Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

31. To forgive

"Syad."

"Ya."

"Radit mulai menanyakan perihal Reyhani Straussman. Apa informasi yang bisa saya berikan?"

"Apa yang dia tanyakan?"

"Keberadaan Reyhani dan tentang siapa dia. Semua makin sulit untuk Radit dan Hani karena Adrian sudah mulai mengirimkan foto-foto Radit dulu. Itu yang memicu hubungan mereka renggang dan Radit jadi banyak bertanya pada saya."

Arsyad berpikir sejenak, menimbang. Paham benar dia tidak boleh salah langkah. "Hanya katakan saja tentang keberadaan gadis itu atau apa yang Hari lakukan. Dan juga Erika Mamanya. Selain itu, tahan dulu Nik. Dan jangan bilang apa-apa jika Radit tidak menghubungimu lagi. Saya yakin Radit akan sibuk dengan Adrian nanti."

"Baik."

"Hubungi Arya Dirga, saya ingin bicara dengannya."

"Hati-hati Syad. Kamu tahu sang serigala menunggu."

Arsyad menghisap kuat rokoknya. "Pastikan Reyhani aman Nik. Jangan sampai terjadi sesuatu."

"Kakeknya adalah John Robert Straussman. Jangan khawatir Syad."

Arsyad mendengkus. "Bapak tua itu tidak tahu bagaimana kita menyelesaikan masalah di negeri ini Nik. Jangan libatkan Robert, biarkan saja dia pensiun dengan tenang. Serigala kecil yang dia besarkan kita akan bereskan."

"Baik."

Hubungan disudahi. Arsyad menatap papan besar yang menempel didinding hadapannya. Papan dengan nama-nama, kejadian, juga tanggal dan area yang dihubungkan dengan benar-benang merah. Adrian adalah serigala kecil. Serigala sesungguhnya yang ada dibelakangnya belum keluar.

'Apa yang kamu tunggu Herman?'

***

Hani belum menghubunginya lagi. Dia sungguh tersiksa dengan rasa rindunya. Tapi dia berusaha menghargai keinginan Hani. Sedikitnya dia suka dengan cara-cara Hani menangani masalah yang ada. Wanitanya itu selalu berusaha berpikir dengan logika. Hani juga mau duduk, memberinya kesempatan dan berbicara baik-baik. Bukan langsung menghakimi dia dan mengusir dia pergi. Nafasnya dia hela panjang. Semakin dia ingin lupa, semakin dia ingat. Dia bersyukur dia memiliki proyek penting ini untuk diurusi, atau dia bisa benar-benar gila.

Ayahnya masuk dengan tergesa.

"Kamu sudah dengar?"

"Soal?"

"Bajingan Straussman."

Radit sedikit terkejut karena tidak pernah melihat ayahnya marah dan langsung menggunakan kata-kata kasar saja.

"Baca email dari Hari, dan Aldi."

Tubuh Radit yang berdiri langsung duduk lagi. Mencari dan membuka email itu. Matanya mengernyit. Email itu bermula dari laporan Hari, tentang kemungkinan kantor kementrian mencabut dan memindahkan permintaan pasokan selongsong chip pintar pada GT Techno. Hal ini didukung oleh fakta-fakta tentang foto contoh selongsong yang berhasil GT Techno produksi di pabriknya di Malaysia. Aldi sang menteri keuangan juga mendapatkan info harga dari selongsong yang ditawarkan oleh GT Techno lebih kecil 35% jika dibandingkan dengan perusahaannya.

'Ya Tuhan, apa-apaan ini.'

"Pa, apa kontrak kerja sama sudah selesai ditanda tangani dulu? Dengan kantor kementrian?"

"Belum. Memang proyek ini sempat tertunda karena kasus suap di pelabuhan yang sedang marak itu. Bayu Tielman juga sedang bepergian. Dia baru kembali."

"Aku selalu tahu Adrian itu licik sekali." Radit sudah memijit pelipisnya saja. "Ini tandanya mereka sudah melakukan riset sejak berbulan lalu. Tapi diam saja dan ingin menjatuhkan kita di akhir ronde. Apa menurut Papa, Papa bisa membujuk Bayu Tielman?"

"35% lebih rendah." Adinata menggelengkan kepalanya. Ini akan sangat sulit sekalipun dia tetap akan mencoba bicara pada Bayu. "Saya akan tetap mencoba."

Adinata sudah duduk di kursi seberang Radit dengan wajah yang sedikit pucat. "Ya Tuhan Dit, ini akan jadi kerugian terbesar kita. Bahan baku sudah mulai dipesan."

"Untuk berapa banyak Pa?" Tangan Radit sudah mengangkat telpon saja. Menghubungi Fatur, si Manager perencanaan.

"30%."

"Pa? Bagaimana bisa? Kita belum tanda tangan kontraknya?" Protes Radit terhenti karena Fatur mengangkat telponnya. Dia langsung saja memberi instruksi untuk mengecek semua pemesanan yang sudah dilakukan, lead time kedatangan dan juga menghentikan jenis pemesanan lainnya.

"Kamu urus perhitungannya, Papa akan urus negosiasi dengan Bayu." Dahi ayahnya mengernyit sejenak. "Radit, suka atau tidak suka, kamu harus bertemu dengan Arya Dirga dan juga Stephanie. Wanita itu tahu banyak tentang ini."

"Aku akan bertemu dengan Arya, bukan Stephanie."

"Dit...tolong, lakukan apapun demi keluarga kita."

Adinata pergi meninggalkan ruangan Radit.

***

Ini hampir dipenghujung minggu, Asha selalu suka itu karena berarti besok dia bisa menghabiskan waktu bersama Tanan atau sahabat-sahabatnya. Ya, mereka sudah punya janji nonton bersama bersama pasangan masing-masing. Norak? Mungkin. Tapi dia tidak perduli. Kapan lagi acara ini bisa dilakukan kan? Apalagi kakaknya Galih pulang bersama pacar barunya. Weekendnya kali ini akan seru.

Ponselnya berbunyi. Radit.

"Selamat siang menjelang sore Bapak Radit yang terhormat."

Radit langsung tertawa saja mendengar nada gembira Asha. "Halo Ibu Manager Factory yang cantik. Apa kabar Sha?"

"Baik Dit. Sudah nggak usah basa-basi. Ada apa Dit?"

Helaan nafas Radit sudah terdengar saja. "Apa kamu tahu apa kabarnya Hani?"

Asha sesaat terdiam. Paham benar terakhir mereka bertemu hubungan Radit-Hani sedang dipertaruhkan. "Kenapa kamu nggak telpon dia Dit?"

Suara Radit baru terdengar setelah beberapa lama. "Dia tidak menjawab Sha."

"Kalau begitu temui dia."

"Aku ingin sekali. Sayangnya aku baru kembali ke Jakarta malam ini. Apa kamu tahu sesuatu Sha? Apa dia baik-baik saja?"

Dia juga menghela nafas. Kemarin Hani bertandang ke apartemennya dan Tanan, masih dengan wajah kusutnya.

"Hani terlihat sedih. Kamu tahu? Hani memang introvert, dia tidak terlalu banyak tertawa."

"Tidak dengan saya. Dia selalu tersenyum dan tertawa dengan saya Sha."

"Kalau begitu selamat. Kamu orang yang sangat istimewa. Biasanya ekspresi Hani serius sekali. Tapi diam Hani kali ini berbeda Dit." Asha memberi jeda. "Dia seperti tersiksa. Mungkin juga dia kangen sama kamu Dit."

"Kenapa dia nggak angkat telpon saya Sha?" Radit menarik nafasnya.

"Cepatlah kembali, temui Hani. Aku yakin sekali Hani mencintai kamu."

Radit terkekeh kering. "Saya juga sangat berharap seperti itu. Terimakasih Sha. Selamat Sore."

"Anytime Dit, anytime."

Hubungan disudahi.

***

Mereka menatap Hani melalui kaca spion tengah mobil. Hari belum terlalu malam, baru pukul tujuh saja setelah acara nonton bersama itu selesai. Mata Hani menatap keluar jendela. Ekspresi wajahnya perpaduan antara sedih dan berusaha untuk baik-baik saja. Asha memang memaksa Hani untuk ikut. Agar wanita itu tahu, bahwa dia memiliki banyak teman yang mau dan bisa membantunya seperti dirinya sendiri. Ya, Asha mengerti bahwa merasa sendirian itu terkadang terasa berat.

Tangan Asha menyentuh lengan Tanan perlahan. Dia menatap suaminya dari samping seolah memberi isyarat bahwa Hani sedang tidak baik-baik saja. Lalu Tanan seperti mengerti apa arti tatapan Asha.

"Han, are you oke?"

Dahi Asha berjengit kesal. Kenapa Tanan menanyakan sesuatu yang sudah pasti.

"I'm okey." Hani tersenyum kecil menatap kakaknya.

"Okey, Han. Aku nggak suka basa-basi dan aku tahu kamu lagi nggak baik-baik aja."

"Sha..." Tanan protes mendengar Asha yang straight to the point.

"Let me do the talk okey." Wajah Asha langsung menoleh kebelakang. "Han, it's oke not be oke. Asal kamu bilang dan cerita. Menjadi orang yang ahli dibidang kamu sendiri nggak membuat kamu tahu tentang semua hal kan? Tapi kalau kamu sedang bingung, atau nggak tahu harus bagaimana, kamu harus tanya dong. Bukan diam aja dan jadi tambah menutup diri."

Hani terkekeh mendengar Asha yang semangat sekali. "Ya ya, aku nggak baik-baik aja. Paling nggak aku nggak denial kayak Asha yang jadi zombie dulu."

Asha tertawa juga. "Ya ya okey. Aku memang denial dulu. Dan kamu selalu ada buat aku, buat semangatin aku dan dorong aku untuk berobat. Karena itu sekarang aku mau ada buat kamu Han. Talk to me, please."

"Terlalu banyak yang terjadi dalam satu waktu Sha. Aku jadi bingung sendiri. Aku baru aja tahu kalau Kakekku yang kejar Mama dan Ayah, dan buat mereka celaka. Terus juga soal Radit dan Stephanie dulu. Aku percaya dengan Radit, tapi foto-foto itu sangat mengganggu. Apalagi keluarga Radit..." Hani tidak melanjutkan. Khawatir Tanandra akan marah jika mengetahui Mama Radit pernah menghinanya dulu.

"Kenapa keluarga Radit?" Tanan bertanya.

"Ssst...I do the talk Sayang." Wajah Asha berpindah lagi ke Hani. "Bereskan satu-satu. Pertama dan yang paling penting, soal keluarga Straussman. Kalian sudah berjanji akan memaafkan kejadian yang lalu kan? Apa sebenarnya yang membuatmu mengganjal Han?"

Hani menarik nafas dalam sebelum mulai berujar. "Terakhir aku bertemu dengan Robert, aku masih marah Sha. Saat ini, sedikitnya aku merasa menyesal. Karena entah kenapa, aku percaya bahwa Robert benar-benar merasa bersalah atas kejadian yang lalu Sha. Dia bahkan menangis." Dia diam sejenak. "Dan aku hanya berlari meninggalkannya saja. Mungkin dia masih membawa perasaan bersalah itu sampai sekarang. Apa yang harus aku lakukan Sha?"

Mata Asha menatap kedepan sesaat sebelum berujar, "Apa kamu tahu alamat Robert Straussman?"

"Aku bisa cari tahu."

"Ya sudah, tunggu apa lagi. Kita kesana malam ini."

"Maksudnya?"

"Han, kamu sendiri yang bilang kamu jadi terbeban karena pembicaraan yang nggak selesai kan? Ya selesaikan Han."

"Wow, kamu terdengar persis seperti Reyhani beberapa bulan lalu Sayang," senyum Tanan pada istrinya itu.

"Sa?" Hani menatap Tanandra seolah meminta pendapatnya.

"Aku setuju sama Asha." Sahut Tanan sambil satu tangannya menepuk kepala Asha sayang. "Kita akan temani Han, jangan terlalu khawatir, okey?"

***

Kediaman Robert Straussman terletak dipinggiran kota. Seperti yang mereka sudah duga, rumah itu besar dengan pagar tinggi mengelilinginya. Reyhani mendapatkan alamat Robert Straussman dibantu oleh Dika sang admin rumah sakit. Pintu gerbang besar yang terbuat dari perpaduan kayu dan besi tempa hitam itu terkunci. Hani akhirnya turun dari mobil ditemani Tanandra. Memijat interkom diluar yang tersambung dengan pos security didalam. Setelah memberikan keterangan, mereka menunggu. Lalu tidak berapa lama, pintu gerbang itu terbuka.

Bagian dalam rumah bahkan lebih besar daripada yang mereka bayangkan.

"Ya ampun Han, ini rumah untuk berapa keluarga ya? Apa kakekmu punya anak banyak Han?" tanya Asha spontan.

Hani hanya diam saja. Dadanya mulai berdebar.

Mereka sudah disambut oleh seorang laki-laki asing yang usianya sudah cukup tua. Dia berbicara dengan aksen Inggris yang kental sekali.

"Selamat Malam Nona dan Tuan. Saya Albert, panggil saya Al saja. Tuan Robert dan Nyonya Winda sudah menunggu didalam."

Asha menatap sedikit heran dengan sambutan sangat formal itu. Apalagi Albert menggunakan seragam hitam-hitam. Hangat tangan Tanandra yang menggenggamnya membuat dia tersadar kembali. Mereka masuk dan diarahkan pada ruangan besar seperti ruang kerja. Karena ada banyak buku-buku pada dindingnya, juga meja kerja besar diujung ruangan. Sedangkan ditengah ruangan terdapat sofa-sofa untuk menjamu tamu.

"Silahkan duduk."

Selama beberapa saat mereka menunggu. Asha menggenggam tangan Hani hangat.

"Hey, everything's gonna be oke. Tarik nafas dalam."

Lalu Robert dan Winda masuk kedalam ruangan.

"Selamat malam."

Mereka berdiri.

"Assalamualaikum," ujar Tanan.

"Wa'alaikum salam."

Tanan berinisiatif untuk memperkenalkan dirinya dan Asha. Mereka memang tidak paham bahwa Robert sudah tahu segalanya tentang kehidupan Reyhani. Termasuk sosok Mahesa Tanandra dan mamanya yang selama ini menjaga cucunya itu.

Sejenak Tanan membawa pembicaraan mereka dalam basa-basi ringan. Dia menanyakan kondisi Robert setelah operasi, juga mengobrol hal ringan lainnya. Sementara Asha sedikit menimpali dan Hani diam saja.

Albert kembali dengan nampan berisi jamuan lalu meletakkannya di meja hadapan mereka. Kemudian akhirnya Tanandra mengungkapkan alasan sebenarnya mereka datang malam-malam begini.

"Saya mengerti dan berterimakasih sekali karena Reyhani selama ini memiliki orang-orang terdekat yang luar biasa." Robert tersenyum sambil mengangguk setelah mendengarkan penjelasan Tanandra. "Albert akan mengajak kalian berkeliling rumah. Kami memiliki sejarah keluarga yang menarik sekali."

"Wow, saya nggak sabar," ujar Asha. Dia dan Tanan sudah berdiri dan mengikuti Albert keluar ruangan.

Hanya tersisa Hani, Winda dan Robert sendiri. Mata Hani menatap Robert dalam. Laki-laki yang sudah tidak muda itu masih terlihat gagah sekali dengan rambut putih dan garis-garis umur pada wajahnya. Sedangkan istrinya Winda, masih cantik dan anggun dengan senyum yang menawan.

"Kamu memiliki wajah Ibumu." Itu adalah kalimat pertama Robert. Matanya lekat memandang Hani. "Nama Ibumu Jennifer Charlotte Straussman. Aku memanggilnya Jenny. Dia cantik, cerdas, memiliki rambut coklat kemerahan alami dan juga seorang pribadi yang cenderung introvert. Tidak terlalu banyak bicara. Berbeda dengan Bibimu Desy. Desy selalu ceria, mudah bergaul dan punya banyak teman. Sementara Jenny selalu di rumah, belajar dan berkutat dengan buku."

Pandangan Robert menerawang. "Aku sangat menyayangi mereka. Teramat sangat. Aku berharap kelak Jenny bisa menjadi penerusku. Lalu semuanya hilang begitu saja saat Desy pergi dari rumah. Jenny tetap bersamaku, tapi menjadi lebih pendiam dari sebelumnya. Aku pikir semua masih berjalan sesuai dengan kenginanku, sampai aku tahu bahwa Jenny berhubungan dengan seorang laki-laki yang sudah beristri. Bayangkan, Jenny bukan hanya mengkhianatiku, dia juga membuat seorang laki-laki mengkhianati istrinya." Robert menghirup nafasnya. "Aku sangat marah dan mengusirnya pergi. Aku pikir Jenny akan bosan nanti dan akan meninggalkan laki-laki itu. Tapi, aku salah. Mereka memiliki anak."

Air mata Hani sudah jatuh menetes saja. Dia berusaha keras untuk mengontrol emosi dalam dirinya sendiri dan tetap duduk tegak menatap Robert yang juga sudah mulai berkaca-kaca.

"Apapun yang aku lakukan dulu, aku minta maaf. Aku tidak akan jadi pengecut yang tidak mau mengakui salahku."

"Itu bukan hanya salahmu. Itu juga salah Mamaku." Kali ini Hani yang membuang nafasnya perlahan. "Dia yang sudah melakukan kesalahan, jatuh cinta pada orang yang salah dan merebut Ayah dari keluarganya yang sah."

"Tapi itu karena aku yang terlalu keras dan tidak pernah ada untuknya." Dahi Robert mengernyit nyeri. Membayangkan waktu-waktu yang hilang dulu. "Aku menyesal karena sempat tidak menerima mereka kembali, menerima kamu kembali sejak dulu. Sampai akhirnya Jenny ketakutan padaku dan mengirimmu pergi ke tempat Desy. Lalu kecelakaan itu...padahal, aku hanya ingin meminta Jenny kembali ke rumah, aku hanya merindukannya. Tapi..." Robert sudah tidak bisa lagi melanjutkan kata-katanya. Air matanya sudah mengalir juga.

"Sayang sudah..." Winda menggenggam tangan suaminya erat. "Hani..." Lalu wanita itu menatap matanya. "Kami ingin meminta maaf atas segalanya."

Hani menghapus air matanya yang terus meluncur saja. Memaafkan itu tidak mudah, tapi juga tidak sesulit itu. Dia juga sudah bertekad untuk memulai sesuatu yang baru. Wajahnya kembali menatap Robert dan Winda yang duduk pada sofa diseberangnya.

"Saya, sudah memaafkan Mama dan Ayah." Hani kembali menghirup nafas panjang. "Dan saya juga, sudah memaafkan anda berdua."

Kemudian Robert berdiri menghampirinya. Refleks tubuhnya juga berdiri dan memeluk laki-laki tua itu yang juga sudah merengkuhnya. Moment intens itu berlangsung selama beberapa saat. Robert bahkan menciumi kepala dan kening Hani. Kemudian Winda ganti memeluknya juga.

Hani mengerti satu hal malam ini, keluarganya mungkin tidak sempurna. Tidak seperti keluarga lain di luar sana. Karena mereka hanya manusia biasa, yang berbuat salah, menyesal, meminta maaf dan berusaha memperbaiki dan memulai lagi. Sama seperti dirinya sendiri. Ya, ini adalah keluarganya. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro