Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

SATU

SATU |  WHAT WOULD APRIL O'NEIL DO?

Semua anak kecil punya idolanya masing-masing. Ada yang tergila-gila superhero macam Batman dan Superman. Kebanyakan cewek lebih suka tipe yang membela kebenaran dalam keadaan cantik dan fashionable—Sailormoon, Wedding Peach maybe?

Ananda Gauditama nggak seperti yang kebanyakan. Di saat teman-temannya tergila-gila pada superhero yang biasanya adalah tokoh utama di serial yang mereka tonton, cewek itu justru lebih menyukai karakter sidekick yang dia temukan di serial kartun Teenage Mutant Ninja Turtles (TMNT). Namanya adalah April O’Neil, reporter televisi yang entah kenapa senang sekali mengenakan jumpsuit kuning—mirip seperti yang dipakai montir bengkel. Tapi, terlepas dari itu, April adalah idolanya sepanjang masa. She’s fearless and have a great passion in news journalism.

Loncat ke sekian puluh tahun kemudian, Ananda kini mengikuti jejak April O’Neil. Yah, memang sih dia bukan reporter berita televisi seperti di idolanya itu, tapi wartawan majalah bisa dibilang ‘mendekati’ lah. Dia bekerja di National Riches, media berskala nasional dengan oplah tebesar ketiga di kategori majalah bulanan.  

“Lucky you!”

Ananda menoleh marah ke asal suara. Ke arah Catherine—dia dan anak-anak NR lainnya lebih suka memanggil cewek itu Keket—sesama wartawan sekaligus perusak lamunan-indah-sambil-jalan-nya. Cewek itu datang menghampiri Ananda dengan muka masam. Rapat redaksi mingguan baru saja selesai dan seharusnya mereka berdua ikut keluar dari ruang rapat bersama yang lainnya.

“Apanya?!” Cewek itu memutar bola matanya. “Gue kebagian ngeliput klub sepeda. Lo kan tahu betapa nggak menariknya olahraga, jenis apa pun itu.” Tega! Jelas-jelas di CV-nya waktu melamar setahun lalu, jelas-jelas Ananda mencantumkan ‘passion for fashion’ di kolom interest. Haute couture, ready to wear, frills and flower pattern—that’s her scene. Tapi lihat ke mana redpel mereka ‘membuang’ Ananda kali ini: ke sekelompok mahasiswa bau keringat dan matahari, berkaos polyester, dan—eww—bertas pinggang. TAS PINGGANG! Ananda jadi pengen muntah setiap kali mengingat yang terakhir itu.

 “Dan berurusan sama anak kampus, masih ingusan—ugh!” serunya lagi, seolah bayangan mengerikan tas pinggang nggak cukup horor baginya. Tambahan: siapapun yang menciptakan tas pinggang itu wajib dihukum seberat-beratnya. How come dia bisa terpikir hal senista itu, membelit tas kecil di daerah pinggung dan membuat kesan ‘ekstraberat’ di bagian itu. Mending kalau yang make langsing. Kalo orangnya gemuk gimana? Tambah overweight kan?!

Very, very cruel.

“Mending lo kali, seenggaknya lo masih bisa menghirup udara segar.” Keket sengaja membuat jeda yang lumayan panjang untuk mengubah ekspresi wajahnya jadi lebih jelek lagi. “Lha gue, kebagiannya komunitas herbal, di Tangerang pula. Bahkan pas gue cek lokasinya di Google Map, posisinya semacam di daerah tempat jin buang anak gitu.”

“Hmm.... Kalo gue pikir-pikir lagi, mungkin guenya kali yang kurang bersyukur.”

“Emang!” seru Keket kelewat semangat. Tapi setelah itu cewek itu mendadak membungkam mulutnya. Matanya berkilat-kilat sesaat kemudian, tatkala bertanya, “Atau..., lo mau kita tukaran assignment?”

“Dan pergi ke Tangerang?” Ananda tertawa keras. “Nggak usah ya. Biar dikata ke sananya naik taksi ya, tetep aja jauh gela. Bisa kemaleman gue pulangnya.”

Tapi Keket belum mau menyerah begitu saja. Cewek berkacamata merah itu memanis-maniskan suaranya, berharap Ananda mau berubah pikiran, “Lo beneran nggak mau berkorban? Bahkan demi temen lo yang manis ini?”

Ananda pura-pura bingung.“Gue nggak inget punya temen manis.”

“Sialan!”

*

Ananda dan Keket berjalan bersisian hingga kembali ke kubikel masing-masing. Ananda memeluk laptop dan tetek bengeknya—colokan, mouse, dan pouch Guy Laroche tempat dia menyimpan smartphone Android, voucher pulsa buat jaga-jaga, dan handsfree yang kebanyakan dia pake buat bergosip ketimbang buat menelepon dalam rangka pekerjaan—erat-erat di dadanya, sementara Keket si malas hanya melenggang dengan buku catatan dan bolpoin diselipkan di sampul depannya.

“Jalan pukul berapa lo?”

Ananda melirik ke arah jam dinding di ruang redaksi. “Janjian sama narasumbernya sih pukul dua.”

“Berangkat sekarang dong?”

“Iya.” Ananda memasukkan semua yang dibawanya ke dalam tas. Meskipun handbag miliknya kalah tipe fashionable dibanding tas-tas mana pun yang dipamerkan Bryanboy—one of her fave fashion bloggers—di akun Instagram-nya, untuk urusan pekerjaan bisalah diandalkan. Plus, selalu handy untuk membawa laptop yang ukurannya lumayan dan barang-barangnya yang lain. Sejak kecil, Ananda memang suka membawa semua barang yang dianggapnya perlu di dalam tasnya. Bawaannya parno terus, nggak mau sampai ketinggalan satu barang pun di rumah. Hanya mukjizat yang bisa memungkinkan Ananda nggak punya masalah tulang punggung atau bahu sampai saat ini. “Ini lagi nunggu taksi pesenan.” Telepon di mejanya berdering. Saat diangkat, ternyata resepsionis di lobi. Dengan suara ramah, si resepsionis mengabari tentang taksi pesanan Ananda. “Udah datang ternyata—dah dulu ya, Ket. Eh, lo hari ini juga kan ke Tangerang-nya?”

Keket mengangguk.

“Kalo ketemu jin di sana, titip salam sayang ya dari gue.”

Keket meraung—kedengarannya lebih kayak lolongan sih—sambil mengacungkan jari tengah. “Ah, Nandaaaaaa! Bikin kesel aja....”

“Hehehehehe!”

*

Sampai kapan pun, Ananda nggak sudi make jumpsuit kuning ala April O’Neil. Tapi bukan berarti dia nggak memastikan dirinya terlihat seperti reporter kompeten di depan mahasiswa-mahasiswa ingusan anggota klub sepeda itu. Sepanjang perjalanan menuju Modern University, Ananda men-touch up penampilannya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Rambut ikal sebahunya disisir rapi dan bando merah berpitanya diposisikan sempurna di kepalanya—very Blair Waldorf season satu Gossip Girl. Ananda mengenakan kembali blazer garis-garis putih-birunya di atas blus chiffon berpita ascot yang samar-samar memperlihatkan bra hitam La Senza di baliknya. Kedua telapak tangannya kemudian digunakan untuk meluruskan kain celana panjangnya yang agak berkerut karena terlalu banyak duduk sepanjang hari itu. Dan Ananda mengenakan patent leather heels kesayangannya—dan itu menambah tingkat kepercayaan dirinya hingga 200%.

Oh yeah, she’s that prepared.

Taksi yang ditumpangi Ananda tiba di gerbang kampus lima menit lebih awal daripada rencananya. Nggak apalah. Lebih baik datang cepat ketimbang terlambat kan? Bersamaan dengan taksinya diperiksa dulu oleh bagian keamanan kampus, Ananda merasa itu saat yang tepat untuk melakukan persiapan tahap kedua: touch up make-up dan parfum. Quick lipstick reapplied, beberapa kali menyemprotkan Vanitas (parfum Versace yang membuatnya terpaksa nggak jajan selama sebulan) ke bagian-bagian penting di tubuhnya, and voila... sempurnalah penampilannya siang itu.

Mahasiswa-mahasiswa di Modern University ini sepertinya jarang sekali melihat cewek fashionable di area kampusnya. Soalnya, begitu Ananda keluar dari taksi dan menutup pintunya dari luar, dengan cepat cewek itu menjadi pusat perhatian di sekitarnya. Cewek-cewek yang berjalan barengan di tengah jalan—kalo boleh ditambahkan, kayak versi low budget-nya remake geng cewek Sex and the City—berbisik-bisik sambil sesekali curi pandang ke arahnya. Sedangkan mahasiswa cowoknya lebih nggak punya sopan santun, menatapnya terang-terangan dengan mata berbinar-binar. Malah, cowok di lapangan basket (baca: yang tampangnya mengingatkan Ananda pada figuran FTV kurang menonjol, yang paling kebagian satu-dua line dialog sebelum menghilang sampai credit title akhirnya muncul di layar) bersuit-suit dengan vulgarnya.

Ugh. Dari segi apapun, Ananda jelas nggak selevel dengan satu ekor pun cowok-cowok di area kampus itu. Tapi, nggak ada salahnya menikmati tatapan penuh puja itu semaksimal mungkin.... Cewek itu kemudian menegakkan kepalanya dan membuat langkahnya dibuat segaris seperti para model di panggung runway. Tinggi tumit sepatunya cukup untuk memastikan bokongnya bulat sempurna di balik celana panjang Zara-nya. Kletak, kletuk—begitu suara tumit sepatunya beradu dengan aspal hitam yang tampak agak beruap karena dibakar panas siang itu. And, damn, sekarang dia mulai merasakan keringat membasahi kening dan pelipisnya. Di mana sih klub sepeda sialan itu, pikirnya, melirik kiri-kanan. Pengen banget deh cepet-cepet menyelesaikan interviu ini dan kembali ke kantornya yang nyaman.

Nggak rela membuat sepatu cantiknya berjalan terlalu jauh, Ananda kemudian mencari mahasiswa yang dia rasa less creepy mukanya untuk ditanyai arah ke markas klub sepeda. “Belok kiri, ketemu pohon besar lalu belok kanan,” kata si mahasiswa, lalu lanjut menikmati es cincau hijaunya yang sepertinya kurang higienis itu. Sounds simple right? Except...

Ananda bahkan nggak melihat ada pohon besar yang dimaksud dari tempatnya berdiri saat ini. *bete*

*

Akhirnya sampai juga—THANK GOD!

Penampilannya saat ini pasti berantakan banget deh. Dia bisa merasakan ketiaknya basah di balik blazer keren yang dikenakannya. Dan make-up-nya juga pasti udah nggak jelas mengingat berkali-kali dia harus menggunakan tisu untuk mengelap keringat yang massively keluar dari pori-pori wajahnya, seperti air keran yang lupa ditutup. Berita bagusnya, dia nggak terlalu lama berjalan hingga akhirnya bertemu dengan pohon besar sialan itu. Dan memang benar, dari si pohon, dia bisa melihat jelas bagian depan bangunan yang diberi plang kayu bertulisan KLUB SEPEDA.

Seperti dugaan, Ananda membatin, memang lame banget kelihatannya....

Cewek itu nggak langsung ke sana. Dia beristirahat dulu di bawah rindangnya pohon untuk merapikan diri. Yah, memang sih nggak terlalu rapi seperti tadi ketika keluar dari taksi, tapi lumayanlah ketimbang dia datang ke Klub Sepeda dengan tampang acak-acakan. Ananda tersenyum masam memandangi bayangannya di hand mirror Anna Sui-nya, entah bagaimana lipstik di bibirnya bisa jadi pudar begitu. Yang keringatan sejak tadi kan keningnya, bukan di bibir. Tapi sudahlah. Percuma ngomel-ngomel, nggak akan menyelesaikan masalah. Ananda pun merogoh laci tasnya dan mengambil lipstik dari dalamnya. Pulas bibir atas, pulas bibir bawah, ratakan dengan jari kelingking... beres!

Parfuman lagi nggak ya? Ananda sempat bertanya. OMG, bisa-bisanya bertanya segala! Tentu aja jawabannya IYA!!!

Dua menit kemudian, tubuhnya kembali dibungkus aroma freesia dan bunga mawar—top note-nya Vanitas. Ahh, she’s feeling better already!

*

Tok, tok, tok.

“Halo?” Nggak ada yang jawab. Jangan-jangan klubnya bubar, gumam Ananda sinis.

Tok, tok, tok.

Terdengar suara langkah kaki seseorang. Oh, klub lame ini ternyata ada anggota ceweknya juga. Seorang cewek berjilbab lavendel—euh, lebih ke lilac deh kayaknya—datang menghampiri Ananda dengan wajah bingung.

“Euh, halo. Ada yang bisa dibantu, Mbak?” tanyanya sopan.

“Saya Ananda dari majalah National Riches.” Biasanya, sambil memperkenalkan diri, dia kemudian menyodorkan kartu nama. Tapi sekali ini dia merasa terlalu gerah dan terlalu malas untuk melakukannya. “Beberapa hari lalu bikin janji wawancara dengan klub sepeda kampus ini. Kata Mas Hadi, saya akan berurusan dengan... Jerman gitu—eh, bener nggak namanya—katanya, senior klub ini gitu.”

Ngomong-ngomong, siapa sih orangtua yang tega menamai anaknya seperti nama negara yang terkenal karena Tembok Berlin dan Hitler-nya? Ananda pribadi jelas nggak menganggap nama itu appealing. Dia sendiri memang belum punya anak (puh-leez, married juga belum), tapi kalo punya anak kelak, namanya pasti nggak akan semengerikan ‘Jerman’. Dia sudah punya pilihan di dalam kepalanya: Friedrich atau Kurt. Yang mana saja boleh, soalnya keduanya adalah nama anak laki-laki Von Trapp yang diabadikan di Sound of Music yang legendaris itu.

“Oh, Jerman. Bentar ya, Mbak. JER, ADA TAMU LO NIH!”

Oh my, pikir Ananda sambil memegangi dadanya. Cewek berjilbab lavendel-mungkin-lilac itu boleh kelihatan anggun, tapi suara teriaknya membuktikan sebaliknya.

“SIAPA?” Suara nge-bass di ruangan belakangan berseru nggak kalah toa-nya.

“KATANYA, SAMA MAS HADI DIBUATKAN JANJI WAWANCARA SAMA LO!”

“OH. BENTAR!”

Memangnya nggak bisa ya si Jerman-Jerman itu datang aja nyamperin kemari, ketimbang teriak bersahut-sahutan kayak orang barbar? Bener-bener deh....

Suara itu akhirnya punya wujud. Early twenties, tinggi besar, dengan topi jenis snapback bertulisan DIRTY menutupi wajah si pemakai dengan bayangannya. Ananda terus memandangi cowok itu sampai akhirnya dia berdiri tepat di hadapannya, menjulang seperti Gunung Bromo, dengan mata nggak ramah dan mulut yang lebih nggak ramah lagi. “Hadi berengsek!”

“Euh, pardon?”

“Dia bilang, gue bakal diwawancara reporter olahraga—“ Ucapannya terpotong karena kini cowok itu memandangi Ananda dari ujung kepala hingga ujung kaki, lalu kembali lagi ke ujung kepala. Tepatnya fokus di bando berpita di puncak kepala cewek itu. Cowok itu lalu mendengus, “—bukan Barbie kayak gini.”

“Wow. Sopan banget ya ngomongnya.“ Sebagai catatan, dia nggak keberatan dibilang Barbie. Hello, siapa coba yang nggak bangga disamain dengan mainan yang diklaim mempromosikan kecantikan nggak realistis itu? Tapi... kalo bilangnya disertai gesture menghina begitu, jelas sebutan ‘Barbie’ yang ditujukan baginya sama sekali bukan pujian kan?!

Cowok itu terbelalak kaget, buru-buru mengoreksi ucapannya. “Eh, sori, sori. Gue suka nggak nyadar ngomongin langsung apa yang sedang gue pikirin.”

Makin menyakitkan! “Dan menurut lo,” Ananda balas memelototi cowok itu sambil berkacak pinggang, “yang barusan itu permintaan maaf yang bener?”

“Gue kan udah minta maaf.”

Permintaan maaf yang sama sekali nggak tulus, imbuh Ananda gemes. Tapi kemudian, cewek itu menarik napas panjang dan membuang sebagian kekesalannya, bersama karbondioksida, melalui lubang hidungnya. “Whatever,” cewek itu pura-pura menyibukkan diri dengan isi tasnya. “Mau di mana wawancaranya?”

“Di kantin aja gimana? Sambilan minum cendol gitu? Gue yang traktir.” Cowok itu menepuk-nepuk daerah perutnya dan Ananda nggak bisa menahan diri untuk nggak ternganga kaget. Is that a—

“Itung-itung permintaan maaf,” kata Jerman lagi. “Suer, tadi gue beneran nggak bermaksud menyinggung perasaan lo.”

“....”

“Mau kan?”

Ananda menelan ludah. Saat ini, dia nggak punya banyak pilihan. “Fine.”

“Glad to know. Yuk!”

Ananda nggak banyak komentar ketika berjalan mengekori cowok setinggi Bromo itu. Meskipun begitu, sambil berjalan gontai, cewek itu diam-diam membatin. Dear Charles Frederich Worth, father of haute couture, aku ini dosa apa sih? Bisa-bisanya di siang seterik ini, harus berurusan dengan cowok yang suka teriak-teriak kayak orang kampung, punya mulut yang berkomentar seenak udel, dan... dan...

Ananda membuka mata dan menyeringai ngeri pada benda jelek di hadapannya.

... pakai tas pinggang?! For Givenchy’s sake, kok tega sih Father mencobai aku sekejam ini?!

HELLO!

Berhubung akhirnya Abang memutuskan menamatkan MEET LAME di season tiga (sad, I know), jadi sudah saatnya menyiapkan proyek bacaan baru di Wattpad. Here it is: DIRTY! Ditunggu ya vote-nya. Boleh dong 300-nya, Kakak-kakak.... Semakin banyak vote, berarti semakin semangat Abang menulis PART DUA-nya cerita baru ini. Asyik kaaaan?

BERANI KOTOR ITU SEKSI, SAYANG!

X,

CHRISTIAN SIMAMORA

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro