13. The Good news
Bangunnya Tanandra membuat intensitas pertemuan mereka bertambah. Ya, semua orang masih merasakan euphoria bangunnya Tanan. Orangtuanya pun bahkan datang untuk mengucapkan terimakasih langsung pada sahabatnya itu. Mareno dan Arga juga sesekali menengok Tanan dan mereka berempat berkumpul di kamar rawat VVIP rumah sakit itu.
Kesalahpahaman mereka pun sudah usai. Radit benar-benar merasa lega karena saat ini dia paham apa bentuk perasaanya pada Sabila Asha. Dia sudah merelakan gadis manis itu bahagia bersama sahabatnya. Sudah tidak ada rasa sakit yang mendera, atau insomnia yang mengganggunya. Saat ini, semua kegelisahannya memiliki alasan yang baru. Bukan lagi Asha, tapi Reyhani. Dan sialnya, Hani adalah adik tiri Tanan yang Radit paham benar Tanan sangat protektif terhadap Hani. Persis seperti Galih kakak Asha.
Dia masih bertanya-tanya apa jenis hubungan Hani dengan Aryan. Karena jika memang mereka berhubungan, Radit tidak pernah tahu Aryan menjemput Hani atau pergi ke apartemennya. Hani seperti selalu sendiri selama ini. Jadi apa bentuk hubungan mereka? Teman? Tapi kenapa mesra sekali dan itu sungguh mengganggu Radit.
"Hai Dit." Aryan masuk ke dalam lift. "Nengok Mahesa?"
"Ya. Sekalian jemput Hani."
'Gue harus tanya apa hubungan mereka.' Ujar Radit dalam hati. Dia akan membuka mulutnya, ketika lift berhenti dan beberapa suster masuk. Dan sudah berbincang dengan Aryan saja.
Aryan berhenti di lantai empat. "Saya duluan Dit."
Radit ikut turun saja. Dia laki-laki dewasa dan tidak mau salah duga seperti kasus Galih dan Asha dulu. Itu akan sangat konyol sekali. Jadi lebih baik dia perjelas sekarang.
"Loh, kamu di lantai enam kan?" Aryan berjalan menyusuri koridor.
"Saya mau tanya sesuatu Aryan." Radit berjalan mensejajari langkah Aryan.
"Silahkan. Soal kondisi Mahesa?"
"Bukan."
Ponsel Aryan berbunyi. Laki-laki itu berhenti sejenak. "Sebentar, saya angkat dulu." Wajahnya menoleh sejenak kesamping sambil mengangkat telponnya. "Ya Ru." Aryan mendengarkan suara diseberang sana. "Kamu tunggu disana. Aku nggak ada jadwal operasi malam ini. Jadi aku bisa jemput kamu."
Aryan diam lagi sesaat lalu tersenyum. "Iya, okey. I love you Sayang."
Dahi Radit mengernyit heran.
"Jadi apa pertanyaan kamu?"
"Pacar kamu yang telpon?"
"Oh, istri saya. Saya harus jemput dia. Dia lagi reunian dan saya nggak mau ada cowok-cowok usil yang gangguin dia." Aryan terkekeh lagi.
Lalu, seketika itu senyum menghias wajah Radit. "Jadi kamu sudah menikah?"
"Ya, saya sudah menikah. Jadi kamu mau tanya apa tadi?"
"Oh itu. Saya mau mengucapkan banyak terimakasih soal Mahesa. Terimakasih banyak Dok." Radit mengulurkan tangannya.
Aryan tersenyum saja. "Kalian semua berlebihan. Bukan hanya saya tim dokternya Dit. Dokter Pram lebih banyak jasanya." Lalu Aryan menyambut genggaman tangan kuat itu. Mereka tertawa.
***
Di dalam kamar rawat.
"Oh God. Lo kenapa sih jadi sering nengokin gue begini?" Ujar Tanan menatapnya kesal.
Radit tertawa. Sungguh dia sedang bahagia mengetahui kenyataan hubungan Aryan dan Hani tadi. "Gue mau jemput Asha. Ya Sha?"
Gadis manis itu terkekeh geli saja. Lalu tangan Tanandra sudah menggenggamnya erat. "Pulang aja deh lo."
"Esa, kok nggak sopan sih?" Hani keluar dari dalam kamar mandi.
"Han, kamu bisa pulang sendiri kan?"
"Bisa." Hani sudah duduk di sofa yang berseberangan dengan Radit.
"Terus kenapa minta jemput Radit?" Tubuh Tanan duduk di kasur sementara dia menarik Asha mendekat. Seolah sedang melindungi gadis itu dari Radit. Pemandangan itu lucu sekali.
"Loh, aku nggak minta jemput kok."
"Iya emang. Gue kangen sama lo Ndra. Lo sensi banget sih." Radit menatap Tanan yang sedang bersikap sedikit kekanakkan menurutnya.
Bagaimana tidak kekanakkan, Asha ditarik untuk duduk diatas kasur dan tangan Tanan sudah melingkari pinggang Asha saja. Seolah Radit ingin membawa gadisnya itu pergi.
Hani berdecak kesal. "Sebel nggak sih lihat mereka? Udah cepetan nikah deh kalian. Jadi sekalian bisa pangku-pangkuan."
Kali ini Tanan tertawa. "Kamu cemburu?"
"Kamu emang kebangetan Ta." Ujar Asha sambil menggeliat berusaha melepaskan belitan tangan Tanan.
"Sayang, diam aja bisa?" Tanan bersikukuh tidak melepaskan Asha.
Radit tertawa lagi. "Kalo lo mau bikin gue cemburu, sumpah Ndra. Gue beneran nggak cemburu. Kesal iya karena tingkah kekanakkan lo sekarang. Kepala kebentur keras banget kayaknya. Coba Ibu Dokter tolong diperiksa lagi."
Hani tertawa saja. "Yuk kita pulang. Daripada jadi nyamuk." Tubuh Hani sudah berdiri dan mengambil tas nya.
"Yah, kalian jangan marah dong. Ta, kamu kebangetan deh." Wajah Asha sudah cemberut saja.
"Nggak apa-apa Sha, kita ngerti kok. Tanan lagi periode buka puasa, udah lima tahun kan?"
"Sial lo. Menyebalkan." Ujar Tanan tertawa juga.
"Han, sini dulu." Tangan Tanan sudah melepaskan Asha lalu gantian menarik Hani mendekat. Lalu dia membisikkan sesuatu di telinga Hani.
Wajah Hani sedikit terkejut lalu tertawa juga. "Nggak usah ikut campur urusan aku." Bisik Hani kembali pada Tanan.
Radit dan Hani sudah sampai pintu ketika tubuh Radit berbalik lagi. "Hey, inget ya. Ini rumah sakit. Bukan kamar hotel." Ujar Radit dengan ekspresi konyolnya.
Di dalam mobil Radit.
"Kamu lagi senang banget kayaknya. Kerjaan lancar?" Hani memperhatikan senyum Radit yang sedari tadi ada.
"Bukan. Ada berita yang lebih penting dari itu."
"Trump sudah bukan jadi presiden lagi?"
Radit tertawa. "Ya ya. Saya juga menunggu-nunggu saat itu."
"Wow, jadi kamu pendukungnya Hillary dulu?"
"Difficult choice. Saya pilih Homer Simpson aja boleh?"
Hani tertawa juga. "Apapun pilihan kamu, saya senang lihat kamu bahagia begitu."
"Really?"
"Ya. Karena kalau mood kamu sedang tidak bagus, kamu benar-benar menyebalkan."
"Han, apa boleh saya tanya sesuatu yang sedikit lebih personal?"
Wajah Hani berubah datar. Dia menghirup nafasnya perlahan.
"Apa kamu pernah punya pacar? Atau mungkin sekarang kamu sedang menjalin hubungan?" Tanya Radit hati-hati.
"Ya, saya sedang menjalin hubungan."
"Dengan?"
"Mahesa, Asha, Galih, Aryan, Farhan, juga Radit. Sekarang juga ada Jena, Alya dan gengnya itu. Saya sedang menjalin hubungan dengan mereka."
"Maksud saya, hubungan istimewa."
"Hubungan saya dengan mereka istimewa."
"Han, ayolah. Kamu wanita yang paling pintar yang pernah saya kenal. Kamu mengerti maksud saya."
Hani menatapnya. "Radit, apa bisa kamu tidak berputar-putar dan langsung pada intinya? Apa yang kamu maksud sebenarnya?"
Tenggorokan Radit tiba-tiba kering. Sebenarnya dia ingin memulai semuanya perlahan. Benar-benar perlahan. Langkah pertamanya adalah memastikan terlebih dahulu bahwa Reyhani tidak sedang menjalin hubungan istimewa apapun dengan siapapun. Karena dia paham benar dirinya itu sangat pencemburu. Jadi ketika Hani melontarkan pertanyaan yang tepat pada intinya seperti ini, dia tidak siap.
"Dit?"
"Saya..." Radit diam sejenak, berusaha menenangkan jantungnya sendiri. "Saya ingin tahu lebih banyak tentang kamu."
Mata Hani berubah sedih. Tatapannya berubah menjadi dingin. Tubuhnya dia miringkan sedikit ke arah jendela luar. Semua orang memiliki insecuritynya sendiri. Untuk Hani, masa lalunya adalah insecurity-nya. Siapa dia, siapa orangtuanya, atau bagaimana dia disembunyikan dan dibuang selama ini. Semua hal itu, membuat dia menutup rapat-rapat dirinya sendiri dari siapapun juga.
Radit menyadari perubahan gestur tubuh Hani. Wanita itu tiba-tiba diam. Bukan diam saat Hani sedang menikmati sesuatu, tapi diam yang dingin. Seolah Hani sedang membangun bentengnya sendiri tinggi-tinggi.
"Han..." Satu tangan Radit menyentuh lengannya lembut.
Tubuh Hani menegak, seperti menyadari sesuatu. Matanya terus menatap spion kiri. Sedan hitam dibelakangnya membuntutinya. Dia tahu benar karena plat nomor mobil itu dia ingat. Sedan yang sama yang diparkir tidak jauh dari mobil Radit tadi di rumah sakit.
"Dit, tolong belok kiri." Ujarnya sambil masih menatap spion itu.
"Ada apa?" Firasat Radit Hani sedang curiga akan sesuatu.
"Belok kiri didepan."
Radit menurut saja. Matanya melirik spion dibelakang. Sedan hitam pabrikan eropa itu juga membelok. Dia kemudian berbelok kanan dan sesuai dugaan sedan itu juga melakukan hal yang sama. Satu tangan Radit mengangkat telpon.
"Hari."
"Malam Dit."
"Saya butuh bantuan kamu. Cari tahu kepemilikan mobil dengan plat yang saya sebutkan ini." Lalu Radit menyebutkan nomor platnya.
Dia menepikan mobilnya disalah satu mini market didepan. Penasaran dengan pergerakan mobil tadi. Sedan hitam itu melambat namun tetap berjalan.
"Berapa lama Har?" Radit masih menelpon Hari.
"Besok pagi paling lambat. Saya cek dulu sekarang."
"Saya tunggu."
Hubungan disudahi.
"Siapa Dit?" Ujar Hani cemas.
"Entah. Saya belum tahu. Kamu saya antar ke rumah Mama ya. Saya nggak mau kamu sendirian di apartemen."
"Iya kalau orang itu buntutin aku. Kalau mereka buntutin kamu bagaimana?"
Radit tersenyum. "Jangan khawatir. Saya akan baik-baik saja." Radit menghirup nafasnya panjang.
"Han..." Dia menatap wajah cantik disampingnya itu.
"Hmm? Saya masih deg-degan. Khawatir."
"Saya bukan keluarga yang paling kaya di kota ini. Daud, Darusman atau Wiratmaja mungkin punya segudang musuh. Tapi sepanjang yang saya tahu, harusnya keluarga kami tidak punya musuh siapapun."
"Serius? Ada ya hal-hal seperti itu di dunia nyata?"
"Ada. Cuma memang biasanya dunia politik orang-orang kaya ditutupi dengan baik. Atau disamarkan dengan kejadian lainnya. Jadi nggak ada yang tahu. But it's oke. Saya sudah bilang kan, Tanubrata itu tidak masuk ke lima besar bahkan."
"Wow, sampai ada peringkatnya. Percaya nggak, kamu itu teman saya yang paling berada. Bapak wakil CEO yang terhormat."
"Saya Radita yang sama, yang konyol, usil, egois terkadang..."
"Juga pintar, menarik, bertanggung jawab, punya hati yang besar, sportif..." Hani melanjutkan.
Radit tertawa. "Saya bisa GR Han."
"That's just you." Hani menghela nafasnya. "So, go get yourself a girlfriend Dit. Saya yakin banyak perempuan di luar sana yang antri."
Kepalanya menggeleng ringan. "Saya selalu ditolak oleh perempuan baik-baik. Bahkan sebelum saya mulai berusaha. Mungkin saya kurang baik, jadi wanita baik-baik nggak ada yang mau sama saya." Wajah Radit menatap Hani sambil tersenyum.
"Bukan, hanya karena kamu pantas dapatkan yang terbaik dari yang paling baik. God must be very busy to find you one."
"Saya sudah temukan dan saya akan usahakan."
Sebelum Hani menimpali, ponsel Radit berbunyi.
"Ya Har. Sudah dapat?"
"Sudah. Kamu nggak akan suka ini Dit."
"Siapa?"
"Straussman. Adrian Straussman."
Tubuh Radit menegang. Apa yang laki-laki itu inginkan? Apa ini ada kaitannya dengan proyek yang sedang berjalan? Atau apa?
"Tolong pasang mata Har. Cari tahu alasannya."
Radit berusaha menutupi kecemasannya lalu menatap Hani. "Kita pulang ya."
Hani tersenyum juga.
***
Adrian menatap ponselnya. Ada foto wanita cantik itu sedang tersenyum dengan jas dokternya. Dokter Reyhani. Tanpa nama tengah dan belakang, hanya Reyhani saja. Padahal dia tahu benar nama lengkap Hani. Pamannya ada di negara ini, sedang mengawasi. Dia tahu dia tidak boleh gegabah.
Dia sudah menjalankan GT Techno bertahun lamanya di negara ini. Sehingga menjadi salah satu perusahaan teknologi asing yang bisa menyaingi ID Tech milik keluarga Daud. Dia bahkan berhasil mendapatkan kontrak kerjasama dari pemerintah yang konon tidak mungkin jatuh ke tangan perusahaan asing. Jadi, dia tidak ingin ini semua lepas dari tangannya.
Wanita cantik ini, harus dia miliki. Dia harus bisa menikahi Reyhani.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro