24. The Letter
Dia sedang mengerjakan laporan administrasinya. Ya, dokter tetap harus mengisi berbagai jenis laporan atas tindakan yang dibuat, obat yang diberikan dan juga memeriksa data pasien-pasiennya. Bukan hanya melakukan tindakan operasi saja. Matanya menatap komputer ketika ponselnya berdenting. Satu email masuk dari sepupunya Rachel.
Hai Honey,
Apa kabarnya? Kenapa kamu menghilang? Apa kamu sudah menikah? Berapa jumlah anakmu? Kenapa kamu tidak kembali? Oh kamu sangat menyebalkan.
Hubungi aku.
Adikmu yang termanis
-Rachel-
Senyumnya terbit membaca email itu. Dia memang selama ini rutin mengabari paman dan bibinya. Sementara dia memutuskan hanya sesekali saja mengirimkan email pada Rachel dan itu terjadi tahun lalu.
Kemudian dia memutuskan untuk membalas email itu dan setelahnya menelpon bibi.
"Hai Aunty."
"Haaa...anakku tersayang." Desy tertawa disana. "Bagaimana kabarmu Sayang?"
"Aku baik."
"Apa kamu menelponku karena ingin mengundang kami ke pernikahanmu?"
Dia tertawa. "Bukan, bukan itu." Senyum tipisnya terbit. "Aku kangen kalian. Apa kabar San Fransisco?"
"Oh Sayang, sama seperti biasanya. Kapan kamu pulang?"
'Pulang...kata-kata itu membuat dahinya mengernyit. Dimana rumahnya sekarang? Disini? Atau disana?'
"Rachel mengirimkanku email."
"Dia sudah bekerja Han dan jadi sibuk sekali. Katanya dia sudah menemukan seseorang, tapi entah serius atau tidak. Kamu tahu Rachel."
"Bibi..." Ini terlintas begitu saja tanpa dia rencanakan. "Apa Bibi kenal Adrian Straussman?"
Selama beberapa saat, tidak ada jawaban.
"Sayang, apa kamu sudah membaca surat dari Ibumu?"
'Ya Tuhan, surat itu. Aku benar-benar lupa.' Ujarnya dalam hati.
"Akan kubaca nanti Bi. Tapi apa Bibi mengetahui sesuatu?"
"Kami merindukanmu Sayang. Bacalah surat dari Ibumu terlebih dulu. Kami menunggu kabar darimu setelah itu."
Hembusan nafasnya keluar begitu saja. "Okey. Aku akan hubungi Bibi lagi nanti."
"Baiklah. Jaga dirimu, kami mencintaimu."
"Salam untuk Paman Jeff, bilang aku merindukan salad buatannya."
Desy tertawa diseberang sana. Hubungan disudahi. Lalu matanya mulai mengecek jadwal penerbangan. Mungkin Asha benar, dia bisa pergi sejenak untuk menenangkan diri lalu kembali untuk memulai lagi.
***
Malamnya dia memutuskan untuk pergi ke rumah Mama. Sedikitnya bersyukur karena Radit sedang di luar kota, jadi mereka tidak perlu bertemu. Bukan karena tidak rindu, tapi Hani ingin membereskan urusan pribadinya satu per satu. Kalau dia tidak salah ingat, dia menyimpan surat itu di ruang kerja lantai atas rumah Mama. Ya, dia sudah memutuskan untuk membaca surat yang lima tahun lalu diberikan Tanan padanya.
Kenapa sekarang? Entah, mungkin dia merasa sudah jauh lebih siap. Karena semua yang terjadi seharusnya membuat dia lebih kuat. Atau dia memang sudah bertekad untuk menyelesaikan semuanya satu demi satu. Pertama adalah asal-usulnya. Dia sudah tidak mau berlari lagi tentang siapa dia sesungguhnya. Dia harus mengetahui yang sebenarnya dan benar-benar berharap jika surat itu bisa menjelaskan segalanya yang ingin dia tahu. Semoga saja.
"Assalamualaikum Ma."
"Wa'alaikum salam. Kamu sudah makan Sayang?" Diah membukakan pintu.
"Aku tidak terlalu lapar. Mama istirahat saja, aku tidak mau mengganggu. Aku ingin mengambil sesuatu di lantai atas." Dia mencium pipi Mamanya sayang.
"Apa kamu tidur disini malam ini?"
"Ya. Aku tidur disini."
Tubuh Diah menghilang di balik kamar kemudian dia melangkah ke lantai atas. Tangannya mulai mencari di laci-laci. Matanya melihat surat itu disana. Tubuhnya terasa lebih dingin dari sebelumnya. Dia mulai berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia sudah siap untuk ini. Lalu dia duduk di sofa kemudian membuka surat itu perlahan, berhati-hati. Ada kertas putih dengan tulisan tangan, juga foto-foto dirinya sendiri setiap tahun masa pertumbuhannya.
Dear My Beloved one,
Jika kamu membaca surat ini, itu berarti Mama sudah tiada. Sayang, mungkin untukmu tidak ada bedanya. Karena Mama tidak pernah ada untuk menemanimu selama ini. Untuk itu, Mama minta maaf.
Air matanya sudah jatuh saja.
Mama menulis surat ini bukan untuk membenarkan kesalahan yang Mama buat dulu. Sedikitnya Mama menyesal sudah melakukan apa yang Mama lakukan, tapi dibalik itu, Mama mendapatkan kamu. Kamu adalah hal yang terindah yang pernah terjadi dalam hidup Mama yang penuh dengan aturan dan sepi. Mama harap kamu tahu itu.
Mama bertemu Ayah bertahun yang lalu karena ketidaksengajaan. Andai kamu tahu betapa jatuh cinta membuat kami lupa diri dan melakukan kesalahan. Sekalipun kami tidak pernah menyesal dengan keberadaan kamu. Kami selalu mencintaimu dari jauh.
Sayang, seharusnya ini sudah saatnya kamu tahu siapa keluargamu. Kakekmu bernama John Robert Straussman dan Nenekmu bernama Winda Hadijaya. Kakekmu adalah seorang pengusaha yang sangat sukses di negerinya sehingga pergi ke Indonesia untuk memperluas bisnis dan bertemu dengan Nenek. Beliau berharap kelak Mama akan bisa meneruskan semua usaha keluarga sehingga mendidik Mama dan Desy dengan disiplin tinggi. Desy pergi lebih dulu dari rumah, kemudian karena rasanya sangat sepi Mama bertemu dan jatuh cinta dengan Ayahmu.
Selama ini, Mama dengan berat hati menitipkan kamu pada Desy. Karena Mama tidak ingin kakekmu tahu. Andai kamu tahu bahwa Mama sangat tersiksa karena keputusan itu.
Sayang, Mama harap kamu mengerti atas apa yang Mama lakukan dan bisa memaafkan Mama dan Ayah karena kami sungguh-sungguh sangat mencintaimu. Mama juga berharap bahwa Diah masih hidup saat kamu membaca ini. Jaga dan sayangi wanita hebat itu Sayang.
Mama berharap kamu bisa memaafkan keluargamu. Mama yakin baik Kakek dan Nenek tidak ada satupun dari mereka yang memiliki niatan yang jahat. Mereka hanya terlalu menyayangi Mama. Mama juga akan menyerahkan padamu apakah kamu ingin menemui mereka atau tidak. Mama tidak akan memaksa. Mama dan Ayah juga tidak pernah merencanakan semua ini dan berniat menyakiti hati Diah apalagi menyakiti hatimu Sayang. Kami jatuh cinta di saat yang salah.
Terakhir, Mama yakin kamu tumbuh sempurna karena Desy selama ini sudah menjagamu dengan baik. Foto-foto yang dikirimkan oleh Desy Mama simpan selalu. Karena...Mama selalu merindukanmu, sangat merindukanmu.
Maafkan kami sekali lagi.
Salam penuh sayang
-Jennifer Straussman-
Tangisnya pecah begitu saja. Tangannya juga bergetar. Dadanya sesak sekali karena matanya terpaku saja pada surat itu. Juga pada foto-fotonya dulu. Saat masih bayi digendongan mama dan ayahnya, saat dia pertama merangkak sementara ayahnya tertawa bahagia sambil menatapnya, atau saat dia berjalan sambil masih berpegangan pada tangan kuat mama dan ayahnya. Tiba-tiba saja rasanya hampa. Ya Tuhan, betapa dia sangat merindukan mereka.
Diah masuk saja. Dia sudah curiga dengan kedatangan Hani malam ini. Sekalipun dia tidak mengira bahwa Hani akhirnya akan membaca surat itu juga. Satu cangkir teh hangat yang dia buat sudah dia letakkan di meja kerja. Lalu tangannya merengkuh anak gadisnya itu. Memeluk Reyhani lembut. Gadis ini bahkan tidak mengingat pelukan-pelukan orangtuanya sendiri. Hani hidup nun jauh disana, disembunyikan tanpa tahu alasannya. Hati Hani baik, namun selama ini dia terluka. Hingga membuat benteng tinggi dan bersikap seolah-olah dia tidak perduli. Padahal Diah tahu, Hani perduli.
Selalu ada korban ketika orangtua melakukan kesalahan. Kali ini, korbannya adalah Reyhani. Ketika Diah tahu semua cerita itu, dia marah dan terluka. Tapi lalu dia berusaha untuk mengerti, bahwa ada gadis kecil yang lebih menderita dari dirinya sendiri. Karena itu dia meminta Tanan menyusul Reyhani. Agar Hani tahu, bahwa dia juga memiliki keluarga disini.
"Maafkan Mamaku Ma. Maafkan dia." Ujar Hani masih terisak saja.
"Mama sudah maafkan Jen sedari dulu Sayang. Sekarang, apakah kamu sudah memaafkan Mamamu sendiri?" Tangan Diah menepuk punggung Hani perlahan. Berusaha menenangkan gadis ini dari tangisnya.
Pelukan Hani makin erat, tangisnya makin deras. Tapi kepalanya mengangguk perlahan. Ya, dia sudah memaafkan Mama dan Ayahnya. Kemudian...setengah beban didadanya hilang.
***
Pagi itu Winda berjalan menuju ruang kerja suaminya. Dia membawa nampan berisi sarapan, obat dan juga suplemen. Ketika masuk, tubuh suaminya sedang duduk di kursi kerja dengan dahi yang mengernyit.
"Sayang, hentikan ekspresi itu atau dalam satu jam kamu akan terlihat sepuluh tahun lebih tua." Winda tersenyum sambil meletakkan nampan di meja.
Robert tidak bergeming dan masih menatap laporan-laporan itu saja. Matanya mengernyit, ada sesuatu yang salah. Angka-angkanya tidak cocok, seperti ada yang disembunyikan. Dia lalu menelpon Thomas.
"Thom, apa kamu sudah membaca semua laporan ini?"
"Ya, ada yang aneh bukan?"
"Kamu tahu sesuatu?"
"Kamu tidak akan suka ini Rob."
Lalu dahi Robert makin mengernyit dalam. Dia bahkan sudah berdiri saja sambil mendengarkan penjelasan Thomas diseberang sana. Winda menatapnya cemas. Kemudian kecemasan Winda menjadi kenyataan. Robert memegang dadanya, wajahnya pucat sekali, ponselnya terjatuh begitu saja. Satu menit kemudian, Winda sudah berteriak panik.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro