Bab 2 Kegalauan Eiden
Sudah satu bulan berlalu semenjak kejadian itu. Selama itu juga Eiden terus menunggu dengan jantung berdebar kencang. Namun, belum ada wanita bernama Kanaya yang menemui Eiden untuk meminta pertanggung jawaban. Jangankan mendatanginya, arwahnya saja tidak pernah datang. Hal tersebut semakin membuat Eiden frustrasi sekaligus bingung. Di saat banyak pria yang bahagia karena tidak dituntut untuk bertanggung jawab. Berbeda dengan Eiden, pria itu tidak bisa hidup dengan tenang sampai Kanaya menemuinya. Ia bahkan sampai bermimpi memiliki bayi yang mungil nan lucu dan memanggilnya om. Tentu saja Eiden tidak senang akan panggilan tersebut meski hanya dalam mimpi.
Eiden pergi ke kantornya dengan hati yang gamang dan merana. Dia ingin segera dipertemukan dengan wanita yang dia tiduri satu bulan yang lalu. Panggilan om terus menggentayanginya dan Eiden sangat tidak rela jika anaknya sampai tidak mengenalinya.
“Kenapa lagi?" Tanya Ardi saat melihat wajah sahabatnya sudah seperti rajutan kusut.
"Ardi, kamu bilang dia bakal datang. Mana buktinya? Ini sudah satu bulan tapi dia belum juga menemuiku."
"Jadi kamu memasang wajah semerana ini karena menunggu si gadis itu? Astaga Eiden! Harusnya kamu senang lah."
"Senang ndasmu! Yang ada otakku rasanya mau pecah karena kepikiran terus!" dengkusnya membuat Ardi terkikik geli. Baru kali ini dia melihat wajah sahabatnya sekusut itu. Biasanya ganteng sekarang kayak kentang busuk saking jeleknya.
"Emang kamu yakin kalau dia bakalan hamil? Mungkin aja dia nggak datang karena nggak hamil, bisa aja kan?"
Pernyataan Ardi seketika membuat Eiden bengong sejenak. Dari banyaknya kemungkinan dia tidak pernah berpikir demikian. Semangatnya Tiba-tiba loyo, Eiden memandang sahabatnya dengan wajah sedih campur aduk. Ardi menyadari sesuatu dan memandang Eiden dengan mata membulat.
“Jangan bilang kamu berharap dia hamil.”
Eiden melengos dan menghindari tatapan Ardi yang seolah sedang menghakiminya karena sudah melakukan kesalahan fatal. Tapi dia mengakui ucapan Ardi barusan, dia berharap Kanaya memang hamil anaknya. Mimpinya sudah sangat jelas, bukankah itu sebagai pertanda jika gadis itu memang sedang hamil.
“Tahu nggak, tadi malam aku bermimpi bertemu anak kecil. Dia mirip sekali denganku Ar, dan sialnya dia memanggilku om. Mana boleh begitu, Jelas-jelas benihku yang menjadikannya sebagai bayi.” Rutuknya terdengar seperti kekanakan. Ardi menggeleng heran dengan sahabatnya yang memiliki kadar otak di bawah rata-rata orang normal kebanyakan.
“Tapi kalau misal dia beneran hamil, apa benar itu anakmu?” Tanya Ardi lagi, kali ini dia bisa melihat wajah Eiden tersenyum penuh bangga.
"Yakin seribu persen karena yang pertama menyentuhnya aku, tahu nggak? bahkan pacarnya sendiri nggak dia kasih. Eh ralat mantan pacarnya."
"Anying! Jadi kamu beneran jadi yang pertama!"
Eiden menganguk bangga dan Ardi memasang wajah jengkelnya. Bisa-bisanya dia memiliki sahabat seperti Eiden. Keduanya berhenti dari atensi masing-masing saat seseorang mengetuk pintu ruangan Eiden.
"Masuk!" teriak Eiden.
"Maaf, Pak. Ada yang ingin bertemu dengan Bapak." Sekretarisnya nongol dari balik pintu.
"Siapa?" tanya Eiden dengan wajah sedikit berseri. Ia sangat berharap Kanaya lah orangnya.
"Saya tidak tahu, Pak. Karena Nona itu tidak menyebutkan namanya."
Eiden semakin memasang wajah senangnya. Dia yakin jika tamu itu adalah wanita yang selama ini ia tunggu. "Persilakan dia masuk!" Perintahnya.
"Baik, Pak." Sekteraris itu berlalu meninggalkan keduanya.
“Apa itu wanita yang kamu tunggu?”
“Kayaknya sih.” Tukas Eiden senang.
“Tuh, apa yang kukatakan tidak meleset kan. Dia pasti datang mencarimu.”
“Untuk selanjutnya aku akan berguru padamu Kanda.”
“Najis banget, kampret! Ogah banget jadi kandamu.” Dengkus Ardi sambil bergidik ngeri. Dia lekas meninggalkan Eiden karena tidak ingin menjadi nyamuk apalagi cicak di ruangan itu.
wanita paruh baya yang menjabat sebagai sekretarisnya mempersilakan wanita itu masuk. Ia sengaja mempekerjakan wanita paruh baya, agar terhindar dari wanita jelmaan syaitan yang terkutuk. Eiden membalikkan tubuhnya menghadap jendela. Suara tumit sepatu bertemu permukaan lantai membuat ketukan berirama. Jantung Eiden berpacu dengan cepat. Dia membalikkan tubuhnya saat suara sepatu semakin mendekat. Senyumnya merekah sempurna saat ia menghadap wanita tersebut. Namun, lekukan bibirnya perlahan berubah datar saat wanita lain yang muncul dihadapannya.
"Halo, Sayang!" Sapa wanita tersebut dengan nada dibuat manja.
"Apa yang kau lakukan di sini!" Intonasinya terdengar datar. Jelas saja aura ketidaksukaannya menguar memenuhi ruangan.
"Aku sangat merindukanmu," ucapnya dengan wajah tersenyum seksi versi majalah dewasa. Eiden sangat membenci wanita yang kini sedang berdiri di hadapannya. Wanita yang sudah membuatnya pernah hampir gila karena ditinggalkan.
"Merindukanku? Ketika kau memutuskan pergi bersama pria lain, di saat itu juga tidak akan ada pintu lain untukmu kembali!" tegas Eiden dingin. Wajahnya terlihat sangat marah. Berbagai guratan emosi terlihat jelas di matanya.
"Sayang, dengarkan dulu penjelasanku, aku memiliki alasan saat meninggalkanmu dulu." Pintanya dengan raut sedih.
“Jika kamu memiliki alasan meninggalkanku, aku juga memiliki alasan untuk tidak menerimamu kembali. Jadi Risma enyahlah dari sini dan jangan pernah muncul di depanku!”
“Kenapa kamu bersikap seperti ini sayang, ini bukan kamu yang kukenal dulu,” ujarnya dan berusaha meraih simpati Eiden.
"Bukan aku yang memintanya, tapi kau! Sekarang pergi dari ruanganku!" usirnya.
"Kau sudah berjanji padaku akan selalu menyayangiku."
Mata Eiden sudah merah menahan amarah. Dia mendekati wanita itu dengan mata tajam. "Bukan aku yang tidak menyayangimu, tapi dirimu sendiri! Kau mau keluar dengan baik-baik atau diseret paksa oleh satpam!" Eiden kembali menyambung kalimatnya. “Jangan pernah memanggilku sayang, aku tidak sudi wanita sepertimu memanggilku begitu. Terdengar sangat menjijikkan.”
"Aku tidak akan keluar sampai kamu mau mendengarkan aku." Ancam nya sambil menangis, dia mengira dengan muncul kembali dihadapan Eiden, hubungan mereka bisa kembali seperti semula.
Dengan geram Eiden segera memanggil satpam. "Keruangan saya sekarang!"
Risma tampak masih mengiba pada Eiden. Namun, pria tersebut tidak bergeming sama sekali sampai dua satpam datang menghadapnya. Sesungguhnya mereka berdua sangat takut, apalagi melihat wajah bos besar mereka yang merah padam.
"Seret wanita ini keluar! Jangan sampai dia masuk dan merusak suasana hatiku! Jika dia masuk kembali, pekerjaan kalian akan menjadi taruhannya! Sampah tidak seharusnya berada di tempat yang bersih!" ejek Eiden tanpa perasaan.
"Eiden, kamu akan menyesal. Aku akan membalasmu!" teriak Risma tak terima dirinya di seret dua satpam. Secara langsung Eiden mempermalukannya di depan umum dan dia sungguh tidak terima mendapat perlakuan seperti itu.
"Bodo amat! Dasar sinting." kesalnya. Ia menarik napas dengan dalam sambil mengembuskan kembali. Ia. Melakukannya sampai tiga kali untuk meredam emosinya.
Malamnya, Eiden pulang dengan wajah kusut. Tubuhnya sangat kelelahan di tambah kemacetan ibu kota membuatnya semakin frustrasi. Ia mengalihkan tatapannya secara acak. Matanya menangkap satu sosok yang selama ini ia tunggu siang dan malam selama satu bulan.
"Kanaya," ucapnya pelan, matanya menatap awas gadis itu. Ia hendak mengejar Kanaya. Namun, lampu yang tadi merah kini sudah berganti hijau. Kebisingan terjadi saat beberapa mobil di belakangnya membunyikan klakson.
"Sial!" rutuknya kesal.
Ia melihat kembali ke arah tadi tapi tidak ada lagi sosok itu di sana. Kembali ia kehilangan jejak Kanaya. Besok mungkin dia harus mengemis di sekitar sini. Ia menggelengkan kepala dengan idenya yang sangat menjatuhkan martabatnya sebagai lelaki tampan dan mapan. Ia kembali harus kecewa karena tidak bisa menemukan Kanaya di mana pun.
Apa dia harus membayar seorang detektif agar Kanaya bisa ditemukan. Ia kembali menggeleng dan memutuskan kembali ke rumahnya. Ia akan memikirkan segalanya besok, untuk malam ini ia harus beristirahat dengan tenang.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro