Bab 26 Aku Menyukainya
“Kenapa dia ada di sini?” sengit Kenan sambil melirik Putri yang tengah duduk di salah satu kursi dekat dengan Pak Rahwana, menyantap hidangan di depannya dengan begitu lahap. Perempuan itu sempat melambaikan tangan ketika dirinya dan Hania datang.
Kenan memandang sekitar mencari seseorang yang seharusnya berada di sini juga.
“Papah yang mengundangnya. Duduk!” Pak Rahwana menyela dengan tidak menoleh sedikitpun pada Kenan apalagi Hania.
“Kami sudah makan.” Jawab Kenan singkat. “Ada perlu apa Papah memanggil kami kemari?”
“Duduk!” tegas Pak Rahwana.
“Kenan!”
Seruan itu mengalihkan seluruh perhatian orang yang ada di sana. Tak terkecuali Putri.
Bu Sinta tampak tengah bersusah payah menghampiri mereka di sana dengan kursi rodanya. Melihat itu Kenan cepat-cepat menghampiri sambil menarik Hania.
“Mah! Mamah gak kenapa-kenapa, kan?” serbu Kenan. Raut wajahnya begitu khawatir.
Permintaan Pak Rahwana yang tak bisa Kenan tolak untuk datang ke tempat ini adalah karena ibunya.
“Sinta! Ajak anakmu itu untuk duduk di sini!” seru Pak Rahwana lantang.
Permintaan itu tak bisa Kenan tolak karena Bu Sinta memberikan isyarat untuk mendorong kursi rodanya menuju meja makan. Kenan memposisikan Bu Sinta untuk duduk tepat di samping Pak Rahwana. Sementara dirinya duduk diapit oleh Ibu dan juga istrinya.
“Kamu tidak perlu duduk disana, Hania. Bisa tunggu kami di ruang tamu saja? Akan ada pelayan yang melayanimu ketika kamu membutuhkan sesuatu.” Sinis Pak Rahwana sesaat setelah Hania duduk di kursi yang Kenan pilih.
“Oh?” Hania mendadak gugup dan serba salah. Apalagi ketika mendapatkan delikan sinis Putri, rasa malu mulai menjalar sekujur tubuhnya.
“Kenapa Hania tidak boleh duduk di sini? Dia sudah menjadi bagian dari keluarga kita,kan?” Kenan mencegah Hania bangkit dari kursi dengan menahan tangannya.
“Dia memang istrimu. Bagian dari keluarga kecilmu. Tapi bukan berarti dia bagian dari keluarga besarmu. Keluar, Hania!” Pak Rahwana semakin tegas mengusir Hania.
Hania semakin serba salah. Bukan perasaan marah yang muncul, melainkan sedih. Ia tak mengira akan diperlakukan demikian oleh Pak Rahwana di kunjungan pertamanya datang ke kediaman keluarga Prince dengan status sebagai istri Kenan.
“Tidak! Jika Hania pergi, maka aku juga akan pergi!” Kenan membela.
“Papah sudah mengabulkan keinginan kamu untuk menikahi perempuan yang tak jelas asal-usulnya ini. Sekarang giliran kamu untuk mengabulkan keputusan Papah dengan tidak mengizinkannya berada di sini!” Pak Rahwana bersikeras mengusir Hania meski Kenan menentangnya.
“Terserah Papah! Mah, Kenan dan Hania pamit!”
“Mau ke mana kamu? Percakapan kita belum selesai, Kenan.”
Kenan tampak tak menggubris. Ia menarik tangan Hania siap berbalik badan.
“Kalau kamu masih mau menjabat sebagai CEO Prince Property, duduk! Berani kamu angkat kaki dari sini, kamu harus siap kehilangan segalanya!”
Ancaman Pak Rahwana yang bukan hanya menghentikan langkah Kenan, tapi membuat Hania seketika melepaskan tangannya dari Kenan. Ia tak mengira jika situasi yang sebenarnya atas pernikahannya dengan Kenan seserius ini.
“Mas Ken—” Hania berusaha melerai. Tapi kerongkongannya terasa begitu kering. Takut, gugup, sekaligus malu bukan main.
“Jadi Papah mengancamku?” Kenan balik badan. Menatap Pak Rahwana sengit. “Silakan! Lakukan saja! Kenan tidak takut!” Ia kembali menarik tangan Hania yang lepas darinya. Kali ini ia menggenggamnya lebih erat.
“Papah tidak main-main dengan perkataan Papah, Kenan!”
“Aku juga! Aku tak pernah takut dengan semua ancaman Papah! Ayo pergi, Hania!”
Kenan siap melangkah pergi.
“Berhenti Kenan!” teriak Pak Rahwana.
“Cukup!!!” teriak Bu Sinta tiba-tiba dengan suara gemetaran yang membuat suasana seketika hening. Kenan saja sampai batal menarik Hania pergi dari tempat itu. “Kenan, Hania, kalian berdua duduk! Siapapun tidak boleh beranjak dari sini tanpa seizinku!” Nada suara Bu Sinta melemah.
“Sinta!” Pak Rahwana yang tak terima mencoba menyela lagi.
“Kalau kamu ingin Kenan berada di sini, maka Hania juga harus ada di sini.” Bu Sinta segera memberikan alasan atas tindakannya. “Atau jika Hania harus menunggu di ruang tamu, maka Putri yang jelas bukan bagian dari keluarga ini juga harus berada di ruang tamu.”
“Terserah kau saja!” Pak Rahwana mengalah terpaksa.
Acara makan malam itu berlangsung begitu hening. Tak ada seorang pun membuka percakapan setelah itu. Masing-masing fokus pada hidangan yang silih berganti disajikan chef utama keluarga Prince. Tak terkecuali Hania.
Ia tak yakin makanan yang masuk ke mulutnya itu dicerna dengan benar atau tidak oleh perutnya. Semua makanan yang tersaji dapat ia santap tanpa sisa. Rasanya benar-benar mengenyangkan. Padahal porsinya lebih sedikit daripada yang biasa Hania santap setiap harinya.
“Papah sudah dengar tentang kerjasama kalian.” Pak Rahwana melirik Kenan dan Putri secara bergantian. “Acara makan malam ini sebagai tanda permintaan maaf atas batalkan pernikahan kalian sekaligus ucapan terima kasih karena Putri menerima keputusanmu, Kenan.”
Hania seketika batal melahap potongan kue yang sudah ia sendok. Ia melirik Pak Rahwana yang rupanya tengah melihatnya sekarang dengan tatapan tak bersahabat.
“Tidak ada yang harus meminta maaf atau berterima kasih.” Kenan menyahut cepat. “Aku dan Putri sudah sepakat mengakhiri perjodohan yang Papah dan Pak Rama rancang. Benar kan, Put?” Ia menatap Putri menuntut tanggapan.
“Karena kamu tidak suka pernikahan yang bukan dilandasi oleh perasaan cinta, Mas. Kamu tidak menyukaiku, maka dari itu menentang perjodohan ini.” Putri menimpali dengan berani. “Tapi, karena kamu menikahi Hania, apa itu artinya kamu menikahinya karena kamu menyukainya?”
“Eng–” Hania sudah siap buka mulut ketika Kenan tiba-tiba mencengkeram erat tangannya.
“Ya.” Kenan memotong cepat. “Aku memang menyukai Hania.”
Mulut Putri membola sempurna. Sebelum kemudian gelak tawanya pecah.
“Aku masih bisa percaya kalau kamu bilang menikahi Hania karena dia hamil duluan, Mas.”
“Saya bukan perempuan kayak gitu, Mbak Putri!” Hania cepat-cepat menyala. Ia masih diterima ketika dihina karena persoalan perbedaan derajat. Tapi satu hal ini, tidak!
Hania tidak bisa tinggal diam membiarkan Putri menuduhnya yang tidak-tidak.
“Mbak gak lihat saya pakai hijab begini? Mana berani saya mencoreng nama dan agama saya sendiri dengan perbuatan seperti gitu!” Hania bersikeras. Ia teringat pada apa yang Maya alami dan Hania tak terima dirinya disamakan seperti saudari tirinya itu.
Putri menyunggingkan senyum. “Hania, di luar sana banyak perempuan yang pakai hijab tapi kelakuannya gak jauh beda kayak setan. Kelihatannya aja agamis, gak tahunya berakhlak iblis!”
“Tapi, saya gak kayak mereka, Mbak.”
“Buktikan kalau kamu memang tidak hamil! Aku gak terima kamu memperalat Mas Kenan, Hania! Kamu itu orang kepercayaan Om Rahwana. Gak akan mungkin Mas Kenan mau nikah sama kamu kalau bukan karena alasan itu!”
“Cukup, Putri! Kamu sudah keterlaluan menghina istri saya!” Kenan tak tahan melihat Hania terus disudutkan Putri.
“Putri bukan menghina, Kenan.” Pak Rahwana tiba-tiba ikut menyela. “Dia justru sedang menolong kamu.”
“Pah! Hania dan Kenan tidak punya hubungan sampai sejauh itu! Jadi tidak mungkin Hania hamil!” Kenan tak pantang menyerah membela Hania. “Aku menikah dengannya murni karena aku menyukainya!”
“Bohong! Gak mungkin kamu menyukai Hania, Mas!” Putri begitu yakin dengan pendapatnya.
Kenan tiba-tiba bangkit dari tempat duduknya sambil menarik tangan Hania yang sejak tadi ia genggam. Karena tarikannya itu, Hania ikut bangkit dari duduknya.
“Aku memang menyukainya.” Kenan melirik Hania yang dibalas perempuan itu dengan lirikan yang sama. “Sangat menyukainya.”
Hania tertegun dengan perasaan tak menentu. Terkejut, bahagia, sekaligus bingung. Bukan senyuman yang Hania tampakkan sebagai tanggapan sebagai reaksi dari apa yang dirasakannya saat ini.
“Aku benar-benar menyukai, Hania.”
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro