32. Can we make it right?
Siapa yang kangen Radit? Warning, banyak mengandung gula. Ati2 diabetes ya Genks. Siap-siap buat next part yang bikin jantungan lagi. Enjoy!!
***
Perasaannya benar-benar membaik. Seperti seluruh beban tentang keluarganya, tentang asal-usul dirinya hilang. Digantikan dengan senyum pada pagi itu. Robert dan Winda memang memintanya menginap, tapi dia ingin memulai segalanya perlahan. Dan berada di rumah asing dan besar itu, sungguh bukan suatu pilihan yang nyaman. Ini adalah hidupnya, bangun pagi, berolahraga, lalu pergi ke rumah sakit dan berkutat dengan segala jenis hal disana, kemudian pulang dan...Radit. Ya Tuhan, masih ada satu hal lagi yang membuat hatinya mengganjal.
Dia sangat merindukan laki-lakinya yang konyol itu sekalipun paham benar, hubungan mereka akan sulit nanti. Bagaimana tidak? Mama Radit sudah jelas-jelas tidak menyukainya. Belum lagi kesibukan mereka saat ini yang membuat mereka semakin jauh. Ya, jarak itu sudah ada ketika mama Radit memandangnya tidak suka, kemudian diperburuk dengan segala aktivitas dan tanggung jawab gila mereka masing-masing. Entah kenapa kemarin dulu sebelum kejadian Robert dan foto-foto itu, dia tidak terlalu memikirkan hal ini. Tapi sekarang...ya Tuhan dia masih bingung sekali.
Akhirnya setelah bersiap-siap dia tiba di rumah sakit pukul 9 pagi. Setelah kemarin dia memang membatalkan visitnya karena acara dengan Tanan dan Asha.
"Pagi Dok."
"Pagi Sus. Jadwal visit saya ada berapa ya?" Mereka berbicara sambil terus berjalan di lorong rumah sakit.
"Lima hari ini Dok. Pasien kecil pasca operasi amandel, pasien diabetes untuk persiapan operasi pasang Cimino, terus Dokter Pambudi telpon soal pasien lipoma nya kemarin yang namanya..."
"Pak Didi?"
"Ya ya. Kata Dokter Pam tolong gantikan dia untuk visit."
"Oke, yang lainnya?"
Suster Reni terus membacakan runtutan pasien yang harus dia visit hari ini. Sementara mereka sudah tiba di salah satu nurse station dan dia sedang membuka satu-persatu catatan hasil observasi pasien-pasien itu.
"Pagi Dok." Sudah ada Farhan yang menepuk punggungnya.
"Loh, tumben kamu datang pagi dihari Minggu begini."
"Kemarin kamu batalin jadwal visit kamu kan? Mangkanya saya atur biar jadwal saya sama dengan kamu. Kita makan siang ya?" timpal Farhan.
Dua suster disitu sudah meninggalkan mereka. Paham benar dengan apa yang terjadi dan tidak mau jadi pengganggu.
"Ada apa dulu nih?"
"Saya punya berita bahagia." Senyum Farhan lebar sekali.
"Apa?"
Farhan berbisik ditelinga Hani. "Saya mau melamar wanita yang saya cinta."
Tubuh Hani langsung tegak saja. Oke, semoga bukan dirinya ya Tuhan. "Siapa namanya?"
"Reyhani." Lalu Farhan menatapnya serius. Tapi beberapa detik kemudian dia tertawa lebar.
Hani yang kesal sudah memukul bahunya. "Bercanda kamu nggak lucu Dok. Dasar menyebalkan."
"Tapi saya serius. Namanya Elisa, bagus kan?"
"Wow...really?" Senyum Hani juga sudah terkembang lebar. "Apa dia Dokter juga? Kenapa aku nggak pernah tahu?"
"Kamu terlalu sibuk selingkuh sama laki-laki lain selain aku Han."
"Hmmm...mulai deh," sahut Hani.
"Tapi aku nggak akan mungkin bersaing dengan cowok-cowok yang kejar kamu Han. Adrian atau Radit bukan kelas aku."
"Apa sih kamu Farhan, mau aku jewer?"
"Anyway, ayolah bantu saya susun rencana untuk melamar Elisa. Saya butuh saran kamu Han."
"Okey," jawab Hani pendek.
***
Arloji di lengannya sudah beberapa kali dia lihat. Sudah hampir pukul empat sore dan Hani masih belum kembali. Ponsel wanita itu juga mati. Harusnya hari Minggu begini Hani tidak ada jadwal praktek, hanya visit saja. Tapi kenapa hingga sore dia belum kembali. Tadi dia sudah menghubungi Asha dan mengecek keberadaan Hani, barangkali Asha tahu. Tapi Asha sama tidak tahunya. Dia sedikit menyesal kenapa dia tidak langsung pergi ke rumah sakit saja. Hal itu tidak dia lakukan karena mengira Hani sudah pulang.
Dia masih bersikukuh duduk di coffee shop lantai bawah setelah dua jam yang lalu pergi ke lantai atas dan menemukan apartemen Hani yang kosong. Harusnya dia tidak melewatkan sosok wanitanya itu ketika dia ingin naik ke lantai atas. Karena posisi coffee shop yang langsung menghadap satu-satunya lift turun naik di tower itu. Jadi dia yakin sekali Hani belum pulang.
Sebenarnya dia sangat lelah dari perjalanan bisnisnya. Berusaha mengecek dan mencari informasi tentang selongsong buatan GT Techno. Dia juga berusaha negosiasi dengan vendor besarnya dari Cina yang memproduksi bahan baku untuk menunda separuh pesanan Adikinarya. Sampai ayahnya selesai bernegosiasi dengan Bayu Tielman. Gelas kopi yang kedua sudah habis ketika matanya menangkap sosok itu. Turun dari sedan perak sambil menenteng jas prakteknya. Senyum Hani mengembang sambil berpamitan pada siapapun yang mengantarnya pulang. Wajah Radit mencermati sosok yang ada didalam mobil, Dokter Farhan. Dia menarik nafas panjang untuk meredam emosinya sendiri. Cepat-cepat dia membayar kopinya dan menyusul Hani.
Lalu pertanyaan-pertanyaan itu mulai muncul dikepalanya. Apa Hani tidak merindukannya? Kenapa wanita itu terlihat baik-baik saja? Apakah Hani benar-benar membalas perasaannya? Atau dia hanya berpegang pada khayalan semu saja? Kepalanya sudah dia gelengkan keras untuk mengusir praduga-praduga liarnya sendiri.
Hani menyadari keberadaannya ketika mereka masuk kedalam lift yang sama.
"Radit?"ujar Hani sedikit terkejut.
Dia hanya tersenyum sesaat sambil mendekatkan tubuhnya pada Hani dan membiarkan penghuni lain masuk ke dalam lift.
Di dalam apartemen
Jasnya sudah Radit letakkan di salah satu kursi meja makan. Radit merasa sedikit pusing jadi dia duduk saja. Hani sudah duduk dihadapannya sambil memeriksa denyut nadinya.
"Mata kamu merah Dit. Kamu baru landing ya?" ucap Hani khawatir.
Radit hanya tersenyum tipis sambil menatapnya sendu. Laki-laki itu terlihat lelah dan payah sekali. Radit bahkan belum mengganti setelan kerjanya. Satu tangan Radit membelai bingkai wajahnya saja. Ya Tuhan, dia tidak tega sendiri.
"Kamu tunggu aku dari jam berapa?" tanya Hani lagi. Tangan Radit masih ada dipipinya, membelai lembut sementara bibirnya masih bungkam.
"Dit? Kok diam aja?" Hani menatap Radit heran karena senyum laki-laki itu masih disana. Perlahan tapi pasti detak jantungnya mulai naik. Dia merindukan laki-lakinya ini, sangat merindukannya.
"Aku nggak bisa ngomong, karena terlalu kangen." Radit sudah meletakkan dahinya pada dahi Hani.
Tangan Hani sudah menyentuh tengkuk Radit untuk memastikan suhu tubuhnya. "Kamu demam Dit."
"Aku...baik-baik aja sekarang. Jangan khawatir." Bibir Radit sudah tiba saja disana, ditempat yang dia suka, yang dia rindu. Dia berusaha berkata bahwa dia benar-benar hanya ingin Hani saja yang berada disisinya.
Ciuman Radit tidak memaksa, tapi lembut sekali. Seolah hanya menyentuh permukaan bibirnya saja. Entah bagaimana, Hani bisa merasakan apa yang Radit berusaha sampaikan, rindunya, lelahnya, juga perasaan besar yang Radit rasakan untuknya. Entah kenapa, dia percaya. Mungkin juga karena dia merasakan hal yang sama. Dia hanya ingin laki-laki ini saja.
Hani yang mendekatkan tubuhnya pada Radit. Tangannya masih ada ditengkuk pria itu. Mereka terhanyut untuk beberapa lama. Sampai akhirnya Hani menyudahi.
"Aku harus berhenti, sekalipun aku nggak mau berhenti sebenarnya." Lalu dia tersenyum. Dahi mereka masih bersentuhan.
"Itu kalimat termanis kamu buat saya."
"Masa?"
"Ya. Saya pikir tadi, hanya saya saja yang kangen sama kamu. Apalagi lihat kamu diantar Farhan begitu."
"Saya dan Farhan hanya rekan kerja Dit."
"Tetap saja. Apalagi kamu nggak angkat telpon saya."
Tubuh Hani sudah berdiri, dia menghela nafasnya. "Apa kamu benar-benar mau buang waktu untuk adegan cemburu? Bahkan terakhir itu aku lihat foto-foto ciuman kamu sama mantan-mantan pacar kamu."
Tangan Radit menarik pinggang Hani mendekat lagi. Dia memeluk wanitanya agar bisa menghidu wangi segar yang dia sangat suka. Lalu tangan lainnya mencari pada jemari Hani, apakah cincin darinya masih Hani pakai. Senyumnya terkembang karena cincin itu masih disana. Ditempat yang sama saat dia sematkan dulu.
"Kenapa? Mau minta cincinnya balik?"
Kepala Radit mendongak. Senyum konyol sudah menghiasi wajahnya. "Ya, saya mau minta kembali dan saya ganti dengan cincin pernikahan. Apa boleh?"
"Aku mau pakai cincin yang sama aja, tapi ganti posisi tangan." Hani tertawa.
"Ya sudah, boleh saya pindahkan sekarang? Atau saya ganti dengan berlian yang lebih besar."
"Lebih besar dari punya J-Lo?" Gantian Hani yang tersenyum konyol. "Mmmm...boleh juga."
"Kita married aja besok yuk. Atau seminggu lagi deh." Radit tidak melepaskan pelukannya.
"CIta-cita kamu setinggi langit deh Dit. Mama kamu gimana?" timpal Hani sambil mencium kening Radit sesaat.
"Kamu emangnya mau nikah sama Mama saya?"
"Kamu paham maksud saya big boy. Udah daripada ngelantur, aku mau ambilin obat dulu untuk demam kamu." Hani melepaskan diri sambil berjalan ke laci dapur untuk mengambil obat dan air minum.
"Aku cuma demam Han, jangan berlebihan. Yang di sini..." Radit menunjuk dadanya. "...sudah sehat lagi. Sekalipun yang di bawah sana lagi menderita." Mata Radit melirik ke bagian tubuh diantara dua kakinya.
Hani tertawa kecil sambil menggeleng kesal. Radit selalu bisa membuatnya tertawa disaat seperti ini. Dia sudah menyodorkan minum dan obat, mengisyaratkan Radit untuk meminumnya.
Gelas air itu sudah tandas. Radit berdiri dan berjalan ke kamar mandi.
"Eh mau ngapain?"
"Mandi."
"Nggak boleh," lontar Hani.
"Nggak boleh sendiri? Yuk temenin."
"Dasar usil. Istirahat, tidur, nggak boleh mandi. Aku yakin kamu baru aja landing dari business trip kamu yang kemana-mana itu dan sudah nungguin aku kelamaan." Dua tangan Hani mendorong punggung Radit ke arah kamar. "Mata kamu merah, kamu demam, mungkin juga tekanan darah kamu drop jadi kamu sedikit pusing. Benar?"
Radit sudah duduk di pinggir tempat tidur sambil terkekeh juga. "Aku mau istirahat asal kamu mau aku ajak nikah minggu depan, gimana?"
"Dasar crazy." Kedua tangan Hani sudah mengangkat kaki Radit ke kasur sehingga tubuh laki-laki itu berbaring saja.
"Yes. I'm crazy...about you."
"Radit, kamu gombal sekali lagi aku kirim ke IGD rumah sakit, mau?" Dia sudah sibuk melepaskan sepatu dan kaus kaki Radit.
"Tahu nggak kelakuan kamu udah persis kayak istri aku Han."
"Ya karena kamu manja, kekanakkan, cemburuan, tukang marah-marah dan gampang curiga, konyol, gombal terus dan jadi buat aku begini nih."
"Begini apa?"
"Ya salah satu dari kita harus ada yang dewasa kan? Masa dua-duanya kayak anak-anak," sahut Hani kesal sambil berkacak pinggang.
"Mau kemana?" Tangan Radit sudah menarik lengan Hani yang ingin keluar kamar.
"Mau buatin kamu teh jahe, habis itu mandi dan aku mau buka laptop. Ada kerjaan."
"Enak aja. Emang aku patung-patungan apa disini?" Tubuh Radit duduk sejenak lalu menarik Hani kuat. Hingga wanita itu jatuh duduk dipangkuannya. "That's better."
Wajah mereka dekat sekali. Hani heran sendiri kenapa Radit seperti masih punya banyak sisa tenaga. Padahal laki-laki itu terlihat sangat kelelahan. Dia membiarkan kedua tangan Radit melingkari tubuhnya.
"Kamu serius mau berada di posisi ini lama-lama?" tanya Hani sambil menatap laki-laki konyol itu. "Pertama, kaki kamu akan kesemutan dalam beberapa menit. Terus, setelah kaki akan menjalar ke tangan, terus kamu akan mulai kejang..."
"Aku nggak punya penyakit bawaan Dok. Tapi bawaan aku memang selalu pingin begini sama kamu, gimana dong?"
"Pasti pikirannya mesum. Jewer ya."
"Cium aja deh."
"Tadi udah Dit." Satu tangan Hani mulai menahan bibir Radit yang sudah berusaha menciumnya lagi.
"Ya aku mau lagi."
"Radiiit iiihhh...kamu bau rokok." Tubuh mereka berguling diatas kasur dan pergulatan seru itu dimulai. Hani berusaha melepaskan tubuhnya dari Radit.
"Kamu nggak bolehin aku mandi Sayang," timpal Radit yang tidak memperdulikan penolakan Hani.
"Kamu bisa nggak sekali-kali dewasa sedikit?" Hani sudah menatap Radit kesal yang masih saja bersikukuh memeluk dan menciumnya. Entah bagaimana bisa posisi tubuh Radit sudah ada diatasnya.
"Bisa. Sini, aku tunjukin adegan dewasa."
"Radit..."
Ciuman Radit sedikit tergesa kali ini. Kadar rindunya yang terlalu tinggi membuat dia ingin berlama-lama merasakan Hani. "Kenapa kamu nggak angkat telpon aku Sayang?" tanya Radit disela-sela ciuman mereka.
"Aku ada urusan," bisik Hani.
"Lebih penting dari aku?" timpal Radit sambil masih menciumnya.
"I guess," mata Hani mengerling menandakan dia sedang bercanda. Radit menggeram gemas masih bergerilya di atas tubuhnya.
"I want you Han. Kamu mau obatin aku kan?" Bibirnya pindah ke pipi lalu ke telinga Hani.
"You promise already and Mahesa will kill you," sahut hani sambil tersenyum konyol.
"Dengan kamu..." suara Radit terputus karena hasratnya sendiri. Bibirnya sudah makin turun ke leher Hani. "Aku selalu bikin janji yang nggak bisa aku tepati, I'm sorry." Tangan Radit sudah menarik kemeja Hani keluar dari roknya. "Dan Mahesa Tanandra nggak disini sekarang."
"Dit...badan kamu panas begini."
"Ya, memang." Dia sudah sampai dibagian depan tubuh Hani yang masih tertutup kemeja.
"Kamu demam, itu maksud aku." Mata Hani sudah terpejam sekalipun tangannya masih berusaha menjauhkan tubuh Radit. Dia merutuki terputusnya koneksi antara otak dan tubuhnya saat ini.
"Marry me, please. I want you."
"Diiit..."
Radit berhenti sejenak lalu dia kembali menatap mata Hani. Tangannya juga sudah bisa merasakan perubahan suhu tubuh wanitanya itu. Dia tidak akan memaksa, tidak akan pernah. Jika Hani mau, dia akan lakukan. Tapi jika tidak, demi Tuhan dia akan berhenti sekalipun rasanya akan menyiksa sekali.
"Do you want me to stop?"
Alih-alih menjawab, Hani hanya menatapnya diam saja. Bingung sendiri. Seluruh sensor tubuhnya juga sudah berbunyi, dadanya bertalu berisik sekali, perasaan yang dia tahan selama ini perlahan naik ke tenggorokkan. Lalu dia berbisik sambil menatap mata itu dalam.
"I love you."
Radit terkejut sejenak. Tidak menyangka wanita ini akan membisikkan kalimat yang paling dia tunggu. Senyumnya merekah lebar. Dia benar-benar bahagia.
"Yes, you have to. Because I love you too."
Dia mencium Hani lembut. Bersiap melakukan apa yang selalu dia ingin lakukan, membuktikan bahwa dia sungguh-sungguh dan tidak akan melepaskan Hani lagi. Tangan Hani sudah berhenti menolak, mata cantiknya itu bahkan sudah terpejam. Seolah berkata bahwa dia adalah milik Radit saja. Dan itu, membuat Radit makin gila. Sampai kemudian, bel pintu berbunyi.
Semua kata makian dikepalanya sudah bermunculan. Tawa Hani sudah membahana. "Han..." rengek Radit dengan wajah memelas.
"Diiit..." bel itu berbunyi lagi. "Kamu istirahat ya." Hani sudah berdiri dan merapihkan kemejanya.
"Reyhaniiii....tega banget kamu." Radit makin merengek melihat Hani sudah beranjak ke pintu sambil masih tertawa. Meninggalkannya sendiri di dalam kamar.
Suasana hati Radit tambah buruk ketika melihat Tanandra masuk ke kamar Hani.
"Kalian nggak habis aneh-aneh kan?" tanya Tanan penuh curiga.
Radit yang masih di tempat tidur melempar Tanan yang berdiri dekat pintu dengan bantal keras. "Gue demam, butuh istirahat. Keluar, keluar, keluar."
Tubuh Hani berada dibelakang Tanan dan menarik lengannya sambil tersenyum geli pada Radit. "Radit beneran demam Sa. Jangan cari gara-gara atau aku lempar kalian berdua keluar."
"Sayaaangg...keluar dari situ." Suara Asha yang memanggil Tanan sudah terdengar dari arah luar kamar.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro