Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

PART 13

Luna mengempaskan tubuhnya di atas kasur. Ia merasa sangat lelah dan kepala pusing. Tanpa menghiraukan drama yang terjadi di luar kamar, gadis itu mencoba menenggelamkan kepala ke dalam bantal guling yang sedang ia peluk. Kedatangannya yang tiba-tiba di rumah membuat orang tuanya saling melempar tanya. Yang paling tidak bisa diam adalah Beni, lelaki itu terus saja memberondol Luna dengan berbagai pertanyaan dan kalimat-kalimat menyakitkan. Lelaku itu mengejek Luna dan menertawakannya sinis.

"Wanita kampung sok-sokan ngejar bos. Kamu pikir kamu bisa? Heleh!"

Anita juga menjawab kalimat Beni. Ia berusaha membela Luna walaupun ia tahu berdebat dengan Beni sama halnya dengan meluruskan benang basah, sia-sia!

"Dari pada bernasib sepertiku, wanita kampung yang dijodohkan dengan lelaki brengsek sepertimu. Kaya tidak, menyusahkan ia. Sia-sia hidup!"

Plak!

Kembali tamparan mendarat di pipi Anita. Wanita itu pun tersungkur ke pojok meja sambil memegangi pipinya yang semakin memerah. Beni begitu murka. Kalimat yang Anita lontarkan memukulnya telak tanpa ampun. Lelaki itu mengamuk habis-habisan, tidak ingin disalahkan juga dibanding-bandingkan. Melihat semua itu, Anita merasa puas.

"Sadar diri, Beni. Betapa bodohnya aku terus saja memberimu makan sia-sia. Menjamin hidupmu dengan menyediakan segala keperluan, termasuk rumah ini. Kamu hidup di atas harta yang kumiliki. Dengan sangat tidak sungkan, malam ini aku mengusirmu!"

Entah keberanian muncul dari mana, Anita bisa berkata dengan lancar terhadap suaminya. Wanita itu merasa jika ia harus berubah. Beni sudah sangat semena-mena. Puluhan tahun ia berusahan untuk mempertahankan rumah tangganya dan mengira suaminya akan berubah, akan tetapi semuanya hanya sia-sia.

Beni terdiam. Ia berpaling dan melihat ke arah Anita. Tatapannya yang menusuk tajam menohok ulu hati sang istri. Perlahan Beni mendekati Anita. Matanya memerah dengan rahang mengatup rapat. Anita bergidik. Ia mundur beberapa langkah. Secepat kilat sang suami tak tahu diri itu menjambak rambut Anita. Wanita lemah itu pun meringis kesakitan sambil ikut memegang rambutnya.

"Ampun, Beni. Lepaskan!" suara Anita mengiba. Kulit kepala seakan ikut tercabut akibat ulah sang suami.

"Sudah punya taring kamu? Sudah berani melawan?" Beni layaknya orang kesurupan. Ia terus saja menyakiti Anita tanpa ampun.

"Tolong lepaskan aku." Anita histeris.

Mendengar keributan di luar kamar, Luna terpaksa kembali membuka pintu dan melihat apa yang sedang terjadi. Ia mendengar sang ibu menjerit dari arah ruang tamu. Darah Luna berdesir, ia merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Bergegas ia menuju ke arah suara. Betapa terkejutnya ia saat melihat satu-satunya orang yanh ia cintai terjerembab di lantai. Kepalanya dipenuhi darah segar kehitam-hitaman. Beberapa pecahan vas bunga berserakan di sekitar Anita.

"Ibu!"

Luna berlari ke arah sang ibu. Beni yang terpaku di dekat tubuh Anita mulai sadar jika ia telah melakukan sesuatu jauh di luar batas. Ia telah menghantam kepala sang istri menggunakan vas bunga yang terletak di atas meja. Tangannya pun dipenuhi darah. Melihat Luna mendekat, Beni mengelakkan diri ke dekat pintu keluar.

"Biadab! Lelaki biadab!"

Luna tak bisa menahan tangis. Matanya nanar menatap sang ayah. Ia terduduk di dekat wanita yang telah melahirkannya. Merangkul dan meletakkan kepala yang dipenuhi darah itu kepangkuannya. Wajah Anita memerah dengan darah. Luna berteriak sekuat tenaga. Ia sangat ketakutan melihat kondisi ibunya yang tidak lagi bergerak. Mata terpejam dengan mulut terkatup rapat.

"Ibuu! Banguun!"

Sekuat tenaga ia mengoncang tubuh Anita. Namun, wanita paruh baya itu tidak lagi menjawab panggilan sang anak. Melihat kondisi tersebut, tanpa sepengetahuan Luna, Beni pun melarikan diri. Ia tahu jika Luna akan membalas semua kelakuannya. Ternyata benar, baru saja Beni menghilang, Luna pun melihat ke belakang. Ia tidak lagi melihat lelaki itu di sana. Tangis Luna semakin menjadi. Amarahnya kian membuncah. Perlahan kepala Anita kembali diletakkan di atas lantai. Darah tak henti mengalir dari kepala wanita tersebut. Lantai yang tadinya putih sekarang telah menjadi merah dan berbau anyir.

Luna panik! Ia tidak bisa berpikir jernih. Kondisi sang ibu membuat wanita itu kehilangan arah. Ia beranjak ke teras dan berteriak meminta pertolongan.

"Tolooong!"

***

Mobil ambulan datang setelah hampir satu jam dihubungi. Para petugas mengangkat tubuh Anita dan memasukkannya ke dalam mobil. Tubuhnya terasa dingin dengan darah yang masih keluar dari kepala. Luna juga ikut masuk ke dalam mobil untuk mengantarkan ibunya. Tak henti ia berdoa sambil menggenggam jemari sang bunda. Seolah ingin memberikan kekuatan agar ibunya segera membukakan mata.

"Ibu. Bangunlah. Bangun."

Gadis itu kembali terisak. Ia mulai berpikir yang tidak-tidak. Mulai berandai-andai, mulai menebak-nebak.

"Jangan tinggalkan aku, Bu." Luna kembali histeris di samping tubuh sang ibu. Mobil ambulan terus melaju kencang. Suara sirinenya terdengar begitu menyayat hati. Tak pernah terbayangkan oleh Luna jika semua akan seperti ini. Hidup bersama Beni sama dengan mengumpani singa yang suatu saat malah akan membahayakan majikannya. Bisa jadi singa lebih punya nurani dibandingkan Beni yang tak tahu diri.

"Aku akan mencarimu. Jangan harap kamu bisa lepas begitu saja. Bajingan!"

Api amarah itu kini sudah membentuk menjadi sebuah dendam. Darah dibayar darah. Kesakitan dibayar kesakitan, kematian dibayar kematian. Tidak ada yang akan bisa menghalangi Luna. Sudah cukup kesengsaraan yangbia rasa akibat perbuatan laki-laki yang selama ini dia panggil ayah. Lelaki yang perangaiya lebih busuk dari bau bangkai. Lelaki yang tabiatnya lebih tak beradab dibandingkan seekor binatang.

Setelah beberapa lama dalam perjalanan, ambulan memasuki kawasan rumah sakit. Bantuan medis segera berdatangan. Anita segera dilarikan ke ruangan operasi. Sedangkan Luna harus menunggu di luar dengan perasaan gundah dan was-was. Ia butuh seseorang untuk menemani. Luna butuh bahu untuk menyandarkan kepala, meluapkan segala asa, meleburkan kesedihan yang seperti tiada berkesudahan. Masalah datang silih berganti, seakan selalu setia menemani.

Luna akhirnya menghubungi Sarah. Hanya wanita itu sahabat satu-satunya yang ia miliki. Banyak hal yang akan ia ceritakan, termasuk bagaimana perlakuan orang tua Radit saat mengundangnya makan malam. Penyebab semua masalah yang terjadi malam ini juga tak luput karena kejadian di rumah Radit. Jika saja ia tidak ikut bersama lelaki itu tadi malam untuk memenuhi undangan makan malam. Pasti dia tidak akan pulang dalam keadaaan terhina, sehingga membuat Beni mengolok-olok dan memunculkan pertengkaran hebat dengan ibunya.

"Temui aku di Rumah Sakit Harapan. Aku sekarang di depan kamar operasi. Tolong jangan beritahu siapa pun, termasuk Radit."

Luna menelepon Sarah dan memberitahukan keberadaannya. Kemudian wanita itu duduk bersanda di sebuah kursi tunggu berwarna bkru di depan ruang operasi. Lampu berwarna merah masih menyala, pertanda operasi sedang dilakukan. Masih terbayang wajah sang ibu yang dipenuhi darah. Dan darah itu telah mengering di baju yang ia kenakan sekarang. Luna tidak sempat lagi memperhatikan penampilannya. Pikiran serta tenaga hanya terfokus untum snag ibu tercinta.

Saat Sarah tiba di depan ruang operasi, ia melihat sahabatnya sedang tertidur dalam posisi duduk. Ia meringkuk kedinginan di atas kursi tersebut. Lebih mengagetkan lagi adalah baju Luna yang dipenuhi darah dan telah mengering. Sarah tidak ingin membangunkan sahabatnya. Ia berbalik arah bermaksud membelikan sarapan dan pakaian ganti untuK Luna. Sarah pun berlalu meninghalkan Luna yang masih tertidur.

***

Luna merasakan bahunha disentuh oleh seseorang. Ia pun membuka mata dan menangkap sosok seorang perawat berdiri di depannya.

"Dokter ingin berbicara."

Luna mengangguk mendengar penuturan perawat itu. Ia melihat dokter berdiri tepat di depan pintu kamar operasi. Luna juga ikut berdiri berhadapan dengan dokter tersebut.

"Anda keluarga korban?"

"Ya, Dok. Saya anaknya."
Hati Luna was-was menunggu dokter tersebut memberikan kabar terkini tentang kondisi ibunya.

"Mohon maaf. Kami sudah berusaha. Namun, ibu anda kehilangan banyak sekali darah. Saat korban tiba di sini kondisinya juga sudah tidak tertolong lagi."

Luna tidak lagi menangkap apa kelanjutan kalimat dokter tersebut. Wanita itu histeris. Ia merasakan sebongkah  batu besar menghantam kepalanya. Mual dan sakit telah menjadi satu. Kejadian beberapa waktu lalu berputar ulang diingatan, melihat Anita terbujur kaku dengan darah yang membanjiri lantaj.

Luna pun terhuyung dan terjatuh mencium lantai. Ia  tak sadarkan diri.

Bersambung.

***

Sahabat sekalian. Untuk dua cerbungku (DIPAKSA NIKAH) serta (MANTAN PREMAN ITU SUAMIKU) akan terpending dulu untuk beberapa waktu karena suatu dan lain hal.

InsyaAllah, dengan izin Allah, sesegera mungkin aku akan kembali untuk melanjutkan kisah mereka.

Selalu setia menunggu, ya. Meskipun menunggu itu adalah sesuatu hal yang sangat membosankan😄

Mohon doanya selalu untukku, dan aku juga akan selalu mendoakan kalian semua di mana pun berada

With Luv from Aceh😙

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro