23. Let me go
Ini ada spoiler extra partnya Love, Hate and Something in between yah. Tidak bisa dihindari karena memang adegan ini harus ada. Biar pas alur ceritanya. Well, enjoy!
***
Sedan hitamnya menembus gelap malam. Menyusuri jalanan kota Jakarta yang mulai lengang. Ini sudah lewat jam sepuluh dan dia memutuskan untuk mencari Hani. Ponsel wanita itu tidak aktif dan dia juga belum kembali ke apartemennya.
Jauh didalam hatinya dia percaya bahwa Hani berbeda, bahwa wanita itu setia. Tapi sikap Hani yang abu-abu dan tidak pernah dengan gamblang mengatakan apa yang dia rasa membuat Radit berada diantara. Mengaburkan penilaiannya sendiri dan melupakan tentang bagaimana Hani selama ini berada disisinya.
Tapi kemudian ingatan tentang kebersamaan mereka satu minggu yang lalu datang. Membuat hatinya dicengkram perasaan bersalah. Atau bagaimana tadi ketika dia datang Hani masih mengenakan pakaian kerjanya, atau foto itu yang memang hanya menunjukkan sebuah makan siang biasa. Tanpa genggaman tangan, tanpa tatapan mesra dan tanpa masuk ke dalam kamar hotel. Fakta-fakta itu yang menampar wajahnya sendiri, betapa dia sudah menyakiti Reyhani.
'Ya Tuhan...what did I do? God...' Radit menghela nafasnya sambil tidak berhenti merutuki dirinya sendiri.
Sekarang dia cemas, pergi kemana Hani semalam ini. Barusan saja dia selesai menghubungi rumah sakit dan mereka bilang Hani tidak disana. Dia ingin menghubungi Tanandra tapi paham benar dia akan dibunuh oleh sahabatnya itu karena tahu sudah menyakiti adiknya. Tapi apa salahnya mencoba kan?
Tidak diangkat. Nihil. Ini sudah sepuluh kali. Tebakannya Tanandra sudah beristirahat. Lalu Radit ingat satu tempat. Rumah Mama Diah, ibu dari Tanandra. Dia melajukan mobilnya kesana.
Sudah hampir jam sebelas malam ketika dia tiba. Mobil Reyhani ada disana. Beberapa saat dia merenung sendiri. Apakah dia berani mengabaikan nilai kesopanan yang ada? Apa yang Mama Hani pikirkan nanti ketika dia bertamu selarut ini? Ah, dia tidak perduli. Dia tidak akan bisa beristirahat jika Hani belum memaafkannya malam ini. Jadi, tubuhnya sudah turun saja dari mobil kemudian melangkah ke pintu. Awalnya tangan itu ragu-ragu. Tapi kemudian mengetuk pintu itu perlahan. Selama beberapa saat dia menunggu.
"Assalamualaikum Tante. Saya minta maaf sekali karena malam-malam..."
Diah tersenyum mengerti sambil mengangguk saja. "Wa'alaikumsalam, masuk Dit. Hani belum lama sampai dan sekarang sedang di atas."
Langkahnya sedikit ragu namun dia tetap masuk. "Maaf sekali lagi Tante."
"Sudah sudah. Tante mengerti. Tante buatkan teh dulu."
"Tidak usah repot Tante. Apa boleh saya langsung ke atas saja?"
"Boleh, silahkan. Tante istirahat dulu ya."
Dia mengangguk sambil tersenyum canggung. Ketika mama Diah sudah masuk ke dalam kamar dia naik ke atas perlahan. Ini bukan kali pertama dia bertandang ke rumah ini. Sudah beberapa kali karena menjemput Hani dan mama Diah untuk menjenguk Tanandra di rumah sakit saat sahabatnya itu koma dulu. Tapi ini kali pertama dia naik ke lantai atas.
Pintu kamar tidur satu-satunya di lantai atas terbuka sedikit dan kamar itu kosong. Lalu dia beranjak ke ruang kerja di kamar lainnya.
"Han, apa aku boleh masuk?"
Tidak ada jawaban. Dia mengetuk lagi. "Han, aku ingin bicara. Sebentar saja." Volume suaranya dia jaga agar tidak mengganggu.
Masih tidak ada jawaban. Lalu Radit memutuskan untuk masuk saja. Dia menemukan Hani sedang berdiri di balkon kecil luar ruang kerja. Pintu geser dibelakangnya terbuka lebar. Wanita itu menatap ke atas langit malam. Membiarkan angin malam itu membelai rambutnya yang kecoklatan.
"Han." Radit berjalan mendekatinya dari belakang tubuhnya. Ketika sudah dekat, tangan Radit merengkuh Hani dari belakang.
"I'm sorry. Please forgive me." Bisikan Radit dekat sekali didekat telinganya.
Wajah Hani datar saja, tanpa ekspresi. Masih menatap langit di luar sana.
"Han. I'm sorry."
"I forgive you, but let me go."
Jantung Radit berdebar tidak menentu. "Apa maksudnya?"
Tubuhnya kaku dan dingin. Dia melanjutkan setelah meloloskan salivanya sendiri. "Kita sudahi saja. Saya tidak bisa bersama kamu lagi Dit. Kita kembali kepada dunia kita masing-masing. Sebelum kita bertemu dulu."
"No." Pelukan Radit makin erat. "Maafin saya. Bilang saya harus bagaimana Han."
"I forgive you, but let me..."
"No. I will not. Sampai kapanpun."
"Saya tidak setia, saya tidak cinta kamu." Suaranya sedikit bergetar karena rasanya sakit sekali. Tapi lebih baik seperti ini.
"Saya selalu berharap suatu saat kalimat kamu akan mengandung satu kata itu. Cinta. Tanpa awalan 'tidak', tapi dengan awalan 'saya' dan akhiran 'kamu'." Radit memberi jeda. "Saya tidak akan berhenti berharap. Jadi, sekarang saya tidak akan terima kalimat itu."
"Saya berharap kamu berpikir seperti sekarang kamu berpikir sebelum kamu datang ke apartemen saya tadi." Mata Hani terpejam sesaat, berusaha mengusir harum tubuh Radit yang masih mendekapnya hangat dari belakang.
"Saya minta maaf..."
"Saya berharap kamu percaya."
"Saya percaya Han...tapi..."
"Kamu tidak tahu siapa saya."
"Kalau begitu beritahu saya. Beritahu saya lebih banyak tentang kamu, semuanya."
"Saya tidak..."
"Saya mencintai kamu, sampai rasanya mau gila." Pelukannya makin erat. Dia tidak mau kehilangan wanita ini. "Jangan tinggalkan saya...tolong, jangan."
"Kamu akan..."
"...tidak baik-baik saja." Radit menghirup nafasnya panjang. "Reyhani, saya akan terus begini. Cemburu, kekanakkan, terburu-buru, tidak logis, dan semua itu karena saya takut kehilangan kamu. Karena saya mencintai kamu. Demi apapun itu."
Kepala Hani tertunduk saja, dia menangis terisak sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Entah kenapa dia percaya, dengan semua yang Radit katakan. Kenapa sulit sekali pergi dari laki-laki ini. Kenapa dia tidak bisa membencinya saja atau membuat Radit menjauhinya.
"Kenyataan itu, menyakiti saya. Karena ini tidak akan berhasil." Ujar Hani sambil masih terisak.
Tangan Radit membalik tubuh Hani agar berhadapan dengannya. "Oh God. Jangan bilang begitu. Maafin saya Han. Maaf."
Radit menenggelamkan Hani dalam pelukannya. Sementara wanita itu masih terisak perlahan. Mengeluarkan semua yang dia tahan. Air mata memang tidak menyelesaikan apapun, tapi bisa membuatnya sedikit merasa lega. Setelah beberapa saat tangannya mengalung juga di leher Radit. Dia juga suka, dia juga cinta. Tapi melarang keras dirinya bicara.
***
Setelah malam itu, Reyhani masih terus dihantui oleh insecuritynya. Diperburuk lagi dengan sikap Radit yang makin mesra, membuat dia resah. Karena dia juga suka tapi berusaha menyangkal apa yang dia rasa. Ini rumit untuknya, karena dia tahu hubungannya tidak akan memiliki masa depan. Dia takut ditinggalkan dan dicampakkan seperti ibunya membuang dia dulu. Jadi dia ingin pergi, tapi tidak kuasa juga. Ya Tuhan, kenapa ini jadi rumit sekali.
"Han..." Asha menyentuh lengannya. Mereka memang berjanji untuk makan siang hari ini. Lokasi rumah sakit tempat dia bekerja tidak terlalu jauh dari pabrik tempat Asha bekerja.
"Eh ya Sha." Senyum tipisnya terkembang sambil menatap wajah Asha.
"Ada apa Han?" Mereka sudah memesan makanan dan sedang menunggunya datang. "Kamu banyak bengong. Cerita saja Han, aku dengarkan."
Kepala Hani menggeleng perlahan. "Aku nggak apa-apa Sha."
Saudara iparnya itu tertawa. "Jadi ini rasanya melihat diri aku sendiri waktu Tanan koma dulu? Ingat nggak? Dulu aku bersikeras kalau aku baik-baik saja sementara kamu dan Jena sepakat kalau aku hampir gila. Sekarang wajah kamu sama stress nya Han. Ayolah Han, cerita. Aku saudara kamu sekarang." Asha menunggu Hani yang masih diam sambil menyesap jus jeruknya.
"Oke, aku tebak ya? Ini soal Radit?" Ujar Asha lagi.
"Aku sedang banyak berpikir Sha." Dia meletakkan gelas jus di meja hadapannya.
"Tentang?"
"Banyak hal. Mungkin aku akan ambil sub-spesialis lagi. Mungkin aku akan kembali ke San Fransisco saja. Aku kangen dengan paman dan bibiku juga."
"Kamu bisa tengok Paman dan Bibi kamu lalu kembali kesini untuk teruskan apapun yang mau kamu teruskan Han."
"Entah, sekarang Tanan dan Mama ada yang menjaga. Mereka punya kamu. Mungkin sudah saatnya aku kembali saja kesana."
"Apa yang kamu bilang Han? Lalu Radit bagaimana?"
"Apa kamu pernah ragu-ragu akan sesuatu Sha?"
"Sering. Tapi biasanya aku bercerita pada Jena dan dia akan membantuku." Tangan Asha menggenggam jemari Hani. "Kamu punya aku Han, Tanan, Jena. Kamu bisa cerita ke kami tentang keraguan kamu. Apa Radit menyakiti kamu? Kamu meragukan Radit?"
Hani tersenyum lagi. "Bukan. Aku ragu pada diriku sendiri." Dia memberi jeda. "Radit baik, terlalu baik sampai rasanya membuat aku resah sendiri."
"Karena kamu terus menolak kebaikan itu. Kenapa kamu tidak menerima saja Han? Apa kamu takut sesuatu?"
Helaan nafas panjang sudah ada disana. Makanan sudah datang kemudian Hani tenggelam lagi dalam pikirannya sendiri.
***
Weekend itu Asha mengundangnya untuk makan siang bersama dirumah mama. Kemudian Radit memaksanya untuk mengantar dan dia setuju saja. Makan siang bersama itu baik-baik saja. Sikap santai dan konyol Radit membuat Asha, Hani bahkan Mama Diah tertawa. Tanan memang banyak diam karena masih merasa aneh dengan keberadaan sahabatnya itu di rumahnya sendiri, sekalipun akhirnya dia tersenyum juga melihat Asha banyak tertawa. Hanya istrinya saja yang bisa menenangkannya.
"Enak banget masakannya Tante," ujar Radit.
"Iya nih, kesukaannya Esa. Kamu suka juga?"
"Saya jarang makan masakan asli sunda begini. Saya pikir awalnya Mahesa orang jawa lho Tante, karena namanya."
Diah tersenyum saja. "Ya, Ayah Mahesa dan Hani memang orang jawa. Tante yang orang sunda."
Asha membagikan dessert yang dia buat tadi pagi. Puding mangga segar dengan saus-nya. Hani ikut membantu sementara Tanan sedang berada di kamar mandi.
"Maaf, saya turut berduka untuk ayah Hani."
"Itu sudah lama Dit. Tante sudah bisa menerima. Memang kecelakaan itu tiba-tiba terjadi."
"Om meninggal kecelakaan?" Radit bertanya karena memang dia tidak tahu apapun tentang keluarga Hani dan Tanan.
"Ya. Kecelakaan mobil bersama dengan Mama Hani."
Asha melihat kegelisahan yang sama pada gerak-gerik Hani tiba-tiba. Sekalipun Reyhani diam saja, tapi senyum langsung pergi dari wajahnya. Radit juga menangkap hal itu lalu dia diam saja. Tidak ingin membuka apa yang masih Hani sembunyikan.
"Mama Hani orang asing. Mangkanya Reyhani cantik sekali. Betul nggak Dit?" Ujar Diah lagi sambil tersenyum pada Hani.
Radit tersenyum canggung.
"Ya, sayangnya dia nggak punya aturan dan main rebut suami orang." Mata Hani lurus menatap kedepan. Tiba-tiba wanita itu marah dan melempar kata-katanya begitu saja. Seperti mengingat apa yang terjadi dulu.
Tanan tiba bertepatan dengan keluarnya kalimat itu. Tubuh Tanan juga sudah berdiri kaku.
"Maaf, saya sudah selesai." Hani bangkit dari kursinya lalu pergi ke lantai atas. Tanan sudah menyusul saja.
Mama Diah tersenyum lagi. "Mama kayaknya salah ngomong Sha." Dia menoleh pada Asha yang juga serba salah.
"Udah nggak usah terlalu dipikirkan Ma."
"Maaf, mungkin ini karena saya membuka pembicaraan yang tidak perlu." Radit berujar perlahan. Dia benar-benar merasa bersalah.
Di lantai atas.
Tanan masuk ke ruang baca. Hani sedang duduk di sofa dua dudukan sambil memeluk dirinya sendiri. Asha benar, Hani resah sekali. Karena dia tahu benar Hani tidak mudah terpancing emosi seperti tadi. Dia duduk disebelah tubuh Hani.
"Ada apa?"
Hani menggeleng saja. Matanya yang kosong menatap kedepan.
"Kamu tahu, aku merasa hanya kamu saja yang paham benar bagaimana rasanya. Kita berbagi luka yang sama."
Senyum miris Hani sudah membingkai diwajahnya. "Aku bukan orang yang suka menyombongkan sesuatu. Tapi kamu...bahkan kamu nggak tahu persis apa yang aku rasa Sa. Maaf."
Satu tangan Tanan sudah merangkul Hani mendekat. "Believe me, I do. I feel you."
"Kamu anak sah Ayah. Sementara aku siapa? Apa kamu pernah berpikir soal itu?"
"Kamu sama sah-nya Han."
"Dimata siapa? Negara? Kamu tahu anak di luar nikah itu tidak sah di mata negara? Kecuali jika memang ayah menceraikan Mama Diah baik-baik dan menikah dengan mamaku baik-baik. Tapi bahkan itu tidak terjadi dulu. Karena itu aku dibuang, disingkirkan. Aku tidak diinginkan. Apa kamu tahu bagaimana rasanya?" Mata Hani sudah berkaca-kaca.
"Aku dan Mama menginginkan kamu. Kami adalah keluarga kamu sekarang, yang lain tidak penting."
"Itu untuk kamu Sa. Itu untuk kamu."
"Han..." Tanan menghembuskan nafasnya panjang. Kedua tangannya sudah merengkuh Hani dalam dekapannya. Mereka pernah bicara tentang ini dan selalu saja tidak selesai. Karena mereka sama marahnya dan belum bisa memaafkan apa yang terjadi dulu. Tapi Tanan paham benar, mereka bisa saling menguatkan dan menjalani semua ini saja.
Kedua tangan Hani juga sudah membelit di pinggang Tanan. Dia selalu suka pelukan kakak tirinya itu. Laki-laki yang selama ini dia kagumi, yang menjaga dan membela dia betapapun sulitnya situasi.
"Aku nggak mau buat Mama sedih. Tapi kalau Mama tersenyum begitu lalu melihat aku dan bicara seolah Mama kandungku sendiri adalah wanita baik-baik, aku merasa sangat bersalah Sa. Aku merasa benar-benar bersalah. Maafkan aku Sa."
"Ya Tuhan, aku sayang kamu sudah seperti adikku sendiri. Mama sayang kamu seperti anaknya sendiri. Jadi sudah, jangan berpikir aneh-aneh." Tanan mencium puncak kepala Hani sayang. "Semua yang sudah terjadi itu bukan salah kamu Han. Ingat baik-baik itu."
Mereka berdiam pada posisi itu selama beberapa saat. Paham benar saat ini yang bisa dilakukan oleh keduanya adalah saling menguatkan. Apa yang sudah terjadi pada keluarga mereka tidak bisa dihapus begitu saja, akan selalu ada, akan selalu disana.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro