Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 17 Gila

“Aaarrrggghhh!!!”

Kenan batal berjalan ke arah pintu keluar Vila saat mendengar suara keras yang bersumber dari toilet. Ia hanya mampu berdiri tepat di depan pintu tanpa berani mengetuk apalagi memanggil nama Hania. Hanya isak tangis yang samar-samar terdengar. 

“Hania! Ada apa?”

Tak ada tanggapan kecuali suara isak. Tangan Kenan siap mengetuk pintu, tapi berulang kali ia urungkan.

“Nia, kamu tidak apa-apa, kan? Buka pintunya!” tanya Kenan dengan suara pelan. Takut mengusik Hania yang entah sedang melakukan apa. Tapi suara yang ditimbulkan perempuan itu cukup membuatnya khawatir.

Masih tak ada jawaban, Kenan tentu tak bisa beranjak sejengkal pun dari tempatnya. Rasa gusarnya semakin merongrong seiring isak tangis yang tak kunjung berhenti terdengar.

“Hania, saya dobrak pintunya!”

Sepersekian detik kemudian, Kenan memutar gagang pintu toilet. Memastikan saja jika memang pintu itu terkunci rapat. Agar rencananya untuk mendobrak pintu ini tak gagal.

Tapi, rupanya pintu itu tak terkunci! Kenan cepat-cepat menahan pintu yang hanya terbuka sedikit.

“Nia, saya masuk sekarang. Saya batal mendobrak pintunya. Dan …,” Kenan mendadak ragu, “oke! Saya siap diomeli jika perbuatan saya ini menurut kamu lancang. Karena saya tidak bisa diam saja sementara kamu membuat saya khawatir. Saya masuk sekarang!”

Perlahan Kenan membuka pintu itu. Matanya tertuju pada lantai toilet, sebisa mungkin tetap menundukkan kepala. Semakin pintu terbuka lebar, ia justru dapati sosok Hania tengah terduduk sambil memeluk dua lututnya di lantai, tak jauh dari cermin. 

“Nia ….”

Kenan selembut mungkin memanggil nama perempuan itu, berharap Hania mendengar tanpa merasa terusik. Tapi, Hania bergeming. Tetap terisak lebih tepatnya. Punggungnya tampak bergetar beraturan. 

Kenan spontan ikut berjongkok, memilih memperhatikan perempuan itu dari ambang pintu. Tak melangkah sejengkalpun masuk ke dalamnya. 

Beberapa menit lamanya Kenan memperhatikan Hania demikian. Sesekali memijit pelipis, meraup wajahnya, atau memperbaiki posisi jongkoknya.

Tiba-tiba kepala Hania perlahan mendongak. Kenan yang terkesiap, tampak ketakutan tapi enggan beranjak dari sana.

“Kenapa bukan si Maya aja yang kecelakaan? Harusnya dia yang kecelakaan!” gumam Hania dengan bibir gemetaran. “Bukan Alif!”

Kening Kenan mengerut keras mendengarnya. “Cukup, Hania!” timpalnya. Tepat setelah itu Hania menoleh ke arahnya.

“Pak Kenan?” Mata Hania membola sempurna. “Ngapain Pak Kenan di sini?!” Nada suaranya sudah jelas tak bersahabat.

“Saya mendengar kamu menangis dari luar. Saya panggil-panggil, kamu tidak menjawab. Jadinya … yah seperti ini!” Kenan ogah menjelaskan panjang lebar. “Kamu kenapa? Masih menangisi laki-laki itu sampai mendoakan saudaramu seperti tadi?”

“Kenapa? Memangnya kenapa kalau saya mendoakan si Maya mati? Dengan apa yang udah dia lakuin ke saya selama ini, kematian bahkan gak setimpal jadi hukuman dia!”

“Cukup, Nia …. Apa yang kamu lakukan sekarang tidak akan mengubah apapun. Bahkan dengan kematiannya sekalipun, belum tentu juga kamu bisa kembali pada si Alif itu”

“Gak masalah! Itu artinya saya dan Maya imbang. Kami sama-sama tidak bisa mendapatkan Alif.”

“Kamu masih memikirkan laki-laki itu meskipun kamu sudah menikahi laki-laki seperti saya yang jelas jauh lebih baik daripada si Alif itu, Nia?!”

Kenan tak berharap Hania menanggapi. Tapi, kepala Hania yang berpaling darinya seperti sebuah jawaban yang sangat tidak Kenan harapkan.

Kenan bangkit sambil membuang napas kasar. “Kalau memang kamu mau pulang, ya sudah. Temui laki-laki brengsek itu!”

Baru beberapa langkah Kenan menjauh dari toilet, ia kembali menghampiri Hania sambil menggebrak pintu toilet. Gebrakannya sukses membuat Hania terpaku dengan mata melotot.

“Tapi sebelum itu, ganti dulu bajumu. Jangan kunci pintu toiletnya! Buka saja! Kalau terjadi apa-apa dengan kamu, saya tidak harus repot-repot mendobrak pintu ini dan membayar uang ganti rugi. Saya tunggu di balkon Vila. Kalau sampai sepuluh menit kamu tidak keluar dari sini, jangan salahkan saya kalau saya kesini lagi untuk mengganti pakaian kamu!”

Setelah berbicara demikian, Kenan baru pergi dari sana. Hania yang terlalu bingung akan situasi, hanya diam saja.

Lebih tepatnya ia kelelahan karena menangis. 

Mata Hania mengedar ke arah pintu toilet. Tak ada jejak kerusakan seperti perkataan Kenan tadi. 

“Gimana caranya dia buka pintu?” tanya batinnya. “Perasaan tadi pintunya gue tutup deh. Dikunci juga kok. Mungkin? Apa gue lupa?”

Hania tentu saja tak mau mengambil risiko. Ia tetap menutup pintu toilet itu, tapi menyisakan celah beberapa senti. Tak benar-benar menutupnya. Ia tahu Kenan tak pernah asal bicara dengan perkataannya.

“Temui laki-laki brengsek itu!!!”

Kalimat itu mendadak terngiang di kepala Hania. Menyulut rasa marah juga rasa malu di saat bersamaan.

“Kamu masih memikirkan laki-laki itu meskipun kamu sudah menikahi laki-laki seperti saya yang jelas jauh lebih baik daripada si Alif itu, Nia?!”

Hania meraup wajah. Segera membasuh wajahnya dengan air dari wastafel. Kalimat-kalimat Kenan di percakapan sengit mereka tadi mendadak menghantui pikirannya.

“Astagfirullaahal adzim!!! Lo kenapa sih, Nia?” gerutu batinnya. 

Ingatan akan umpatannya untuk Maya saja Hania ingat lagi. Tapi kini bukan dengan perasaan marah seperti tadi, melainkan malu. Berulang kali kalimat istighfar terapal di mulutnya. 

“Lo beneran udah gila, Nia! Sadar, Nia! Ngapain lo masih mikirin si Alif? Sadar!!! Pleaseeee!!! Lupain dia!!!”

Hania segera mengganti baju secepat kilat. Setelahnya ia keluar dari toilet, mendapati Kenan tampak mondar-mandir di teras Vila dengan handuk di kepalanya.

“Pak—”

“Bagus! Kemasi barang-barangmu. Saya sudah minta Bima mengurus kepulangan kita. Kita tunggu kabar dari dia.”

“Gak usah, Pak.”

“Gak usah gimana maksud kamu?”

“Saya,” Hania mendadak gagap, “saya gak jadi pulang. Kita pulang sesuai jadwal awal saja.”

“Kamu yakin?”

“Yakin?”

“Tidak akan membuat keributan seperti tadi?”

Bukannya menanggapi, Hania malah berbalik badan. Berjalan cepat ke arah keluar Vila. 

Kenan tentu saja terkejut melihat hal itu. Ia spontan membuang handuknya di kepala dan berlari mengejar Hania. Segera ia cengkeram erat tangan perempuan itu tepat sebelum Hania membuka pintu Vila.

“Mau ke mana kamu?”

Hania bergeming. Hanya menatap Kenan sengit tapi tak sepatah kata pun berbicara.

“Baiklah kalau begitu,” sambung Kenan seperti mengerti arti tatapan Hania. “Ayo!”

Kenan membuka pintu Vila, lalu menarik tangan Hania. Perempuan itu tak protes. Kenan takut tapi juga lega dengan reaksi Hania yang diam saja.

Berjalan sepanjang jembatan penghubung antar Vila, Kenan berada di depan sementara Hania tak jauh di belakangnya. Mengekori Kenan sambil memandangi tangannya yang sedang dicengkeram laki-laki itu.

“Kok rasanya beda?” batin Hania.

Ada rasa amarah, bahkan kesal menyelubungi Hania saat ini. Ia ingin sekali marah pada Kenan atas tindakan laki-laki itu. Tapi, tiba-tiba kepalanya dipenuhi kalimat “aku istrinya!” yang berhasil membuat Hania tak berkutik sendiri.

Sebuah fakta yang tak bisa Hania abaikan tapi juga sulit ia terima.

Tentu Kenan berhak memegangi tangannya seperti ini. Jika mengingat surat perjanjian pernikahan mereka, Kenan bahkan berhak melakukan hal lebih daripada ini. 

Tapi, rasanya berbeda! Sangat berbeda! Genggaman tangan Kenan terasa berbeda!

“Genggaman tangan Alif bikin gue bener-bener ngerasa bahagia. Jantung gue suka dag-dig-dug gak karuan. Happy banget! Tapi … genggaman tangan Pak Kenan … rasanya … hangat dan nyaman. Gue gak ngerasa bahagia, tapi juga gak ngerasa sedih. Kenapa? Kenapa kayak gini?”

Hania benar-benar tak bisa mengalihkan pandangannya dari tangannya sendiri. Ini bahkan bukan kali pertama mereka saling menggenggam tangan. Tapi, perasaan yang ditimbulkannya benar-benar membuat kepala Hania begitu berisik. Ia sampai tak sadar Kenan sudah menghentikan langkahnya sambil memperhatikannya. Kenan bahkan menggoyang-goyangkan tangan mereka yang saling bertaut itu beberapa kali sambil memanggil Hania.

“Nia! Kamu dengerin saya, kan? Nia? Hania!”

Hania terkesiap mendengar Kenan tiba-tiba menarik tangannya, meraup dua bahunya erat. “Hah? Kenapa, Pak?”

“Sialan! Dia gak dengerin gue!”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro