Bab 13 Gara-gara Ngidam
"Sayang, gimana pekerjaan kamu? Apa betah bekerja dengan suamimu?" Anita datang sembari membawa buah anggur dan mangga kesukaan Kanaya. ia juga sengaja membelinya saat pergi menemani suaminya keluar.
"Betah, kok, Ma. Wah … ada mangga sama anggur," ucap Kanaya antusias.
"Syukurlah kalau betah! Buahnya sengaja Mama beli karena kamu sangat menyukainya. Habiskan dan jangan sampai suamimu memakannya." Kekeh Anita yang sengaja menggoda putranya sebelum berllau pergi dari hadapan keduanya.
Eiden berjalan menuju ruang tamu sambil membawa segelas susu bumil rasa vanila. Ia mendengar percakapan keduanya barusan. Ia melihat mangga yang terlihat sangat manis sedang dipangku oleh Kanaya. Tiba-tiba rasa ingin mencicipi hadir dalam dirinya. Ia berjalan dengan tampang cool dan meletakkan susunya ke meja. Ia duduk di samping Kanaya sembari mencuri pandang.
"Minum dulu susunya," ucap Eiden sambil menyodorkan gelasnya yang tadi ia letakkan di atas meja. ia akan melancarkan aksinya begitu Kanaya lengah.
"Makasih, Ei," ucap Kanaya sambil tersenyum. Ia segera meminum susunya.
“Sini biar kupegang saja mangganya, nanti jatuh pas kamu minum susunya.” Air liur Eiden serasa ingin menetes melihat mangganya.
“Kamu nggak akan makan mangganya, ‘kan?” selidiknya penuh curiga.
“Ya enggaklah, buat apa makan mangga beginian, nggak level.” Ledek nya tapi kenyataannya Eiden sangat ingin memakannya.
Kanaya menganguk mendengar kalimat meyakinkan barusan, tapi itu hanya berlaku sebentar saja karena begitu Kanaya lengah Eiden segera melancarkan aksinya dengan melahap mangga yang begitu menggodanya, Eiden sampai kebablasan.
“Tuh, ‘kan, kamu makan mangganya.” Kanaya sampai menangis saat tidak ada lagi yang tersisa di piringnya. Dia juga sedang sangat ingin makan mangganya.
“Eh, khilaf. Maaf ya. Nanti kita beli lagi, ya,” bujuk Eiden dan syukurnya Kanaya menganguk setuju.
“Cup-cup istriku yang manis, jangan menangis, nanti kena kencing manis.” Bujuknya sambil mengusap air mata Kanaya.
“Loh-loh kamu apakan menantu kesayangan Mama, hah!” Anita yang kembali ke sana langsung menyingkirkan Eiden dari samping Kanaya sampai pria tampan itu terjungkal. Anita mendelik tajam kearah Eiden.
“Ei makan mangganya sampai habis, Ma.” Adu Kanaya masih sesegukan.
“Eiden!! Kamu kan bisa beliin sendiri ngapain makan mangga punya Kanaya.” Marah Anita kesal.
“Ya nggak tahu, Ma. Tiba-tiba pengen makan mangga itu. Kepengen banget, Mama nggak liat nih air liur Eiden sampai tumpah-tumpah.” Tunjuknya ke sudut bibirnya, beberapa sisa mangga masih ada di sana.
“Ya Tuhan, kenapa nggak bilang kalau kamu lagi ngidam. Ya sudah Nanti Mama belikan lagi mangganya. Kalian yang akur ya jangan buat Kanaya menangis lagi. Awas kamu ya!” ancam Anita kepada putranya.
“Siap, Ma.” Desah Eiden sambil melirik ke arah istrinya. “Imutnya istriku,” bisiknya pelan sambil menjilat sudut bibirnya. Sedang Kanaya kembali meneguk susunya.
"Kalian masih manggil nama? Kenapa nggak manggil yang so sweet. Misalnya, sayang, honey, boney, sweety, lovely," cerocos Anita.
Kanaya yang sedang minum susu, tersedak seketika sampai beberapa tetesan susu keluar dari hidungnya. Eiden panik dan segera memeriksa tubuh istrinya. Barang kali terjadi cidera serius akibat ulah ibunya. Anita malah tersenyum dari balik tubuh Kanaya. Melihat mereka berdua, mengingatkan dia pada pernikahannya dua puluh tahun yang lalu.
"Sayang, kamu nggak kenapa-napa, ‘kan?" tanya Eiden yang bibirnya terasa keram saat memanggil Kanaya dengan kata sayang.
Deg!
Jantung Kanaya kembali berdetak saat panggilan sayang yang disematkan Eiden padanya.
"Nggak kenapa-napa, cuma jantungku berdetak lebih cepat. Kenapa, ya?"
"Jangan-jangan kamu serangan jantung, Papa! Panggilkan dokter!" teriak Anita. Ia tidak mau kehilangan cucu dan menantunya.
"Iya, iya, Ma. Sebentar."
Angga yang sibuk membaca koran dikagetkan oleh teriakan istrinya. Ia segera mengeluarkan ponsel dan memanggil dokter pribadinya. Diakibatkan sebuah halangan, yang akan datang bukanlah dokter yang biasa, melainkan asistennya. Kanaya dibawa ke kamar, Eiden membaringkannya dengan pelan. Padahal Kanaya merasa dia baik-baik saja. Dilempar asal ke atas kasur juga dia tidak masalah. Anita sudah mondar-mandir di kamar putranya. Menunggu kedatangan dokter bagai menunggu siklus datang bulan.
"Ma, jangan mondar-mandir, nanti puyeng."
"Mama khawatir ini, Pa. Dokternya belum juga sampai."
Angga melihat jam tangannya dan menghela napas. "Ma, baru lima menit, dokter juga manusia, dia bukan spiderman yang bisa terbang."
Eiden menggeleng melihat kelakuan ibunya.
"Ma, aku nggak apa-apa, ‘kan, cuma tersedak," cicit Kanaya sambil memainkan kukunya yang sudah dipotong rapi oleh suaminya.
"Nggak apa-apa gimana, Mama baru akan tenang kalau kamu sudah diperiksa. Mana tahu ada yang nyangkut apa gimana, Mama khawatir, Sayang. Pokoknya kamu baring aja di situ, ya, jangan bergerak."
“Mati dong istri Eiden, Ma!” dengkusnya. Anita menatap tajam Eiden yang sudah berani padanya.
Mereka bertiga diam, lebih baik menuruti kemauan wanita cantik itu ketimbang mendengar ceramah panjang lebar. Beberapa menit kemudian, bunyi bel pun mulai terdengar. Asisten rumah tangga Anita segera membukakan pintu. Seorang dokter masuk sambil tersenyum.
"Nyonya Muda ada di lantai dua, Dok. Mari saya antarkan." Mereka berdua langsung menuju kamar Eiden.
"Selamat malam, Bu," sapanya.
"Ah, malam, Dok. Silakan periksa menantu saya. Katanya jantung berdebar lebih cepat, saya takut terjadi sesuatu karena dia sedang mengandung."
Dokter itu tersenyum mendengarnya. "Baik, Bu. Saya akan memeriksa menantu Ibu."
Anita mempersilakan dengan segala hormat. Pria tampan itu segera menghampiri Kanaya. Matanya membola dengan sempurna saat melihat wajah dari wanita tersebut. Kanaya juga melakukan hal yang sama. Namun, ia tidak akan memberi kesempatan pria itu untuk mengenalinya. Diaz Sunderi—menatap Kanaya dengan lembut.
"Dokter, tolong periksa istri saya," ucap Eiden. Di sana mata Kanaya menatap tajam manik sendu milik Diaz.
Wajah Diaz tampak tersentak saat mendengar kata istri meluncur dari bibir pria yang kini ada di hadapannya. Ia berusaha menutupi kekagetannya. Saat tangan pria itu hendak memeriksa Kanaya, wanita itu pergi berlalu dari sana. Kepergiannya menimbulkan tanda tanya di benak Mereka bertiga, sedangkan Diaz hanya mampu menghela napas melihat wanita itu sudah hilang di balik pintu. Ia tahu salahnya, karena pernah mencampakkan Kanaya di saat gadis itu benar-benar sangat mencintainya.
"Ada apa dengan istrimu, coba kamu susul, Nak," perintah Angga ikutan khawatir.
“Dokter, maaf atas kejadian ini, mungkin menantu saya sedang tidak ingin diperiksa.”
Anita mencoba mencairkan suasana yang tadi sempat tegang. Diaz tersenyum maklum. Mungkin jika wanita itu tahu jika dirinya adalah mantan dari sang menantu, ia akan dihajar. Eiden pergi dan mencari keberadaan istrinya. Wanita itu sedang berada di dapur makan es krim. Eiden segera menghampirinya.
“Tidak masalah, Bu, menantu ibu baik-baik saja tidak ada hal yang serius. Kalau ibu masih cemas, menantunya bisa dibawa langsung ke rumah sakit atau klinik terdekat.”
“Terima kasih sudah meluangkan waktunya.”
Dia menganguk dan segera pamit.
"Kamu lapar?"
"Iya, asupan energiku baru saja keluar. Aku butuh memberi sentuhan sejuk pada hatiku."
"Emangnya kamu kepanasan?" Eiden menyentuh kening Kanaya dan mengernyit. "Nggak panas, kok."
"Ya namanya panas dalam mana terasa kalau disentuh," kesalnya.
Eiden menjawil hidung Kanaya dengan gemas. Keduanya saling menjawil hingga menimbulkan riak canda penuh tawa. Interaksi keduanya diperhatikan oleh Diaz. Hatinya merana dan menyesal karena pernah meninggalkan wanita sebaik Kanaya. Ia segera pamit pulang untuk mengobati hatinya.
*******
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro