia merawat Adrian seperti anak laki-lakinya sendiri. Robert setuju karena dia tidak memiliki anak laki-laki, dan dia mau Adrian tumbuh menjadi seseorang yang berbeda, yang lebih baik dari ayahnya. Tapi sayang, sepertinya darah ayahnya lebih kental. Adrian tidak pernah puas, dia ingin berada di puncak dunia.

Thomas sudah memberikan semua laporannya. Dwi Sardi sedang merubah surat-surat yang dia minta. Dia sudah berhasil menghubungi Desy, menjelaskan situasi mereka. Tapi masih ada beberapa hal lagi yang dia akan bereskan. Salah satunya adalah Reyhani dan Mahesa. Dia sudah punya rencana besar untuk mereka. Semoga saja, Reyhani mau dan siap dengan apa yang akan dia berikan nanti. Karena dia harus memastikan perusahaan besar keluarganya ini tidak jatuh ke tangan yang salah.

"Pak Robert?" Anna sang sekertaris Adrian terlihat sangat terkejut. Tubuh rampingnya sudah berdiri.

"Hai Anna. Apa kabarmu?"

"Baik Pak. Bapak sudah sehat? Saya dengar Bapak menjalani operasi."

"Sudah." Dia hanya mengangguk. Ketika tubuhnya ingin melangkah, Anna berujar lagi.

"Pak Adrian, sedang meeting Pak. Di ruang meeting utama."

Robert diam sejenak. "Jadi meeting para pemegang saham sudah dimulai. Saya pikir masih tiga puluh menit lagi."

"Dimajukan oleh beliau."

"Baik. Terimakasih Anna." Tubuh Robert berbalik.

"Maaf Pak, beliau bilang ini meeting tertutup."

"Anna Sayangku. Aku akan bilang betapa baik pekerjaanmu pada Adrian. Aku akan bilang padanya bahwa kamu sudah melarang saya dengan semua upaya kamu." Robert tersenyum lagi. "Tenang, pekerjaanmu aman."

Anna menunduk dalam-dalam. "Maaf Pak."

"Tidak apa-apa."

Tubuh Robert menghilang di tangga besar menuju kebawah, bersama dua penjaga di belakangnya.

'Adrian kemenakanku tersayang. Kamu merasa dirimu paling pintar, tapi kamu lupa siapa yang memberikan semua pelajaran strategi yang kamu gunakan.' Langkah Robert mantap menuju ruang meeting utama. Dia akan datang sebagai bintang tamu yang tidak mereka duga. Agar mereka berpikir kembali, jika ingin melakukan kudeta atas perusahaannya sendiri.

***

Makanan dihadapannya sudah mulai dingin. Suara-suara orang-orang di sekitar yang sedang tertawa, seperti jauh dari telinganya. Genggaman tangan hangat Reyhani yang membuat dia kembali.

"Dit, ada apa?"

"Maaf. Aku sedang banyak pikiran. Maafkan aku." Radit berbisik pada Reyhani sambil tersenyum. Lalu dia kembali berbasa-basi dengan Aryan dan Ndaru. Juga Farhan dan Elisa, dan beberapa tamu lain. Mereka memang datang ke acara house warming rumah Aryan dan Andaru. Rumah dengan design luar biasa. Radit benar-benar kagum atas kepiawaian istri Aryan itu.

"Saya pikir bahwa Dokter aja yang pikirannya banyak. Ternyata jadi pengusaha pun berat ya Dit?" Aryan tersenyum padanya dari seberang meja.

Radit tertawa saja. "Maaf, saya nggak maksud begitu. By the way, kapan saya dapat undangan dari kalian?" Mata Radit beralih ke Farhan dan Elisa.

"Secepatnya." Farhan tersenyum bahagia.

"Hey hey, harusnya kamu dulu Dit. Kamu dan Reyhani bahkan sudah lebih lama bertunangan kan?" ledek Aryan.

"Hani cerita?" tanya Radit heran.

"Nggak perlu cerita, dia bersiul gembira sekali waktu kamu ngelamar dia. Dia bahkan bersenandung sambil melakukan operasi pengangkatan tumor yang rumit sekali," timpal Farhan jenaka. "Kamu tahu apa lagu yang dia senandungkan?"

"Farhan, awas kamu ya," ancam Hani cepat pada Farhan.

"Apa-apa?" tanya Andaru penasaran.

Senyum Radit sudah lebar sekali mendengar hal ini.

"Aku nggak mau bantuin kamu operasi besok, seriusan Farhan," Hani segera menimpali.

"Ayolah Farhan, aku sudah penasaran," desak Andaru sementara Aryan tertawa saja.

"L is for the way you look at me. O is for the only one I see..." Farhan mulai bernyanyi dengan suara yang lumayan juga.

Pecahlah tawa seisi meja. Sementara Farhan terus bernyanyi dan wajah Hani memerah seperti udang rebus. Sudah pasti setelah itu Reyhani menjadi bahan olokkan mereka. Kapan lagi kan?

Kemudian bel pintu berbunyi setelah mereka selesai makan. Antania Tielman datang, juga keluarga Aryan dan Ndaru. Ada Dwi Sardi disana bersama istri. Juga kakak Aryan bernama Karin dan suaminya, Danang. Radit menggeleng tidak percaya atas semua kebetulan ini.

Radit menghampiri Dwi Sardi. "Malam Om. Apa kabar?"

"Radita? Wow, saya nggak sangka ketemu kamu di sini. Kamu kenal Aryan?"

"Bukan." Reyhani sudah ada disebelahnya. "Ini Reyhani, teman Aryan sejak jaman residensial. Juga tunangan saya."

"Malam Om. Apa kabar? Saya Reyhani."

Tangan Sardi menjabat hangat Reyhani. Reyhani Abigail Straussman, jadi inilah cucu Robert. Si calon pemangku tahta nanti. Apa Radit tahu? Apa bahkan Reyhani sudah tahu? Wajahnya yang bersinar bahagia tidak menunjukkan apa-apa. Dugaan Sardi, Robert belum bicara padanya tentang perubahan surat itu.

"Kabar baik. Wow, Radit beruntung banget dapat yang cantik begini." Sardi tersenyum hangat.

Radit tertawa. "Saya memang beruntung."

"Apa kabar Papa-mu?"

Reyhani meninggalkan Radit yang mengobrol hangat dengan Dwi Sardi karena ponselnya yang berbunyi. Robert.

"Sayang, sedang dimana?" ujar Robert di seberang sana.

"Ada acara di rumah teman."

"Apa Winda sudah memberi tahu?"

"Ya, makan malam kan?"

"Desy juga akan datang Sayang. Bersama Rachel dan Jeff. Pastikan kamu datang."

"Apa aku boleh ajak seseorang?"

"Mahesa dan Mamanya juga diundang, Sayang."

"Aku ingin ajak seorang lagi."

Robert tertawa. "Boleh. Bawa Radita kesini."

"Darimana..."

"Sayang, tugasku adalah untuk menjagamu. Sekalipun kamu tidak tahu. Pastikan kamu datang, oke."

"Ya. Aku akan menelpon Bibi Desy."

"Ya ya."

"Jaga kesehatanmu, Kakek."

Robert diam sejenak disana. Ini pertama kalinya Reyhani memanggilnya begitu. "Aku punya dokter pribadi yang handal sekali, namanya Reyhani. Ups, salah. Dia cucuku." Hani memang tidak melihat langsung Robert tersenyum lebar. Tapi Hani bisa merasakannya.

Dia menyudahi hubungan itu dan kembali pada Radit. Laki-lakinya itu sedang berdiri bersisian dengan Tania. Langkahnya terhenti saat Andaru memanggilnya.

Sementara itu.

"Antania Tielman, saya nggak sangka saya akan bertemu kamu di sini," Radit tersenyum pada wanita di sebelahnya. Pembicaraannya dengan Dwi Sardi dia sudahi karena ayah Aryan itu sekarang sedang asyik menggendong cucunya. Dia baru saja tahu bahwa Tania Tielman anak dari Bayu Tielman itu juga diundang. Hubungan Reyhani, Aryan dan Tania ternyata lumayan dekat juga.

"Jangan basa-basi Radita. Ada apa?"

"Kenapa ekspresimu begitu? Apa aku buat salah?" tanya Radit heran.

Tania tersenyum kecil, "Pastikan saja kamu tidak berbuat salah. Apalagi pada Reyhani."

"Maksudnya?" Dahi Radit mengernyit.

"Apa kabar Stephanie, Dit?"

"Ya Tuhan. Bilang pada informanmu untuk mencari berita yang benar."

"Jadi apa yang benar? Beritahu aku versimu." Mereka sudah berdiri berhadapan.

"Saya tidak perlu menjelaskan apapun padamu Tan. Selamat malam."

"80% keinginan saya, akan dituruti oleh Ayah saya. Statistiknya begitu." Tania melihat Radit menghentikan langkahnya. "I am his favorite."

"Saya yakin begitu." Radit menghela nafas, paham benar apa kalimat Tania selanjutnya. Tapi tubuhnya sudah berbalik menghadap wanita itu lagi.

"Jangan pernah, berani menyakiti Reyhani. Atau..."

"Tidak perlu mengancam saya atas praduga yang kamu buat sendiri. Dan jangan berpikir, saya akan bermuka dua dan menjilat kamu untuk menyelamatkan bisnis keluarga saya." Kepala Radit menggeleng, senyumnya tipis sekali. "Saya tidak perduli, siapa yang akan saya langkahi nanti. Saya hanya ingin bersama Reyhani. Selamat malam Tan." Dia berlalu dari situ.

Lalu Tania tersenyum sambil meneguk minumannya. Sedikitnya dia tahu, Radita tidak bermain dengan sahabatnya. Mata laki-laki itu menunjukkan kesungguhan yang luar biasa. Karena jika Radit berani bermain dengan sahabatnya itu, dia bisa memastikan hancurnya Adikinarya. Ya, dulu dia tidak punya kuasa. Saat ini, tidak boleh ada yang menyakiti sahabat-sahabatnya.

***

Mereka sudah berdua saja, di dalam mobil menuju apartemen Radit. Belakangan ini, Radit sering memintanya untuk menginap di apartemennya. Tanpa dia tahu apa alasannya. Terkadang dia menurut saja. Tapi di banyak kesempatan, dia menolak.

Sudah beberapa hari ini, dia merasa laki-lakinya itu resah sekali. Sangat resah sehingga matanya yang konyol terlihat begitu serius. Atau terkadang kosong. Lihat saja saat makan malam tadi kan? Radit seperti terputus koneksi. Hani mulai bertanya-tanya sendiri, apa tekanan pekerjaan yang membuat Radit seperti itu? Atau tekanan keluarganya atas hubungan mereka?

"Dit." Tangannya menyentuh lengan Radit perlahan. Laki-lakinya itu menoleh sejenak kemudian tersenyum padanya. Itu membuatnya jadi tambah sedih karena tahu Radit sedang berpura-pura. "Ada apa?"

"Kayaknya aku nggak enak badan Dok, mungkin kecapekan." Itu jawaban yang paling masuk akal menurut Radit. Atau Hani nanti bisa menebak sumber kecemasannya.

"Baiknya kamu pulang dan istirahat, antar aku ke apartemenku, okey?"

"No." Tangan Radit menggenggam tangannya lalu menciumnya lembut. "Maafin aku."

"Kenapa kamu terus minta maaf Dit? Apa kamu menyembunyikan kesalahan yang aku nggak tahu?" Hani masih menatapnya. "Kamu selingkuh?"

Radit tertawa. "Wow, aku senang kamu cemburu, Sayang. Kali ini kamu harus kecewa karena diagnosamu salah Dok."

"Hanya kali ini? Apa kamu merencanakan untuk selingkuh di kali lainnya?"

Radit menghembuskan nafasnya perlahan. "Aku tahu kamu sedang bercanda."

Hani tersenyum juga. "Ya ya. Aku hanya ingin menyenangkan hati kamu aja karena tahu aku cemburu."

"Serius? Jadi kamu beneran bercanda? Padahal aku beneran berharap kamu cemburu Han. Kamu menyebalkan." Wajah konyol itu kembali lagi dan itu membuat Hani terkekeh geli.

Lalu mereka melanjutkan perjalanan pulang dalam diam.

Di apartemen Radit

"Dit, antar aku pulang aja deh. Aku nggak bawa baju ganti," ujar Hani ketika mereka baru saja masuk ke dalam apartemen Radit.

"Ada di lemari Sayang." Radit membuka jasnya dan meletakkannya di sofa saja.

"Loh, baju siapa?" Sementara Hani memilih untuk duduk di sofa ruang tengah.

"Baju ukuran kamu."

"Kok bisa?"

"Aku minta Lina cariin buat jaga-jaga."

"Jaga-jaga apa?" Dahi Hani mengernyit penasaran. "Jangan bilang itu baju bekas cewek-cewek kamu dulu, Radit?" Nada suaranya mulai tinggi.

"Sayang, ampun deh." Radit menggaruk kepalanya kesal. "Aku mulai selalu minta kamu menginap kan? Dan pasti ada resiko terkadang kamu nggak bawa ganti kayak sekarang. Karena kamu nggak mau diajak tinggal bareng, juga nggak mau diajak nikah. Aku hanya siapkan Han. Nggak ada maksud apapun." Tubuhnya sudah dia dudukkan dekat dengan Reyhani di sofa.

"Awas ya, kalau sampai aku tahu itu baju cewek-cewek kamu."

"Yang penting kamu nggak tahu kan?"

"Radiiit." Dia mencubit pinggang Radit kesal sementara laki-laki itu tertawa.

"Ini kamu lagi nggak pura-pura cemburu kan?"

"Hiss...menyebalkan."

"Mau kemana? Sini jangan jauh-jauh." Tangan Radit sudah menarik pinggang Hani mendekat.

Hani sudah meletakkan kepalanya pada dada Radit. Tubuh laki-lakinya itu bersandar santai di sofa. Mereka masih mengenakan pakaian yang sama. Mata mereka memandang ke arah lampu kota di luar sana melalui jendela kaca besar yang memenuhi salah satu bagian dinding ruang tengah apartemen Radit.

"Bagus banget ya," ujar Hani.

"Apa?"

"Pemandangan malam begini."

"He-em."

Kepala Hani menoleh ke atas sejenak dan menemukan mata Radit menerawang lagi. Lalu dia kembali lagi bersandar ke tempat semula. "Kamu lagi banyak banget kerjaan ya?"

"Ya, terlalu banyak." Jari-jari Radit memainkan helaian rambut Hani.

"Kamu berbohong Dit."

"Siapa bilang?"

"Aku, barusan."

"Aku tidak berbohong, tidak pernah Han. Aku hanya tidak ingin bercerita."

Tangan Hani mengeratkan pelukannya. "Apa ini soal Mamamu?"

"Bukan."

"Apa kamu berbohong?"

Radit tersenyum. "Aku harap aku berbohong."

'Aku juga berharap, masalah ini semudah meyakinkan Mama Han. Andai semudah itu. Tapi ini, usaha keluarga kami terancam, juga keselamatanmu Han. Memberi tahumu segalanya adalah bukan pilihan. Karena aku yakin kamu pun sama tidak tahunya. Juga pengetahuan akan apa yang sedang terjadi malah akan membuatmu berada dalam bahaya. Karena itu aku tidak bisa bercerita. Sementara aku ingin melindungimu Han, dari siapapun dan apapun. Tapi bagaimana caranya? Bagaimana?'

"Aku percaya padamu."

Radit juga mengeratkan pelukannya, dia mencium puncak kepala Hani sayang. Kepala wanita itu mendongak, membuat wajah mereka sejajar.

"Menikahlah denganku Han. Jadilah istriku. Aku ingin melindungimu."

Mata Radit sendu sekali, membuat Hani merasa sedikit sedih. "Selain Mama kamu yang galak itu. Sebelum aku bilang iya, kamu harus tahu jika kamu dapat undangan makan malam lainnya Dit."

"Dari?"

"Kakekku." Hani memberi jeda. "Namanya, John Robert Straussman."

Bibir Radit tersenyum. "Bilang padanya aku akan datang. Sekalian ingin memintamu baik-baik."

"Kenapa kamu tidak terkejut? Kamu sudah tahu?"

"Aku tahu apa yang aku tahu Han."

"Menyebalkan, padahal aku berpikir kamu akan jatuh dari kursi."

"Aku masih bisa jatuh dari kursi kalau kamu dorong aku."

Hani tertawa kecil sambil berdiri. "Sini." Dia menarik Radit untuk bangun dari sofa.

"Aku beneran lagi mau senderan sambil peluk kamu aja Han." Radit masih enggan beranjak dari posisinya.

"Ayo bangun pemalas. Aku nggak mau lihat kamu sedih." Akhirnya setelah dua kali mencoba Hani berhasil menarik tubuh Radit untuk bangun dari duduknya.

Laki-lakinya itu sudah berdiri sementara dia mematikan lampu ruang tengah. Menyisakan sedikit penerangan yang temaram. Itu membuat pemandangan lampu kota dari jendela di dinding besar menjadi makin indah. Radit hanya bisa memperhatikan Hani yang sedang menyambungkan ponselnya pada perangkat stereo sambil tertawa.

"Kamu mau apa?"

Bibir wanitanya itu masih tersenyum saja, dia berdiri di dekat stereo. Tangannya seperti sedang mencari sesuatu di ponsel. Lalu dia menemukannya dan senyumnya makin lebar. Lagu itu mulai berkumandang. Radit tertawa sambil menggeleng tidak percaya. Hani sudah kembali berdiri dihadapannya. Wajahnya yang cantik bersinar bahagia, senyumnya mengembang, rambut coklatnya tergerai sempurna. Hani luar biasa dengan gaun sederhananya.

"Will you dance with me?"

Senyum Radit terkembang sempurna. "It's my honor to do so." Lalu tangannya merengkuh tubuh Hani mendekat. Sementara wanita itu mengalungkan kedua tangannya di pundak Radit. Mereka berdansa sambil bertatapan mesra.

"Aku belajar sesuatu dari semua kompleksnya hidup." Hani berujar.

"Apa?"

"Kita memang tidak bisa mengendalikan semua situasi atau mengatasi semua masalah." Hani menghirup nafasnya perlahan. "Tapi, kita bisa selalu memilih untuk berdansa."

Kalimat itu seperti merasuk ke dalam pikirannya. Memberinya sedikit ketenangan hati. Kemudian Hani berujar lagi.

"As long as I can hold you, in the end of every bad day. Then I know everything will be okey."

Hati Radit dengan cepat menghangat dan itu merambati bibir dan matanya. Senyumnya terkembang lebar, matanya yang sendu berganti dengan tatapan penuh rasa yang dia punya.

"I love you so much Radita Tanubrata."

Sudah tidak ada kata-kata lagi. Wajah Radit mendekat, dalam beberapa saat dia mencium bibir Hani lembut. Mereka masih berdansa, diiringi suara Frank Sinatra.

L is for the way you look at me

O is for the only one I see

V is very very extraordinary

E is even more than anyone that you adore

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro