28. Surprise Surprise
Laki-laki berparas nyaris sempurna itu berdiri gelisah. Dia baru saja tahu bahwa Tanubrata sudah mulai mencium gelagatnya. Bukan tentang apa yang dia sudah lakukan untuk memenangkan tender proyek chip pintar itu. Jika soal itu saja, dia akan membiarkan Adinata tahu bahwa dia bisa melakukan apa saja untuk menguasai pasar Asia. Indonesia adalah negara pertama. Setelah kesuksesannya nanti disini, dia akan meminta Robert untuk membiarkan dia memimpin Thailand dan Malaysia. Dia lebih risau jika Adinata tahu apa rencananya setelah itu. Rencana hebat yang dia sudah susun berbulan lamanya. Pamannya pasti akan senang.
Pintu kantornya diketuk lalu salah satu pegawainya masuk.
"Pak, ada kabar baru." Laki-laki itu meletakkan dokumen di meja.
Matanya sudah menelusuri foto-foto itu dan juga catatan dari informannya. Ini tidak bisa dibiarkan. Karena fokusnya sempat teralihkan, dia lupa bahwa ada satu langkah lagi untuk memastikan apa yang akan dia miliki nanti tidak pergi kemana-mana. Senyumnya terkembang.
"Kita akan mulai."
***
Erika mengernyitkan dahinya melihat informasi yang dia terima dari Hari. Perempuan ini bersih. Dalam artian hidupnya normal-normal saja. Berangkat pagi untuk bekerja, praktek atau operasi, makan siang bersama kawan-kawannya, dijemput pulang oleh Radit anaknya, juga terkadang mereka menghabiskan waktu bersama di apartemen Radit atau perempuan itu sendiri. Membosankan.
Setelah kejadian makan malam itu dia paham sekali bahwa kali ini Radit tidak main-main. Anaknya itu tampak bahagia sekali ketika bertemu dengan Dokter Reyhani. Foto-foto ini tidak bisa berbohong. Lalu dia turun dari mobilnya. Melangkah mantap menuju lantai atas.
Wajah anaknya terkejut ketika membukakan pintu. 'Surprise-surprise.'
"Wah Ma, tumben banget kesini."
Tubuhnya masuk saja sambil melangkah ke dalam sebelum Radit mempersilahkan. Matanya memindai pakaian rumah yang Radit kenakan. Anaknya itu terlihat santai sekali, tidak seperti sedang berkencan, tapi lebih pada sedang menikmati waktu bersama istrinya saja. 'Dasar wanita sialan.'
"Sayang, ada Mama datang." Radit berujar pada Hani yang sedang berada didapur, memasak.
Ya Tuhan, dia ingin melempar pergi wanita itu dari sini. Perempuan itu melepas apronnya lalu mematikan kompor.
"Siang Tante." Hani tersenyum canggung, tidak menyangka dengan kehadiran Erika.
"Siang." Wajahnya menoleh ke Radit. "Mba yang datang buat masak kemana?"
"Aku punya untuk bersih-bersih, aku masak sendiri. Mama lupa?" Radit paham benar Mamanya akan membuat ulah.
"Tidak, Mama pikir kamu sudah ganti dengan yang baru ini." Wajah Erika menatap Reyhani sesaat.
Tubuh Hani menegang, paham benar apa arti tatapan itu.
"Mama sedang bercanda Han. Dia juga salah satu penggemar humor satir seperti kamu Sayang." Radit sudah berada disisi Hani. Menggandeng tangannya untuk duduk di sofa. "Duduk Ma. Make yourself at home." Senyum konyol Radit terkembang saja.
"Apa Tante ingin ikut kami makan siang?" Tanya Hani sopan sambil masih menatap Erika yang sedang berjalan berkeliling apartemen anaknya.
"Apa kamu tahu apa yang saya suka?" Erika menatap Hani dengan pandangan meremehkan.
Hani sudah berdiri menatap tajam wanita dihadapannya ini. Dia akan menunjukkan bahwa dia memang bukan siapa-siapa jika dibandingkan dengan keluarga Tanubrata, tapi dia bukan wanita yang bisa dilecehkan begitu saja.
"Tinggi 160, berat badan sekitar lima puluh. Sudah memiliki dua anak namun tetap memiliki tubuh yang sempurna. Tebakan saya, anda suka dengan segala jenis salad. Besar kemungkinan anda vegetarian melihat bibir anda yang kemerahan alami. Olahraga rutin pastinya. Apa diagnosa saya benar?" Lalu Hani tersenyum manis. "Maaf, saya lupa jika anda bukan salah satu pasien saya. Terlalu lama menjadi ahli di bidang saya, terkadang saya suka kelepasan." Hani memberi jeda. "Apa Tante ingin ikut kami makan siang?"
Erika menatap Hani tajam. Kacamata hitam yang dia kenakan sudah dia buka. Wanita dihadapannya ini lancang sekali. Berani menantangnya dihadapan anaknya sendiri. Dia paham amarah sudah menguasai dirinya dan memilih untuk pergi.
Wajahnya menoleh sebelum Radit menutup pintu. Dia lalu berbisik. "Saya tidak akan pernah setuju."
Radit hanya tersenyum saja lalu mengangguk, "Selamat siang Ma. Hati-hati di jalan."
***
Tubuhnya berbalik sempurna setelah dia menutup pintu. Sedari tadi dia menahan rasa kagumnya atas apa yang Hani lakukan barusan terhadap mama. Sikap Hani itu...hhhh dia kehilangan kata-kata.
"Han..." Matanya memandang berkeliling namun Hani tidak ada disana. "Sayang..." Dia memeriksa balkon yang juga kosong. 'Kamar mandi?'
Pintu kamar mandi dia ketuk perlahan. "Han, Sayang. Kamu didalam?" Tidak ada jawaban. Lalu dia berusaha mendorong pintu itu perlahan dan terkunci dari dalam.
Helaan nafasnya dia keluarkan saja. Dia ikut merasakan kesedihan Hani yang mengunci dirinya di dalam kamar mandi.
"Jangan kunci diri begini Han. Biarkan aku masuk." Ujar Radit lirih sambil merutuki kelakuan mamanya tadi.
Lalu dia mendengar suara keran wastafelnya. Setelah beberapa menit Hani keluar. Bekas tangis jelas membayangi wajahnya.
"Oh God...I'm sorry." Radit berjalan mendekatinya.
"No...don't." Hani berjalan mundur.
Ekspresi wanitanya itu persis seperti dulu ketika Radit menyatakan cintanya. Hani seperti ketakutan dan saat ini sedang membangun bentengnya lagi. Benteng pertahanan diri yang sudah beberapa minggu ini Radit tidak pernah melihatnya.
"Sayang...maafin Mamaku."
"Aku yang harusnya minta maaf Dit, karena sudah terlena dengan semua ini." Hani berujar sambil melangkah untuk mengambil tasnya.
"Maksud kamu?"
"Mama kamu benar, ini bukan tempat saya." Tubuh Hani berbalik menghadap Radit lalu menghirup nafas panjang. Matanya terlihat sedih sekali. "Carilah wanita yang lebih baik dari..."
"No, jangan berani bilang begitu."
"Dit...saya bahkan..."
"Apa? Kamu mau bilang kamu bukan siapa-siapa? Bukan dari kalangan saya?"
"Apa kamu bahkan tahu siapa saya Radita? Saya cuma..."
"Anak haram hasil perselingkuhan?" Radit menggelengkan kepalanya tidak percaya. Matanya menatap Hani yang mengernyit nyeri. "Kamu pikir saya tidak tahu? Kamu pikir saya perduli dengan itu?"
Air mata itu jatuh juga. Bergulir turun melewati pipinya. Rasanya sakit sekali ketika mendengar Radit yang mengucapkan kalimat itu.
"Ini tidak akan berhasil. Maaf." Hani berbalik untuk pergi.
"Karena kamu percaya itu tidak akan berhasil! Saya bukan orang kerdil yang menilai seseorang seperti keluarga saya sendiri." Radit mengejar Hani. Intonasi suaranya gagal dia kendalikan.
Air matanya terus jatuh saja. Dia berusaha keluar dari apartemen Radit sementara tubuh laki-laki itu menghalangi pintu.
"Kenapa wanita suka sekali drama. Ya Tuhan Reyhani. Kamu pikir saya akan berhenti begitu saja?" Tangan Radit menahan tubuh Hani.
"Don't touch me." Hani mundur sambil menampik tangan Radit.
"Okey okey. But I won't let you go. NE-VER." Pintu dibelakangnya sudah dia kunci. "Selain anak haram hasil perselingkuhan, apalagi yang jadi alasan kamu untuk lari dari saya Han?"
Tangan Hani mendorong tubuh Radit kasar. Dia marah karena Radit berulang kali mengucapkan kalimat itu.
"Apa? Kamu pernah dibuang oleh Mama kamu? Dilarikan ke luar negeri? Kamu tidak diinginkan? Begitu?" Kata-kata Vena siang itu datang lagi ke ingatannya.
Satu tamparan mendarat di pipi Radit. "Brengsek!!"
"Ya, saya laki-laki brengsek yang mencintai kamu. Seluruh bagian dari hidup kamu. Dulu, sekarang, nanti. Apalagi yang kamu belum ceritakan? Apalagi alasan kamu Reyhani? Katakan pada saya rahasia terburuk kamu!" Nafas Radit sudah tersengal.
"Kamu janji untuk menunggu saya bercerita. Kenapa kamu bisa tahu?" Hani menangis sambil berteriak marah.
"Sampai kapan kamu mau bercerita hah? Sampai kamu meninggalkan saya? Sampai kapan saya harus menunggu? Kamu mau berlari terus dari ketakutan kamu? Kenapa tidak dihadapi saja? Saya ada disini, nyata. Saya siap jadi apapun yang kamu mau."
Tubuh Hani mundur kebelakang lalu duduk di sofa. Dia masih menangis sambil menutupi wajahnya.
"Kamu tahu? Ini persis seperti apa yang diharapkan Mama. Sebelumnya saya berpikir kamu tangguh sekali bisa menghadapi Mama saya seperti itu. Tapi saya salah, kamu bahkan tidak bisa mengatasi rasa takutmu sendiri."
Radit berjalan membuka pintunya. "Silahkan jika ingin pulang. Tapi jangan berharap kamu bisa lari dari saya. Saya akan temukan kamu dimanapun kamu berada Han."
Kemudian Radit melangkah masuk ke dalam kamar untuk menenangkan diri.
***
Robert menatap langit dari kaca jendela kamar rumah sakitnya. Tubuhnya perlahan pulih, namun rasa rindu itu makin kuat saja mencengkram hatinya. Melihat cucunya dari jarak sedekat ini, bicara dan berinteraksi dengannya, membuat Robert benar-benar ingin memeluknya saja.
"Sayang." Tangan istrinya sudah ada di bahu.
"Aku harus segera kembali bekerja Windy." Dia memanggil istrinya dengan nama kesayangan. "Berita dari Thomas mengusikku."
"Sayang, aku tidak mau kamu memaksakan kondisi kesehatanmu. Apapun itu bisa menunggu."
"Yang ini tidak." Dahi Robert mengernyit. "Tolong panggilkan Bapak Sardi." Dwi Sardi adalah pengacara keluarga mereka.
"Sayang, apa perlu? Apa harus sekarang?"
"Ya, aku harus bersiap-siap. Kamu selalu tahu bahwa selama ini kita membesarkan seekor serigala kan?"
Winda menghela nafasnya. Sekalipun tidak suka, dia paham ini sesuatu yang perlu dilakukan. Adrian Straussman adalah keponakan yang mereka besarkan seperti anak mereka sendiri. Namun ambisinya sungguh sangat tinggi.
***
Dia sudah selesai mandi dan membersihkan diri. Pikirannya masih kalut namun emosinya sudah lebih terkendali. Harum kopi dari cangkir yang menguar ke penjuru ruangan sedikitnya memberikan rasa tenang.
Apa-apa yang Radit ucapkan siang tadi sungguh membekas dihati. Laki-laki itu mencintai dia sedemikian banyaknya. Lalu sikap mama Radit juga masih jelas terbayang. Bagaimana tatapan meremehkannya, atau kemarahan yang dia tahan ketika dia pergi. Ya Tuhan, sebenarnya Hani tidak ingin jadi begini.
Tangannya memeluk kedua kaki yang sudah dia naikkan ke sofa. Dia tahu benar dia mencintai Radit, tapi bagaimana jika Radit nekat dan akhirnya memutuskan untuk meninggalkan keluarganya. Apa yang akan Radit lakukan? Kenapa laki-laki itu keras kepala sekali? Sekeras kepala hatinya sendiri yang saat ini sudah merindukan sosok itu. Bagaimana dia tersenyum konyol, melemparkan gombalan murah yang norak sekali tapi tidak pernah gagal membuatnya tertawa, atau perhatian-perhatian kecil Radit padanya, atau pada waktu-waktu mereka bersama.
'Oh God, I miss you.' Kakinya makin dia dekatkan ke tubuhnya. Dia berada di posisi itu selama beberapa waktu. Menikmati rindunya sendiri.
Bel pintu berbunyi. Matanya melirik jam dinding, jam sepuluh malam. Jantungnya mulai berdebar ringan. Apa ini Radit? Dia berjalan menghampiri pintu perlahan. Lalu tangannya itu mendorong pintu hingga terbuka. Wajah yang dia rindu ada disana. Menatapnya dengan kerinduan yang sama.
"Hai Hon. Surprise." Radit berujar dengan ekspresi wajah bersalah, lalu dia melanjutkan. "I'm sorry. Saya nggak mau kita bertengkar lama-lama."
Hani diam sambil menatap wajah laki-lakinya itu.
"Apa saya boleh masuk?"
Kedua tangan Hani merengkuh Radit dalam pelukan. Menenggelamkan dirinya sendiri disana, menghidu wangi yang dia suka, merasakan kehangatan hatinya sendiri yang berpadu dengan rasa nyeri. Tapi, dia lelah menghindar. Dia akan hadapi. Apapun itu, dia akan hadapi.
"I miss you." Ujar Hani lirih.
Tangan Radit makin merengkuhnya kuat.
***
Pasangan ini emang paling jago bikin jantung naik turun. Be ready for all the next part Genks!! Saran aja. Stay tune yah.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro