Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

15. I love you, yes I do

Pintu apartemennya diketuk, lalu dia membukanya. Ini bunga ketiga yang dia terima. Hani hanya menggeleng saja tidak percaya. Dia tidak mengerti kenapa Adrian melakukan semua ini. Mereka memang sudah dua kali bertemu setelah pertemuan pertama mereka dirumah sakit itu. Suatu malam tiba-tiba saja Adrian datang setelah jam prakteknya selesai dan mengajaknya makan malam.

Dia enggan, tapi paham benar jika dia menolak mungkin saja akan jadi berbahaya untuk rumah sakit tempat dia bekerja. Hah, dia merutuki kondisinya yang seperti terjebak. Dari dua pertemuan mereka, Hani sadar bahwa Adrian adalah sosok laki-laki yang ambisius. Sikapnya sopan dan sangat sempurna. Terlalu sempurna dan membuat Hani sedikit merasa tidak nyaman. Laki-laki itu mengajaknya makan di restoran-restoran mahal. Yang harga satu menunya membuat Hani menggelengkan kepala. Lamunannya terhenti karena ponselnya berbunyi.

"Yes?"

"Bunganya sudah sampai."

"Ad...ini berlebihan. Kita teman kan?"

"Ya. Kita teman, untuk sekarang." Ujar Adrian diseberang sana.

"Aku nggak nyaman dengan semua ini. Kita baru saja kenal Ad."

"Karena itu Han, aku mau kenal lebih jauh. Apa bisa?"

"Kamu lihat sendiri seperti apa jadwalku Ad. Aku tidak bisa."

"Aku jemput kamu hari ini untuk makan siang?"

"Nggak bisa, aku sudah ada janji dengan Mama. Sudah dulu ya."

"Reyhani, jangan marah. Aku akan berhenti kirimkan bunga. Tapi jangan marah."

Hani menghirup nafasnya panjang. "Posisiku sulit Ad. Kamu baik dan menyenangkan, dan kamu salah satu donator di rumah sakit tempat aku bekerja. Aku harap kamu tidak menggunakan alasan terakhir untuk berusaha memulai sesuatu denganku."

Adrian tertawa. "Itu yang aku suka dari kamu. Selalu jujur dan berterus terang. Kamu juga sangat pintar." Adrian juga menghela nafasnya disana. "Begini, aku akan stop kirimkan bunga dan memulai semua dari ulang."

"Maksudnya?"

"Aku akan memperkenalkan diriku sebagai Adrian saja. Bukan Adrian si donatur. Jadi kamu tidak perlu merasa tidak enak lagi. Bagaimana?"

"Adrian...ayolah. Kamu paham maksudku bukan hanya itu."

"Aku tidak paham, jelaskan maksudmu saat makan siang nanti. Okey? Aku jemput jam sebelas tiga puluh Dok."

Hani menghembuskan nafas kalah. Hubungannya disudahi. Belum sempat Hani bernafas lega, pintunya diketuk lagi. Dia meletakkan buket bunga itu di meja bersama dengan buket-buket bunga lainnya yang sudah seminggu ini dia terima.

"Morning My Lady." Sudah ada Radit berdiri didepan pintunya.

Dia terkejut dan berusaha menahan debaran didadanya. Kenapa jantungnya jadi berisik sekali? Jelas-jelas dia tidak mengidap takikardia.

"Hai." Mata Hani berlari. Tidak mau menatap wajah Radit dengan rambutnya yang wet look itu. Atau bagaimana penampilan casual Radit selalu terlihat sempurna di matanya. Ditambah lagi senyuman konyol yang sudah menghias wajahnya.

Hani paham benar, sudah seminggu ini dia merindukan Radit. Tapi menahan keras dirinya sendiri untuk menghubungi laki-laki itu. Sedikitnya dia merasa bersyukur karena jadwalnya yang padat membuat dia tidak terlalu terbawa suasana hatinya. Tapi sekarang, saat laki-laki ini berdiri dihadapannya seperti ini, reaksi tubuhnya sendiri tidak bisa dia bohongi. 'Ya Tuhan.'

"Saya nggak dipersilahkan masuk?"

"Oh ya." Matanya melirik ke arah buket bunga. Harusnya dia membuang bunga-bunga itu saja. Satu tangannya kembali menghalangi pintu. "Kita keluar aja."

"Saya mau masuk," ujar Radit.

Tangan Hani mengepal. Kenapa juga dia harus cemas kan? Radit bukan pacarnya. Akhirnya dia membuka pintu itu lebar dan Radit masuk saja.

Wajah Radit langsung berubah datar. "Wow, kamu suka sekali bunga." Dia berjalan ke arah buket-buket bunga itu. "Dari siapa?"

"Dit, kita..."

"Saya hanya bertanya. Saya tahu kamu mau bilang kalau kita tidak punya hubungan apapun. Iya kan?"

"Radit, bukan begitu maksud saya."

"Dari Farhan?"

"Bukan."

Tubuh Radit berbalik menatap Hani. Mereka berdiri berhadapan di ruang tengah apartemen itu.

"Saya harus bagaimana dengan kamu Reyhani? Bilang sama saya." Kentara sekali Radit berusaha meredam emosinya.

"Saya nggak tahu jawabannya."

"Kita sudah pernah bicara soal ini minggu lalu saat saya datang kesini untuk ambil undangan Asha. Saya jelas-jelas bilang kalau saya ingin memulai sesuatu dengan kamu. Dan itu maksudnya saya cinta sama kamu. Saya jatuh cinta sama kamu Reyhani." Radit mengulang kalimat terakhirnya.

Hani berusaha meloloskan salivanya perlahan. Detak jantungnya makin kacau. Bukan hanya karena pernyataan Radit, tapi juga karena kecemasannya sendiri. Lalu semua perasaan yang dia tahan seperti membuncah saja, membuat dia bersuara.

"Maafin saya." Lalu air mata itu lolos juga. Hanya satu-dua, karena dia sangat bingung saat ini. Bingung dengan segalanya.

Dia rindu dengan laki-laki ini, sangat rindu. Dia ingin memeluknya saja, tapi dia tidak bisa. Masa lalunya tidak bisa dihapus begitu saja. Tapi bagaimana dia bisa berlari dari apa yang dia rasa saat ini?

"Han...apa kamu tolak saya?" Radit menahan nafasnya. "Kenapa kamu nangis? Aku nggak mau kamu nangis Han." Tubuhnya maju mendekati Hani.

"No...don't." Hani mundur perlahan.

Radit berhenti. "Bilang ke saya, apa yang kamu rasa. Kalau kamu tidak suka, tidak punya perasaan yang sama, saya janji saya akan berhenti." Mata Radit menatapnya dalam.

Mereka diam diposisi itu lama-lama. Diam yang menyiksa. Sampai akhirnya Radit menghela nafasnya.

"God, it hurts. Okey, saya paham sekalipun kamu nggak bilang apa-apa. Saya pamit dulu." Radit melangkah ke arah pintu. Tubuhnya melewati tubuh Hani yang masih mematung berdiri.

Ketika tangannya mengulur untuk menggenggam handle pintu, dua tangan Hani memeluknya dari belakang.

"I miss you. Don't go."

Jantungnya seperti berhenti. Kepalanya menunduk melihat tangan ramping itu melingkar dipinggangnya. Setengahnya dia tidak percaya, namun sisanya dia sangat bahagia. Tubuhnya ingin berbalik.

"Jangan, begini saja." Hani menahannya.

Radit tersenyum lega. Tangannya sudah menggenggam lengan Hani kuat. Kemudian setelah beberapa saat dia melepaskan lengan Hani perlahan. Mereka sudah berdiri berhadapan. Radit merengkuh Hani mendekat. Memeluknya lama-lama.

"Can you say it again Han?"

Hani terkekeh sambil menghapus air matanya. "I miss you."

"I'm more then miss you." Radit mencium puncak kepala Hani sayang. Lalu turun ke pipi wanita itu dan ketika dia ingin mencium bibir Hani, wanita itu menutup mulutnya dengan satu tangan.

"Nope."

"Seriusan nggak boleh?"

"Nope." Hani menggeleng sambil menjauhkan dirinya dari Radit.

"Han, ayolah. Kita udah dewasa Han. Masa aku nggak boleh cium kamu?"

Hani terkikik melihat tingkah kekanakkan Radit. Dia menikmatinya.

"Sarapan dulu. Kamu belum makan kan? Pagi-pagi udah mesum."

"Ya Tuhan bahasanya. Kalau aku mesum, kamu udah aku angkat ke tempat tidur. Aku cuma mau cium kamu dan dibilang mesum. Kamu dulu tinggal di US kan?"

"Tidak relevan." Hani sudah menuang kopi itu di cangkir. Radit sudah memeluknya dari belakang.

"Lihat, kamu mulai mesum lagi."

"Serius kamu harus gunakan istilah yang lain sebelum aku mesum beneran."

Satu tangan Hani mencubit pinggang Radit yang membuat Radit mengernyit. "Sayang seriusan...kamu"

"Don't call me that." Tangan Hani sudah memukul lengan Radit yang berada di pinggangnya.

"Sayang-sayang-sayang-sayang..."

"Radit..."

Laki-laki itu mencium lehernya berkali-kali sampai dia geli.

***

"Jadi siapa yang kirimin kamu bunga?"

Mereka sedang berada di mobil Radit. Hani memang harus visit ke rumah sakit dan juga mengambil kebayanya untuk acara pernikahan Tanan dan Asha.

"Adrian. Salah satu donatur rumah sakit."

"Adrian siapa? Nama panjangnya maksudku." Ujar Radit was-was.

"Aku nggak yakin aku tahu nama belakangnya. Iya juga ya, kok aku kelewatan?" Hani baru saja menyadari kebodohannya sendiri.

"Tinggi, wajahnya eropa asia, bermata abu-abu?"

"Ya. Kamu kenal?"

"Adrian Straussman."

Reyhani bereaksi dengan nama belakang laki-laki itu. "Nama belakangnya Straussman?"

"Ya." Kemudian Radit diam, berusaha menerka-nerka tentang apa yang terjadi saat ini. Atau apa rencana Adrian Straussman dan kenapa Hani?

Sementara Hani berusaha memendam rasa penasarannya juga. Kenapa nama belakang Adrian sama dengan nama Ibunya. Jennifer Straussman. Harusnya tidak banyak yang bernama belakang Straussman di negeri ini kan? Apa ada kaitannya? Apa Adrian tahu sesuatu? Dia mulai menerka-nerka. Sekalipun masih tidak ingin percaya begitu saja.

"Aku baru nggak ketemu kamu dua minggu, sudah ada laki-laki lain yang masuk." Radit menggelengkan kepalanya kesal. "Lain kali kamu angkat dong telpon aku Han. Kenapa kamu nggak angkat dan nggak telpon balik?"

"Aku lagi padat banget Dit. Kamu telpon pas aku sedang visit, setelah visit aku lupa buat telpon kamu balik. Lagian kenapa jadi ribut Dit. Aku nggak ada apa-apa sama Adrian."

"Ya harus. Karena kamu ada apa-apa sama aku. Kamu nggak boleh ada apa-apa sama Adrian atau yang lainnya."

Hani tertawa. "Kamu sadar nggak sih kamu itu kekanakkan hari ini?"

Radit diam saja, kesal. Karena dia harus setuju dengan pernyataan Hani. Ponsel Hani berbunyi. Adrian.

"Han, kamu nggak lupa kita mau makan siang kan?"

'Ups.' Ya, dia melupakan permintaan Adrian itu karena masih merasakan euphoria-nya dengan Radit.

"Ad, sorry." Hani menggigit bibirnya cemas, dia terpaksa berbohong. "Saya tiba-tiba ada urusan dan harus pergi. I'm really sorry."

Radit menatap Hani kesal. Satu tangannya sudah menggenggam tangan Hani yang tidak memegang ponsel. Berusaha mengingatkan jika ada dia disebelah wanitanya itu. Hani hanya menoleh sejenak saja.

"Saya sudah di apartemen kamu. Kamu dimana? Apa bisa saya susul?"

"Ad, kita bicara lagi nanti. Okey. Maaf sekali lagi."

Hani menyudahi hubungan telponnya.

"Kamu bikin janji sama dia?" Genggaman tangan Radit menguat.

"Ya habis dia maksa Dit. Aku jadi bingung sendiri. Aku sudah tolak dan dia memaksa. Itu terjadi sebelum kamu datang dan jelas-jelas bilang kamu..." Hani tidak melanjutkan kalimatnya.

"Aku cinta kamu. Ya, memang benar. Apa kamu nggak bisa simpulkan sendiri dari semua perilaku aku sebelumnya Han?"

"Radit, sebelumnya kamu cinta Asha. Iya kan? Aku benar-benar nggak paham kalau..."

"Kalau aku sudah pindah ke lain hati. Apa kamu percaya Han?" Radit seperti sadar jika wajar saja Hani belum bisa mempercayai perasaannya sendiri. Tapi ini benar-benar terjadi. Dia jatuh cinta pada wanita ini.

"Aku nggak tahu. Apa kamu sungguh-sungguh?" Hani menarik tangannya dari genggaman Radit.

Radit menghela nafasnya. Semua ini tidak akan segampang yang dia kira. Dia tidak menyesal pernah mencintai Asha, tapi apa dia salah jika dia bisa melupakan gadis yang tidak mencintainya dan terus melangkah maju? Bertemu wanita lain yang sama menariknya lalu jatuh cinta? Paradigma cinta dan waktu tidak sama antara satu dan lainnya.

Mobilnya sudah dia pinggirkan saja. Tubuhnya menghadap ke samping menatap wajah Hani dengan ekspresi yang tidak bisa dia tebak.

"I love you Reyhani. I do. Ini terakhir kali saya akan bilang begitu. Karena sisanya saya akan buktikan saja. Tolong, jangan biarkan laki-laki lain punya kesempatan yang sama seperti yang kamu berikan ke saya sekarang. Saya pencemburu berat dan sangat egois terkadang."

Mata Reyhani membulat kaget. Dia tidak menyangka Radit benar-benar akan berbicara gamblang begitu. Lagi-lagi penyakit takikardia-nya kambuh.

"Do you want to say anything?"

Sembuh dari keterkejutannya, Hani tersenyum saja. "No question. Understand."

"Good. Tolong batalkan janji temu kamu dengan Adrian atau siapapun itu." Radit kembali melajukan mobilnya.

Lalu Hani tertawa. "Nggak bisa begitu dong Dit."

"Yes you can and you have to." Tangan Radit sudah menggenggam tangan Hani lagi. Kemudian meletakkannya diatas pangkuannya sendiri.

Hani hanya menatapnya dari samping saja. Mata Radit yang biasanya berbinar konyol, saat ini serius sekali. Itu sedikit, lucu. Tapi dia suka apa yang dia tatap. Juga, dia suka dengan perasaan yang selalu ada ketika Radit menggenggam tangannya.

Radit tahu dia tidak akan mengalah kali ini. Pada Adrian, atau siapapun itu nanti. Jika dulu Stephanie mempermainkannya, dan Asha tidak balas mencintainya, dia akan membuat Reyhani mencintai dirinya sebanyak apa yang dia rasa. Karena Hani balas menggenggam tangannya, karena Hani juga mulai merindukannya, karena pelukan dan perhatian wanita ini menghangatkan hatinya. Mungkin saja nanti Hani bisa mencintainya dan benar-benar jadi miliknya saja.

***

Ihhhiiiyyy...masih panjang perjalanan mereka ya. Nikmati turun naik dan segala problema mereka nanti. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro