26. Heart stroke moment
Hani mengamati catatan ditangannya. Mereka sudah berada di ruangan terbaik yang ada di rumah sakit ini. Kamar VVIP yang luas beserta tempat tidur yang empuk persis di kamar hotel, seperti bukan di rumah sakit. Laki-laki berusia senja itu sedang berbaring di kasurnya. Sementara istrinya duduk di pinggiran kasur menyimak apa yang Dokter Pambudi sampaikan.
Mata Robert tidak beralih sedikitpun dari Reyhani, seperti takjub akan kemiripan cucunya itu dengan anaknya sendiri. Wanita muda dengan sorot mata yang cerdas, rambut kecoklatan dan paras yang cantik. Karena itu sejak dulu Jeny menjadi favoritnya. Pendiam, penurut, cerdas dan cantik. Sampai itu semua direnggut oleh orang lain. Dokter Pambudi menyadari hal ini lalu memperkenalkan Reyhani saja.
"Ini Reyhani, salah satu dokter bedah disini."
Mulut Hani bungkam sambil memandang Robert dan Winda bergantian. Dokter Pambudi melanjutkan dengan menjelaskan prosedur tindakan yang akan dilakukan serta persiapannya. Juga resiko dan kemungkinan-kemungkinan. Setelah selesai, dokter senior itu pamit. Hani berjalan dibelakangnya.
"Dok."
"Ya." Tubuh Pambudi berbalik.
"Apa saya bisa minta sesuatu?"
"Ya tentu, apa saja. Kecuali makanan dari luar rumah sakit pastinya." Dokter Pambudi tersenyum.
"Saya ingin minta waktu dengan dokter Reyhani."
Istri Robert membisiki sesuatu di telinganya. Winda masih khawatir dengan kondisi jantung Robert dan tidak mau meresikokannya lagi. Bisa jadi Reyhani mengamuk setelah tahu kenyataan yang sepertinya Robert sudah siap untuk beberkan saja.
"I'm okey Sweetheart. No worries oke?" Senyum Robert terkembang sambil menepuk pundak istrinya perlahan.
"Boleh, silahkan saja. Dia dokter bedah muda andalan kami." Pambudi menatap Hani sejenak lalu pamit meninggalkan mereka.
Pintu itu tertutup, lalu tubuh Hani berbalik menghadap Robert. Sulit sekali menahan yang dia rasa. Hantaman ingatan tentang surat dari mamanya berputar ulang. Juga seribu pertanyaan dibenaknya yang isinya kenapa, kenapa dan kenapa?
"Halo Dok." Robert tersenyum padanya.
Kaki Hani melangkah mendekat. "Halo."
"Nama saya..."
"John Robert Straussman." Hani melanjutkan kalimat Robert.
"Ya."
"Nama saya Reyhani." Suara Hani sedikit bergetar.
Robert tersenyum sambil mengangguk. "Namamu adalah Reyhani Abigail Straussman. Ayahmu orang Indonesia, dan tidak ada kewajiban untuk menyematkan nama keluarganya."
Salivanya sudah dia loloskan saja. Dia tidak boleh menangis, atau emosi, atau berteriak, atau bereaksi berlebihan pada pasiennya ini.
"Saya adalah..." lanjut Robert.
"Ayah dari Mama saya. Jennifer Straussman," potong Hani saja.
Mata Robert melembut, dia menatap lekat wajah wanita muda ini.
"Saya adalah kakekmu." Tangan Robert digenggam erat oleh Winda.
Tubuhnya masih diam terpaku. Mencoba mencari tahu jenis emosi yang berkecamuk dalam dirinya sendiri. Mulutnya mengatup rapat hingga dia tidak salah bicara dan meresikokan kesehatan pasiennya. Tapi sungguh ekspresi wajah Robert dan Winda yang menatapnya dengan segala rasa rindu, bersalah dan harapan membuat segala yang dia rasa juga mulai merayap perlahan. Menjalar dari hatinya yang nyeri dan menyusup diantara kedua matanya. Dia meloloskan salivanya perlahan. Berusaha menelan kembali air mata yang sudah merebak saja.
"Apa anda punya pertanyaan atas penjelasan Dokter Pambudi?"
"Tidak. Tapi saya..."
"Oke, saya akan kembali lagi nanti. Terimakasih."
Dia membalik tubuhnya cepat, secepat langkah kakinya sendiri. Ya Tuhan, ini menyesakkan dadanya.
***
Langkah kakinya panjang dan sedikit tergesa. Setelah pertemuannya dengan Robert Straussman di rumah sakit tadi, sungguh dia ingin sekali pergi saja secepatnya dari sana. Dia hampir saja berlari ke kamar mandi rumah sakit untuk menangis sebelum ponselnya berbunyi dan suster Reni mengingatkan jadwal prakteknya sendiri. Setelah selesai praktek, dia berharap hanya bisa pulang ke apartemennya dan memeluk Radit lama-lama.
Pintu sudah dia buka. Dia mendengar suara seseorang di kamar mandi dan menduga Radit sedang disana. Siapa lagi kan? Lalu dia meletakkan jas dokter dan tasnya di meja. Matanya melirik koper hitam ukuran cabin size yang ada di pintu kamarnya kemudian dia beralih ke arah meja makan. Diatas meja itu, sudah terhidang beberapa menu masakan khas Indonesia. Senyum tipisnya mengembang, Radit memang manis dan selalu perhatian.
Dia sedang berdiri di balkon kecilnya sambil menghirup teh hangat dengan lemon ketika harum segar dan maskulin Radit dia bisa baui. Seperti yang dia duga, kedua lengan kuat Radit sudah menelusup diantara pinggang dan lengannya. Radit mencium pipinya sayang sambil mendekatkan tubuh mereka.
"Hai Dok. Sudah pulang?"
"Kamu nggak kerja?"
"Tadi Papa manggil, tapi aku masih kangen kamu. Jadi, besok saja."
Hani menghirup nafas dalam kemudian membalik tubuhnya hingga menghadap Radit. Cangkir teh sudah dia letakkan di tembok balkon.
"Can I hug you?"
"Kenapa harus nanya sih?" Radit merengkuhnya kuat.
Kali ini Hani benar-benar memeluk Radit sepenuh hati. Tangannya melingkar di atas bahu Radit itu sementara wajahnya tenggelam disela-sela leher kuat laki-lakinya itu. Kemudian Radit mencium kepala Hani sayang. Entah bagaimana, dia bisa merasakan kegelisahan wanitanya ini.
"Ada apa Sayang?"
Pertanyaan itu dijawab oleh gelengan kepala Hani serta makin eratnya lengan Hani merengkuh tubuhnya. Sedikitnya dia paham Hani sedang resah sekalipun tidak paham apa penyebabnya. Radit hanya bisa berharap ini bukan persoalan laki-laki lain yang mengganggu.
"Kamu itu penuh misteri buat aku. Kita kenal sudah lumayan lama sejak kecelakaan Tanan. Tapi aku benar-benar baru tahu sedikit tentang kamu."
"Apa yang kamu tahu soal aku?"
"Lulusan salah satu ivy league college jurusan Medical School with full scholarship. Mmm...terus saudara tiri Mahesa Tanandra yang paling cantik dan disayang sama abangnya. Kamu selalu nggak mau terlihat seperti perduli dan pura-pura cuek, padahal kamu baik dan perhatian orangnya." Radit berhenti sejenak. "Teruss...cinta pertama kamu adalah laki-laki keren yang namanya Radita Tanubrata."
Hani sudah tertawa saja. "Yang terakhir itu asumsi, bukan fakta."
"Itu fakta, kamu belum sadar aja."
"Soal?" Mereka sudah bertatapan.
"Soal betapa cintanya kamu sama aku."
Senyum Hani terkembang lagi. "Dasar kepedean." Satu tangan Hani membenarkan letak rambut Radit yang jatuh begitu saja setelah mandi. "Kamu lucu banget kalau habis mandi."
Radit menempelkan dahinya pada dahi Reyhani. "I miss you so much...and I'm hungry,"
Hani terkekeh geli ketika hidung Radit menyentuh hidungnya. Sungguh apa yang dia risaukan tadi hilang begitu saja. Laki-laki ini selalu bisa membuatnya tertawa.
"Yuk makan dulu." Tangan Radit sudah menarik lengan Hani perlahan ke meja makan.
"Kamu pesan dimana?" Pakai ada sate ayam segala." Bangku ditarik oleh Radit sambil mempersilahkan Hani duduk.
"Aku tadi telpon Tanan buat nanya apa makanan kesukaan kamu. Dia bilang sate ayam." Senyum Radit terkembang mengingat betapa kesalnya Tanan mendengar rencananya hari ini.
"Ini salah satu definisi romantis menurut saya. Makan di sore hari dengan baju casual setelah pulang kerja dan dengan sate ayam yang kamu pesan pakai Gojek."
"Ditambah jus jeruk biar sehat Dok." Radit menuangkan jus dari dalam karton yang tadi dibelinya.
"It's perfect." Senyumnya lebar sekali karena hatinya menghangat. "Thank you."
"My pleasure."
Sambil duduk berhadapan, mereka lalu mulai makan saja. Setelah beberapa saat dalam diam karena menikmati suasana, Radit membuka suara.
"Aku mau terus begini." Ujar Radit.
"Maksudnya?"
"Menikmati hal-hal sederhana seperti ini bersama kamu."
Hani meloloskan salivanya, tiba-tiba dia diserang rasa gugup lagi. "Menurutku kamu berpikir terlalu jauh. Kamu bahkan belum tahu banyak soal saya, kamu sendiri bilang tadi."
Kunyahan Radit melambat, matanya menatap Hani dalam. "Saya bisa mencari tahu siapa kamu Han. Itu perkara mudah. Tapi, saya percaya kamu berbeda dan saya cinta kamu tanpa syarat apapun. Jadi, saya tidak terlalu perduli dengan itu semua." Radit memberi jeda. "Lagipula, saya ingin dengar semuanya dari kamu. Bukan dari informan saya. Saya akan menunggu sampai kamu siap dan mau menyampaikan sendiri ke saya tentang diri kamu, lebih banyak dari apa yang saya tahu sekarang."
Untuk Hani, itu adalah kalimat paling sempurna yang pernah Radit katakan padanya. Dibandingkan dengan kata-kata rindu atau cinta, atau bahkan sebutan 'tunangan' yang disematkan Radit pada dirinya. Kalimat itu mengandung segalanya. Ketulusan, rasa percaya, penghargaan atas dirinya, kesabaran, dan juga penerimaan tanpa syarat. Hal-hal itu membuat gerakannya melambat, sorot matanya melembut dan dia tersenyum.
Radit berhenti dari apa yang dia lakukan saat ini. Terpana pada ekspresi wajah Reyhani. Wanita itu tersenyum tulus dan bahagia sekali. Terlihat pada raut wajahnya jelas, sejelas debaran jantungnya sendiri yang sudah tidak beraturan. Kalimat yang dia ucapkan adalah apa yang dia rasa. Bukan karena dia ingin melucu atau bukan kalimat yang sengaja dia susun untuk memukau Hani. Kalimat itu meluncur saja, karena memang begitu adanya. Dia merasa bahagia ketika bersama wanita pintar ini, dia merasa nyaman sekali, dan lebih dari itu semua, Reyhani bisa membuatnya menjadi seseorang yang lebih baik lagi.
"God, you're so beautiful." Dua tangan Radit sudah menyatu di atas meja. Dia sudah kenyang, atau tiba-tiba dia tidak perduli dengan apapun yang dia kerjakan sebelumnya.
Hani terkekeh. "Kamu selalu pintar bicara Bapak Radita yang terhormat." Makannya dia lanjutkan. "Kok makannya berhenti? Kamu nggak mau satenya? Aku habisin ya."
"Enak aja." Radit juga kembali melanjutkan makannya sambil menggelengkan kepalanya sendiri. Berusaha mengusir rasa gugup yang tiba-tiba menyerangnya.
Setelah makan, Hani membersihkan diri. Sementara Radit asyik mengutak-atik remote TV di ruang tengah. Hani muncul dari dalam kamar sudah berpiyama warna biru lembut dengan celana pendek dan rambut yang basah.
"Sayang, keringkan rambutmu dulu." Mata Radit menatap Hani sesaat lalu kembali pada layar TV.
"Males. Aku capek banget." Hani duduk saja di sofa. "Kamu ngapain sih?" Mata Hani menatap TV juga. "Sejak kapan aku punya Netflix?"
"Sejak sekarang." Tadi aku minta Lina urus instalasinya. Dia mencium pipi Hani sesaat lalu meletakkan remote TV di meja dan berjalan ke kamar mandi.
"Radit, kamu itu ya. Ini kan apartemen aku. Lagian aku nggak punya banyak waktu untuk nonton TV. Jadi ini pemborosan." Seru Hani karena Radit masih berada di dalam kamar mandi.
Laki-lakinya itu keluar dengan hair dryer ditangan tidak menanggapi protesnya. Dia duduk di belakang tubuh Hani setelah menyambungkan listrik alat pengering rambut itu.
"Kamu mau ngapain?"
"Keringin rambut kamu." Radit sudah menyalakan alat itu lalu mulai mengeringkan rambut Hani.
"Dit...kamu kenapa sih?" Kepala Hani yang ingin menoleh sudah dipaksa untuk menghadap lurus lagi ke TV.
"Pertama, rambut basah kamu ini bikin kamu kelihatan terlalu seksi dan aku jadi kepingin. Kedua, kalau nggak dikeringin baju kamu bisa basah dan masuk angin Bu Dokter." Radit masih meneruskan apa yang dia lakukan.
Untuk kesekian kalinya, perasaannya menghangat dan senyumnya mengembang. Dia suka sekali dengan perhatian kecil Radit dan membiarkan saja Radit mengeringkan rambutnya sementara dia memilih tayangan yang akan mereka tonton.
"Kamu wangi banget ya Tuhan. Jangan salahin aku kalau aku nakal ya." Kecupan Radit mendarat di telinga Hani.
"Enak aja."
Rambutnya sudah kering lalu Radit meletakkan hair dryer pada tempatnya. Setelah itu dia duduk disebelah Hani. Wanita itu langsung saja bersender di bahunya sambil bergelung mendekat.
"Karena kamu manis banget hari ini, aku biarkan kamu pilih tayangan yang kamu suka."
"Aku suka kamu, gimana tuh?"
"Nggak ada tayangan yang namanya 'aku-suka-kamu' Dit."
Radit terkekeh juga sambil memindah-mindahkan pilihan tayangan itu. Hani makin mendekatkan wajahnya diceruk leher Radit. Menciumi bagian tubuh itu perlahan.
"Haan...aku pilih serial zombie nih kalau kamu bandel."
"Aku nggak ngapa-ngapain kok." Bibir Hani masih melanjutkan aksinya.
"Sayang, aku cowok yang sangat normal dan terbiasa melakukan apa yang mau aku lakukan ke perempuan yang aku suka dan sekarang aku sedang kepingin. So, please stop."
"Make me stop then, I dare you."
Remote sudah dia letakkan asal. Setelah itu tangannya berpindah ke dagu Hani dan mendongakkan wajah wanita itu agar dia bisa mencium bibirnya. Ketika bibirnya sendiri sampai, dadanya benar-benar bertalu bising sekali. Adrenalinnya terpacu bercampur dengan hormon-hormon menyenangkan lainnya. Apalagi tubuh wanitanya itu malah makin mendekat lagi. Meniadakan seluruh jarak yang ada.
Selama dua tiga menit mereka masih saling merasakan. Sampai Hani dengan beraninya naik ke atas pangkuan Radit. Membuat posisi mereka makin dekat lagi. Radit bahkan punya akses bebas ke bagian depan tubuh Hani.
Bibir Radit tiba di leher jenjang Hani. Merasakan setiap inchinya. Sampai akhirnya turun ke dada.
Apa boleh? Ini rasanya menyiksa. Mengetahui dia sangat cinta namun belum bisa menyentuh Hani. Kemudian dengan lancangnya kancing piyama itu sudah terbuka tiga. Memperlihatkan sedikit apa yang ada dibaliknya.
Mata Radit menatap Hani dalam. Sementara Hani sudah membuka matanya setelah sedetik sebelumnya terpejam. Tangan Radit menggeser piyama itu sedikit ke samping, ingin tahu pada reaksi Hani dan gilanya Hani masih diam saja. Dua tangannya sudah menyusup ke balik piyama bagian belakang, berusaha melepaskan kaitan baju dalam Hani. Makin gilanya, wanita ini malah mencium lembut bibirnya saja seolah menyetujui apapun yang Radit ingin lakukan. Lalu Radit membuka kaitan itu.
Dentuman pada jantungnya naik ke tenggorokan membuat dia menahan nafas. Ini pertama kalinya dia merasakan sensasi yang tercampur aduk menjadi satu. Cinta, sangat cinta, keinginan kuat untuk memiliki dan merasakan wanitanya, sementara dia mati-matian menahan dirinya sendiri karena sudah berjanji untuk bersabar sampai saatnya tiba. Dia tahu benar setelah piyama itu lepas dan jatuh ke lantai, dia sudah tidak bisa menahan dirinya lagi. Lalu, seolah semesta tahu apa isi pikirannya, bel pintu berbunyi.
Hani tersenyum sebelum menjauhkan dirinya sendiri dari tubuh Radit. Sementara laki-lakinya itu menghela nafas berat sambil bersungut kesal kemudian berdiri.
"Aku aja yang buka."
Piyamanya sudah dia benahi setelah Radit masuk lagi ke dalam apartemennya dengan sekotak pizza.
"Wow, kamu niat banget sampai pesan pizza segala. Tapi aku masih kenyang."
Radit sudah duduk di sofa dan Hani langsung bergelung mendekat lagi.
"Sayang, seriusan. Jangan mulai sesuatu yang kamu paham benar aku sangat mau dan bisa selesaikan." Ciuman Radit mendarat pada puncak kepala Hani sementara wanita itu terkikik geli.
"Aku mau nonton zombie seriusan. Atau film thriller lainnya." Ujar Radit dengan wajah kesal. Sekalipun begitu, dia merengkuh Hani mendekat juga. Matanya sudah menatap tayangan World War Z dihadapannya.
Tayangan itu tidak Hani perdulikan, dia asyik menatap wajah Radit dari samping. Harinya ini aneh sekali. Tadi di rumah sakit dia merasa sangat berantakan karena pertemuan dengan kakeknya itu, lalu dia merasa tenang karena kehadiran Radit, kemudian dia merasa bahagia dan juga bernafsu. Radit menyalakan sensor di tubuhnya walaupun dia tahu dia sendiri yang memulainya.
Dadanya sendiri masih bising, seperti jantung Radit yang bisa dia rasakan dengan tangan yang berada didada laki-laki itu. Tapi mata Radit yang serius menatap ke TV terlihat lucu sekali. Hani paham benar Radit sedang berusaha meredam dirinya sendiri setelah kejadian barusan.
"Kok pesan pizza malah nggak dimakan?" tanya Hani.
Kepala Radit menoleh sesaat lalu dia tersenyum konyol. "Pizza itu pembalasan buat kamu yang sudah bikin aku jantungan."
"Hey, aku ini pemakan segala jenis makanan Dit. Aku bahkan bisa makan pedas. Jadi, jangan berpikir jantungku bisa berhenti hanya karena pizza."
"Pizza yang ini beda." Radit tersenyum lagi dengan wajah jahilnya. "I dare you to open it." Matanya melirik sekilas pada box pizza yang masih tertutup itu seolah menantang Hani untuk membukanya.
Tubuh Hani sudah duduk sambil tersenyum juga. Dia membuat gerakan menyingsingkan lengan bajunya yang pendek seolah sedang bersiap-siap menerima tantangan Radit. Sedangkan laki-lakinya itu juga duduk menghadap ke samping memperhatikan Hani.
"Kamu taruh jalapeno disitu? Apa cuma itu? Siapa takut."
Tangan Hani membuka kotak pizza besar itu. Mengira bahwa Radit memesan pizza super pedas atau rasa aneh lainnya. Tapi...Hani harus mengakui bahwa pizza ini sungguh membuat jantungnya berhenti.
Pepperoni pizza berukuran besar itu memiliki lubang kecil ditengahnya yang sudah diisi kotak beludru berwarna hitam yang masih tertutup. Pada bagian atas pizza ada tulisan dengan mayonnaise 'Will you marry me.'
Refleks tubuh Hani adalah berdiri, matanya masih mengerjap tidak percaya. Ya Radit memang selalu berkata bahwa dia serius, Hani adalah calon istrinya, atau bilang pada semua orang bahwa Hani adalah tunangannya. Tapi...ini. Radit sungguh-sungguh menyatakan maksudnya yang selama ini Hani pikir Radit hanya bergurau saja.
Kepala Hani sudah menoleh lagi dan melihat Radit berlutut dihadapannya.
"Wajah kamu merah Sayang." Dia mengambil kotak beludru itu lalu membukanya.
"Dit..."
"Apa pizza nya terlalu pedas Nyonya Tanubrata?"
"No no. Jangan begini." Air mata Hani sudah meluncur saja. Dia kehabisan kata-kata.
"Dokter Reyhani..." Radit menggenggam tangan wanita itu. "...saya sudah terlalu sering bilang saya cinta kamu. Jadi sekarang saya juga mau buktikan. Ini bukan pertanyaan, tapi pernyataan...I will marry you, make you my wife and grow old together with you. What do you say?"
Hani tertawa sambil menangis. "I hate diamond ring."
"Duh, gimana dong. Belum lunas lho ini." Radit berkelakar saja. Kemudian dia berdiri sambil tertawa lalu memeluk Hani lama-lama.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro