19. My silly man
"Han, masa ngambek terus sih? Katanya aku sudah dimaafin?" Ujar Radit yang sedang menyetir.
"Kamu kebangetan Dit. Sekarang aku kesal karena kamu seenaknya bohong dan telpon rumah sakit. Bilang kalau aku sakit dan nggak bisa visit."
"Habisnya aku khawatir kamu seharian nggak maafin aku, dan aku benar-benar nggak mau kamu pergi kemana-mana kalau kita belum baikan."
"Aku nggak maafin untuk yang ini." Tangan Hani terlipat saja.
Radit menepikan mobilnya.
"Loh kok berhenti?"
"Tunggu disini." Radit turun dari mobil dan masuk ke dalam minimarket. Ketika dia keluar dari minimarket itu, dia sudah membawa dua buah es krim dan satu botol air mineral.
Hani menggelengkan kepalanya tidak percaya. Radit masuk ke dalam mobil dan Hani menahan senyumnya. Laki-laki konyolnya itu menggunakan cara yang sama seperti dirinya sendiri.
"Jangan ngambek lagi. Nanti cantiknya hilang. Es krim mau?"
"Nggak."
"Yakin?"
Hani diam saja.
"Sebenarnya kamu maunya apa Han? Bilang aja kalau maunya aku, soalnya aku juga maunya kamu." Ujar Radit dengan senyum konyolnya.
Senyumnya dia kulum saja.
"Han...ayolah. Es krimnya enak ini." Radit sudah menggigit miliknya. "Nanti kalau kelamaan jadi cair, kayak hati saya sekarang ini. Mencair karena ngeliatin kamu."
"Radit...kamu tuh...hiihhh." Hani sudah memukul Radit sebal. "Apa dulu Asha kamu rayu begini juga?" Lalu senyum yang dia tahan terkembang juga.
Radit tertawa melihat Hani yang mengulum senyumnya.
"Jangan tahan-tahan ketawa. Nanti saya jadiin yang kedua lho."
"Radit apaan sih?"
"Yang kedua di urutan kartu keluarga."
Lalu tawa Hani lepas begitu saja. "Dasar laki-laki menyebalkan, aneh, cemburuan...hiisss..." Hani sudah mencubiti pinggang Radit kesal tapi tertawa juga.
"Mau saya lanjutin? Saya keluarin gombalan saya yang bahkan nggak saya bilang ke Asha."
"Radit aku nggak mau denger. Ayok jalan." Hani menutup telinganya.
Radit mulai menjalankan lagi mobilnya sambil masih tersenyum saja.
"Nama panjang kamu siapa sih Han?"
"Cari tahu aja sendiri."
"I think your name is google."
"What?"
"Yeah, because you got everything that I am looking for."
"Raddiiiiiiittt...."
Tawa Radit pecah saja melihat wajah Hani yang kesal namun juga tertawa.
***
Tangan Radit tidak melepaskan genggaman pada tangannya. Dia masih kesal tapi tetap berjalan disebelahnya. Cinta itu sangat lucu. Dua malam sebelumnya dia ragu, lalu rindu. Semalam dia kesal dan marah, lalu sekarang apa? Dia luluh begitu saja dengan tatapan mata laki-laki konyol ini. Menuruti keinginannya untuk menemaninya pulang ke apartment dan mandi. Setelah semalam laki-lakinya itu tidur di sofa apartemennya sendiri.
'Dasar menyebalkan.' Sungutnya dalam hati. 'Lagian kenapa gue nurut aja coba. Itu lebih aneh lagi kan?'
Radit memasukkan kode pada pintu apartemennya. Laki-laki itu mendekatkan bibirnya pada telinga Hani dan membisikkan sesuatu.
"Kode pintu apartemenku tanggal ulang tahun kamu. Maunya sih tanggal nikahan kita. Nanti aku ganti, tenang aja."
"Mulai lagi nih."
"Nggak. Tapi aku serius itu kodenya." Radit tersenyum sambil menarik Hani agar masuk ke apartemennya.
Okey, Hani memang tidak pernah merasa Radit adalah laki-laki dari kalangan atas. Karena sikap Radit yang konyol dan biasa-biasa saja. Sekalipun penampilan Radit memang selalu sempurna. Saat ini, dia memandang kesekeliling apartemen besar itu. Interiornya didesign dengan cermat, pemilihan furniturenya tidak sembarangan. Maskulin dan elegan. Juga wangi kayu yang menguar. Persis seperti bau tubuh laki-lakinya itu.
"Make yourself at home. This will be your home also in the future."
Hani mendengkus mendengar gurauan Radit namun tersenyum juga. Tubuhnya melangkah berkeliling ruangan. Ada tiga ruangan. Satu kamar dengan ukuran besar, satu ruang kerja dan satu lagi ruang olahraga. Mini gym yang nyaman sekali. Jendela besar di ruang tengah benar-benar langsung menghadap ke pusat kota. Hani yakin pemandangan dari sini indah sekali ketika malam hari.
"Kamu mau soda? Atau jus?"
Kakinya melangkah ke arah dapur mewah itu.
"Kamu bisa masak?"
"Bisa, sedikit. Mba yang datang hanya beres-beres saja." Radit mengeluarkan dua kaleng soda dari lemari pendingin. "Salah jawabannya, nggak bisa. Aku nggak bisa masak."
"Loh kok direvisi?"
"Biar kamu yang masakin."
Hani tertawa. "Kamu gombal sekali lagi aku pulang nih."
"Iya iya iya. Nggak lagi, nggak janji tapinya." Radit membuka satu kaleng soda dan memberikannya ke Hani.
"Radit," nada Hani memperingati. Dia meneguk minumannya.
"Habis aku suka dengar kamu ketawa Han. Beneran deh. Dan ini pertama kali kita benar-benar spend time seharian. Apalagi semalam habis berantem."
"Seharian?"
"Ini malam minggu Han. Kamu pikir aku akan antar kamu pulang malam ini?"
"Radit jangan bercanda."
"Ya Tuhan, salah bercandanya. Maaf. Tapi aku serius mau disini aja seharian Han."
"Ngapain?"
"Masak, makan, nonton serial di Netflix, atau aku punya Blu Ray, atau apalah." Radit minum dua tegukan.
"Atau apalah nya itu yang bahaya."
Radit menghembuskan nafasnya. Paham benar Hani masih ingat kejadian semalam. "Aku janji nggak aneh-aneh sekalipun aku akan merana banget."
Hani memutar bola matanya kesal. "Silahkan aja kalau berani aneh-aneh. Mahesa will kill you."
Radit mencium pipi Hani sesaat. "Aku nggak aneh-aneh karena aku sayang sama kamu, bukan karena aku takut sama Mahesa Tanandra. Got it?"
Wajah Hani memerah. Dia diam saja. Sementara Radit tersenyum lagi.
"Aku mandi dulu ya."
Kepala Hani mengangguk saja. Radit masuk ke dalam kamar. Sementara dia mulai membuka laci-laci di dapur, juga lemari pendingin Radit. Ingin tahu bahan makanan apa yang Radit punya untuk rencana memasak mereka.
Setelah tahu apa yang akan dimasaknya. Hani mencuci tangannya dan mulai memasak saja. Dia tidak mau berdiam diri menunggu Radit mandi.
***
Tubuhnya sudah terasa lebih segar. Dia masih merasa bersalah atas kejadian semalam. Awalnya dia takut sekali Reyhani tidak akan memaafkannya, karena itu dia nekat membajak waktu Hani hari ini. Sebelumnya dia sudah menyusun seribu rencana untuk meminta maaf pada wanitanya itu. Dia benar-benar tidak mau kehilangan Reyhani. Kali ini, dia akan memperjuangkannya hingga berhasil. Dan dia tidak main-main, benar-benar berniat menikahi Reyhani nantinya. Ketika wanita itu sudah siap.
Dia keluar dari kamar dan menemukan wanita kesayangannya itu sudah mulai memasak di dapurnya. Rambut Hani diikat keatas dan pipinya sedikit kemerahan karena uap panas dari rebusan air pasta. Tubuh Hani dibalut dress santai berwarna pink lembut dengan bunga kecil-kecil. Tungkai kakinya yang panjang dan tanpa alas itu terlihat indah sekali. Juga apron yang dia kenakan.
Kakinya melangkah ke area dapur. Memeluk tubuh wanita itu dari belakang lembut.
"Kalau begini boleh kan?"
"Aku lagi masak Dit."
"Perpaduan kamu dan dapur aku itu luar biasa." Radit mencium belakang telinga Hani. "Aku jadi tambah jatuh cinta. Gimana nih?"
"Pakai baju dulu Dit. Dasar bandel."
Radit terkekeh, paham benar dia masih bertelanjang dada dengan celana pendeknya. "Tanganku sakit Dok. Boleh bantu pakai baju nggak?"
"Salah sendiri kenapa pukul-pukul tembok." Hani membiarkan Radit mencium pipinya.
"Ayolah Dok. Kalau bukan kamu, siapa lagi yang pakaikan aku baju?"
"Radit, aku lagi masak."
Tangan Radit melepaskan tubuhnya sambil tertawa. "Okey okey." Dia mengenakan kaus yang sebelumnya masih dia pegang saja.
Tubuhnya duduk di kursi tinggi dekat dengan meja granit area dapur. Memperhatikan Hani yang sedang mondar-mandir memasak.
"Kamu mendingan bantuin aku Dit. Daripada senyum-senyum aneh begitu."
"Nggak mau. Aku mau menikmati pemandangan indah yang jarang sekali terjadi. Ini kayak seven wonder of the world lho buat aku. Jadwal kita bisa cocok, bisa spend time seharian, tanpa setelan jas. Baik itu jas aku dan juga jas dokter kamu."
Hani berhenti dan menatapnya sejenak. Wanita itu tertawa.
"Kenapa?"
"Rambut kamu habis mandi dan nggak on fleek begitu bikin wajah kamu kayak anak kecil, lucu. Dan ya, kamu benar. Kamu lebih lucu kalau pakai baju santai." Hani tertawa lagi. "Sekalipun aku kesal kalau kamu mulai gombal." Kemudian dia mulai bergerak lagi melanjutkan masaknya.
"Apa kamu masih tahan?" tanya Hani. Dia sedang menumis ikan tuna kaleng dengan olive oil, bawang putih dan jamur.
"Maksudnya?"
"Tahan dengan semua jarak diantara kita."
Kali ini Radit yang tertawa mendengar kalimat pilihan Hani. "Aku nggak tahan." Radit berdiri dan berjalan mendekati Hani. "Aku nggak suka jauh-jauh dari kamu." Tangannya membalik tubuh Hani sehingga berhadapan dengan tubuhnya sendiri.
"Maksud aku bukan itu Dit."
Radit sudah memeluknya lalu mencium pipinya. "Maksud aku itu." Bibirnya berpindah ke kening Hani, lalu turun ke hidungnya, kemudian ketika ingin tiba di bibir wanita itu, Hani membalik tubuhnya.
"Aku lagi masak. Nanti gosong."
"Kejam. Aku bahkan nggak dikasih bibir."
"Kita belum sampai disana."
Radit tersenyum sambil memeluk Hani dari belakang. "Aku nggak sangka kamu old fashion banget. Aku pikir..."
"Apa? Aku tinggal di US dan terbiasa dengan sex bebas? Kamu tahu nggak? Hanya wanita bodoh yang mau kasih semua itu cuma-cuma. Tanpa ikatan yang jelas, setelah itu laki-laki bisa bergunjing dibelakang mereka. Seolah wanita-wanita yang sudah tidur dengan mereka adalah sebuah trophy. Aku punya banyak teman dokter laki-laki dan aku tidak suka dengan guyonan mereka."
Hani melanjutkan. "You know Tracy, she's really a tiger in the bed. Or you know Sarah, her boob is big. She's so satisfying. Tahu nggak, kalau itu merendahkan, melecehkan. I hate that."
"Kamu nggak bisa salahin laki-lakinya. Itu insting Sayang."
"Betul, aku setuju. Tapi kita manusia itu diberi akal pikiran. Gunakan dong, jangan nafsu terus yang didahulukan. Kita bukan binatang kan? Aku lebih suka laki-laki yang...." Mata Hani menatap kedepan dan tangannya sudah mematikan kompor. "...laki-laki yang kuat cintanya. Diam, tidak banyak bicara. Hatinya hanya untuk satu wanita saja. Dan dia tidak pernah bergunjing soal wanitanya. Seperti Mahesa ke Asha, atau seperti Aryan ke Ndaru."
"Kenapa nggak ada aku nya?" Ujar Radit sebal. "Aku itu calon suami kamu lho. Aku benar-benar tersinggung."
Hani tertawa. Dia membalik tubuhnya lalu melingkarkan tangannya ke atas bahu Radit. "You are one of the kind. Cuma ada satu-satunya yang cemburuan, suka memaksakan kehendak, kalau marah nggak banget, CEO tapi bisa konyol banget." Kepala Hani mendekat lalu dia mencium pipi kanan Radit.
"Wow...itu ciuman pertama kamu untuk saya. Saya nggak akan cuci pipi saya seminggu."
Lalu Hani tertawa, dia banyak tertawa karena bahagia.
Sementara didalam kamar Radit, ponsel yang berada di atas nakas itu bergetar karena pesan yang masuk. Pesan dari Stephani Dirga.
Stef: Radit, saya ingin bertemu kamu. Tolong hubungi saya.
***
Manisnya mereka. Waktu nulis ini, senyum-senyum sendiri.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro