📘 2
....
|Disenchantment|
Sudah dua hari, namun penyerangan oleh monster itu pun belum juga mereda. Dentuman keras, pijaran api, bahkan hingga tembok tanah yang menjulang tinggi untuk menghalau para monster itu terus meramaikan medan perang.
Tidak hanya di sana, ada beberapa kali monster berukuran kecil yang lincah berhasil sampai ke gedung pengungsian ini. Untungnya, para prajurit yang berjaga selalu siap sedia. Monster penyusup tersebut ditumbangkan sebelum dapat menyentuh seseorang.
"Penyerangan kali ini benar-benar yang terburuk."
"Iya."
Seperti ujar Terion. Penyerangan kali ini memang yang terparah. Tidak pernah rasanya sampai mengungsi selama dua hari. Belum lagi dengan monster yang tingginya lebih dari atap rumah, ternyata mereka tidak hanya satu.
Menyaksikannya dari atas sini saja sudah mendirikan bulu kuduk. Belum lagi dengan auman mereka yang ikut terdengar hingga ke mari. Beberapa orang yang melihatnya juga langsung merinding. Yah, monster-monster itu benar-benar mengerikan.
Tidak kenal waktu, bahkan di tengah malam saat orang-orang tertidur, suara dentuman kerap kali membangunkan para pengungsi dari tidur. Pijar cahaya-cahaya merah api saling bersahutan, terkadang diikuti gemuruh petir berserta kilatan putih di tengah gelapnya malam. Malam-malam bagai mimpi buruk.
Malam ini pun tidak jauh berbeda. Aku terbangun, lagi. Namun kali ini aku tidak melihat Terion, padahal sebelumnya ia tidur tidak jauh dariku. Kucoba melirik sana-sini, memperhatikan orang-orang yang tertidur bagai dedaunan yang berserakan, pulas walau hanya beralaskan lantai dan selimut.
"Ke mana dia?" gumamku halus. Aku pun berdiri dan mendatangi pintu keluar yang di jaga dua orang prajurit. Mungkin Terion pergi ke kamar kecil.
"Hei, nak. Kau ingin ke mana?" cegat salah seorang prajurit.
Namun aku mengabaikannya dan mematung. Dua sosok yang berada di luar pintu itu, aku mengenalnya, seorang pria paruh baya dan Terion. Mereka berdua tengah berbicara. Aku pun permisi dengan prajurit tersebut untuk menghampiri mereka berdua.
Sosok yang tengah bersama Terion itu, aku ingat beberapa hari yang lalu aku membencinya. Memikirkannya saja membuatku jengkel. Namun kini, tidak hanya rasa benci dan jengkel itu yang hilang, kekhawatiranku pun sirna ketika melihatnya berdiri di hadapanku.
"A-ayah!" seruku saat berlari. Kuraih tangan beliau, mencium punggung telapaknya. Sepintas, aroma samar keringat dan darah memenuhi hidungku. Memang, sudah lazim seperti itu.
"Roy, kamu enggak kenapa-kenapa, 'kan?" tanyanya seraya mengelus kepalaku cukup kasar.
Ugh, aku tidak suka diperlakukan seperti anak kecil, walau aku memang masih kecil, namun kalau dibegitukan terus, kapan nanti besarnya? Tapi, untuk sekarang, biarlah. Aku senang sebab dapat bertemu dengan ayah.
"Iya, Ayah. Aku baik-baik saja."
"Hey, Roy, kamu tidak mengkhawatirkan ayahmu sama sekali apa?" serbu Terion sarkas. Ck, apa-apaan pertanyaan dia itu.
"Apa maksudmu? Tentulah aku mengkhawatirkan ayah." Jujur saja, pertanyaan Terion itu agak menggangguku.
"Ayolah, bukannya kamu bilang tidak suka jika disuruh-suruh ini itu, hmm ha?" Dia mulai lagi, kini dengan seringai gatal di wajahnya. Andai ayah tidak melihatnya, pasti sudah aku remas ikan teri ini jadi asinan.
Kemudian, di tengah perbincangan kami. Suara dentuman keras menggemparkan malam yang sunyi. Tentu saja membuat kami semua terkejut hingga balita yang sudah lelap tadi kini menjerit histeris di dalam gedung pengungsian.
"Ugh, sepertinya ayah harus segera pergi. Baiklah, Roy, Terion. Jaga diri kalian dan sesama. Ayah lega akhirnya bisa berkunjung ke sini. Pastikan agar kalian selalu mengikuti arahan penjaga. Ok?"
Setelah kami mencium tangannya, ayah pun gegas berlari, menghilang di gang perumahan yang remang oleh obor tengah malam.
Aku pun kembali ke tempat tidur. Sebelum terpejam, pikiranku sedikit awang tentang Terion. Yah, ia sudah pulas tidur di lantai tidak jauh dariku. Tapi, bukan itu.
Aku ingat, tahun lampau, aku dan Terion berdiri di hadapan nisan kedua orangtuanya. Waktu itu tak hentinya ia menangis dan itu adalah saat terakhir aku melihatnya mengeluarkan air mata. Aku tidak tahu kesedihan sebesar apa yang ia rasakan sebab waktu itu aku tidak mengerti, namun ia sudah. Kini, sepertinya aku memahami perasaan tersebut.
Ibuku tiada sebelum aku pernah melihatnya. Ayah bilang ibu terkena sebuah penyakit menahun. Hingga kini, hanya ada ayah dan bibi yang tinggal bersamaku.
Namun tidak bagi Terion. Di rumahnya, hanya ada ia dan pamannya. Pamannya pun tidak bisa selalu ada, sebab beliau juga punya istri dan anak. Oleh sebab itulah, ayahku menganggap Terion sepertinya anaknya juga. Terion selalu menolak jika diajak untuk tinggal di rumahku saja. Dalihnya, ia hanya akan menambah beban bagi Bibi Palia, padahal bibi sudah bilang jika ia tidak keberatan.
Yah, kurasa cukup untuk itu, aku akhirnya mengantuk. Ku harap penyerangan ini segera berakhir agar aku dan Terion bisa berlatih lagi.
|Disenchantment|
"Roy!! Hei! Cepat bangun!"
Ugh, apa-apaan ikan teri ini? Berisik sekali, tidak tahu orang sedang tidur apa? Lalu suara bising apa itu?
Aku tersadar, namun enggan untuk bangun apalagi membuka mata.
"ROY!!" teriaknya sambil menggoyangkan tubuhku. Ada apa memang? Kenapa dia ini berisik seka–
Seketika saat membuka mata, aku langsung melompat, begitu pun dengan Terion, menghindari tubuh seekor monster yang terlempar ke mari. A-apa ini? K-kenapa monsternya bisa sampai ke sini?
Para penjaga tengah melawan monster-monster yang terus meringkus masuk ke gedung pengungsian. Monster-monster itu mungkin bukan apa-apa bagi para penjaga, namun akan lain ceritanya jika taring haus darah itu berhasil mendekati seseorang yang tidak bersenjata, seperti aku dan Terion.
Kemudian semua orang diarahkan untuk pergi, begitupun kami, dengan dikawal oleh para penjaga. Gemuruh langkah dari yang berkaki dua hingga yang berkaki delapan di bawah langit yang masih malam benar-benar riuh. Ternyata monster-monster ini sudah mencapai bagian perumahan kota. Ini mengerikan, sangat mengerikan.
Aku sudah tidak tahu lagi. Yang kutahu hanyalah terus berlari, menyelamatkan diri. Aku bahkan tidak pernah berpikir bisa berlari sejauh ini.
"ROY!! AWAS!!!" Seketika saat masih berlari, Terion berhenti dan menarikku ke samping hingga kami berdua jatuh.
Ternyata ada seekor monster yang berhasil melewati penjaga dan hampir saja menggigitku dari belakang. Monster itu terjatuh sebab serangannya meleset.
Tidak bagus sama sekali, dalam jangka waktu singkat, kami terpisah dengan rombongan, beruntung ada seorang penjaga yang menghalau monster tersebut untuk kami. Sang penjaga pun menyuruh kami untuk berlari, menuju ke arah sebuah gang sepi, sebab saat ini, hanya itu jalan yang tidak ada monsternya.
Kami pun mengikuti arahannya, meninggalkannya sendiri melawan monster yang terus berdatangan.
Gang sepi di malam hari benar-benar mencekam, belum lagi dengan terbayang jika ada seekor monster yang tiba-tiba muncul. Sayup api obor yang kubawa bergerak-gerak tertiup angin.
Di ujung jalan yang sepi, terdapat kilatan putih tidak jauh di depan kami. Siapa sangka setelah kilatan tersebut, muncul seekor monster.
"Teleportasi?!" jerit kaget Terion. Aku tidak mengerti, bagaimana seekor monster yang hanya tahu mengisi perut seperti itu memiliki kemampuan untuk berteleportasi.
Jalan di depan kami terhalang. Monster itupun sadar dengan kehadiran kami. Berlari kembali ke belakang adalah pilihan bodoh, monster itu tentu bisa mengejar kami. Namun Terion tidak kehabisan akal, ia mengambil obor yang tadi kuambil di pinggir jalan, melemparkannya pada monster itu dan kami pun berlari, memasuki sebuah rumah yang berada di samping kami.
Monster tersebut mendobrak-dobrak pintu yang kami halangi dengan meja dan kursi. Sepertinya pintu itu takkan bertahan lama.
Jendela-jendela rumah ini di pagari oleh besi, benar-benar keberuntungan yang buruk. Satu-satunya jalan keluar adalah melalui pintu belakang, tetapi pintu tersebut terkunci.
"Hancurkan pintunya." Pintu belakangan kami tendang bersama sekuat tenaga. Tendangan pertama belum menjebolkan engselnya namun kami terus menendangnya dan mencoba melubanginya dengan pedang besi yang kami temukan di dalam rumah.
Kemudian suara gubrakan terdengar dari arah pintu depan, monster itu berhasil merubuhkan pintunya. Ugh, ini gawat.
"Roy, terus dobrak pintunya. Aku akan menahan monster itu," ucapnya penuh keyakinan.
Selama ini aku belum pernah meragukannya. Namun kali inilah aku merasa begitu. Mengusir keraguanku, aku pun terus menendangi pintu sialan ini, engselnya sudah hampir patah.
Derap langkah kaki itu dengan cepat mendekati kami, namun aku tidak berpaling dan terus menendangi pintu ini. Ayolah, pintu sialan! Terbukalah!
Kemudian terdengar pekikan monster tersebut, sepertinya Terion berhasil melukainya. Namun saat itu juga aku berbalik setelah mendengar jeritan Terion tidak lama setelah suara monster tersebut.
Pedang Terion menusuk monster tersebut dari bawah, namun taring monster itupun berhasil menancap di bahunya. Kedua tangan Terion erat menahan badan monster yang terus mencoba untuk lepas darinya.
Seketika aku menggenggam erat pedangku dan mulai berlari. Aku melompat, pedangku lurus ke depan, tepat menuju kepala monster yang Terion tahan hingga tak bergerak banyak.
Mata pedangku tembus sampai hampir setengah bagiannya yang tenggelam. Terion lalu melepaskan genggamannya, monster itu kolang-kaling seraya menjerit, menabraki perabot-perabot rumah. Tidak lama monster itupun tumbang hingga tak bergerak lagi.
"Terion!" seruku khawatir, bukan, aku tidak lagi khawatir, aku ketakutan. Ia bernapas tersengal-sengal dan mengerah kesakitan. Aku tidak mengerti apa yang harus kulakukan.
Darah terus mengucur, mewarnai pakaiannya merah. Aku terus memanggil-manggilnya namun sepertinya rasa sakit yang ia alami sudah membelokkan indera pendengarannya.
Jadi, inikah yang namanya rasa takut karena kehilangan? Aku takut, takut sekali. Rasanya aku ingin hal ini tidak pernah terjadi.
Ah tidak, aku tidak boleh berpikiran yang aneh. Aku harus segera mencari pertolongan.
Terion kemudian kunaikkan ke punggungku, tidak peduli darahnya membasahi tubuhku. Saat aku akan membawanya keluar, terdengar suara derap kayu dari teras rumah.
Tidak, kumohon, jangan mahluk itu lagi. Aku sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa.
Lalu saat suara itu sampai di depan pintu. Aku menangis, aku tak kuasa lagi menahan haru ketika sosok itu berdiri di depan pintu.
"Ayah!" seruku sambil menangis.
....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro