10. I'm not crazy
"Kamu harus menemui Dokter Erin Sha. Dia psikiater bagus." Hani menatap mata Asha dalam. Sedang mata gadis itu kosong, kemudian dia memaksakan senyumnya pada Hani.
"Saya baik-baik saja Han."
"Baik-baik saja dibagian mananya?" Jena sudah berdecak kesal. Ini sudah dua minggu sejak Tanan dinyatakan koma dan Jena melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Asha berubah total menjadi zombie. Literally zombie. Yang bisa berjalan tanpa ekspresi, seperti jiwanya dicabut pergi.
"Je, seriusan gue nggak apa-apa."
"Ada bedanya ya orang baik-baik aja dengan nggak baik-baik aja. Lo bisa tanya ke sepuluh orang dan sepuluh-sepuluhnya akan bilang kalau lo nggak baik-baik aja. Kenapa lo terus menyangkal itu dan nggak mau berobat Sha?"
"Asha, syok dan trauma itu wajar untuk kasus kamu. Kamu melihat sendiri Mahesa celaka didepan kamu. Jadi kondisi kamu sekarang ini bisa dimaklumi. Dan trauma yang terlalu panjang akan sangat berbahaya Sha."
"Resepkan saja saya obat kemarin agar saya bisa tidur."
"Lo itu bisa tidur Sha. Cuma lo akan terbangun dengan teriakan, setelah itu lo jalan-jalan kemana-mana tanpa ekspresi. Mata lo kosong. Ya Tuhan Asha. Kita mau bantu lo, kenapa lo keras kepala?"
"Karena gue emang nggak apa-apa Je."
Jena mengerang kesal hampir putus asa. Tangan Hani menyentuh pundak Asha.
"Sha, pergi ke psikiater bukan berarti kamu itu gila. Saya nggak bisa kasih obat anti depressan terus sementara kamu nggak ditangani dengan benar."
Asha hanya diam saja, ekspresinya kosong lagi.
"Sha..." Hani menyentuh lengan Asha lembut.
"Gue harus siap-siap." Asha beranjak berdiri, tidak menghiraukan Hani dan Jena yang masih ada disitu.
Jena mulai berujar pada Hani ketika Asha sudah berlalu. "Dia mulai pergi ke apartemen Andra. Kamu tahu dia disana ngapain?" Jena berbisik pada Hani.
Hani mengangguk saja. "Saya akan minta Dokter Erin untuk datang kesini Je. Mungkin itu salah satu solusi."
"Apa Dokter Erin mau?"
"Saya akan minta Aryan yang bantu soal permintaan ini."
"Thanks Han. Kamu baik banget." Jena menatapnya.
***
Sore hari ponselnya berbunyi. Dia sedang berjalan di selasar rumah sakit tempat dia praktek. Baru saja menyelesaikan satu operasi dan ingin segera pergi ke MG untuk cek kondisi Mahesa.
"Halo, siapa ini?"
"Reyhani?"
"Ya. Itu saya."
"Radit."
"Oh ya ya. Ada apa?"
"Saya ingin bertanya soal Asha. Apa kamu ada waktu?"
Hani menjawab pendek kemudian mendengarkan pertanyaan Radit. Lalu dia menjawab dan menjelaskan kondisi Asha. Mereka berjanji untuk bertemu di rumah sakit malam ini.
Malam itu mereka duduk di kantin depan rumah sakit. Setelah sebelumnya Hani sudah mengecek kondisi Tanan didalam.
"Tangan kamu sudah baik?" Ujar Hani membuka pembicaraan.
"Oh ini, sudah. Terimakasih. Mau pesan makan?"
"Kopi saja cukup." Tangan Hani menggeser cangkir kopi itu mendekat.
"Saya akan coba bujuk Asha malam ini lagi. Dia masih tidak mau mendengarkan saya. Saya harus setuju dengan kamu kalau Asha butuh konsultasi."
Hani diam menatap Radit, kemudian dia bertanya. "Apa yang terjadi malam itu Dit?"
"Saya pikir kamu sudah tahu ceritanya."
"Saya ingin tahu apa yang terjadi dari sudut pandangmu. Apa boleh?"
Radit diam sejenak. Mengakui kekalahannya didepan wanita bukan hal yang dia suka. Tapi, sudah berminggu-minggu ini dia mulai kesulitan tidur. Bayangan-bayangan seluruh kejadian di malam itu berputar ulang tanpa henti. Membuat dia sangat gelisah dan cemas. Biasanya matanya baru terpejam ketika pagi sudah tiba.
Reyhani menatap laki-laki dihadapannya ini. Tubuhnya lebih kurus, ekspresinya tidak jauh lebih baik dari Asha. Bedanya Radit berusaha lebih keras untuk terlihat kuat dan baik-baik saja. Dia seperti terbiasa memikul banyak tanggung jawab dipundaknya.
"Kalau itu terlalu berat, saya mengerti. Tidak perlu dipaksakan." Hani meneguk sedikit kopinya.
"Mungkin saya juga butuh Dokter Erin."
"Mungkin kamu bisa mulai dengan bercerita Dit. Saya paham kita baru saja kenal dan mungkin kamu enggan. Jadi, cobalah bercerita kepada teman dekatmu yang lain."
Radit mendesah saja. "Teman dekat? Saya punya tiga teman dekat. Satu, sama sibuknya seperti saya sendiri dan sedang tidak ada di negri ini. Dua, mungkin dia lebih pada teman bercanda. Seseorang yang hanya bisa diajak tertawa. Dan tiga, teman dekat saya yang paling waras, hidupnya lurus-lurus saja dan biasanya tempat saya cerita. Dia sekarang sedang terbaring koma. Dan alasan dia celaka adalah karena saya. Saya yang berusaha merebut Asha darinya, lalu ketika saya kalah, dia menyelamatkan saya. Dan saya saat ini, merasa benar-benar kalah, bersalah." Dia tersenyum miris. "Bukan cerita yang bagus kan?"
"Kalah dan menang. Laki-laki dan egonya." Reyhani menghirup kopinya lagi. "Mahesa pernah bilang ke saya, a bad day for your ego is a great day for your soul."
Radit menoleh dan menatap Hani. Entah kenapa kalimat itu mengusiknya. Kemudian wanita itu berujar lagi.
"Buat apa berdiam diri dan tidak bicara hanya karena ego. Karena kamu khawatir orang lain tahu kalau kamu kalah? Terus kenapa kalau kalah? Kalah sekarang bukan berarti kamu nggak bisa menang nanti kan? Orang jatuh ya tinggal bangun. Sakit memang, tapi ini hidup kan. Saya nggak ngerti kenapa pikiran orang rumit sekali terkadang. Kalau mereka pindah profesi jadi dokter bedah kayak saya, mereka akan tahu bahwa banyak hal lain yang lebih rumit lagi. Banyak keputusan yang lebih sulit lagi."
Lagi-lagi dia diam menatap wanita dihadapannya ini. Tertarik pada rangkaian kalimat itu, juga ekspresi biasa saja yang diperlihatkan oleh Hani. Bukan ekspresi menggurui atau meremehkan. Datar saja. Seperti dia sedang mengucapkan tanpa sadar apa yang ada di kepalanya.
"Kamu kuliah dimana dulu?"
Hani tersenyum setelah meletakkan gelas kopinya.
"Apa itu relevan dengan kondisi saat ini?"
"Nggak, nggak relevan. Saya cuma ingin berbicara topik lain saja. Apa bisa?"
Hani menatap Radit. "Saya lebih senang kita berbicara tentang kamu. Jadi saya bisa menyarankan apa kamu juga butuh konsultasi atau tidak."
Radit diam sejenak sambil balas menatap wajah cantik yang terlihat lelah didepannya ini. Lelah tapi tidak mau menyerah. "Apa kamu mau jadi salah satu teman saya?"
"Boleh. Kalau itu bisa membuat kamu merasa lebih baik."
"Saya sedang tidak ingin bercerita. Apa boleh malam ini kamu yang bercerita?"
"Saya tidak pandai bercerita." Hani menghela nafasnya. Entah mungkin dia merasa Radit saat ini sedang benar-benar membutuhkan tumpuan, dia lalu berujar lagi. "Tapi saya punya satu dari teman saya Aryan dulu."
"Apa?"
"Ada seorang pasien yang memang sudah usia bilang pada dokternya. Dok, punggung saya sakit sekali jika saya bangun pagi. Lalu dokternya bilang, kalau begitu bangunlah di siang hari Pak. Mungkin saja sakitnya akan pergi."
Radit diam sesaat, tidak menyangka Hani tiba-tiba akan bercanda. Wajah wanita itu datar sekali lalu dia mulai tertawa. Perpaduan karena cerita konyol itu juga wajah Hani yang kaku membuat dia tertawa. Kemudian Hani tersenyum juga.
***
Seminggu setelahnya.
"Hai Dok, sedang apa?"
"Kesal." Hani menggelengkan kepalanya. "Satu pasien tukak lambung bandelnya minta ampun dan sekarang ada indikasi kalau ada pendarahan dalam." Dia terus melangkah diselasar rumah sakit.
"Nanti malam ke tempat Andra?"
"Ya, setelah jadwal operasi usus buntu. Mungkin selesai jam delapan."
"Kita ketemu disana?"
Hani diam tidak menjawab. Dia sedang memberi isyarat pada salah satu suster jika dia minta laporan pasien di kamar 232.
"Dok? Masih kesal sampai nggak bisa jawab?"
"Oke."
"Oke apa?"
"Apapun." Mata Hani sedang mengamati hasil test laboratorium salah satu pasiennya.
Radit tersenyum disana. "Okey. Ketemu disana ya. Take care."
Wanita itu tidak menjawab dan langsung saja menyudahi hubungan telpon itu. Radit berjalan mondar-mandir di ruangannya. Dia juga sedang sibuk-sibuknya setelah selama beberapa hari lalu mulai aktif lagi di kantor. Tapi entah kenapa ketika Hani memutus telponnya begitu saja ada perasaan yang aneh. Lagi-lagi, dia tidak biasa diabaikan begitu saja. Apalagi sebelumnya Hani bersikap baik dan perhatian padanya. Radit menggelengkan kepala lalu dia duduk dan mulai berkerja lagi.
Malamnya.
"Gimana hari kamu?" Radit memperhatikan Hani yang baru saja tiba.
"Kayaknya mendingan kamu aja yang cerita hari ini. Saya benar-benar....Mas kopi hitam ya satu nggak pakai gula." Dia berbicara sejenak dengan pelayan kantin yang kebetulan lewat didekatnya.
"Wow, though day I guess."
"You can't imagine it." Hani sudah meletakkan kepalanya diatas tangannya yang terlipat di meja.
"Pasien yang tadi bandel dan pendarahan dalam terus gimana ceritanya?"
"Saya baru tahu kalau ada orang yang bisa keras kepala begitu. Aryan pernah ingatkan saya soal pasien jenis itu tapi saya belum pernah ketemu sebelumnya. Dan setelah saya cek detail...tadaaa komplikasi lambung dan pendarahan."
"Terus?"
"Rasanya saya pingin bilang ke dia. Pak, saya mau titip salam sama teman sekamar Bapak yang kemarin itu."
"Emang teman sekamarnya kenapa?"
"Meninggal karena jantung."
"Kok kamu titip salam ke dia?"
"Ya karena si Bapak itu bisa aja lewat sewaktu-waktu."
"Han, ini kamu lagi bercanda ya?"
Hani tersenyum sesaat kemudian berwajah datar lagi. "Saya berusaha bilang kalau hari saya buruk sekali. Mangkanya kamu aja yang cerita." Kepalanya sudah mendongak lagi.
Radit lalu tertawa lagi. "Saya belum terbiasa sama lelucon satir kamu."
Setelah itu, tanpa mereka sadari pertemuan itu menjadi lebih rutin lagi. Radit menikmati waktu berbincangnya dengan Hani. Dia merasa sedikitnya perhatiannya teralihkan. Dari kondisi Tanan yang masih tidak menentu, dari pandangan depresi Asha, atau dari rasa sakitnya sendiri.
***
Hari ini dia sedang libur dan akhirnya memutuskan untuk bertandang ke MG lebih awal. Mama Diah juga sudah ada disana. Lalu, ditengah perjalanan perutnya berbunyi. Dia benar-benar lapar. Entah kenapa dia terpikir untuk bertandang ke kantor Radit yang memang letaknya tidak terlalu jauh dari MG hospital. Dia menelpon laki-laki itu tapi sayangnya tidak dijawab. Bukannya meneruskan perjalanan Hani malah membelokkan mobilnya ke gedung tempat kantor Radit berada. Dia hanya tidak ingin makan siang sendiri. Harusnya itu saja alasannya.
"Apa Bapak Radit ada?"
"Bapak Radita Tanubrata?" Resepsionis didepan mengkonfirmasi.
"Ya, Radita. Apa ada orang lain bernama Radit juga?"
Resepsionis itu tersenyum. "Kebetulan ada Mba. Mba sudah punya janji dengan Pak Radita?"
"Belum. Tapi saya Dokter pribadinya. Tidak perlu membuat janji."
"Oh, sebentar saya hubungi dulu ya Mba. Silahkan duduk di sofa Mba.
Hani berjalan menatap kesekelilingnya. Kantor Radit besar. Bergaya modern minimalis. Dia berdiri saja sambil mengecek ponselnya. Kemudian tidak berapa lama suara itu terdengar. Radit keluar dari arah dalam dengan dua orang laki-laki. Sepertinya dia akan mengantar tamunya pergi. Hani menunggu saja masih sambil berdiri.
Dia tidak bisa menutupi wajah terkejutnya. Kenapa bisa ada Hani disini?
"Loh Han, saya punya janji sama kamu?" Mereka berdiri berhadapan. Disamping Radit masih ada laki-laki yang sedang menatapnya sambil tersenyum.
"Nggak. Saya iseng aja lewat dan mampir kesini. Nggak boleh?"
"Oh, boleh lah. Ada kabar apa?"
"Sayangnya bukan soal Mahesa. Tapi saya lapar dan nggak mau makan siang sendiri."
Radit diam sejenak. Jadwalnya penuh sekali hari ini. Kepalanya menoleh lalu sadar masih ada salah satu managernya yang berdiri disebelahnya dan menatap Hani dengan pandangan tertarik sekali.
"Yon, kamu duluan saja. Saya masih ada tamu." Ujar Radit sedikit kesal.
Kemudian laki-laki itu pergi.
"Tebakan saya jadwal kamu penuh banget tapi kamu nggak enak bilangnya sama saya. Betul nggak?"
"Bukan begitu, tapi..."
Hani tertawa. Tawa wanita itu bahkan bisa membuat beberapa pegawainya yang lain yang memang sedang berlalu-lalang karena jam istirahat baru dimulai menoleh menatap Hani. Dia mendesah kesal.
"Okey, saya memang yang nggak bikin janji. Maaf. Kalau begitu saya pamit dulu." Hani tersenyum lalu berlalu.
Radit sempat berdiri diam saja sejenak. Berusaha memutuskan dengan cepat apa yang harus dia lakukan. Dia punya janji lunch meeting dengan ayahnya yang penting sekali. Matanya mengikuti sosok Hani yang sedang mengantri lift untuk turun ke lobby. Sudah ada beberapa pegawai laki-laki yang mengajaknya mengobrol dan dia merasa sangat tidak nyaman sekarang.
Langkahnya panjang-panjang. Berusaha menghentikan Hani yang akan masuk ke dalam lift berjejalan dengan pegawai-pegawainya itu. Tangannya sudah menarik Hani menjauh dari lift itu.
"Saya antar kebawah."
Tangan Radit masih menarik lengan Hani dan mengajaknya masuk ke lift VIP. Mereka sudah berada di dalam lift, berdiri berdampingan. "Maafin saya."
"Loh kenapa?"
"Saya beneran lagi nggak bisa gerak hari ini. Apa kamu ingat soal cerita hari buruk kamu beberapa minggu lalu?"
"Ya. Apa kamu punya client yang keras kepala?"
Radit tersenyum. "Nggak persis seperti itu, tapi sibuknya sama."
"It's oke. I get it." Mereka sudah keluar dari dalam lift. Hani menatap Radit lagi. "Bye, see you when I see you." Hani tersenyum kemudian berlalu.
Radit menatap sosok itu gusar. Entah kenapa dia tidak suka ketika dia menolak menghabiskan waktu bersama wanita itu. Sekalipun ini memang terpaksa, tapi dia kesal sekali. Jika bisa dia membatalkan meetingnya siang ini. Radit berbalik menuju lift tadi. Tidak menyadari bahwa perlahan-lahan dia mulai terbiasa dengan keberadaan Hani.
***
Hayooo Radiit hayooo.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro