Bab 16 Kecelakaan
Kenan mengekori Hania yang tiba-tiba sibuk mengemasi kopernya. Caranya menjejalkan barang-barang ke dalam koper asal-asalan membuat Kenan keheranan sendiri. Perempuan itu bertingkah seperti orang yang sedang bersiap melarikan diri dari sebuah bencana.
“Ada apa ini sebenarnya, Nia?”
“Saya harus pulang, Pak!” tegas Hania.
“Tapi kenapa? Ada masalah?”
Hania tak menggubris. Ia melangkah cepat ke setiap sudut ruangan, mengambil barang-barangnya yang kemudian ia masukkan ke dalam tas.
“Saya harus pulang. Saya harus ke Jakarta sekarang jua, Pak!”
“Nia … kamu belum menjawab pertanyaan saya. Ada apa? Kenapa kita harus pulang sekarang? Ada masalah apa?”
“Aku harus pulang.” Hania bergumam sendiri. “Tiket! Aku harus pesen tiket dulu!” Hania duduk di bibir ranjang, memegang ponselnya dengan tangan gemetaran. Kini ia memilih mengabaikan Kenan dengan sibuk berbicara sendiri. “Aku harus pulang. Aku harus pulang,” gumamnya tanpa henti.
Kenan yang memperhatikan gelagat aneh Hania langsung menghampiri perempuan itu, merebut ponselnya yang sejak awal menyita perhatiannya.
“Pak! Balikin ponsel saya!”
“Kamu belum jawab pertanyaan saya.” Kenan menyembunyikan ponsel itu di balik punggungnya selagi memperhatikan Hania. “Kenapa kita harus pulang ke Jakarta secara mendadak seperti ini?”
“Kalau Pak Kenan gak bisa pulang, saya bisa kok pulang sendiri. Siniin ponselnya!”
“Tapi, kenapa? Kenapa kamu harus pulang ke Jakarta? Ada masalah apa sebenarnya?”
“Bukan urusan Pak Kenan!”
“Urusan kamu, urusan saya juga, Nia. Kita sudah menikah. Ingat?”
Hania meraup wajahnya. Tampak jengkel.
“Alif kecelakaan, Pak. Kondisi dia kritis. Maya bilang dia sedang dioperasi. Saya udah transfer biaya operasinya, tapi saya tetep harus pulang ke Jakarta, Pak. Perasaan saya gak tenang kalau belum melihat sendiri kondisinya udah baikan atau belum.” Hania bicara cepat sekali. Ditambah raut wajahnya yang kini tampak begitu gelisah.
Kenan yang mendengarnya hanya bisa membatu di tempat. Sedetik kemudian ujung bibir kirinya terangkat.
“Alif? Jadi ini semua karena dia?”
Kenan tak habis pikir saja. Bisa-bisanya Hania masih menaruh rasa peduli pada laki-laki itu setelah apa yang dialaminya. Semuanya tak masuk akal bagi Kenan.
“Kondisinya kritis, Pak! Kecelakaan tunggal katanya.”
Kenan berdecih sinis sambil meremas ponsel yang ada di tangan Hania. Amarah di hatinya tak bisa ia kendalikan jika ini menyangkut Hania dan mantannya itu.
“Sialan!” umpatnya sambil membuang napas kasar. “Kamu tiba-tiba ingin pulang hanya karena laki-laki brengsek itu? Itu alasannya?” bentaknya.
“Pak–”
Hania tercekat sendiri melihat reaksi Kenan. Ada gurat amarah di wajah laki-laki itu.
Tiba-tiba Kenan melangkah cepat menuju teras vila. Sedetik kemudian ia melemparkan ponsel milik Hania ke arah lautan yang tepat berada di bawahnya. Benda itu menghilang dalam sekejap.
“Pak!” Hania hanya bisa berteriak karena terkejut. “Pak Kenan apa-apaan sih? Itu ponsel saya!”
“Harusnya saya yang bertanya seperti itu. Apa pantas kamu mengkhawatirkan laki-laki yang sudah mengkhianati kamu di depan suami kamu sendiri?”
Normalnya –harusnya lebih tepatnya– Hania bahagia saja dengan kecelakaan yang dialami Alif. Atau minimal bersikap tak acuh saja. Bukan malah menaruh simpati sampai mengkhawatirkan laki-laki itu secara berlebihan.
Yah! Bagi Kenan, reaksi Hania atas kabar kecelakaan Alif terlalu berlebihan. Istrinya ini bahkan sampai mentransfer sejumlah uang untuk biaya pengobatan laki-laki itu! Benar-benar keterlaluan!
“Pak Kenan cuma suami kontrak saya saja.”
Kenan tertohok oleh perkataan Hania. Ia seketika diam dengan perasaan yang sama seperti saat ia mendengar alasan Hania ingin pulang ke Jakarta tadi. Ia sampai tak memperhatikan istrinya yang tiba-tiba menceburkan diri ke laut. Kesadarannya mendadak hilang.
Sementara itu, Hania menyelam ke dalam lautan untuk mencari keberadaan ponselnya yang ia pikir masih bisa ia temukan. Beberapa kali kepalanya tampak muncul ke permukaan, lalu kembali ke dalam lautan lagi. Napasnya sudah terengah-engah saat kali ketiga Hania mengambil napas ke permukaan.
Tepat ketika itu tiba-tiba sebuah tangan mencekal Hania. Belum sempat berontak, Hania merasakan tubuhnya ditarik paksa oleh Kenan ke daratan. Ia didudukkan di tangga yang menghubungkan lautan dengan teras vila mereka.
Saat Hania hendak turun ke lautan kembali, Kenan mengunci posisi Hania untuk tetap duduk di sana dengan melingkarkan dua tangannya di sekitar pinggang perempuan itu.
Hania seketika diam sambil menatap wajah Kenan yang basah, berada beberapa jengkal di bawahnya.
“Kamu benar-benar sudah tidak waras, Hania,” kata Kenan. “Sepertinya bukan saya yang gila, tapi kamu yang gila! Mengkhawatirkan mantan kekasih yang sudah menyakiti kamu itu bukan hal normal, Hania!”
Hania yang terengah-engah mengatur napasnya berusaha menanggapi. “Ini urusan saya! Pak Kenan juga gak waras udah buang ponsel saya!”
“Nanti saya ganti dengan yang lebih baik dari ponsel kamu itu. Saya akan minta Bima mencarikannya sekarang kalau memang kamu mau.”
Hania tiba-tiba mendorong tubuh Kenan hingga laki-laki itu tercebur ke lautan lagi. Tadinya Kenan hendak marah, namun melihat Hania memilih berjalan ke dalam vila, Kenan justru malah tersenyum lebar. Ia pun mengikuti perempuan itu masuk ke dalam vila tersebut.
“Jadi, sekarang kamu sudah sadar kalau tindakan kamu tadi itu tidak waras?” tanya Kenan pada Hania yang tengah membongkar kopernya.
Hania hanya diam dengan bibir gemetaran. Ia bukan tak bisa bicara dalam kondisi kedinginan seperti ini, tapi mendadak pikirannya kosong. Perkataan Kenan seperti pisau yang menyayat di hatinya.
“Saya takut kamu lupa. Laki-laki yang sedang kritis itu adalah laki-laki yang sudah berselingkuh dengan saudara tiri kamu, Hania. Kita menikah untuk membalaskan dendam rasa sakit hati kamu pada dia. Jadi, jangan pernah sedikitpun kamu tunjukkan rasa peduli kamu itu pada dia di depan saya!”
Hania masih bungkam sampai ia menghilang ke dalam toilet. Baru saat itu Kenan berhenti bicara pada Hania. Lebih tepatnya mengomel.
Sementara itu di dalam toilet, Hania tengah berdiam diri menatap pantulan dirinya di cermin. Cukup lama. Membiarkan air mata menetes bersamaan dengan air di kerudungnya yang membasahi wajahnya secara bersamaan.
“Bego banget sih lo, Nia! Lo apa-apaan sih? Ngapain lo masih mikirin si Alif? Aaarrrggghhh!!!”
Hania terisak cukup keras. Cepat-cepat ia membekap mulutnya, takut jika suara yang baru saja ditimbulkannya terdengar oleh Kenan dan menyita perhatiannya lagi.
Perempuan itu terduduk di lantai. Menangis sambil memeluk dua lututnya yang ditekuk.
“Susah banget!!! Susah banget lupain dia, Tuhaaannn!!! Gak bisaaa!!!”
Nyatanya, tak semudah membalikkan telapak tangan bagi Hania untuk melupakan Alif. Berbagai cara sudah ia lakukan. Mulai dari memaki, membenci, bahkan bersikap tak acuh akan kehidupan Alif.
Naasnya, semua itu tampaknya sia-sia. Sampai detik ini, nyatanya Hania masih menyimpan dengan rapat perasaan sayangnya pada Alif. Berbaur bersama rasa sakit hati, benci, hingga amarah.
Hubungan yang sudah terjalin bertahun-tahun lamanya tentu menyimpan berjuta kenangan yang tak mungkin mudah Hania lupakan. Apalagi nyaris keseluruhannya adalah kenangan-kenangan indah. Bagian terburuknya hanya pada saat Alif berkhianat dengan Maya. Itu saja. Tak lebih.
Hanya satu hal itu!
Beberapa menit kemudian, kepala Hania tiba-tiba mendongakkan kepalanya. Matanya tampak memerah sisa isak tangis.
“Kenapa bukan si Maya aja yang kecelakaan? Harusnya dia yang kecelakaan!” gumam Hania dengan bibir gemetaran. “Bukan Alif!”
“Cukup, Hania!”
Suara Kenan tiba-tiba membuyarkan pikiran Hania. Saat ia menoleh ke arah pintu toilet, ia dapati Kenan sedang berjongkok di ambang pintu itu.
Entah sejak kapan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro