Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

PART 7

Luna mengemasi barang-barangnya. Rasanya sudah cukup kesabarannya untuk terus tinggal di rumah. Menjadi saksi pertengkaran orang tua yang tiada usai. Sejak kecil mereka telah menyuguhkan hal yang seharusnya tidak layak untuk dia lihat. Luna tidak habis pikir dengan ke dua orang tuanya. Yang satu seperti candu menyiksa, yang satunya lagi malah seperti candu disiksa. Tekad Luna sudah bulat. Ditambah hari ini sang bapak telah mempermalukannya di depan Radit. Tanpa berpikir panjang, lelaki paruh baya tersebut telah menunjukkan siapa dirinya sebenarnya.

Selama berhubungan dengan Radit, mereka memang belum pernah membahas tentang hal tersebut. Perikahan bukanlah sesuatu yang mudah. Ditambah rasa trauma masih tersisa di dalam diri Luna. Rasa was-was jika saja Radit bukan lelaki yang tepat masih memenuhi kepalanya. Hubungan yang masih seumur jagung itu belum bisa dijadikan tolak ukur apakah Radit adalah sosok yang baik atau tidak. Buktinya, kejadian beberapa malam lalu membuat Luna merasakan ketakutan yang amat sangat.

Luna meraup wajahnya. Masih tersisa lebam di pipi kiri serta bibir yang sedikit pecah. Wanita berkulit kuning langsat itu menggelung rambut panjangnya ke atas. Menyisakan beberapa anak rambut yang sengaja dibiarkan terurai menyentuh pipinya. Kecantikan alami dengan wajah khas timur tengah bertengger di sana. Alis yang berbaris rapi lebat kehitaman, di tambah dengan bulu mata lentik serta mata bulat lebar. Mata yang terkadang menatap sendu penuh ketidakpercayaan diri, akan tetapi terkadang memiliki sorot yang tajam seperti hendak menelanjangi siapa saja yang ada di depannya.

Luna kaget mendengar ketukan di pintu kamar. Padahal ia telah bergegas, agar kepergiannya tidak sampai dilihat oleh sang ibu. Namun, rencana itu gagal. Ibunya pulang lebih awal dari biasanya.

"Luna, apa yang terjadi, Nak? Buka pintu, Sayang!" seru ibunya dari luar.

Luna yakin jika sang ibu telah melihat kondisi dapur yang berantakan. Serpihan kaca pecahan gelas tadi masih berserakan di lantai dapur. Ia mengabaikan seruan Anita. Pikirannya sudah bulat. Segera pergi dari rumah yang kondisinya sudah tidak sehat jauh lebih baik daripada sibuk memikirkan perasaan orang lain. Luna menganggap kesalahan terdapat pada ibunya. Dengan mempertahankan peenikahan dengan sang ayah, sama dengan ibu menghancurkan masa depannya sendiri serta dirinya.

"Luna! Buka pintu!"

Gedoran makin kuat saja dari arah pintu kamar. Namun, Luna tetap acuh. Ia menutup tas koper yang akan dibawanya. Kemudian mendorong ke arah pintu. Anita terkejut saat melihat Luna membuka pintu kamar. Wajah lebam Luna terlihat kontras dengan kulitnya yang kuning langsat.

"Apa ini perlakuan bapakmu?" Anita bertanya sambil berusaha untuk menyentuh Luna. Luna mengelak. Ia tidak suka, menurutnya sang ibu sudah tahu dan tidak sehatusnya bertanya lagi.

"Menurut ibu, selain laki-laki itu, siapa lagi yang bisa bertindak keji di rumah ini?" Luna menjawab penuh emosi. Meskipun ia merasa kasihan melihat wanita paruh baya yang telah membesarkannya itu.

Sejak ia kecil tak pernah sekali pun Luna melihat ibunya bahagia. Wanita itu rela mengorbankan diri demi keluarga. Yang paling menyakitkan adalah lelaki yang disebut suami itu tanpa rasa malu malah ikut menikmati hasil kerja keras sang istri. Tidak pernah membantu, yang dia tahu hanya memeras dan memeras. Cacian, makian serta pukulan sudah menjadi makanan sehari-hari yang harus Anita dapatkan.

Anita menarik napas panjang dan mengembuskan dengan kasar. Ia terlihat gusar. Pikirannya kacau. Rasa sakit hati suah tak terbendung lagi untuk suami. Namun, dia seolah tidak mampu untuk lepas dari jeratan Beni. Pernah dulu, di saat Luna masih bayi, Anita berusaha untuk lari dari rumah. Saat itu tekadnya sudah bulat untuk bercerai. Namun, Beni selalu mengancam jika ia akan membunuh Luna yang masih bayi jika saja Anita sampai berani melahirkan diri. Hidup seorang diri tanpa orang tua dan saudara kandung, membuat Anita tidak punya pilihan lain selain mematuhi keinginan suaminya. Luna tidak tahu itu. Anita tidak pernah menceritakan apapun kepada Luna. Ia tidak ingin jika Luna semakin membenci Beni.
Begitu juga saat ini. Anita masih memilih untuk bertahan bersuamikan Beni yang ringan tangan. Ia juga mengancam dengan ancaman yang berbeda. Setiap saat keinginan untuk bercerai muncul, tapi saat itu juga Anita menepisnya. Ia tidak mau jika Beni benar-benar melakukan ancaman biadabnya terhadap Luna.

"Mau ke mana kamu, Nak? Jangan pergi. Ibu tidak mengizinkan!" Suara Anita terdengar bergetar. Ia sedang menahan tangis.

"Apa aku harus mendengar ibu? Sedangkan ibu masih saja bertahan dengan lelaki brengsek itu."

"Luna. Ibu mohon. Kamu tidak tau apa alasan ibu memilih bertahan dengan bapakmu. Dan kamu tidak perlu tau itu."

"Maaf, Bu. Kali ini aku harus pergi. Ibu bertahanlah hidup bersama bapak."

Luna menarik kopernya dan berlalu dari hadapan sang ibu. Anita berusaha untuk menghalangi. Namun, Luna tidak menggubris. Ia mengeraskan hati agar tidak kasihan melihat ibunya yang terus menangis.

"Luna, dengarkan ibu, Nak!" Anita mengiba. Air matanya tak terbendung melihat Luna yang keras kepala. Dadanya terasa sesak dan susah bernapas. Namun, ia memaksa untuk tetap menahan Luna agar tidak pergi meninggalkan rumah.

Sedangkan Luna masih teguh dengan pendiriannya. Tekadnya sudah bulat. Pergi meninggalkan rumah adalah pilihan terbaik menurutnya. Ada rasa kasihan melihat ibunya. Ingin rasanya ia membawa sang ibu ikut serta, akan tetapi ibu lebih memilih disiksa dari pada lepas dari jeratan suami bejat.

"Lu-na ... ja-ngan per-gi, Nak!" Suara Anita tersendat. Semakim ia paksa, semakin susah pula ia untuk bernapas.

Melihat kondisi Anita, Luna pun menghentikan langkahnya. Ia melihat sang ibu yang menyandarkan diri ke dinding dekat sofa ruang tamu. Sebelah tangannya memegang dada. Napasnya naik turun tidak teratur.

"Ibu ...!" Luna melepaskan kopernya dan mendekati sang ibu. Wanita itu membopong tubuh Anita dan merebahkannya di sofa. Kemudian ia segera menuju dapur. Tak berapa lama, Luna kembali dengan segelas air putih di tangan. Gadis itu membantu ibunya untuk duduk dan meminumkan air putih yang tadi ia bawa.

Setelah beberapa menit Luna menggusuk punggungnya, Anita merasa sedikit baikan. Ia menatap sang putri dengan wajah sendu dan mata berkaca-kaca.

"Jangan pergi, Nak. Hanya kamu satu-satunya yang ibu miliki untuk saat ini. Jangan tinggalkan ibu dalam kondisi apa pun. Kita akan berjuang untuk bisa membebaskan diri. Beri ibu waktu, Sayang. Kita tidak boleh gegabah. Karena bapakmu bisa kalap jika kita tidak mengindhakan perkataannya." Air mata menetes dari pipi tirus Anita.

Luna menghela napas. Ia sudah menduga, tidak mudah untuk bisa keluar dari rumah ini. Hanya ibunya saja yang ia pikirkan. Hati Luna seketika luluh melihat wajah sang ibu yang mengiba kepadanya. Tanpa disangka ia pun ikut menangis dan memeluk ibunya.

Anita pun memeluk Luna erat. Anak semata wayang yang ia jaga sepenuh hati hingga ia sudah dewasa seperti sekarang ini. Luna tidak tahu dan tidak akan pernah tahu, akibat jika ibunya bersikeras untuk pergi, maka Beni tidak akan berhenti untuk mencari Luna dan menghancurkan masa depannya. Bukan dirinya sendiri yang ia khawatirkan, melainkan keselamatan Luna yang ia risaukan. Toh, selama ini Beni tidak pernah menganggap Luna sebagai anaknya. Ia malah menginginkan Luna sebagai pelampiasan birahi iblis yang tidak berkesudahan.

Bersambung

Duh, kapan juga, nih, Radit lamar Luna? Serumit itu, ya, hidup Luna. Kasian kasian kasian😥😥😥😥

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro