Bab 32 Teman
Kenan melipat dua tangannya di dada. Kakinya saling bertumpu dengan mata melirik tajam ke arah Agam yang duduk tepat di hadapannya. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun! Tapi sorot matanya sama sekali tak bersahabat.
“Namanya Agam. Dia temenku, Mas. Yang punya tempat ini. Dia baru pulang dari Singapura, jadi aku gak sempet ngenalin sama Mas pas nikahan kemarin.” Tutur Hania mencoba mengurai suasana yang mendadak menegang.
“Temen?” Kening Kenan sampai mengerut. “Setahu Mas, kamu gak pernah ketemu siapapun lagi selain Ratna atau mantan brengsek kamu itu.”
Setahu Kenan, Hania hanya sering menghabiskan waktu dengan Alif atau Ratna. Entah itu di kantor atau di luar kantor. Sekedar menghabiskan waktu senggang atau liburan misalnya.
Yah … sejauh pengamatannya selama ini. Atau mungkin pengamatan yang dilakukan Bima diam-diam tidak menyeluruh?
“Setahu Mas?” Hania melirik penuh curiga ke arah Kenan.
Kenan langsung pura-pura melihat ke arah lain.
“Maksudnya mantan brengsek itu … si Alif yah, Pak?” sela Ratna.
“Nah! Betul itu!” Kenan mendadak bersemangat membalas pertanyaan Ratna. Sekaligus cara untuk mengalihkan topik pembicaraan juga. “Cerdas kamu, Ratna!”
“Bukan brengsek lagi tuh cowok, Pak. Tapi gila! Harusnya Pak Kenan pecat aja tuh cowok yang udah nyakitin istri Pak Kenan!” Ratna begitu bersemangat mengompori.
“Saya punya cara sendiri untuk menghukum siapapun yang berani menyakiti istri saya, Ratna.” Kenan sampai melirik pada Agam yang tampak tersenyum sinis diam-diam. “Tanpa pengecualian!”
Mendengar hal itu, Hania langsung membuang nafas kasar. Perkataan Kenan jelas tak sesuai dengan tindakan. Karena kalau memang tanpa pengecualian, harusnya Kenan tadi tak menolak membantu Hania membalaskan dendam pada orang tuanya.
“Wooohhh!!!” Ratna berseru sambil menutup mulutnya, namun binar matanya menunjukkan rona bahagia. “Jadi ini sisi lain dari Pak Kenan?”
“Memang kenapa? Ada yang salah menurut kamu?” sergap Kenan yang berhasil membuat Ratna yang tadinya histeris seketika tertunduk, merapatkan bibir, dan diam.
“Eng–gak kok, Pak.” Ratna sampai tergagap saat menanggapi.
“Udah. Udah. Kenalannya udah, kan?” Hania menyela sambil menoleh pada Kenan, lalu melirik Ratna dan Agam. “Gue sama Mas Kenan pulang. Thank's yah Gam traktirannya.”
Hania langsung beranjak tanpa meminta persetujuan dari Kenan yang tampak enggan mengangkat badannya beranjak dari kursi. Ia bahkan sempat membalikkan badan lagi dan melirik Agam dengan tatapan tajam.
“Jangan sampai kita bertemu kembali!” katanya pada Agam penuh nada ancaman sebelum kemudian menyusul Hania cepat.
Sesaat setelah kepergian keduanya, Ratna langsung berseru sambil mengelus dadanya. Sementara Agam lekat memperhatikan Kenan yang berada di samping Hania sampai keduanya lenyap dari pandangannya.
“Hampir aja gue kena pecat dia, Gam!!! Hampir aja gue jadi beban keluargaaa!!! Duh nih mulut kenapa lemes banget sih?” rutuk Ratna sambil memukul bibirnya sendiri.
“Lo ngerasa ada yang aneh sama sikap mereka gak?” tanya Agam yang tampak tak peduli akan kekhawatiran yang tengah Ratna rasakan.
“Aneh gimana? Gak ada tuh! Justru sikap mereka itu normal!”
“Enggak! Sikap Hania jadi beda pas Kenan muncul.”
“Beda gimana sih? Terlihat jelas mereka itu masih berantem. Dan Pak Kenan lagi bertugas mengemis buat minta maaf. Bener-bener deh mereka! Udah kebalik posisinya. Padahal dulu Hania loh yang sering ngalah sama Pak Kenan. Eh … sekarang justru malah Pak Kenan yang lebih repot ngadepin Hania. Bener-bener kena karma tuh Pak Kenan!”
Agam menggelengkan kepala beberapa kali. “Enggak. Kayak ada yang salah. Tapi gue gak yakin itu apa.”
“Apaan sih, Gam? Kalau cemburu tuh harus tahu batasannya. Stop ngejar Hania! Siapa suruh gak gercep nikahin dia! Pak Kenan aja yang kenal Hania gak lebih lama dari elo aja bisa, kan? Lo inget kan gue pernah cerita gimana Pak Kenan dateng dengan kerennya di nikahan si bangsat Alif sama Maya? Nah! Nah! Kayak tadi, Gam! Kayak dia hampir nonjok lo tadiii!!! Gak jauh beda tindakannya! Keren pokoknya!”
Ratna begitu antusias. Beda halnya dengan Agam yang malah memasnag wajah datar.
“Gue ngehargain hubungan Hania sama Alif dulu.” Agam enggan menanggapi cerita Ratna tentang Kenan meski sahabatnya itu sangat bersemangat menceritakannya.
“Alah! Alesan! Bilang aja lu emang pengecut. Laki-laki sejati itu gak akan pernah ragu ketika bertindak! Lo kalau yakin dan beneran suka sama Hania, lo gak bakalan mikirin posisinya si Alif. Biarkan Hania sendiri yang memutuskan kapan elo harus mundur! Tapi, lo?” Ratna mengangkat satu ujung bibirnya. “Belum juga maju udah main mundur aja.”
“Diem lo!”
“Belajar tuh dari Pak Kenan! Gerak cepat! Keterima deh! Action, Gam! Action! Gak ada gunanya terus-terusan jadi penganut cinta dalam diam. Basi lo!”
“Itu justru yang aneh, Ra. Si Kenan yang katanya atasan gila, kok Hania mau-mau aja sampai nikah sama tuh cowok? Huh!”
“Eh, Agam! Kalau gue jadi Hania, gue juga bakalan ngelakuin hal yang sama kayak dia. Ada berlian setumpuk gunung di depan mata, masa iya kan gue abaikan? Apalagi setelah lo nginjek banyak kotoran. Siapa coba yang bakal memilih diam di kubangan kotor terus? Move on lah ke yang lebih baik!”
“Maksud lo, Hania nikah sama Kenan karena dia lebih kaya raya dari Alif?”
“Bukan cuma kaya raya, tapi gambaran cowok paling sempurna untuk dijadikan suami! Ganteng, kaya raya, minus akhlak sih tapi bisa lah diperbaiki. Yang penting, kehidupan Hania terjamin sampai liang lahat! Hidup aman sentosa tanpa harus ke beban sama keluarganya yang suka minta duit terus sama dia. Kelihatan kan dari penampilan Hania sekarang! Bak Putri yang baru aja keluar dari Istana, Gam!!!”
Celotehan Ratna justru malah membuat raut wajah Agam kusut. Bahkan sahabatnya sendiri tak merasakan kejanggalan yang dirasakannya akan sikap Hania dan Kenan barusan.
Ada yang ganjil! Agam tahu itu! Tapi, ia tak yakin apa. Perasaannya mendadak tak nyaman melihat interaksi antara Hania dan Kenan.
Atau … apakah benar yang dikatakan Ratna barusan? Bahwa ini hanya sekedar rasa cemburunya?
“Astagfirullaah!!!” Agam melepas kaca matanya, lalu meraup wajah. “Ampuni Hamba yang belum bisa merelakannya.” batinnya merapal lirih.
“Kenapa lo?” tegur Ratna saat melihat Agam tampak putus asa. “Telat kalau ngerasa nyesel! Jadiin ini pelajaran aja. Jangan suka nyia-nyiain kesempatan, Gam. Gue cabut ah!”
“Gue anter!”
“Gak usah! Gue naik taksi aja.”
“Tunggu di parkiran!” Agam bersikeras.
Laki-laki itu bahkan lebih dulu melangkah mendahului Ratna. Perempuan itu menyibak rambut, lalu mengibas-ngibaskan dua tangannya seperti kepanasan.
“Sialan! Baper lagi kan gue!!! Move on, Ratna!!! Agam gak akan pernah suka sama lo, tolol!!!” rutuk Ratna dengan suara yang amat sangat rendah.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro