33. Welcome to the club
Oke, part ini akan panjang banget dan nggak santai. Ini adalah konflik sesungguhnya. Sekaligus akan menjadi pemanasan cerita keluarga Daud nanti. Awalnya Radit-Hani mau dibuat cerita yang ringan. Tapi lagi-lagi, by default gue sudah langsung menyiapkan skema cerita untuk Daud. Jadi akhirnya cerita Radit-Hani bermuara disini.
Cerita keluarga Daud nanti, suasananya akan jauh lebih nggak santai (ini rencana). Jadi cerita ini jadi peralihan ke arah sana. Anyway, biar kalian nggak bosen dengerin gue yang nyeracau...hope you enjoy Voters!!
Sayang kalian mah setiap hari deh. -Ndi-
***
Winda tersenyum melihat wajah Robert yang sumringah sekali. Semenjak kunjungan Reyhani seminggu yang lalu, suaminya itu sungguh terlihat lebih sehat. Setiap hari Robert akan menyempatkan diri menelpon Hani, mereka akan berbincang singkat saja. Masih kaku, tapi mereka memulai sesuatu. Dia sendiri terkadang juga ikut menimbrung dalam telpon itu. Oh, mungkin mereka sedikit kekanakkan saat ini. Seperti baru saja mendapatkan boneka cantik yang lucu yang mereka sayang benar jadi mereka selalu rindu.
Desy masih tidak bisa dihubungi, karena sedang pergi berlibur dengan Jeff. Dia akan memberi tahu pada Desy berita baik ini, dan sangat berharap semua permusuhan Desy pada mereka juga berakhir dan hubungan keluarga mereka kembali membaik. Ya, setelah menjalani tahun-tahun hidup yang panjang, mereka berdua mengerti bahwa kebahagiaan sejati adalah berkumpul dengan keluarga mereka sendiri. Bukan uang, bukan kuasa, bukan itu semua. Buat apa mengumpulkan itu semua jika pada akhirnya bukan anak-cucu mereka yang menikmati. Adrian memang pebisnis handal, tapi sikapnya yang terlalu ambisius sungguh membuat Winda merasa khawatir.
"Aku mengundang Reyhani dan keluarga Mahesa datang untuk makan malam. Juga Diah Lestari. Kita harus menyampaikan permintaan maaf langsung pada wanita itu," ujar Robert saat mereka sedang duduk sarapan di taman belakang rumah mereka yang menghadap ke arah kolam renang.
"Ya, aku setuju. Aku akan siapkan segalanya," timpal Winda.
"Pastikan semua sempurna Windy, aku benar-benar ingin mereka tahu bahwa kita adalah satu keluarga besar. Juga mengucapkan rasa terimakasihku karena selama ini sudah menjaga Reyhani." Robert menyeruput kopinya. "Aku ingin membawa Reyhani ke London."
"Rob, aku pikir itu bukan ide bagus. Kehidupan Reyhani ada disini."
"Ya ya. Tanubrata keluarga yang bersih, aku suka. Sekalipun Radita dulu punya beberapa perempuan juga, tapi dia sepertinya benar-benar serius dengan cucu kita." Senyum Rob lebar lagi mendengar kata cucu yang dia ucapkan sendiri.
Winda tertawa. "Rob, kamu mulai campuri hidupnya. Jangan membuat dia takut Rob. Kamu tahu dia bahkan lebih mandiri daripada Jenny kan? Dia bisa saja memutuskan semuanya lagi dengan kita." Winda sedang memakan sarapannya.
"Ya, kamu benar. Tapi aku khawatir ada yang menyakiti dia Win. Aku tidak akan membiarkan siapapun menyakiti dia. Dia juga harus tahu leluhurnya. Aku ingin dia tetap pergi denganku ke London, mungkin tidak menetap tapi aku ingin menunjukkan apa yang akan dia miliki nanti. Dia bahkan tidak perlu bekerja begitu keras lagi. Aku bisa membuat Hani memimpin rumah sakitnya sendiri."
"Terlalu cepat Rob, terlalu cepat. Sabar sedikit Sayang."
Dahi Robert mengernyit. "Laporan dari Thomas tidak baik. Aku memintanya mencari tahu lebih lanjut. Ada yang Adrian sembunyikan dariku Win. Aku bisa membaui itu."
Baru saja Robert berujar, Albert sang kepala pelayan sudah ada di pintu geser yang memisahkan bagian dalam rumah dan teras belakang. "Tuan Adrian datang."
Tidak lama kemenakannya itu muncul dari arah dalam sambil tersenyum lebar. "Selamat pagi Paman." Adrian mencium pipi kanan Winda sejenak kemudian beralih pada pamannya. Tubuhnya sudah duduk di salah satu kursi.
"Apa kabar? Paman sudah enakkan?" Mata Adrian melihat Albert yang menuangkan kopi pada cangkir dihadapannya.
"Sudah, Pamanmu baik. Terimakasih kamu sudah sangat perhatian sekali," jawab Winda sambil tersenyum. "Tolong jangan bicara hal yang terlalu berat dulu Ad."
"Ya ya. Aku tidak akan membicarakan pekerjaan karena semua sesuai rencana. Bayu Tielman sudah kembali dan kita akan mulai proses penandatanganan perjanjiannya dalam waktu dekat ini. Aku tidak sabar."
"Ad..."Winda memperingati. "...itu masih kategori pekerjaan."
Adrian tersenyum sambil menyeruput kopinya. "Lalu, bagaimana kabarnya saudaraku yang cantik?"
"Kamu tahu?" tanya Robert.
"Ya Paman. Paman sendiri yang minta aku untuk menyerahkan donasi itu ke rumah sakit tempat dia bekerja kan? Aku bertemu dengan dia di sana. Apa dia sudah tahu?" tanya Adrian berpura-pura.
Robert diam sejenak. "Urus saja urusan GT Techno Ad. Cucuku adalah urusanku."
Adrian hanya mengangguk kecil sambil berujar dalam hatinya.
'Nanti, cucumu akan jadi milikku Paman. Kita akan berkumpul sebagai satu keluarga besar dengan GT Techno dipangkuanku.'
***
Sore itu dia mengamati dokumen dihadapannya. Salah satu klien terbesarnya meminta sesuatu yang spesifik sekali, sesuatu yang bisa merubah segalanya. Dia sedikit terkejut dengan perubahan itu namun dia tidak berkomentar apapun, ini urusan keluarga besar mereka. Pintunya diketuk, lalu wajah cantik anak pertamanya masuk saja.
"Hai Pa."
"Kamu belum dijemput Danang?"
"Masih ada beberapa dokumen yang aku harus periksa." Karin duduk di kursi hadapan ayahnya. Sudah dua tahun ini dia bergabung di firma ayahnya, karena ayahnya memaksa. Ya, kalau bukan dia siapa lagi yang akan meneruskan firma hukum besar ini. Aryan adiknya yang luar biasa badung dulu sudah menjadi dokter bedah handal. Sementara Lila, sibuk dengan dunia aktingnya.
"Kita belum sempat pergi ke rumah Aryan yang baru Pa. Papa sibuk sekali, Mama protes padaku."
"Satu lagi, satu lagi. Setelah Papa bereskan yang ini, kita pergi berlibur."
"Papa dan Mama silahkan berlibur. Kami tetap di sini."
Dwi Sardi tertawa. Terkadang dia lupa anaknya sudah besar-besar sekarang. Dia bahkan sudah memiliki satu cucu dari Karin.
"Apa aku bisa bantu jadi cepat selesai?"
"Ini sedikit rahasia. Orang penting ini tidak ingin siapapun tahu tentang apa permintaannya pada Papa."
"Siapa?"
"Namanya Tuan Rahasia."
Kali ini Karin yang tertawa. "Okey. Mama akan tiba dalam waktu tiga puluh menit dan akan tarik Papa pulang. Aku hanya ingatkan." Karin sudah berdiri sambil tersenyum dan berlalu dari ruangannya.
Telpon di mejanya berdering.
"Sore."
"Dwi Sardi, apa kabarmu?"
"Lukman?" Sardi tertawa lebar. "Apa kabarmu Bang? Kapan kita ngopi bareng lagi?"
Lukman di seberang sana menjawab. Setelah sedikit berbasa-basi intonasi nada Lukman berubah.
"Sardi, apa kamu yang pegang urusan Straussman?"
Dahi Sardi mengernyit. Lukman memang lebih senior daripadanya. Firma hukum Lukman pun sama kuatnya. Tapi harusnya tidak ada yang tahu, atau mungkin dia salah. "Aku tidak bisa berikan informasinya. Maaf. Kamu tahu kode etik kita Bang."
"Di, apa kamu bisa lepaskan saja? Berikan urusan itu pada Mahendra. Biar Daud yang pegang urusan mereka. Aku yakin kamu bisa jelaskan itu pada Robert, Mahendra sendiri akan turun tangan."
"Bang, ada apa sebenarnya?"
"Urusan itu lebih pelik dan berbahaya daripada seharusnya Sardi. Aku khawatir tentang keselamatanmu. Karena itu aku menelpon dengan cara ini, bukan ke ponselmu. Aku pun tidak meminta urusan itu pindah ke tanganku kan?"
Dwi Sardi sudah duduk tegak saja. Ya, Lukman menelpon dari jalur khusus, langsung ke meja kerjanya. Telpon meja ini sangat aman dalam artian sudah dirancang agar tidak bisa disadap oleh pihak manapun. Hanya segelintir orang yang tahu.
"Kenapa bukan Mahendra yang langsung menghubungiku dan menjelaskan situasinya Bang?"
"Karena kamu sahabatku Sardi. Mahendra masih anak baru di dunia kita. Dan ini...pertempuran mereka. Bukan kita Sardi. Lepaskan urusan itu pada Mahendra Daud. Jangan berada di tengah keluarga mereka saat ini."
"Bagaimana dengan Darusman? Kamu pegang urusan Darusman Bang."
"Sardi, aku punya Sanjaya dan Ibrahim di belakangku. Robert Straussman tidak punya orang kuat untuk melindungimu Sardi. Jangan khawatirkan aku. Jaga dirimu Sardi, keluargamu."
"Aku tidak paham kenapa Straussman terlibat Bang."
"Ya Tuhan, kamu tidak perlu paham. Semakin banyak kamu tahu, semakin posisimu berbahaya."
Dwi Sardi sudah memijit pelipisnya. "Bang, aku tidak bisa lepaskan begitu saja. Robert adalah klien lamaku. Dia menaruh rasa percayanya padaku Bang. Maaf, aku tidak bisa. Aku akan selesaikan ini segera Bang. Aku percaya semua akan baik-baik saja."
Hening sejenak. "Berhati-hatilah Sardi."
"Terimakasih Bang." Hubungan itu disudahi.
***
Arsyad sedang duduk di dalam ruangan khusus sambil menatap layar-layar monitor dihadapannya. Dia sedang memeriksa salah satu kasus yang sedang membutuhkan perhatian. Tapi sialnya, pikirannya sedang tidak ada di sana. Seluruh fokusnya tidak bisa dialihkan begitu saja dari kasus chip pintar itu. Kenyataan tentang bagaimana pamannya Herman benar-benar berusaha untuk menguasai GT Techno. Atau mungkin bukan GT Techno yang dia incar? Mungkinkah sesungguhnya chip pintar itu saja yang dia ingin kuasai? Pikirannya terhenti karena mendengar suara Angel, nama sistem artificial intelligence rancangannya menggema di ruangan.
'Ares Defense Services, Black Room. Selamat datang - Mareno Yusuf Daud – Mahendra Zaidan Daud.'
Pintu itu berbunyi bip dan kedua adiknya itu masuk. Dia langsung berdiri melihat wajah Mareno yang marah sekali.
"Angel, jangan rekam percakapan ini. Personal conversation." Ujar Arsyad tanpa melepaskan pandangannya pada kedua adiknya.
'Personal conversation detected. Angel dismiss.' Sistem itu berbunyi lagi.
Mareno menatap laporan itu tidak percaya. Arsyad memang memanggil mereka berdua. Sementara Hanif masih berada di luar negeri membereskan urusan yang lain. Kepalanya masih menggeleng, memastikan dia tidak salah melihat nama-nama yang tercantum di dokumen itu.
"Lo baru kasih tahu ke gue sekarang?" Tangannya sudah mendorong Arsyad marah.
"Anak kecil yang hanya bisa merengek. Lo perduli karena semua nama itu adalah teman lo kan? Kalau nggak, lo nggak pernah perduli. Ya kan?" tegas Arsyad dengan suara besarnya.
Mahendra berusaha menengahi. Jika sedang seperti ini, aura Arsyad terasa mendominasi sekali dan itu membuat bulu tengkuknya berdiri.
"Mereka sahabat gue Bang. Kenapa lo nggak ngomong dari kemarin-kemarin?" Mareno memang terkenal lebih temperamental.
"Sudah cukup. Fokus pada solusi, oke? Ini yang Herman mau, kita panik dan salah langkah." Mata Mahendra pindah kepada kakak tertuanya itu. "Jadi bagaimana Bang?"
Arsyad menatap Mahendra. "Lo bujuk Dwi Sardi untuk serahkan urusan Straussman. Semakin sedikit yang terlibat dengan kita, semakin baik. Gue nggak bisa melindungi semua orang sekaligus. Orang-orang gue sedang awasi Desy dan Rachel disana, kita harus bawa mereka kesini. Gue harus bertemu Robert."
"Barang bukti sudah dapat?"
"Belum," ujar Arsyad sambil bersumpah serapah kesal. "Adrian benar-benar rubah liar. Bajingan licik," geram Arsyad mengingat cara Adrian merebut prototype chip pintar itu dari Arya Dirga dulu.
"Ayah sudah bicara dengan Bayu Tielman?" tanya Mahendra lagi.
"Tidak tanpa bukti. Itu akan jadi fitnah dan tidak professional."
"Gue harus bicara dengan Radit dan Andra," tubuh Mareno sudah berdiri dari duduknya.
"Jangan berani-berani jadi pahlawan kesiangan dan buat semua berantakan. Niko sudah dekat dengan barang bukti. Kalau kalian ikut campur, semua bisa berantakan," tegas Arsyad dengan matanya.
"Ini sahabat gue Bang," teriak Mareno kesal. "Gue paham lo nggak pernah punya teman selama ini. Lo nggak paham apa arti..."
Langkah Arsyad cepat sekali. Leher kemeja Mareno sudah dia tarik saja. "Jangan pernah ajari gue soal hati anak kecil. Apa lo lupa selama ini siapa yang bereskan semua kekacauan yang lo buat? Yang menjaga keluarga ini?"
Mata Arsyad terlihat sangat menakutkan. Ditambah penampakan setengah wajahnya dengan luka yang panjang. Membelah dari dahi turun ke mata lalu sampai ke rahang bawahnya. Atau betapa tubuh tinggi dan besar itu juga sudah memancarkan kemarahan yang ditahannya.
"Bang, kita keluarga. Jangan begini." Mahendra angkat bicara. Paham benar Arsyad dan Mareno sebentar lagi bisa saling menyerang.
"Lo buka mulut, semua bisa berantakan. Dan semua yang ada di daftar itu taruhannya. Semuanya, termasuk pasangan mereka. Paham?" Arsyad sudah melepaskan cengkramannya.
Tubuh Mareno dingin. Bayangan wajah sahabat-sahabatnya datang begitu saja. Radit, Andra juga Reyhani dan Asha. Apa dia tega membahayakan mereka? Tidak, tidak akan. Dia kembali duduk di kursi. Dia harus berpikir, pasti ada yang bisa dia lakukan selain duduk diam dan menunggu.
***
Radit menatap ponselnya heran. Kenapa Niko belum kembali padanya. Ini sudah terlalu lama, tidak seperti Niko yang dia kenal. Dia sudah mencoba menghubungi Niko, tapi masih belum berhasil juga. Ada apa dengannya? Lamunannya terhenti karena telpon di mejanya berbunyi. Ayahnya memanggil, penting.
Langkah kakinya beranjak cepat menuju ruangan ayah.
"Ada apa Pa?"
"Adrian bertemu dengan Bayu malam ini."
"Papa sudah coba bicara?"
Adinata mengangguk, matanya menerawang jauh. "Bayu tidak bisa menjanjikan apapun. Kamu tahu? Proyek ini akan semakin besar dan besar. Ini baru tahap awal Dit. Setelah ini, chip itu akan merambah pada bidang keamanan dan pertahanan negara, automasi statistik kenegaraan, dan kegiatan ekonomi lainnya. Karena itu, penghematan 35% untuk anggaran negara tidak bisa diabaikan saja demi hubungan baik apapun yang kami punya." Dia menghela nafasnya. "Jadi Papa mengerti posisi Bayu yang sulit."
"Bahan baku aku hanya bisa hentikan 10% saja Pa. Sisanya sudah terlanjut diproses. Nilai kerugian masih akan sangat besar sekali."
"Papa sudah cek nilai saham kita dipasaran."
"Pa...jangan begitu. Pasti ada acara."
"Hanya untuk berjaga-jaga Dit."
Dahi Radit berkerut nyeri. Dia tidak pernah melihat ayahnya putus asa, tidak pernah. Tapi wajah ayah saat ini, seolah berkata bahwa ini sudah jalan terakhir yang dia punya.
"Aku akan bicara pada Theo."
"Theo sudah tahu Dit. Dia akan membantu, pasti. Tapi..."
"Aku akan menemui Arya Pa. Aku akan cari tahu ada apa sebenarnya. Jangan menyerah dulu Pa, jangan." Tubuh Radit sudah berdiri saja.
"Radit, yang tahu benar adalah Stephanie, bukan Arya." Adinata menatap mata anaknya. "Jika bisa, temui Arsyad Daud. Ibrahim tidak bicara semuanya, hanya setengah cerita. Tapi Papa yakin Arsyad tahu segalanya."
Kepala Radit mengangguk perlahan. Tangannya mengangkat ponsel sambil berjalan keluar ruangan. "Lin, hubungi saya dengan Arya Dirga."
"Baik Pak."
***
Mareno tidak bisa dia hubungi. Ponselnya mati. Jika ini terkait pada Arsyad, Mareno pasti tahu sesuatu. Kenapa kawannya itu tidak bercerita padanya. Sialan! Lalu telpon di mejanya berdering. Lina memberi tahu bahwa Arya bisa menemuinya siang ini juga, di tempat keluarga Darusman. Mobil khusus sudah disiapkan dibawah untuk menjemputnya kesana. Dahinya mengernyit heran. Kenapa di tempat keluarga Darusman? Apa hubungannya? Dia mengabaikan rasa ingin tahunya lalu segera pergi saja.
Restoran mewah itu memiliki ruangan terpisah untuk bertemu. Radit tahu karena mendengar informasi itu dari Hari dulu. Hanya orang-orang tertentu dengan alasan tertentu yang bisa masuk ke dalam ruangan itu. Radit juga harus turun di pintu khusus, datang dengan mobil yang menjemputnya, tidak bisa menggunakan mobilnya sendiri. Ya Tuhan, merepotkan sekali. Tapi dia sudah berjanji akan melakukan apa saja untuk menyelamatkan bisnis keluarganya.
"Halo Dit." Arya Dirga berdiri menyambutnya.
"Siang Arya. Maaf saya mengganggu. Terimakasih kamu sudah mau repot begini." Radit menjabat tangannya sesaat sebelum duduk saja. Matanya melihat dua laki-laki bersetelan jas yang tadi mengantarnya sudah keluar ruangan, menyisakan dia dan Arya yang duduk berhadapan.
Arya tersenyum kecil. "Adikku akan membunuhku jika aku tidak membantumu."
Radit diam sesaat.
"Saya tahu apa yang terjadi dulu Dit, saya tahu." Arya menghela nafasnya, dia juga sudah duduk. "Saya tidak akan meminta maaf, Stephanie adalah adik saya. Dia senang bermain seperti saya sendiri, dulu. Yah, sampai saya bertemu Gladys dan dia bertemu kamu. Jadi, bagaimanapun juga saya akan membelanya."
'Brengsek,' ujar Radit dalam hati. Matanya masih menatap Arya tegas.
"Mari kita kesampingkan hal itu dulu saat ini. Apa bisa Radita?"
Dia masih diam saja. Lalu Arya tertawa lagi.
"Dit, Adrian punya seseorang di belakangnya yang menggerakkan dia, yang membisikkan seluruh rencana. Chip pintar itu jatuh ke tangan Adrian dengan cara yang paling licik dan kotor. Saya sendiri tidak berpikir sejauh itu. Adrian bahkan membunuh orang saya Dit. Dia benar-benar menghalalkan segala cara."
"Jadi kamu mundur dan takut?"
Arya terkekeh geli. "Satu-satunya yang membuat saya mundur adalah karena Papa saya meminta saya mundur. Ini bukan perang keluarga kami. Itu pun saya lakukan setelah saya sudah membereskan orangnya yang membunuh orang saya. Mata, dibalas mata Dit. Selalu begitu."
Punggungnya dia senderkan di kursi. Dia tidak mengira masalah ini sepelik itu. "Apa hubungannya dengan keluarga saya Arya? Itu tidak masuk akal."
"Sangat masuk akal. Pertama, karena proyek ini akan makin besar. Adrian haus kekuasaan. Dia ingin menjadi si pewaris tahta keluarga Straussman." Arya memberi jeda. "Apa kamu paham apa korelasi selanjutnya?"
"Adrian sudah menang soal chip itu, kenapa dia ingin menjatuhkan keluarga saya?"
"Kamu tidak menyimak Radita. Saya bilang Adrian haus kekuasaan. Setelah dia mengira dia bisa menyingkirkan keluarga saya, dia akan menyingkirkan Adikinarya, lalu rencana besarnya adalah juga menyingkirkan ID Tech."
"Angan-angan besar yang kosong." Kepala Radit menggeleng tidak percaya. Perusahaan keluarga Daud itu sudah sangat mengakar di negara ini. Bisnis keluarga Daud mencakup banyak bidang usaha penting. Ardiyanto, Ibrahim dan Herman Daud sendiri bahkan sudah lama bergelut di bidang politik. Jadi menjatuhkan ID Tech, atau menggeser Ibrahim Daud begitu saja merupakan rencana yang bodoh.
"Kosong, jika dia tidak memiliki Herman Daud disisinya Dit."
Ekspresi wajah Radit mengeras. Herman Daud, politisi besar yang kotor. Anak keempat dari keluarga Daud. Setelah Ardiyanto Daud, Ibrahim Daud dan Arlita Daud. Kondisi kesehatan Ardiyanto Daud sudah makin memburuk, dan kerajaan besar keluarga Daud akan jatuh pada Ibrahim Daud setelahnya. Herman tidak perlu mengkhawatirkan Arlita, karena perempuan itu menghilang dan dipastikan sudah meninggal. Tapi Ibrahim lain soal. Dia tahu itu semua dari Mareno, dulu sekali kawannya itu pernah bercerita tentang salah satu pamannya yang jahat dan licik yang masih berada di luar negeri.
"Herman Daud, sudah kembali?"
"Informasi ini, hanya segelintir orang yang tahu Dit. Arsyad bahkan akan membunuh saya jika saya memberi tahu kamu perihal ini. Tapi adikku yang tersayang itu memohon pada saya agar saya memberi tahu kamu segalanya. Agar kamu siap. Karena dia tahu kamu sudah tidak percaya padanya."
Radit menghembuskan nafasnya yang dia tahan. Jadi itu maksud kedatangan Stephanie. Bukan untuk kembali padanya, tapi untuk memperingatkannya akan hal ini. Tapi dia tidak mau mendengarkan, dia menolak dan berkali-kali berusaha menyakiti wanita itu. Sedikitnya dia menyesal sekarang.
"Keluarga kami memang senang bermain Dit, tapi kami masih punya nurani. Adrian dan Herman, tidak. Mereka akan melakukan apapun, membunuh siapapun yang menghalangi. Apa kamu bisa bayangkan, ketika mereka bersama. Duduk di puncak kuasa. GT Techno akan lebur dengan ID Tech, menguasai seluruh pasar. Dengan semua dana dan kuasa itu, Herman akan menyingkirkan Ibrahim karena Ardiyanto hanya tinggal menunggu waktunya saja. Juga Arlita yang bisa dipastikan sudah meninggal dunia. Setelah Ibrahim tersingkir, kerajaan besar Daud adalah miliknya. Bayangkan segala bidang usaha keluarga Daud yang besar itu akan ada di genggaman tangannya. Lalu Herman akan berusaha naik ke puncak, mungkin juga akan mencalonkan diri sebagai presiden negara kita di kemudian hari. Tidak mungkin?" Arya mendengkus kesal. "Jika Trump bisa, saya yakin dan percaya, Herman juga bisa jika dia sudah menguasai kerajaan Daud dan Straussman ditangannya. Adrian hanya boneka untuknya. Sayang, laki-laki itu tidak tahu."
"Ya Tuhan." Tanpa sengaja Radit mendesah saja. "Ini bukan pertempuran saya, tapi saya ikut terseret begini."
"Itu akan jadi pertempuran kamu jika kamu menikahi Dokter Reyhani Straussman."
"Reyhani Straussman? Apa kita bicara tentang Reyhani yang sama?"
Arya mengernyit heran. "Kamu tidak tahu?" Ponselnya sudah dia keluarkan dari dalam saku. Dia menunjukkan foto wajah cantik itu.
Posisi duduk Radit sudah tegak saja. "Arya, ceritakan pada saya. Saya berusaha mencari tahu tapi semua latar belakang Reyhani seperti ditutupi."
"Reyhani Abigail Straussman, anak dari Jennifer Straussman. Cucu pertama dari John Robert Straussman, si pemilik GT Techno. Wanita yang kamu cinta itu bukan hanya dokter biasa Radit. Dia hanya tidak tahu sebesar apa yang dia punya di tangannya."
Wajah Radit makin pucat. Dia benci untuk tahu ini, dia tidak mau Reyhani terluka. Ya Tuhan, bagaimana ini? Sekarang dia paham kenapa Adrian mendekati Reyhani.
Lalu Arya seperti bisa menebak apa yang Radit pikirkan saja, dia melanjutkan. "Adrian ingin menikahi wanitamu Dit. Karena Adrian hanya kemenakan angkat Robert saja. Tidak ada darah Straussman di pembuluh nadinya. Dia ingin tahta GT Techno tetap ada di pangkuannya. Robert tidak tahu soal kejahatan kemenakannya. Atau mungkin dia sudah tahu dan sedang merencanakan sesuatu dengan Arsyad, bisa jadi juga." Alarm waktu berbunyi. "Times up. Saya harus kembali sebelum si rubah tahu. Hati-hati Dit, gerak-gerikmu pun dicermati." Tubuh Arya sudah berdiri.
Radit diam dan berusaha mencerna lagi semuanya. Otaknya berpikir keras untuk menyelesaikan kerumitan kondisi ini. Reyhani harus dijaga, bagaimanapun caranya. Lalu dia harus mencari Mareno, untuk mengurai semua kemudian menyusun rencana.
Arya Dirga seperti mengerti dengan kegelisahan Radit, kemudian dia angkat bicara lagi. "Jalan mudah, tinggalkan Reyhani. Menikahlah dengan adik saya. Dia pasti akan melompat gembira."
Wajah Radit mengeras saja, dia sudah berdiri. "Saya tidak menyangka kamu punya selera humor yang tinggi Arya."
Arya terkekeh melihat ekspresi Radit."Ya ya, aku hanya bercanda." Wajah Arya kembali serius. Dia membetulkan letak jasnya.
"JIka kamu benar-benar mencintai Reyhani, lindungi dia Dit. Bagaimanapun caranya. Merapatlah pada Daud, Arsyad sudah menyusun rencana. Ikuti rencananya. Satu-satunya yang bisa mengalahkan Herman Daud adalah kemenakannya sendiri. Arsyad punya banyak orang Dit. Brayuda dan El Rafi juga sudah siaga. Saya dan Gladys pun sudah berjaga." Arya memberi jeda.
"Selamat sore Radit. Welcome to the club." Arya menepuk pundak Radit. Sesaat kemudian dia tertawa kecil sambil berlalu keluar ruangan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro