17. Distance
Musik mengalun lembut dari radio mobilnya. Pikirannya berkelana. Dia paham benar dia wanita dewasa yang mandiri dan bisa mengatasi segalanya sebelum ini. Ini apa? Sebelum dia jatuh cinta. Pada laki-laki baik dan konyol yang mempesonanya. Laki-laki yang bertahan dengan semua jauh dan dekat mereka, yang bersedia mengalah dan meluangkan banyak waktu untuknya diantara jadwal dan tanggung jawab yang besar dipundaknya.
Pertemuan dengan orangtua Radit satu minggu lalu terasa canggung sekali. Entah kenapa, dia tidak merasakan kehangatan yang sama seperti ketika dia bertemu dengan Mama Tanan dulu, atau Mama Asha. Erika Tanubrata baik dan sopan. Tapi terlalu sopan. Sehingga jarak itu ada. Atau apakah ini hanya perasaannya saja? Karena sejak awal dia juga sudah merasa ada jarak diantara mereka. Jarak karena sungguh dia merasa rendah diri dengan identitasnya. Tentang siapa dia.
Kecemasan itu ada karena dia mulai berharap. Bahwa cinta pertamanya ini akan berhasil. Dia ingin ini berhasil, karena dia mau bersama laki-laki itu saja. Lalu dia dilanda ragu, cemas, takut untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang menyakitkan di depan mata. Ya, dia memang terkadang terlalu skeptis dalam memandang sesuatu. Kemudian saat ini dia ragu untuk melangkah maju. Karena dia ingin melindungi hatinya dari rasa sakit itu. Sungguh, dibuang dan ditinggalkan itu benar-benar menyakitkan. Dia pernah merasakannya dulu dan dia tidak ingin merasakannya lagi.
Mobilnya dia parkir di basement. Harinya melelahkan, selalu begitu dan ini sudah satu minggu dia tidak bertemu dengan Radit. Sebagian telpon Radit dia jawab, sebagian lagi dia diamkan saja. Dia bingung, tidak mengerti harus bagaimana dengan apa yang dia rasa. Sekalipun tatapan mata Radit tulus dan yakin sekali. Oh, itu malah tambah menyiksa. Ponselnya berbunyi.
"Ad?"
Laki-laki itu tertawa diseberang sana. "Saya pikir kamu lupa sama saya Han. Saya di coffee shop bawah apartemen kamu. Saya tunggu ya."
Hani memijit kepalanya yang tidak sakit. Dia hanya ingin beristirahat malam ini tanpa harus berbasa-basi lagi. 'Duh Adriaan...hhrrghhh.'
Laki-laki itu sudah menyampirkan jasnya di kursi. Tubuhnya yang gym-shape itu bersender santai di kursi. Matanya yang sebelumnya menatap ponsel sudah beralih pada Hani ketika dia masuk ke dalam coffee shop. Hani hanya berharap Adrian tahu jika sekarang dia sedang memaksakan senyumnya.
"Hai Ad."
"How are you? Kayaknya capek banget?"
"Lumayan." Hani duduk di kursi kosong itu.
"Apa saya mengganggu?"
"Sebenarnya saya capek banget dan pingin tidur saja." Hani menatap sambil tersenyum.
"I'm sorry. Habisnya saya belum berhasil buat janji lunch atau dinner dengan kamu lagi sejak kasus buket bunga itu. Jadi ini spontan saja." Mata Adrian menatap wanita dihadapannya ini. Wajah Hani lelah, tapi senyum tetap menghiasi wajahnya. Kemudian dia menyadari bahwa tatapan mata Reyhani seperti sedang sedih.
"Han, kamu bisa langsung keatas dan istirahat saja. Maafin saya."
"Itu malah bikin saya tambah nggak enak Ad. Apalagi sebelumnya saya lupa dengan janji lunch kita."
Adrian tertawa. "Memang itu maksud saya. Jadi sedikitnya kamu merasa terpaksa dan tetap berada disini menemani saya minum secangkir kopi."
"God, kamu menyebalkan ternyata." Hani memutar matanya dengan wajah konyol.
"Kamu mau saya pesankan sesuatu?"
"Saya jarang makan malam. Biasanya hanya snack ringan atau langsung tidur saja."
"Croissant disini lumayan."
"Aku nggak yakin semalam ini mereka masih punya Croissant Ad. Sudahlah, aku baik-baik saja."
"Besok kamu ada acara?"
"Visit saja tapi nggak praktek. Kayaknya setelah itu saya mau tidur saja, hibernasi memulihkan energi. Senin pagi saya punya operasi yang penting banget."
"Belum apa-apa saya sudah ditolak lagi." Ujar Adrian. "Minggu?"
"Saya nggak janji Ad. Saya harus ke tempat Mama hari Minggu."
"Saya temani, mau?"
Hani menghela nafasnya. "Ad, kita belum sedekat itu."
"Belum. Saya suka kata-kata itu. Itu tandanya saya masih akan diberi kesempatan."
"Kesempatan apa?"
Sebelum Adrian menjawab tiba-tiba saja bahu Hani disentuh oleh seseorang dibelakangnya.
"Selamat malam."
Hani menoleh dan terkejut karena Radit sudah ada dibelakang tubuhnya Berdiri dengan setelan jas tanpa dasi. Kedua tangan Radit memegang pundaknya. Sejenak mata Radit menatap Adrian dingin lalu menatap dirinya sambil tersenyum.
"Sayang, ponsel kamu nggak aktif." Tanpa canggung Radit menunduk dalam dan mencium pipi kiri Hani.
"Wow, Radita Tanubrata. Saya nggak sangka bisa ketemu kamu disini."
'Pembohong licik.' Rutuk Radit dalam hati. Tubuhnya masih berdiri. Dia tidak sudi berlama-lama disitu.
"Halo Adrian, apa kabar?" Radit tersenyum. Paham benar dia akan meladeni sandiwara Adrian.
"Baik sekali. Kalian sudah kenal rupanya?" Gestur tubuh Adrian masih santai saja. Senyumnya bahkan terkembang sempurna.
"Dengan Reyhani? Oh ya, tentu saja Ad. Reyhani tunangan saya." Radit diam sejenak kemudian melanjutkan. "Sayang, kamu harusnya capek banget kan? Mau istirahat saja?"
Adrian tersenyum kecil. "Sebaiknya kamu menurut Han. Saya sudah dengar betapa posesifnya Radit dengan pacar-pacarnya dulu."
Tanpa sengaja tangan Radit menggenggam bahu Hani lebih keras. Hani paham apa artinya. Jadi dia tersenyum untuk mencairkan suasana.
"Maaf Ad. Mungkin lain kali kita bisa mengobrol lagi. Tapi saya benar-benar lelah sekali hari ini." Tubuh Hani sudah berdiri.
"It's oke, ini salah saya yang memang datang mendadak. Selanjutnya saya akan buat janji lebih dahulu."
Tangan Radit sudah menggenggam jari-jari Hani. Mereka sudah berdiri berdampingan menatap Adrian yang masih duduk santai menyilangkan kaki.
"Entah kenapa saya belum pernah dengar kabar pertunangan kalian. Padahal keluarga Tanubrata sering sekali mengadakan acara. Atau mungkin belum dirayakan?" Adrian tersenyum lagi. "JIka belum, saya tunggu undangannya."
Kalimat itu adalah sebuah tantangan. Radit paham Adrian tahu akan kebohongannya. Jadi dia akan membuat pertunangan itu jadi kenyataan, secepatnya.
"Pasti. Undangan akan saya kirimkan langsung ke kantormu."
"Ad, kami pamit dulu." Hani tersenyum lagi.
"Terimakasih Han. I will call you."
"Selamat malam."
Mereka sudah berbalik ketika Adrian berujar lagi.
"Oh iya Dit. Kemarin aku bertemu dengan Stephani. Dia menanyakan kamu."
Langkah Radit berhenti lalu dia membalik tubuhnya. Senyum sandiwaranya sudah disana. "Sampaikan salamku juga untuk dia. Malam Adrian."
Tubuh Radit berbalik lagi lalu dia berjalan keluar coffee shop sambil mencium tangan Hani yang dia genggam.
***
Di apartemen Reyhani
Jasnya sudah dia lepas dan dia sampirkan ke sofa. Dia duduk disana dengan cemas. Menduga dan menerka-nerka apa rencana Adrian kali ini. Kenapa Reyhani? Tidak mungkin Adrian jatuh cinta pada wanitanya itu. Pasti ada maksud dibalik sikapnya saat ini. Dadanya berdebar kencang. Bayangan-bayangan tentang foto-foto Adrian dan Stephanie dulu tiba-tiba saja muncul lagi. Bagaimana mereka tersenyum sambil masuk ke salah satu kamar hotel, atau bagaimana mereka makan siang bersama. Semua kenangan buruk yang berusaha dia lupa datang lagi menghantui, membuat hatinya tiba-tiba dicengkram ketakutan yang sama. Bahwa Adrian akan merebut Hani dari sisinya.
Reyhani menatap Radit yang seperti terputus koneksi. Matanya menatap kedepan dan wajahnya tanpa ekspresi. Dia belum pernah melihat Radit seperti ini. Tas sudah dia letakkan di kamar. Saat ini dia memutuskan untuk membuat kopi. Siapa tahu itu bisa sedikit menenangkan Radit. Setelah selesai dia meletakkan cangkir kopi itu di meja, lalu duduk disebelah Radit.
"Dit." Tangannya menyentuh bahu Radit lembut.
"Do you like him?" Pandangan mata Radit lurus kedepan.
Hani menghela nafasnya. "Apa kita bisa skip bagian saling cemburu? Karena aku pikir itu buang-buang waktu."
"Oke. Jadi aku bisa langsung ke intinya kenapa aku datang kesini?" Kepala Radit menoleh ke Hani. Ekspresinya masih dingin.
"Ya."
"Oke." Tubuh Radit berdiri dan tangannya menarik lengan Hani. Wanita itu tidak mengerti tapi mengikutinya saja. Dia membawa Hani ke dalam kamar.
Mereka berdiri berhadapan dan Radit langsung saja menarik tubuhnya mendekat. Tanpa basa-basi dia mencium Hani. Satu tangannya melingkar kuat di pinggang Hani dan satu tangan lagi berada di belakang kepala wanita itu. Menutup semua jarak yang ada.
Mata Hani terbelalak. Tidak menyangka Radit akan melakukan hal itu. Dia berusaha menjauhkan tubuh Radit.
"Radit stop."
"Kamu bilang aku harus to the point kan?" Tangan Radit memaksa, kembali mendekatkan tubuh mereka.
Dia cemburu melihat Adrian yang secara terang-terangan menantangnya, dia marah karena merasa sikap Reyhani selama ini abu-abu sekali, dia juga takut tentang kemungkinan kejadian dulu yang bisa saja terulang lagi. Semua perasaannya itu membuat dia lepas kendali. Alih-alih menjauhkan tubuhnya dari Reyhani, dia malah makin mendorong Hani ke arah kasur.
"Radit...lepas." Hani meronta kuat. Sekalipun paham benar tubuh Radit bukan tandingannya.
Mereka sudah berada diatas kasur dengan tubuh Radit menindihnya. Radit masih memaksa dan menciumnya. Hani paham benar Radit sedang frustasi, sekalipun tidak mengerti apa alasannya. Akhirnya dia memutuskan untuk diam saja. Tangannya berhenti meronta, kepalanya menoleh ke samping berusaha tidak perduli dengan apa yang Radit lakukan padanya. Hatinya terasa nyeri. Lalu air mata itu jatuh saja.
Bibir Radit sudah berada dilehernya, tangannya sudah membuka dua kancing kemejanya. Lalu laki-laki itu berhenti. Tersadar tiba-tiba karena dinginnya tubuh Reyhani. Dan juga...air mata itu. Reyhani menangis dalam diamnya. Dia menyakiti wanita yang dia cinta.
Nafasnya masih tersengal, emosinya masih ada. Tapi dia berhenti. Sesuatu yang berat seperti menghantam dadanya. Mungkin ini perasaan bersalah yang datang tiba-tiba. Kenapa bisa dia lepas kendali?
Tubuhnya bangkit dan duduk di pinggir kasur. Kedua tangannya sudah mengusap wajahnya perlahan. Dia merasakan tubuh Hani bergerak, lalu melihat wanita itu berdiri ingin keluar dari kamar. Satu tangannya sudah menahan lengan Hani.
"Just go." Hani berlalu sambil mengusap air matanya.
"Han...aku." Radit berdiri mengikutinya.
"Please...don't." Mata Hani terluka sekali. Dia berjalan menjauhi Radit dan mengunci dirinya di kamar mandi.
Tubuh Radit duduk di sofa. Menyesali semua kejadian tadi.
***
Erika Tanubrata duduk termenung di kursi meja makan rumah megahnya. Ponsel masih ada di satu tangannya. Dia baru saja menghubungi Hari, informan keluarganya. Untuk mencari tahu tentang siapa itu Reyhani. Dokter cantik yang memikat hati anaknya. Apa yang dia dengar, dia tidak suka.
Reyhani memang wanita yang terpelajar dan juga pintar. Lulusan salah satu universitas top di dunia dengan beasiswa, jurusan kedokteran. Saat ini profesi wanita itu pun bagus. Predikatnya di antara para dokter muda sangat baik. Tapi, Erika memang memiliki standar lainnya untuk menetapkan siapa pasangan untuk anak laki satu-satunya itu. Pewaris keluarganya.
Bibit, bebet dan bobot. Reyhani lolos untuk bebet dan bobot. Tapi bibit? Kenyataan tentang Reyhani adalah anak tiri dari Diah Lestari, juga fakta tentang Reyhani adalah seorang anak dari hasil perselingkuhan, sungguh membuat dia mencoret Reyhani dari kemungkinannya menjadi calon keluarga Tanubrata. Dia tidak akan membiarkan itu terjadi. Lalu tangannya yang menggenggam ponsel terangkat lagi.
"Sayang, apa kabarmu?"
Stephanie Dirga menjawab salamnya diseberang sana.
***
Sabar-sabar sama Radit ya Genks, dia pun manusia biasa yang punya insecurity-nya sendiri. Sama seperti Reyhani dan semua tokoh yang gue ciptakan. Mereka akan berproses untuk mengatasi ketakutan-ketakutan mereka satu persatu, juga halang rintang hubungannya mereka.
Radit Hani story itu bener-bener roller coaster ride. Akan ada twist di akhir cerita yang kemudian jadi pembuka cerita Saga-nya Daud.
So, siapin jantungnya and buckle up Genks. Enjoy!!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro