Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11. It is not a jealousy

Dua kali kemudian di minggu yang berbeda Hani datang lagi. Satu kalinya Radit akhirnya bisa meluluskan permintaaan makan siang Hani. Tapi sisanya tidak. Salahkan saja pada semua tanggung jawab gila yang ayah berikan padanya.

Lalu di minggu berikutnya Radit gantian menjemput Hani untuk pergi bersama ke rumah sakit.

"Loh, ngapain kamu disini Dit?" Hani melihat sosok Radit yang ada di lobby rumah sakit tempat dia bekerja.

"Iseng." Radit menggoda.

Hani mengernyitkan dahi sambil melirik jam tangan di pergelangannya. "Sorry, tapi apa kita punya janji? Saya bukan tipe pelupa soalnya."

"Nggak, nggak ada janji. Cuma ingin membalas kunjungan-kunjungan kamu aja."

Lalu Hani tersenyum dengan ekspresi bersalah. "Ya Tuhan, jangan salah sangka. Saya terkadang memang spontan saja. Apalagi kalau saya ke MG lewat daerah perkantoran kamu. Jadi kamu nggak perlu repot-repot begini."

"Saya nggak merasa repot. Yuk."

"Dok, hasil lab buat operasi besok sudah keluar. Kita jadi makan kan?" Tiba-tiba ada seorang dokter laki-laki yang tidak sengaja lewat dan bicara pada Hani.

Hani menolah dan tersenyum pada rekan seprofesinya itu. "Besok sama kamu kan?"

"Pastinyaa...kita pasangan serasi. Makan yuk, kamu dari siang belum sempat makan kan?" Mereka berdiri berhadapan didepan Radit. Itu membuat Radit mulai gusar.

"Tahu dari mana?"

"Kata suster Reni makan siang kamu utuh di meja. Ayuk makan, nanti kamu sakit sebelum operasi penting besok." Farhan sudah mengamit lengan Hani.

"Eh, tunggu dulu. Saya ga bisa." Hani menoleh pada Radit dan Farhan. "Sorry, saya harus ke MG."

Radit berdehem, ingin memberi isyarat pada dokter menyebalkan itu bahwa dia ada disitu.

"Kenalin Han, ini Radit teman saya."

"Oh hai. Saya Farhan, pasangannya Hani di rumah sakit ini." Farhan tersenyum lalu mengulurkan tangannya yang langsung digenggam kuat Radit.

"Radit."

Hani tertawa saja. "Dasar menyebalkan. Sana, kamu makan aja. Aku cek hasil lab dulu terus langsung balik."

"Yah Han...", protes Farhan. Lalu kepalanya menoleh ke Radit sambil tersenyum konyol. "Lihat, saking cocoknya saya dan Hani, nama panggilan kita bahkan sama."

Radit tidak menanggapi kalimat itu dan malah memasukkan kedua tangannya ke kantung celana. Entah kenapa dia mulai kesal.

"Jangan merengek kayak bayi. Sana, kerja lagi."

"Saya nyerah kali ini bukan karena saya mau. Tapi karena saya sudah ada jadwal lagi." Farhan mengambil ponselnya yang berbunyi dari saku celana. "Oke, abis operasi besok kita makan malam. See you Sweety." Sedikit terburu-buru Farhan berlalu sambil mengangkat ponselnya.

"Saya tunggu di mobil." Radit berbalik saja kemudian juga berlalu.

Di dalam mobil.

"Ini nggak efisien Dit." Hani membuka pembicaraan melihat Radit yang diam saja.

"Apanya?"

"Kamu jemput saya begini. Rumah sakit tempat saya praktek itu menjauh dari MG. Kita bisa janjian aja di MG lain kali. Itu lebih efisien."

"Kamu kemarin-kemarin ke kantor saya."

"Itu karena arah MG melintasi kantor kamu. Jadi next timenya, Bapak super sibuk nggak perlu ke tempat saya."

"Bisa nggak kamu nggak ribut soal itu. Saya tersinggung lho."

Hani sedikit terkejut mendengar nada kesal Radit. "Tersinggung karena apa?"

"Nama saya Radit, bukan Bapak Super Sibuk atau Bapak wakil presiden direktur atau Bapak CEO, seperti yang kamu suka bilang ke saya." Radit menghela nafasnya kesal. "Dan nama kamu Hani. Bukan Sweety atau Baby atau entah apalagi." Radit merutuki dirinya sendiri yang tiba-tiba kesal begini.

Hani menghela nafasnya tidak mengerti. "Hari kamu buruk ya?"

"Ya, hari saya buruk tiba-tiba."

"Tolong minggir sebentar boleh?"

"Kenapa?"

"Minggir aja. Didepan ada minimarket. Saya tiba-tiba haus."

Radit meminggirkan mobilnya. Hani turun sementara dia menunggu di mobil. Hani kembali masuk ke dalam mobil dengan membawa dua botol air mineral, dan dua buah es krim. Radit menoleh dan memperhatikannya heran.

"Ini, buat hari kamu yang buruk." Hani menyerahkan satu es krim itu ke tangan Radit.

Dia menatap Hani sambil menggelengkan kepalanya. "Dapet teori darimana kalau es krim bisa bikin saya senang?"

"Bukan es krim, tapi coklatnya." Hani mengigit topping coklat diatasnya. "Mmmm....enak banget. Coklat dan es krim itu perpaduan yang sempurna. Apalagi kalau ada kacangnya."

Hani menatap Radit yang masih menggenggam es krimnya saja. "Kamu nggak mau? Punya kamu lebih enak karena dilapisi coklat semua. Tapi saya lebih pilih yang ada kuenya dibawah begini." Hani masih menjilati es krimnya.

Radit mendengkus kesal lalu mulai menjalankan mobilnya.

"Wow, kamu susah untuk disenangkan ya. Okey. Bukan salah saya kalau hari kamu buruk, bukan salah saya juga kalau kamu nggak suka es krim." Hani mengambil es krim yang ada di pangkuan Radit. "Jadi yang ini buat saya aja."

"Eh, siapa bilang saya nggak mau. Siniin."

"Maaf Bapak Radit yang lagi kesal. Penawaran berakhir."

"Han, saya lagi nyetir. Siniin nggak?"

"Nggak. Punya saya tadi kekecilan. Udah habis deh." Hani mulai membuka bungkus es krim itu.

"Saya beneran marah kalau kamu berani gigit..."

Suara kriuk lapisan coklat tebal itu terdengar. "God...this is soo good." Ekspresi Hani dilebih-lebihkan.

Mobil Radit berhenti karena lampu merah. Tangannya sudah ingin merebut es krim itu dari Hani. "Han...siniin nggak? I really need that."

Hani tertawa lalu dia memberikan es krim itu.

"Kamu udah habisin sebagian begini. Ya ampun, wanita secantik kamu ternyata makannya banyak." Radit menggigit es krim itu.

Air dalam botol sudah Hani teguk. "Kenapa sih kamu tadi marah-marah?"

Radit mengelap mulutnya dengan tissue lalu membuang sisa es krimnya. Dia melajukan mobilnya saja.

"Kamu punya pacar?"

"Wuoo...what kind of question is that?"

"Ya jawab aja. Teman itu berbagi cerita kan." Radit kesal karena dia mulai menutupi sesuatu yang dia tidak tahu.

"Kehidupan pribadi saya bukan urusan kamu. Maaf ya. Kita belum sedekat itu untuk kamu bertanya-tanya lebih jauh."

Radit diam, dia mulai gusar. Entah karena apa. Perilaku Dokter tadi sungguh mengganggunya. Juga kalimat Hani barusan. Sudah beberapa minggu ini dia dan Hani memang rutin bertemu. Karena mereka menengok Tanan dan mengkontrol kondisi Asha. Radit mencintai Asha dulu, dia tahu itu. Tapi ketika semua kecelakaan itu terjadi berbulan lalu, penolakan Asha padanya dan juga kondisi mereka sekarang, bayangan Asha sedikit demi sedikit menjauh.

Asha mencintai Tanandra saja. Itu sangat jelas terlihat dengan seberapa dalam luka yang dia tahan sekarang, juga pandangan matanya yang sarat dengan kata depresi. Radit masih menyayangi Asha, dia tidak ingin Asha seperti ini. Tapi, rasa cintanya pada gadis itu sudah mulai terkikis pergi. Digantikan dengan rasa ingin menjaga. Radit sudah merelakan Asha dan mulai menyadari hal ini karena dia mulai merasakan sesuatu dengan kehadiran Hani.

Apakah empat bulan adalah waktu yang singkat? Entah. Dia tidak pernah tahu teori korelasi antara cinta dan waktu. Karena Asha bahkan mencintai Tanan bertahun-tahun lamanya. Sekalipun mereka sempat terpisah dulu. Jadi, wajarkah jika dia mulai merasa terbiasa dan nyaman sekali ketika bersama Hani?

Entah kenapa dia merasa lebih menjadi dirinya sendiri ketika bersama wanita ini. Dengan Asha, dia selalu ingin membuat kesan yang baik. Dia selalu ingin Asha terpesona padanya. Atau bahkan dengan Stephanie dulu. Stefi yang anggun sekali membuat dia selalu ingin bersikap sempurna. Tapi dengan Hani, awalnya dia tidak perduli. Hanya teman mengobrol selayaknya dia mengobrol dengan sahabatnya saja. Lalu dia sadar dia menjadi lebih kekanakkan jika bersama Hani. Dia tidak perduli dengan kemejanya yang kotor karena es krim seperti sekarang ini. Atau dia juga tidak perduli bahwa mereka selama ini hanya bertemu dan mengobrol di kantin rumah sakit. Bukan di restoran mewah atau coffee shop mahal. Terkadang mereka bahkan membeli bubble tea wannabe yang counternya ada didepan rumah sakit. Atau jajan dipinggir jalan. Standar yang dia tetapkan sendiri ketika sedang dekat dengan seorang wanita buyar begitu saja. Tapi mungkin juga karena dia tidak berencana mendekati wanita ini sebelumnya. Entahlah, dia bingung sendiri.

Hani benar-benar membuatnya merasa nyaman. Wanita ini melihatnya bukan sebagai CEO dari sebuah perusahaan besar milik keluarganya. Sekalipun dia suka sekali meledek Radit soal itu. Juga dia paham benar Hani adalah wanita yang sangat pintar, tapi ketika dia bersama Hani, dia tidak pernah merasa terintimidasi atau digurui. Semuanya wajar selayaknya dua orang yang berteman saja. 'Ya, teman Radit. Teman. Tidak lebih dari itu.' Dia mengingatkan dirinya sendiri.

***

Di MG Hospital

Radit berdiri dibalik kaca ICU. Menatap tubuh Tanan yang terbaring dengan alat-alat yang menancap pada tubuhnya. Selama ini Hani tidak pernah memberikan informasi yang detail tentang kondisi Tanandra. Wanita itu hanya akan berkata baik, baik sekali, atau kurang baik. Hanya itu saja. Mungkin untuk menghindari dirinya sendiri dari rasa putus asa.

'Ndra, bangun Ndra. Asha bisa susulin lo kalau lo beneran nggak bangun lagi. You have to wake up for her.' Dia menghela nafasnya kemudian berlalu.

Saat tubuhnya melewati salah satu ruangan karena ingin menunggu Hani di lobi, dia melihat Hani sedang berpelukan dengan seorang dokter lainnya. Pintu ruangan itu seperempat bagiannya adalah kaca. Hani tidak sadar karena memang berdiri membelakanginya. Tubuhnya menegang. Tubuh laki-laki itu tinggi dengan jas dokternya. Dia tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas, tapi bisa melihat bekas luka dilengan dokter itu. Lengan yang sedang memeluk Reyhani kuat.

Di lobi rumah sakit.

Radit berdiri saja, tidak bisa diam. Dia resah dan kesal. Sudah dua kali di hari yang sama. Dokter Farhan dan Dokter tadi. Ada berapa banyak laki-laki yang terpikat pada Hani?

'God, ini menyebalkan sekali.'

"Aku benar-benar ingin ikut operasinya Yan. Apa bisa?"

Radit tidak sadar jika Hani dan seorang dokter laki-laki sudah berada didekatnya.

"Kamu tahu prosedur disini Han. Dokter Saras nggak akan setuju. Apa kamu nggak percaya sama aku dan Dokter Pram?"

"God, justru karena ini kamu dan Dokter Pram. Aku ingin ambil bagian."

"Kamu bisa menyaksikan Han. Nanti aku dada dan kiss by dari dalam RO." Aryan tertawa. Lengannya menyisir rambutnya kebelakang.

Mata Radit melihat bekas luka itu dan dia ingat bahwa dokter laki-laki ini adalah dokter yang pertama kali menyambut Tanan di MG ketika kecelakaan itu terjadi. Juga yang memeluk Hani tadi. Dokter Aryan Diputra. Begitu nama yang tertera di jas dokternya. Seketika itu dia tidak suka, sangat tidak suka. Apalagi melihat Hani mengobrol begini didepannya seolah dia tidak kasat mata.

"Eh Dit. Kamu sudah kenal Dokter Aryan kan?" Hani berbalik menatap Radit.

"Ya." Radit menyahut pendek dengan wajah kaku.

"Hai. Kalian sering kesini tapi biasanya saya sedang sibuk sekali." Aryan tersenyum padanya.

'Sok sibuk.' Ujar Radit kesal dalam hati. Lalu senyum terpaksanya datang juga.

"He's the best doctor in town." Hani tertawa sambil menoleh dan menatap Aryan dengan rasa kagum yang sangat kentara.

"Itu predikat Dokter Pram Han." Aryan tersenyum saja. Lalu pager dokter itu berbunyi.

"Wow, disini pakai pager ya?"

"Standarnya begitu. Mangkanya pindah sini dong. Dokter Saras akan senang banget lho." Mata Aryan masih tidak berpindah dari pagernya. "Sorry I have to go. Catch you again later Han." Aryan sudah ingin berbalik.

"Okey Beiby. See you."

Sambil berlari Aryan tertawa. "I heard that one."

"Ups, I'm sorry." Hani masih tersenyum sambil menatap tubuh itu berlalu. Tidak sadar sama sekali wajah Radit yang semakin kaku.

Radit masih diam sampai mereka tiba di kantin tempat mereka biasa makan. Malam ini kantin itu tidak terlalu penuh. Hanya ada satu-dua orang saja.

"Dit, kamu nggak makan?"

"Nggak laper tiba-tiba."

"Okey. Aku udah pesan. Nggak apa-apa ya kalau aku makan. Aku laper banget."

Wajah Radit menatap Hani yang ekspresinya wajar dan datar saja. Seperti tidak ada apa-apa, sementara dia sendiri sudah merasa gerah sekali. Dia bahkan langsung mencopot jasnya dan menyampirkannya di kursi.

"Kamu nggak nungguin Dokter yang tadi itu?"

Hani tersenyum. "Aryan itu sibuk banget Dit. Dia ada jadwal operasi malam gantikan dokter lain. Tadinya dia mau makan bareng kita."

Radit menyeruput kopi dihadapannya. Mungkin dengan begitu hatinya bisa sedikit tenang. Tapi alih-alih tenang, dia malah tambah kesal.

"Aryan pacar kamu?"

Mata Hani yang sebelumnya sedang menatap ponsel langsung menatap Radit saja. "Aryan itu...mmmm" Hani menarik nafasnya, mengingat kejadian tadi dimana Aryan menghiburnya karena dia merasa sedih sekali melihat kondisi Tanandra yang jalan ditempat. Jenis-jenis perasaan yang dia hanya bisa bagi pada Aryan saja. Karena Aryan yang paham benar kondisi Tanandra.

Kemudian Hani melanjutkan. "Aryan itu keren banget. Pinter banget, introvert tapi perhatian, dia benar-benar berdedikasi, low profile. Karena ternyata pemilik MG itu adalah keluarga sahabat dekatnya. Aryan sudah kayak anak Dokter Saras sendiri. Sementara Aryan juga datang dari keluarga yang berada. Kamu tahu, ayahnya Aryan punya kantor pengacara yang bonafit. Namanya Dwi Sardi Wicaksono."

"Ya, saya tahu Dwi Sardi." Radit tambah kesal mengetahui saingannya bukan dari keluarga sembarangan. 'Saingan Dit? Ngayal.'

"Tapi dia sederhana banget. Dan kamu tahu nggak, dibadannya banyak bekas luka yang buat banyak dokter perempuan dan suster itu seksi banget. Katanya dulu Aryan itu tukang berantem, bareng sama anaknya si pemilik MG." Hani menutup kalimatnya dengan pandangan yang memuja. Seolah-olah Aryan adalah seseorang yang sangat sempurna. Dan Radit? Makin marah saja.

Sebelum Radit menanggapi makanan Hani datang dan dia memutuskan untuk keluar dari ruangan kantin itu karena tiba-tiba dia butuh udara.

"Loh Dit, mau kemana?"

"Cari udara." Tubuh Radit sudah berjalan keluar kantin.

***

Bener niiih 'is not a jealousy?' Bisa aja Bapak Radit.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro