PART 2
Kemarin Radit dan Luna mau masuk kamar hotel, ya? Mau ngapain ya mereka?🙈🙈🙈
Yuk kita lanjut, Radit-Luna part 2.
***
Tatapan mereka kian lekat. Tatapan cinta yang dipenuhi napsu menggelora. Bagi Luna, ini adalah hal pertama kali yang ia rasakan. Belum pernah sekali pun hingga usianya saat ini gadis itu diperlakukan sedemikian rupa oleh lelaki. Disebabkan karena dia memang selalu menjaga jarak. Luna tidak pernah dekat dengan lelaki mana pun. Menurut Luna setiap lelaki itu sama. Sama-sama bejad dan jahat seperti bapaknya.
Entah kenapa pula, gadis itu bisa luluh dengan sikap Radit. Seorang lelaki mapan dan juga tampan yang selalu memperhatikannya secara terang-terangan. Berlaku romantis di depan seluruh karyawan tanpa ada rasa sungkan. Padahal dia adalah orang pertama di perusahaan Luna bekerja. Presiden direktur Raditya Mahendra. Siapa yang tidak mengenal lelaki tersebut. Anak dari seorang konglomerat ternama yang perusahaannya ada di mana-mana.
Dibandingkan dengan Luna, ia hanya seorang anak pegawai negeri sipil biasa. Ibunya mengajar di sebuah TK, sedangkan sang bapak hanya menghabiskan waktu di rumah atau keliling kampung tanpa arah tujuan. Lebih sering menghabiskan waktu di warung janda Martini yang baru saja ditinggal mati suaminya.
Nasib baik Luna bisa diterima di perusahaan milik Radit. Sengaja lelaki itu memang meloloskan Luna untuk menjadi karyawan di perusahaannya, agar ia bisa lebih leluasa mendekati Luna. Awalnya Radit mengenal Luna saat SMA. Radit pernah menghabiskan waktu satu tahun di sekolah yang sama dengan Luna. Sekolah elit untuk golongan ke atas. Biayanya pun bukan main-main, sesuai dnegan isi kantong para orang tua yang mempunyai gudang uang di mana-mana. Lagi-lagi Luna tersesat ke sekolah tersebut karena kecerdasannya. Gadis pendiam yang pintar itu berhasil mendapatkan beasiswa.
Dari sanalah awal mula Radit mengenalnya. Seorang gadis cantik pendiam yang begitu mencuri perhatian. Namun, Luna remaja tidak sama dengan remaja-remaja lainnya. Waktunya hanya dihabiskan untuk belajar agar beasiswa yang didapatkan tidak putus di tengah jalan. Rasa penasaran Radit semakin meningkat, akan tetapi semua harus di akhiri karena ia dipindahkan sekolah ke luar negeri oleh orang tuanya.
"Kamu itu nggemesin, Sayang." Radit berujar sambil mencuil hidung Luna.
"Dit, apa ngga apa-apa, nih, kita di sini? Berduaan!"
"Sayang. Hussh!"
Radit meletakkan telunjuknya di atas bibir Luna. Mengisyaratkan gadis itu untuk diam tak banyak bertanya.
Radit pun membimbing Luna perlahan. Mengajari seperti anak kecil yang belum bisa apa-apa. Mulai dari atas hingga ujung kaki, sesenti pu tak luput dari sentuhan Radit.
"Kami terlihat begitu profesional, Sayang," ujar Luna di tengah-tengah ketidaksadaran diri. Radit telah mengunci seluruh tubuhnya.
"Tidak perlu profesional untuk hal seperti ini, Sayang. Bermainlah bersama naluri, maka kau akan terpuaskan."
Setelah menjawab, Radit kembali membuat Luna tak bisa bernapas. Mengulum semua milik Luna. Merabai dengan tangan liarnya. Luna mengejang. Mencoba menikmati sensasi indah yang belum pernah ia dapatkan.
"Aku-aku ... takut." Luna masih mencoba mengontrol diri dalam desahan yang semakin memuncak.
"Kamu takut apa, Sayang?"
"Takut hamil!"
***
Luna melarikan diri dari hotel mewah yang di pesan Radit. Gadis itu meninggalkan kekasihnya sendirian di sana. Luna tidak sanggup untuk melanjutkan perbuatan yang menurutnya tidak benar itu. Wajah sang ibu yang menangis histeris terpampang nyata di pelupuk matanya. Semakin ia berusaha untuk menepis, semakin wajah teduh wanita paruh baya itu tidak bisa dihindarkan. Akhirnya Luna memutuskan untuk lari dari kamar hotel dan meninggalkan Radit yang masih tidak berpakaian.
Dengan kondisi yang awut-awutan gadis itu menyetop taksi di pinggir jalan. Merapikan baju yang ia kenakan asal-asalan. Bahkan gadis itu meninggalkan pakaian dalamnya di lantai kamar hotel. Hanya selimut serta baju dan celana jeans-nya yang sempat ia tarik saat berlari tadi.
"Maafkan aku, Radit. Maafkan aku!"
Luna menutup wajahnya menggunakan dua telapak tangan. Hampir saja ia menyerahkan kehormatan yang ia miliki terhadap lelaki yang bum sah menjadi pasangan hidupnya. Ia telah terlena dengan ketampanan dan bujuk rayu yang Radit lontarkan.
"Kamu terlalu berani, Sayang. Kita sudah sejauh itu."
Luna kembali terisak. Pikirannya melayang-layang mengingat apa yang telah terjadi beberapa saat lalu. Masih jelas jejak bekas kemerahan di lehernya. Masih terekam jelas bagaimana Radit menikmati setiap lekuk tubuhnya. Rasa panas kembali menjalar saat ia mengingat desahan Radit yang menampar telinga. Jambakan halus yang diberikan membuat sensasi itu masih jelas terasa.
"Arrghhh!"
Luna mengempaskan tubuhnya ke kursi taxi. Berusaha menepis setiap ingatan yang masih mengitari liar di kepala. Serta perasaan bersalah pada sang ibu. Di sisi lain ia takut Radit akan marah besar dan akan memutuskan hubungan mereka. Luna menjadi serba salah. Gadis cantik itu meraup wajahnya frustasi. Berulang kali Luna menatap layar ponsel yang masih gelap. Membuka kata sandi dan mengecek pesan whatsap. Gadis itu menanti panggilan atau sekadar pesan masuk dari Radit. Nihil, sudah hampir lima belas menit ia berada di dalam taksi, Radit tidak menghubungi.
Luna semakin kalut. Ia juga enggan untuk memulai mengirim pesan, akan tetapi dia takut jika Radit akan marah besar. Gadis itu masih mencintai Radit. Ia tidak mau hubungan mereka jadi hancur berantakan. Air matanya kembali mengalir. Di satu sisi ia menyesali keputusannya untuk berlari di saat Radit sedang kepayahan dengan kondisi tubuhnya. Namun, di antara kesadaran yang hampir setengah telah hilang, Luna merasa ada yang salah di saat ada seorang laki-laki yang sedang mendesah di atas tubuhnya. Lelaki yang sedang berusaha menuju titik vital serta menjamah maahkota yang selama ini ia jaga.
"Pak, saya berhenti di penginapan di depan belokan itu saja!" seru Luna kepada sopir taksi.
Sang sopir hanya mengangguk. Ia melirik Luna dari kaca mobil yang ada di depannya. Merasa iba melihat wajah sembab milik Luna. Namun, kecantikan alami yang gadis itu miliki masih terlihat jelas olehnya.
***
Luna merebahkan tubuhnya di atas kasur yang berukuran sedang di dalam sebuah kamar penginapan. Ia sengaja tidak memilih pulang. Bisa menjadi bulan-bulanan bapak jika saja ia nekad untuk pulang dengan kondisi yang tidak jelas seperti sekarang ini. Kembali ia memeriksa ponsel. Tidak ada tanda-tanda jika seseorang akan menghubunginya. Luna menatap poto profil WA milik Radit. Wajah tampan milik seorang pewaris tunggal seluruh aset kekayaan milik keluarga Mahendra, tersenyum dingin di sana. Radit memang terkenal dingin di perusahaan. Ia sangat disegani oleh semua karyawan. Hanya dengan Luna ia akan bersikap layaknya seorang lelaki yang menjadi pelindung untuk seorang perempuan.
Luna masih menatap foto Radit. Ingin ia mendial terlebih dahulu, akan tetapi jemarinya seakan tertahan perasaan takut lebih dominan. Tak lama sebuah panggilan masuk. Nomor telepon ibunya tertera di sana. Luna pun menjawab panggilan tersebut.
"Binatang liar! Jam segini kamu belum pulang, di mana kamu, hah?"
Suara bapak terdengar lantang serta penuh emosi di seberang sana. Luna menepis. Ia tidak menjawab, malah mematikan panggilan dan menonaktifkan ponsel miliknya. Gadis itu hanya menghormati ibunya, tapi tidak dengan bapak. Lelaki kasar yang hanya menjadi benalu di dalam kehidupan sang ibu. Menumpang hidup agar perutnya tetap kenyang dan segala kebutuhannya terpenuhi. Sedangkan ibu harus bekerja keras untuk menghidupi keluarga.
Di tengah kegalutan pikirannya. Gadis itu mencoba untuk memejamkan mata. Jarum jam sudah menunjukkan pukul empat pagi. Di saat rasa kantuk sudah mulai menyerang, terdengar panggilan dari depan pintu kamar.
"Luna. Aku tahu kamu di sini. Buka pintu!"
Suara itu begitu jelas.
"Ra-ra-dit ...," lirih Luna gemetar. Luna terduduk menghadap pintu. Ia terpaku tidak bergerak. Gadis itu heran kenapa Radit bisa tahu jika ia ada di sini.
***
Bersambung
Lanjut part 3, ya, kangkawans😄
Kasih semangatnya, dong. Biar aku cepet-cepet nge-up ceritanya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro