Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

PART 3

"Kamu memang tidak becus jadi ibu. Didik anak satu saja ngga bisa bener!" Beni meneror istrinya dengan kata-kata kasar.

Retno yang sedari tadi sibuk memanggil ulang nomor ponsel milik Luna akhirnya memilih berhenti. Kata-kata sang suami terdengar sangat memojokkan. Tanpa ada rasa takut, Retno menatap suaminya tajam.

"Jadi Luna itu bukan anakmu? Apa menurutmu kamu sudah becus ngurusin anak? Menafkahi, menghidupi, mencintai, hah!" Wanita paruh baya itu menjawab ketus kalimat suaminya. Kekesalannya sudah tidak bisa lagi ditolerir. Akan tetapi dia selalu tidak tega untuk meminta pisah. Pernah beberapa kali ia berusaha pergi dari rumah, tapi air mata sang suami menahan langkah kakinya. Retno adalah seorang pengiba, ia tidak sanggup melihat Beni memohon-mohon untuk tidak berpisah. Namun, suaminya itu tidak pernah mau merubah tabiat buruk di yang dimiliki. Di lain hari, tangan dan mulutnya akan dengan mudah menyakiti kembali.

Sejak awal menikah sang suami memang sudah memperlihatkan perangai buruknya. Akan tetapi, Retno selalu berusaha untuk sabar. Ia selalu berdoa agar sang suami bisa berubah suatu waktu. Apalagi di bulan ke dua pernikahan mereka, Retno hamil anak pertama sejak bayi hingga besar adalah sebuah hal yang sia-sia. Beni tidak mau susah. Retno memendam semuanya sendiri. Wanita tegar itu tidak pernah menceritakan perihal rumah tangganya kepada orang lain. Bahkan wanita itu rela bekerja untuk membiayai suami dan anaknya.

Jika pun sang suami mendapatkan sedikit uang, maka uang tersebut akan dihabiskan di luar rumah. Mengajak jalan-jalan wanita lain yang ia suka. Bukannya Retno tidak tahu dengan tingkah polah sang suami, akan tetapi entah kenapa dia seperti merasa susah untuk melepaskan diri dari Beni. Padahal Luna setiap hari mencoba untuk membuka matanya agar meninggalkan lelaki itu seorang diri. Namun, lagi-lagi rasa cinta dan sayang Retno terhadap Beni masih lebih kuat dibandingkan rasa benci.
"Berani kamu melawan, Retno!"

PLAK!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi tirus Retno. Wajahnya terpaling. Rasa sakit di pipi tidak sebanding dengan hatinya yang selalu saja berdarah. Makan hati telah menjadi ritual Retno setiap hari.

"Berpuluh tahun kamu menyakitiku, Beni. Apa lagi yang kurang? Kamu hidup di rumah tinggal goyang-goyang kaki. Pernah aku mengeluh?"

"Banyak cakap! Kamu urus itu anak pembawa sialmu. Mau jadi apa dia di luar sana? Jam segini masih berkeliaran. Apa mau jual diri?" Beni tak juga menghentiikan umpatannya.

"Cukup, Beni! Luna itu anakmu. Darah dagingmu. Tega-teganya kamu ngomong begitu. Bapak macam apa kamu?"

Rasanya Retno sudah tidak sanggup lagi meladeni sang suami. Beberapa tahun terakhir ini kondisi wanita itu memang sedikit mengkhawatirkan. Ia sering sekali jatuh pingsan tanpa sebab. Saat memeriksakan diri ke dokter, dokter hanya menyarankan agar ia lebih banyak beristirahat dan menenangkan pikiran. Retno hanya terlampau lelah dan memiliki banyak hal yang dipikirkan.

Melihat kondisi istri yang sudah memucat, Beni bukannya menolong. Dia malah kembali mengatai-ngatai sang istri. Entah ke mana hati nuraninya. Sedikit pun tidak terbersit rasa khawatir akan kesehatan sang istri. Beni memilih pergi ke luar rumah. Meninggalkan Retno yang hanya bisa terisak sambil menopang tubuhnya di sebuah kursi kayu yang terletak di sudut kamar.

"Luna, pulanglah, Nak!"

***
Di depan sebuah kamar penginapan, Radit berdiri dengan wajah memerah menahan amarah. Dia merasa terhina dengan perlakuan Luna. Radit merasa Luna terlalu sok suci untuk menolak sebuah hal yang sudah menjadi kebiasaan setiap pasangan jaman sekarang. Luna terlalu kolot dan kuno menurut Radit.

"Luna! Buka pintu!"

Luna masih terpaku tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Bagaimana bisa lelaki kaya tersebut bisa menemukannya. Dia tersentak saat gedoran semakin bertalu

"Jangan sampai aku melakukan cara kasar, Luna!" Suara Radit terdengar tidak seperti biasanya. Ketakutan Luna semakin bertambah. Ia bergerak perlahan untuk memutar kunci pintu kamar. Apa pun yang terjadi ia tidak bisa terus-terusan bersembunyi dari Radit pikirnya. Setelah mengumpulkan kekuatan, Luna menarik gagang pintu. Dengan kasar Radit mendorong pintu agar terbuka lebar. Setelah berada di dalam kamar, lelaki itu menendang pintu kamar menggunakan sebelah kakinya. Tidak lupa lelaki tersebut memutar kunci yang tersangkut di lubang pintu

Tatapannya begitu menusuk. Rahangnya mengeras serta tangannya ikut terkepal. Urat-urat di sekitar pelipis Radit terlihat menonjol menandakan amarah yang tak tertahankan. Lelaki berperawakan tinggi dengan dada bidang tersebut mendekati Luna. Sebelah tangannya menjambak kasar rambit sang gadis. Sedangkan tangan satu lagi mendorong tubuh Luna hingga terbentur dinding kamar berwarna biru muda tersebut.

"Kamu pikir aku apa? Bisa bermain-main denganku?" tanya Radit sambil merapatkan gerahamnya. Terdengar bunyi gemeletuk di sana.

"Maafkan aku, Radit. Aku tidak bisa. Aku-aku tidak bisa!" Luna menjawab dengan suara bergetar. Ia begitu ketakutan. Belum pernah sebelumnya ia melihat Radit bersikap seperti itu. Radit yang biasanya selalu menenangkan dan memanjakan, tapi malam ini begitu berubah.

"Kamu pikir aku akan memaafkanmu?" Emosi Radit masih meledak-ledak. Wajah mereka nyaris terbentur. Begitu dekat. Setiap embusan napas dari ke duanya terasa bagai tamparan birahi yang dirasakan.

"Radit. Tolong jangan sakiti aku. Jika tidak ..."

"... jika tidak apa?"

"Ra-Ra ..."

Radit tidak lagi melepaskan Luna untuk ke dua kalinya. Ia membekap mukut gadis itu dengan bibirnya. Sehingga membuat Luna susah bernapas. Dorongan yang Luna lakukan pun tidak berarti apa-apa. Tubuhnya terlalu ringkih untuk melawan kekuatan Radit.

"Radit! Kontrol dirimu! A-aku tidak mau seperti ini."

Luna mencoba melawan saat Radit merenggangkan tubuhnya. Namun, kembali lagi hak yang sama ia lakukan. Mulutnya kembali disumbal dengan gumulan yang begitu menjijikkan. Radit merapatkan tubuhnya menghimpit Luna. Ke dua tangan wanita itu diletakkan sejajar dengan kepala, dengan posisi menempel ke dinding. Luna lemas tidak berdaya. Tubuhnya terasa sakit semua. Ia tidak menikmati sedikit pun dengan perlakuan lelaki yang sekarang sedang menghimpit tubuhnya.

"Kamu yang memintaku untuk bersikap begini, Luna. Seandainya tadi kamu tidak lari, pasti semua sudah selesai dan kamu tidak akan sakit seperti ini."

Radit merobek paksa baju kemeja yang Luna kenakan. Kemudian mencampak kasar ke lantai. Beberapa saat kemudian tangannya beralih menarik celana jeans wanita malang itu. Luna berusaha untuk menghindar. Dengan sisa tenaga yang ia miliki, gadis itu menendang perut Radit menggunakan lututnya. Radit mengaduh dan melepaskan cengkeraman di tangan Luna. Luna berusaha berlari meraih pintu. Namun, dengan sigap Radit menarik paksa tangan kekasihnya tersebut. Wajah pucat Luna semakin pucat saat menatap mata Radit yang kian memerah. Antara amarah serta napsu yang tak lagi tertahankan.

"Ra-dit. Kumohon, lepaskan aku!"

Lelaki itu tidak menghiraukan. Bagai seorang yang kerasukan, ia malah menjatuhkan Luna ke atas kasur dan mulai menindihnya. Radit seperti kesetanan ingin menaklukkan Luna. Bekas gigitan memerah di bagian leher serta dada milik Luna. Lelah dalam ketakutan, akhirnya Luna terdiam dengan mata terpejam. Wanita muda itu pun pingsan.

Bersambung.

***

Duh, Luna, kamu itu polos unyu-unyu, ya. Ngeri banget tuh si Radit. Main terkam aja. Sudah tau perempuannya gak mau, dia malah maksa.

Gimana kisah mereka selanjutnya, ya? Sambil aku mikirin jalan cerita untuk Part 4, kalian bantu like dan komen, dong. Biar akunya makin semangat buat nge-up.

Makasi buat yang sudah setia singgah😙😙😙

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro