22. Jealousy
Hari-harinya lebih berwarna sekalipun masih dengan kesibukan dan tanggung jawab yang sama. Radit tidak pernah gagal membuatnya tertawa. Atau terkadang bahkan memerahkan wajahnya. Dia seperti anak kecil yang sedang terbang tinggi dengan balon ditangannya. Euphoria atas hubungan barunya sungguh bertahan lama. Ya, dia bahagia sehingga melupakan apa yang diresahkan sebelumnya.
Siang ini dia sedang berada di nurse station dan memeriksa laporan hasil laboratorium salah satu pasien kecil ketika ponselnya berbunyi.
"Ya Ad?"
"Hai siang. Sudah makan?"
"Belum jamnya."
"Makan yuk."
"Kamu bilang begitu seolah-olah kamu sudah ada disini aja."
"Sudah."
Laki-laki itu berdiri dengan setelan jas abu-abu tanpa dasi sambil menutup ponselnya. Perawakannya yang tinggi serta wajahnya yang aristokrat dan matanya yang abu-abu membuat beberapa suster dan dokter wanita disitu tanpa sungkan melihatnya kagum.
"Ad. Kamu nggak bisa selalu todong saya begini."
"Ya habis, kalau nggak dipaksa kamu nggak akan bisa kan?"
Hani tertawa saja.
"Ayolah Dok. Hanya makan siang."
"Oke." Wajah Hani menengok ke arah suster Tina sejenak. "Sus, nanti saya cek lagi setelah selesai makan siang ya."
"Baik Dok." Suster Tina mengulum senyumnya sendiri.
***
Di salah satu restoran siang itu.
"Jadi, sedang sibuk apa?" Ujar Adrian santai saja.
"Kamu akan saya buat bosan dengan cerita tentang betapa banyaknya pasien saya."
"Try me." Adrian tersenyum.
"Oke. Kamu bisa pilih mau yang mana. Aku punya pasien kecil yang mengidap kelainan hati dan akhirnya sedang antri untuk dapatkan donor. Atau pasien peritonitis yang bandel sekali. Atau bagaimana kita punya antrian yang lumayan panjang untuk pasien diabetes yang menunggu dibuatkan akses untuk cuci darah. Atau..."
Adrian tersenyum. "Okey okey, makanan kita sudah mau datang. Saya benaran bisa kehilangan nafsu kalau kamu mulai bercerita detail nanti. Kamu benar, saya menyerah."
Hani tersenyum juga kemudian dia teringat sesuatu. "Ad, nama belakang kamu Straussman?"
Gerakan Adrian melambat, dia berusaha menutupinya dari Hani. "Ya, itu nama saya. Ada apa?"
"Adrian Straussman. Asal kamu darimana?"
"Saya nggak mau jawab lebih lanjut sampai kamu jelaskan apa alasan kamu bertanya."
Matanya menatap mata abu-abu itu. Dia tidak mau membuka siapa dirinya pada Adrian, tidak. Tapi dia penasaran sekali.
"Apa nama Straussman umum di negara ini? Harusnya tidak kan?"
"Kamu masih mencoba."
"Saya suka misteri, dan saya akan cari tahu sendiri."
Makanan sudah datang dan Adrian mengalihkan pembicaraan sambil berterimakasih pada pelayan yang mengantarkan ke meja. Hani memperhatikan gerak-gerik Adrian. Laki-laki ini menutupi sesuatu darinya.
Straussman, apa hubungan Adrian dengan mamanya? Apa nama belakang yang sama adalah sebuah kebetulan? Jika dia masih berada di Amerika mungkin ini akan dia abaikan. Tapi fakta kali ini, dia tidak bisa abaikan begitu saja.
Dia membuat gerakannya sehalus dan seluwes mungkin. Reyhani memang tidak bisa disepelekan. Wanita ini pintar. Pamannya akan panik jika dia tahu kemungkinan besar Reyhani akan balik mencari tahu tentang dirinya. Kemudian akan berujung pada kenyataan yang pamannya tutupi selama ini. Dan itu tidak bagus. Jadi, mungkin dia harus menjaga jarak sementara waktu.
***
Pintu ruangannya diketuk sore itu. Lina membawa amplop coklat besar sambil berjalan masuk.
"Pak, ada kiriman."
"Dari?"
"Saya tidak yakin. Tapi disini jelas tertulis untuk Bapak. Kurir yang mengantar."
Dahi Radit mengernyit heran. Tangannya sudah menerima amplop coklat besar itu. Lalu meminta Lina untuk meninggalkannya sendiri dan menutup pintu. Tiba-tiba, firasatnya tidak baik. Sangat tidak baik. Tangannya meraih amplop dan membukanya saja.
Foto-foto itu dia tarik keluar. Foto yang diambil dari kamera kualitas tinggi dan berwarna hitam putih. Adrian Straussman dan Reyhani duduk makan siang di sebuah restoran. Wanitanya itu tersenyum, sementara Adrian menatapnya juga sambil tersenyum. Dadanya berdetak tidak beraturan. Entah kenapa ingatannya tentang Adrian dan Stephanie datang lagi. Mencengkram hatinya sehingga sedikit sakit. Dia berusaha menghilangkan seluruh pikiran buruknya. Dia harus berusaha. Reyhani berbeda, dia bukan Stephanie.
Tangannya mengangkat ponsel. Hani tidak menjawab telponnya. Jarum jam menunjukkan ini pukul lima tiga puluh sore. Biasanya operasi yang terjadwal baru mulai dilakukan pukul enam tiga puluh. Kenapa Hani tidak mengangkat telponnya.
Kegelisahannya jelas sekali terlihat dari bagaimana tubuh Radit berjalan mondar-mandir di ruangan. Dia masih berusaha menghubungi Hani. Lagi dan lagi. Hingga pada hubungan kelima-nya telpon itu diangkat.
"Yes?"
Dahi Radit mengernyit. "Siapa ini?"
"Saya Dokter Farhan. Ini dengan siapa?"
Tangan Radit memijit kepalanya yang tidak sakit. Kenapa bisa Dokter ini lancang sekali mengangkat telpon Reyhani. 'Siaaal.'
"Saya ingin bicara dengan tunangan saya. Dia ada?"
Farhan tertawa. Tawa usil yang menyebalkan sekali. "Reyhani sedang tidur, disebelah saya. Dia lelah sekali."
"Terimakasih atas informasinya. Sampaikan padanya saya jemput dia malam ini."
"Saya tidak janji."
Ponsel sudah Radit matikan saja. Dia memukulkan satu tangannya yang terkepal keras ke meja kerjanya. Terlalu keras hingga Lina mengetuk pintunya lagi.
"Pak, apa Bapak baik-baik saja?"
Pertanyaan itu punya satu jawaban pasti, namun Radit memilih mengabaikannya. Dia menyambar jas yang dia sampirkan di kursi dan tas kerja kemudian berlalu saja dari situ.
***
Mobil sedan hitam Radit masuk ke parkiran rumah sakit. Towo si tukang parkir bertubuh kurus dan tinggi itu tersenyum ketika Radit menurunkan kaca jendelanya.
"Mau jemput ibu dokter cantik ya Pak?"
"Iya Wo. Saya bisa parkir didepan kan?" Ujar Radit dari balik kemudi.
"Bu Dokter sudah pulang Pak, tadi sama Pak Dokter Farhan diantar. Dari sejam yang lalu."
Senyum hilang dari wajah Radit. Setelah berterimakasih pada Towo dia berlalu.
***
Tangan Reyhani dingin sekali. Suasana hatinya berubah menjadi sangat buruk, benar-benar buruk. Mengetahui kenyataan bahwa pasien kecil favoritnya meninggal dunia hari ini karena donor hati yang tidak kunjung tiba. Dia ada disana, berdiri melihat semuanya. Ya Tuhan, ini benar-benar menghancurkan hatinya.
Setelah itu rasanya dia tidak ingin melakukan apa-apa. Karena dadanya sedikit sesak oleh rasa sedih. Harusnya dia tidak begini. Tapi dia tidak bisa menahan perasaannya yang terkadang sensitif sekali. Tapi ada operasi lain yang sudah dijadwalkan dari jauh-jauh hari. Kemudian dia memenuhi tanggung jawabnya saja dan ketika selesai seluruh tubuhnya rasanya lelah. Dia tertidur di meja kerjanya.
Ketika bangun Farhan menawarkannya untuk mengantarkan pulang. Dia memang tidak selalu berkendara. Kegiatan itu adalah bukan kegiatan favoritnya karena lalu lintas yang memang biasanya padat.
"Han." Tangan Farhan menggenggam tangannya. "Ayolah, jangan sedih terus. Kita hanya bisa berusaha. Tangan kamu sampai dingin begini. Mau saya temani makan malam?"
"Terimakasih. Tapi aku benar-benar ingin istirahat saja." Senyum tipisnya mengembang. "Terimakasih Farhan."
"Oke. Telpon aku kalau butuh teman curhat, okey?"
"Thanks ya, kamu baik banget." Dia turun dari mobil Farhan dan segera naik ke apartemennya.
Setelah masuk dia duduk di sofa. Memeluk dirinya sendiri. Entah kenapa semua insecuritynya datang lagi, menghantam cepat. Seolah kebahagiaan yang dia rasa beberapa hari sebelumnya terhapus begitu saja. Wajah pasien kecil tadi yang hanya ditemani oleh bibinya saja datang. Dia dan anak itu memiliki kesamaan, mereka ditinggalkan. Anak itu bahkan meninggal dunia tanpa ditemani kedua orangtuanya.
Lalu kenyataan pahit tentang hidupnya berputar ulang. Dia anak haram, anak yang tidak sah baik secara agama dan negara, bibinya Desy bahkan harus memalsukan beberapa dokumen untuk mengurus akta lahirnya dulu. Lalu Radit, bagaimana laki-laki itu sungguh serius dengannya, mencintai dia tanpa tahu siapa dia sebenarnya. Bagaimana jika Radit tahu, atau keluarga laki-lakinya itu tahu, mereka tidak bisa bersama. Tidak mungkin.
Pintunya diketuk. Dia melirik jam di tangannya. Jam sembilan malam. Tubuhnya berdiri sekalipun rasanya lelah sekali, siapa yang bertamu malam-malam begini. Dia membuka pintu. Radit ada dihadapannya dengan ekspresi datar dan tidak terbaca.
"Loh Dit?"
"Malam. Kenapa kaget? Apa ada Farhan di dalam?" Tangan Radit sedikit mendorong pintu itu.
"Kok ngomongnya begitu?" Pintu itu sudah dia tutup karena Radit sudah masuk saja. Ya Tuhan, dia benar-benar sedang benci drama.
Tubuh Radit masuk dan berkeliling apartemen Hani, seperti sedang memeriksa apakah dugaannya benar. Dia menatap Radit heran. Dadanya mulai berdentum keras. Bukan karena alasan yang baik, tapi dia mulai merasakan emosinya yang perlahan-lahan naik.
"Kamu cari siapa? Ini apartemen Reyhani. Bukan Farhan." Ujarnya dengan nada dingin.
"Entah, Adrian mungkin jika bukan Farhan." Mereka sudah berhadapan.
Mulutnya dia katupkan rapat-rapat sekalipun tangannya terkepal keras. Matanya menatap Radit tajam.
"Apa sudah cek di lemari saya? Siapa tahu mereka ada disitu?"
"Aku bicara bukan berdasarkan asumsiku saja." Tangan Radit menyodorkan foto-foto yang dibawanya. "Ini fakta. Kamu jalan dengan Adrian dan tadi bahkan ponselmu diangkat Farhan. Dia bilang kamu sedang tidur disebelahnya. Ya Tuhan Han." Kedua tangan Radit sudah terangkat dan memegang keningnya sendiri. Tubuhnya berjalan mondar-mandir gelisah.
Mata Hani menatap foto-foto itu. Hatinya sakit sekali, mengetahui laki-laki yang dia cinta tidak mempercayainya. Ini hanya makan siang biasa dan harusnya Radit tahu bahwa seharian ini dia di rumah sakit, bekerja. Lalu bagaimana jika Radit tahu fakta tentang keluarganya. Dia akan dibuang, ditinggalkan.
Tangannya sudah melempar foto-foto itu ke tubuh Radit. Air matanya sudah meleleh saja, perpaduan dari segala yang dia rasa hari ini keluar begitu saja.
"Ya, saya tidur dengan mereka. Lalu apa?"
"Han..."
"Saya tidur dengan mereka. Puas kamu?" Suaranya bergetar karena dia menahan isakannya.
"Jangan bohong..."
"Saya tidak berbohong, tanyakan pada mereka." Dia berjalan menuju meja mengambil ponselnya. Dia memberikannya pada Radit. "Hubungi mereka, tanyakan bagaimana rasanya saya..."
"Reyhani!!" Tangan Radit sudah mencengkram bahu Hani.
Kali ini tubuhnya ikut bergetar hebat. "Kamu tahu? Ini sia-sia Dit. Mari kita sudahi saja. Saya tidak setia."
"Bohong!!! Bilang sama saya kalau kamu bohong."
"Lalu? Apa kamu percaya? Sampai kapan kamu akan menyeret saya pada prasangka kamu sendiri?" Salivanya lolos juga dari tenggorokan. Bercampur air matanya sendiri.
Mata Radit sedih sekali, dia menyakiti Reyhani lagi. Tapi dia tidak tahan dengan apa yang dia lihat, dengan apa yang terjadi dulu dan tiba-tiba menghantuinya lagi. Reyhani adalah miliknya, miliknya saja. Kepalanya sudah menunduk saja tidak tahan dengan wajah Reyhani yang terluka. Kedua tangannya masih ada dibahu Reyhani.
Dia menghapus air matanya cepat. Paham benar menangis tidak akan menyelesaikan apa-apa. Tangannya melepaskan genggaman tangan Radit pada bahunya.
"Silahkan jika ingin tinggal. Siapa tahu nanti Farhan atau Adrian datang karena belum puas dengan saya." Kakinya berjalan cepat mengambil tas di mejanya. Lalu dia keluar dari apartemennya sendiri.
***
Yah kan Radit
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro