Bab 9 Bantal Dadakan
“Hania! Berhenti! Hania!!!”
Hania yang berjalan setengah berlari bukannya tak mendengar teriakan Kenan, ia hanya pura-pura tak mendengar! Malu bukan main!
“Hania!”
Bagaimana ia tak malu? Baru saja dirinya kepergok mengumpati atasan sekaligus suaminya ini. Hania tentu tahu diri kalau tindakannya tadi begitu berisiko. Padahal tadinya ia pikir, dengan berada di tengah lautan dan mengumpati Kenan sebagai pelampiasan, itu akan cukup membantunya untuk tenang.
Setidaknya untuk menghadapi malam pertama dengan laki-laki yang sudah berstatus sebagai suaminya.
Kenan sebenarnya tak salah. Hania sendiri yang belum siap menerima kenyataan ini sepenuhnya.
Menjadi istri?
Melaksanakan hak dan kewajiban sesuai yang sudah disepakati?
Kenapa rasanya ini begitu cepat?
“Hania!”
Kenan tiba-tiba muncul sambil mencekal tangannya. Terkejut bukan main. Spontan menepis, namun cekalan Kenan begitu kuat hingga Hania hanya bisa mengerang kesakitan.
“Pak! Lepasin tangan saya!”
“Saya sudah berhak menyentuh kamu!”
Benar. Benar sekali! Jawaban Kenan tak keliru. Tentu saja hal itu berhasil Hania langsung terdiam. Ia mendadak linglung. Seperti orang baru saja disadarkan dari sebuah mimpi.
“Ta–tapi, Pa–”
“Kita luruskan semuanya kalau begitu. Kamu menghindari saya karena masalah kita harus tidur di ranjang yang sama? Begitu, bukan?”
Hania mengangguk sambil menggigit bibirnya.
“Kamu kesal pada saya karena hal itu sampai mengumpati saya seperti tadi?”
Lagi. Hania hanya bisa menganggukkan kepalanya. Pasrah.
Kenan membuang nafas kasar. “Apa itu artinya kamu mengingkari perjanjian di antara kita? Atau ada alasan lain?”
“Saya … belum bisa, Pak. Maksud saya … ini semua terlalu mendadak, Pak!” Hania yang tadinya tergagap mulai memiliki keberanian untuk berbicara banyak. “Beberapa hari yang lalu, status kita masih atasan dan bawahan. Lalu, beberapa hari kemudian tiba-tiba berubah jadi kekasih, tunangan, lalu sekarang? Suami-istri! Pak Kenan gak ngerasa aneh gitu? Gak ngerasa canggung gitu sama hubungan kita?”
Kenan menggeleng cepat. “Tidak! Apanya yang aneh? Hidup memang terkadang penuh dengan perubahan setiap detiknya, bukan?”
“Pak ….”
“Segera biasakan diri kamu sebagai istri saya. Saya tak mau mendengar alasan apapun lagi! Ikuti saya!”
Hania menurut. Mengekori langkah Kenan yang malah berjalan ke arah sebaliknya. Tadinya Hania pikir Kenan masih ingin bermain jet ski, tapi ternyata laki-laki itu mengajaknya menaiki yacht. Catatannya, khusus untuk berdua!
Hania dan Kenan duduk saling bersisian –tersekat jarak sekitar 10 cm– di dek, ditemani beberapa hidangan makanan. Suara nyaring lumba-lumba tak cukup mampu memecahkan keheningan di antara keduanya.
Hania yang tak bicara memilih menyibukkan diri menyantap makanan yang tersaji. Tanpa sedikit pun menawari Kenan yang tampak diam saja tak melakukan apapun.
Bukan tak melakukan apapun sebenarnya. Kenan hanya sedang merutuki diri karena mendadak perkataan Hania tadi ada benarnya juga. Hubungan di antara keduanya menjadi aneh. Kenan bukan tak merasakan hal itu, ia hanya berusaha mengenyahkannya!
“Saya mau snorkeling. Kamu mau tunggu di sini atau bagaimana?” tawar Kenan.
“Saya di sini aja, Pak.”
Kenan sudah bersiap bangkit dari tempat duduknya, namun mendadak batal. Ia kembali duduk sambil mengarahkan pandangan pada Hania.
“Kamu bisa berenang, kan?” tanya Kenan.
“Lumayan ….”
“Ada instruktur yang bisa mengajarkan kamu snorkeling. Gimana? Mau ikut?” Kenan bersikeras.
Hania menangkap arah pertanyaan Kenan ke mana. Ia langsung menggeleng. “Enggak, Pak. Saya di sini aja. Saya capek habis main jet ski tadi. Mau istirahat. Besok-besok aja deh saya snorkeling-nya.”
Hania tiba-tiba bangkit dari duduknya. Menaruh makanan yang tak lagi bersisa di dekatnya. Berjalan turun dari dek menuju area bawah, lalu masuk ke dalam kabin. Ada sebuah ranjang kecil di sana dan tentunya kosong. Hania juga tak perlu khawatir ada orang yang mungkin akan mengganggu karena di sini hanya ada dirinya dan Kenan yang mungkin sekarang sudah bersiap snorkeling.
Sayangnya, perkiraan Hania meleset karena sekarang Kenan sedang sibuk mengunyah makanan di dek sambil menggerutu jengkel. Menatap laut yang mendadak hening, lumba-lumba pun mendadak hilang entah ke mana, seperti Hania yang baru saja meninggalkannya sendirian di sini.
“Sialan! Harusnya perjalanan kami ini berjalan romantis. Kenapa gue malah ngerasa habis dicampakkan begini?”
Kenan buru-buru bangkit, turun dari dek hendak menyusul Hania. Bagaimanapun caranya, ia harus bisa mengajak Hania melakukan sebuah kegiatan bersama. Berdua. Apapun itu!
Tapi, niatnya seketika urung saat melihat Hania tampak pulas tertidur di ranjang dalam kabin. Posisinya tampak tak nyaman. Tertelungkup dengan dua tangan saling merentang di dua sisi tubuhnya.
“Nia … Hania ….”
Beberapa kali Kenan memanggil perempuan itu, perlahan, takut mengagetkannya. Hania hanya mengerang dan bergumam tak jelas sebagai reaksi dengan mata tetap terpejam. Menolak bergerak sedikit pun.
Dengan hati-hati Kenan mengubah posisi Hania, memutar sedikit demi sedikit tubuh perempuan itu ke posisi yang lebih nyaman –telentang— posisi yang bagi Kenan baik untuk tidur.
Ketika ia sudah berhasil mengubah posisi Hania sesuai keinginannya, Kenan kehilangan keseimbangan karena tangannya yang berada di bawah kepala Hania ditahan oleh tangan perempuan itu kuat layaknya sebuah bantal. Kenan berusaha melepaskan tangannya, namun tangan Hania mengunci lengannya.
Tak mau mengusik Hania yang terlelap, dengan terpaksa Kenan membiarkan lengannya menjadi bantal dadakannya. Selama lebih dari satu jam! Ia bahkan sudah mengaduh kesakitan diam-diam karena tak kuat terus berdiri selama itu.
Karena hal itu, Kenan perlahan menaikkan tubuhnya ke ranjang. Mencari posisi tidur tanpa memindahkan lengannya yang dijadikan bantal di dekat Hania. Catatan pentingnya, Kenan jelas menjaga jarak di antara keduanya. Ia ingat perkataan Hania tentang kecanggungannya atas hubungan mereka saat ini.
Kenan tak mau memperparah situasi. Ia juga tak ingin membuat Hania merasa canggung terus-menerus.
Mulanya Kenan terjaga, memandangi Hania. Ini memang bukan kali pertama baginya menatap perempuan itu dari jarak dekat. Tapi, kali ini sangat berbeda! Kenan dapat dengan leluasa menatap perempuan itu yang tengah tidur terlelap.
“Cantik.”
Berulang kali kata itu digaungkan. Tentu hanya dalam hati Kenan. Semakin lama, kata-kata itu berubah menjadi bait-bait pengantar tidur, membuat mata Kenan akhirnya menutup.
Beberapa detik kemudian, mata Hania perlahan terbuka. Matanya pertama kali menangkap sosok tak asing sedang berada di depannya. Setelah matanya mengerjap beberapa kali, Hania baru tersadar ada sesuatu terasa ganjil.
“Pak Kenan?” gumamnya tak yakin. “Pak Kenan! Aaarrrggghhh!!!”
Hania bangkit dari tidurnya, mengambil posisi di sudut ranjang sambil memeluk tubuhnya sendiri. Tampak ketakutan.
Sementara Kenan yang batal tertidur hanya bisa mengerang jengkel sambil memegangi lengannya yang kebas.
“Pak Kenan habis ngapain saya? Ngaku! Pak Kenan habis ngapain? Pak Kenan gak tahu apa kalau ini tuh udah jadi bagian pelecehan? Pak Kenan gak takut saya penjarain?”
Kenan terduduk dengan wajah kusut. Merasa jengkel tapi juga lucu mendengar cerocosan Hania.
“Sana! Laporkan saja suami kamu ini!” tantang Kenan.
Hania langsung membatu. Ia melihat Kenan tampak memijit tangannya. Mendadak ia teringat apa yang pertama kali dilihatnya saat terbangun tadi bukan hanya wajah Kenan saja, tapi sebuah tangan yang tiba-tiba berada di bawah kepalanya.
“Kepala saya?” Hania mengelus kepalanya perlahan. “Jadi, tadi itu … tangannya—”
Kenan tampak memijat lengan yang tadi dijadikan bantal dadakan Hania sambil bergurau, “Sepertinya tangan ini tidak bisa saya gunakan lagi. Sakit sekali!”
Wajah Hania langsung kusut.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro