PART 6
Radit mengendarai mobil membelah jalan raya. Pikirannya hanya tertuju untuk Luna. Gadis manis yang telah lama mengisi ruang hatinya. Perempuan sederhana yang sangat jauh berbeda dari mantan-mantan Radit sebelumnya. Para wanita yang hanya mengincar uang lelaki kaya itu saja. Luna sangat istimewa bagi Radit. Tekadnya sudah bulat, Luna-lah pilihannya selama ini. Radit ingin memiliki wanita polos itu seutuhnya.
Mobil hitam milik Radit tiba di halaman rumah Luna. Bukan perumahan modern seperti sekarang ini. Namun, rumah itu terlihat asri dan terawat. Dengan halaman yang luas ditumbuhi oleh rumput-rumput halus menutupi tanah. Tidak ada berbagai jenis bunga di sana, di sudut sebelah kanan hanya ditumbuhi beberapa batang pohon mangga yang rimbun. Sedangkan di sebelah kiri terdapat hamparan rumput gajah mini yang menghijau menyejukkkan mata. Radit membelokkan mobil ke arah kanan dan memarkirkannya tepat di bawah pohon mangga.
Begitu melihat mobil mahal memasuki halaman rumahnya, Beni bergegas pulang dari warung sang janda kembang. Matanya berbinar seolah melihat mangsa yang masuk perangkap.
"Belum siang, tapi sudah ada yang mau mengantarkan uang," ungkap Beni sambil tersenyum senang. Lelaki itu tahu jika si pemilik mobil adalah orang kaya, meskipun ia belum melihat orangnya. Namun, melihat dari mobilnya yang bermerek mahal, pasti yang datang bukanlah orang sembarangan.
"Wih wih wih, wanita tua dan anaknya itu sama-sama menjadi pundi penghasil uang." Lelaki tambun itu kembali terkekeh.
Sementara itu, Luna kaget akan kedatangan Radit yang tiba-tiba. Padahal jauh-jauh hari ia telah memperingatkan agar tidak pernah datang ke rumah. Ia tidak mau sang bapak akan memeras atasan sekaligus kekasihnya itu. Hal yang sangat memalukan. Akan tetapi, tanpa diduga Radit malah hadir di depan mata. Luna pun menyuruh ia masuk. Agak canggung karena selama ini belum pernah ada satu orang lelaki pun yang bertandang ke rumahnya.
"E ... ada tamu rupanya." Suara Beni memecahkan keheningan.
Luna kaget melihat ayahnya yang muncul tiba-tiba. Radit hanya tersenyum ke arah ayahnya Luna. Sudah sering ia mendengar tentang perangai sang bapak dari Luna, tetapi baru kali ini ia bisa melihat dan bertemu langsung dengan orang yang telah membuat Luna mendendam entah sampai kapan.
"Pak, saya datang melihat Luna. Ponselnya tidak aktidf saat saya hubungi." Radit bersikap ramah.
"O, ia. Silakan. Luna apa kamu akan membiarkan bapak malu tanpa menyuguhkan minuman untuk tamu istimewa ini?" Beni berujar sambil melirik ke atas Luna.
Luna mengalihkan pandangan ke arah Radit. Ia salah tingkah dan merasa malu dengan polah sang ayah. Segera gadis itu beranjak ke dapur untuk mengaduk minuman. Sementara di depan, Beni tanpa sungkan langsung melancarkan aksinya.
"Nak Radit bosnya Luna di kantor?"
"Ia, Pak. Saya atasan Luna."
"Wah, spesial sekali seorang atasan menjenguk seorang karyawan biasa seperti ini." Beni sudah menebak dari awal jika hubungan atasan dan Luna bukan sekadar urusan kerja.
"Saya hanya ingin menjenguk, Pak, juga ada sedkit keperluan," ujar Radit sopan.
"Begini, Nak Radit. Luna itu tidak pernah pacaran. Saya mengajarkannya begitu. Tidak baik anak perempuan gonta-ganti pasangan. Dan sekarang usianya sudah bisa untuk menikah. Jika saja ada yang serius datang melamar, maka dia akan bapak nikahkan."
Radit terlonjak mendengar ucapan Beni. Bukan berarti dia tidak ingin melanjutkan hubungan yang lebih serius dengan Luna. Hanya saja, Radit tidak menyangka jika ia akan ditodong dengan kata-kata begitu rupa. Sebenarnya Radit tidak memilik target untuk menikah di usia berapa, akan tetapi untuk sekarang dia sedang fokus dengan karir yang terus menjulang. Selama ini pun ia tidak pernah membahas hal seserius itu dengan Luna. Mereka hanya berjalan bersama dengan rasa kenyamanan yang diberikan satu sama lain.
Begitu juga dengan orang tua Radit, dia belum sama sekali memperkenalkan Luna dengan mereka. Radit tidak bisa menebak bagaimana respon ayah dan ibunya jika suatu waktu Luna dibawa ke rumah. Radit terdiam. Ia tidak menjawab. Pikirannya sibuk bekerja sendiri.
Tak berapa lama Luna muncul sambil membawa nampan berisi gelas minuman. Teh hangat menjadi pilihannya, ditemani beberapa cookies yang ia masukkan di dalam toples. Wanita itu pun mempersilakan Radit untuk menikmati hidangan sederhana yang ia suguhkan.
"Bagaimana Luna? Kamu sudah siap untuk menikah, 'kan?" Beni kembali membuka suara.
Luna kaget. Ia melirik Radit yang mengalihkan pandangan ke tempat lain.
"Maaf, Pak Radit. Silakan diminum tehnya, setelah itu bapak bisa pergi!" seru Luna tegas.
Ia memainkan sebelah mata ke arah Radit. Pertanda meminta lelaki itu segera beranjak. Lama-lama berbicara dengan ayahnya, membuat suasana jadi tidak nyaman.
"Lho, kok malah ngusir bosnya?"
Luna tetap diam tidak menjawab. Dia sangat kesal terhadap bapaknya.
Setelah meneguk teh yang disuguhkan beberapa kali, Radit pun berpamitan. Ia merasa tidak enak. Pikirannya dipenuhi ucapan Pak Beni sebelumnya.
Sepulang atasannya, Luna bergegas memberekan meja ruang tamu. Meletakkan kembali cangkir bekas minuman ke atas nampan dan segera beranjak ke dapur. Pak Beni mengikuti langkah sang anak.
"Kalau kamu nikah sama dia. Hidup kita akan bahagia. Tidak ada kekurangan sedikit pun."
"Selama ini, aku dan ibu juga sangat bahagia, dan akan lebih bahagia lagi jika bapak segera menceraikan ibu!" Luna berkata tajam ke arah bapaknya.
"Anak kurang ajar! Diajari malah tidak tahu diri. Sama saja kamu seperti ibumu, menyebalkan!"
"Bapak tidak perlu susah-susah mengajariku. Ibu telah mengajariku segala hal."
"Biadab! Anak tidak tahu diri!"
Beni melancarkan tamparan ke arah pipi Luna. Luna menjerit, nampan di tangan terlepas begitu saja. Kepingan kaca berserakan memenuhi lantai. Luna terhuyung. Tanpa belas kasih, Beni terus menyiksa anaknya. Jambakan serta pukulan telak mengenai wajah dan tubuh Luna.
"Kalau kamu masih mau tinggal di sini, rayu bosmu itu agar mau menikahi kamu!" Beni berlalu meninggalkan Luna yang menangis. Ia terduduk di lantai sambil memegangi pipinya yang sakit. Bibirnya juga ikut pecah dan terasa sangat perih.
Luna tidak habis pikir akan sifat Beni, bapaknya. Kenapa ibu masih mau memperjuangkan pernikahan mereka, sedangkan perangai sang suami sangat tidak pantas untum menerima cinta dan pengorbanan yang terus saja ibu berikan.
"Ingat itu Luna. Rayu bos-mu itu. Duitnya banyak. Rugi cantik kalau cuma dapat orang miskin!"
Beni berteriak lantang dari arah pintu depan. Tak lama setelah itu Luna mendengar suara pintu yang dibanting keras.
"Dasar manusia benalu!" Wanita itu bersungut kesal. Ia kesal terhadap dirinya sendiri serta sang ibu. Menghidupi bapak sama saja dengan perbuatan sia-sia.
Bersambung
Gimana kira-kira, nih? Luna mau gak nikah sama Radit. Eeits, tapi tunggu dulu, Raditnya mau ngelamar Luna, gak? Katanya cinta, 'kan, ya?
Tunggu besok lusa, ya. Mak Thor gak sanggup update satu hari sekali. Hayati lelah, Genks😄
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro